Professional Documents
Culture Documents
“I do not believe that the United States should be bound by the same rules as the smallest African nation. Life isn't like
that.”—Richard Perle, penasihat Pentagon AS
“[The USA will] behave, with others, multilaterally when we can and unilaterally as we must.”—Madeleine Albright,
mantan Menteri Luar Negeri AS
“The [USA] Department of State desired that the United Nations prove utterly ineffective in whatever measures it
undertook. This task was given to me and I carried it forward with no inconsiderable success.”—Daniel Patrick
Moynihan, Duta Besar AS kepada PBB dalam buku A Dangerous Place
“What we say goes.”—George Bush, Presiden AS selama pengeboman atas Irak
Rejim Piagam PBB meregulasi penggunaan force oleh negara dalam komunitas internasional
sebagaimana tujuan prinsipil PBB: mencegah terjadinya perang berikutnya setelah Perang Dunia I
dan II. Namun, tindakan-tindakan yang dilakukan negara terkait entry kepada force telah melenceng
dari tujuan awalnya. Bahkan, Dewan Keamanan PBB sendiri telah mengompromikan prinsip-
prinsip Piagam PBB tersebut dengan tidak adanya ketentuan-ketentuan terkait penggunaan angkatan
0100090000032a0200000200a20100000000a201000026060f003a03574d46430100000000000100f5b200000000
01000000180300000000000018030000010000006c00000000000000000000001a0000000f000000000000000000
00005a4200008400000020454d4600000100180300001200000002000000000000000000000000000000f609000
0e40c0000d8000000170100000000000000000000000000005c4b030068430400160000000c000000180000000a
0000001000000000000000000000000900000010000000d70700000f000000250000000c0000000e000080250000
000c0000000e000080120000000c00000001000000520000007001000001000000d2ffffff0000000000000000000
00000900100000000000004400022430061006c0069006200720069000000000000000000000000000000000000
000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000011006872110010000000cc
7511004c73110052516032cc751100c47211001000000034741100b075110024516032cc751100c4721100200000
0049642f31c4721100cc75110020000000fffffffffc02d200d0642f3115000500ffff0180ffff0180efff0180ffffffff000
0050000080000000800004300000001000000000000002c01000025000000632e90010008020f050202020403020
4ef0200a07b20004000000000000000009f00000000000000430061006c006900620072000000000041007200690
061006c00200052006f0075006e00f87211009c38273104000000010000003473110034731100e87825310400000
05c731100fc02d2006476000800000000250000000c00000001000000250000000c00000001000000250000000c0
0000001000000180000000c00000000000002540000005400000000000000000000001a0000000f0000000100000
088870741d1450741000000002c000000010000004c000000040000000000000000000000d60700001000000050
000000200000001b00000046000000280000001c0000004744494302000000ffffffffffffffffd80700001000000000
0000004600000014000000080000004744494303000000250000000c0000000e000080250000000c0000000e0000
800e000000140000000000000010000000140000000400000003010800050000000b0200000000050000000c020
400a702040000002e0118001c000000fb020500020000000000bc02000000000102022253797374656d00000000
00000000000000000000000000000000000000000000040000002d010000040000002d010000040000000201010
01c000000fb02f3ff0000000000009001000000000440002243616c69627269000000000000000000000000000000
00000000000000000000040000002d010100040000002d010100040000002d010100050000000902000000020d
000000320a0c0000000100040000000000a802050020710900040000002d010000040000002d010000030000000
000
1
bersenjata serta deadlock Dewan terkait eskalasi ketegangan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat
(AS) selama Perang Dingin. Majelis Umum juga tidak memiliki power dalam hal ini selain
membuat rekomendasi-rekomendasi, bahkan Resolusi “Uniting for Peace” dapat dianggap tidak
konsisten dengan Piagam PBB. Makin banyaknya agresi militer, konfrontasi bersenjata, terorisme
internasional, dan ancaman senjata pemusnah massal membuat PBB mengalami krisis dalam sistem
pemeliharaan keamanannya, dan dibutuhkan interpretasi Piagam PBB yang mengakui berbagai
pengecualian dalam prinsip ex injuria jus non oritur – hukum tidak dapat berasal dari tindakan yang
ilegal. Piagam PBB harus dapat berubah tidak hanya melalui amandemen tetapi juga melalui
aplikasi aktualnya. Terkait hal ini, dapat dianggap tindakan-tindakan negara yang menggunakan
force merupakan pengecualian dan perluasan framework Piagam PBB. Namun, perkembangan-
perkembangan tersebut tidak boleh lepas dari konsekuensi jangka panjang dan justifikasi legal.
Sehingga, penting untuk tetap mempertahankan dua prinsip dalam rejim Piagam PBB, yaitu bahwa
force hanya boleh digunakan sebagai usaha terakhir untuk menyelesaikan sengketa internasional
dan hal itu hanya atas dasar kepentingan komunitas internasional, bukan suatu negara tunggal.
Terkait tata hukum internasional, bahkan sebelum peristiwa 11 September komunitas legal
internasional telah mengembangkan skema prosekusi (penuntutan) terhadap serangan-serangan
teroris dan menetapkan berbagai kewajiban negara terkait terorisme dalam tataran domestik.
Namun, kini berkembang praktik-praktik penggunaan angkatan militer melawan teroris berkembang
secara simultan. Terutama AS, yang mengobarkan retorika “perang melawan terorisme”,
mengembangkan National Security Strategy of the United States (“Strategy”), yang memungkinkan
penggunaan force secara unilateral dengan alasan self-defence. Strategy melegalisasi tiga doktrin
yang patut dipertanyakan, yaitu (1) serangan unilateral terhadap organisasi-organisasi teroris dan
negara-negara yang menyembunyikan mereka, dengan mengidentifikasi dan menghancurkan
ancaman teroris sebelum ia mencapai AS; (2) self-defence unilateral secara pre-emptive, atau
penggunaan force secara unilateral dalam merespon ancaman yang dapat terjadi di masa depan; dan
(3) intervensi kemanusiaan unilateral, atau penggunaan force secara unilateral untuk membebaskan
rakyat yang hak-hak asasinya diperlakukan secara kejam. Dalam artikel yang ditulisnya, Devika
Hovell akan menilai apakah doktrin-doktrin ini memenuhi rejim Piagam PBB.
Terkait doktrin pertama, menurut Hovell, konsep self-defence dibatasi oleh beberapa hal,
seperti terartikulasi dalam Pasal 51 Piagam PBB: kepatuhan terhadap kriteria ancaman yang sudah
dekat serta keharusan dan proporsionalitas tindakan yang diambil sebagai respon. Penggunaan force
harus memperhatikan keadaan faktual khusus, seperti kedekatan ancaman, urgensitas, dan
proporsionalitas penggunaannya, serta isu normatif tentang apakah penggunaan force tersebut
berada dalam ruang lingkup Pasal 51. Hal ini dapat mengangkat kemungkinan perluasan terhadap
rejim legal internasional yang menentukan penggunaan force. Hukum terkait penggunaan force
bersifat negarasentris, sehingga imun di luar negara yang bersangkutan. Lagipula, harus dapat
dibedakan antara penggunaan force tingkat tinggi (seperti serangan bersenjata yang dipahami
sebagai agresi terhadap negara lain) dan tingkat rendah, seperti dalam Definition of Aggression
dalam Resolusi Majelis Umum 3314 (XXIX). Negara sasaran self-defence harus memiliki
“keterlibatan substansial” dengan suatu kelompok teroris untuk justifikasi serangan. Hovell juga
melihat dukungan komunitas internasional terhadap posisi negara-negara yang bertindak
menggunakan force terhadap negara-negara yang menyembunyikan teroris. Tindakan-tindakan
Israel banyak mendapat pengutukan, sementara tindakan-tindakan AS tidak banyak mendapat
pengutukan, menunjukkan tren meningkatnya toleransi terhadap perluasan prinsip Piagam PBB.
Hovell menyimpulkan, telah terjadi modifikasi atas hukum kebiasaan internasional.
Doktrin kedua, menurut Strategy tersebut, bertujuan melakukan tindakan balasan terhadap
ancaman terhadap keamanan nasional AS yang mengharuskan tindakan antisipasi untuk
mencegahnya karena risiko yang besar. Sejarah mencatat sebelum intervensi terbaru di Irak, AS
baru sekali pernah bermaksud melakukan serangan militer pre-emptive, yaitu pada krisis misil Kuba
pada Oktober 1962. Terkait doktrin ini, mantan Penasihat Hukum Departemen Luar Negeri AS
Abram Chayes mengungkapkan, AS memilih untuk tidak mengandalkan konsep legal self-defence
dalam Pasal 51 Piagam PBB karena Pasal tersebut menganggap remeh seluruh usaha pada
justifikasi legal. Selanjutnya, pada insiden dengan Iran 1988, AS menghindari bahasa pre-emptive.
Negara lain, Israel, mendapatkan pengutukan dari Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB
setelah mengebom dan menghancurkan reaktor nuklir Osirak, Irak 1981. Menurut Hovell, doktrin
self-defence secara pre-emptive ini harus dibedakan dengan doktrin self-defence antisipatoris, yang
memiliki sejarah panjang dalam hukum internasional. Namun, doktrin self-defence pre-emptive ini
dijustifikasi sebagai strategi pencegahan risiko jangka panjang. Karena tidak ada identifikasi bahaya
kredibel, spesifik, dan dapat dipercaya, Hovell menyimpulkan bahwa doktrin ini dengan jelas
melanggar hukum internasional.
Terkait doktrin ketiga, disebutkan bahwa aspek kunci Strategy adalah memperluas
kepentingan demokrasi, pembangunan, pasar bebas, dan perdagangan bebas ke seluruh sudut dunia.
Namun, menurut Hovell, Strategy memuat kondisi-kondisi penggunaan force yang berada di luar
framework Piagam PBB. Selama ini, doktrin intervensi kemanusiaan tidak terlalu populer dalam
komunitas internasional. Namun, doktrin tersebut mendapatkan momentumnya ketika Dewan
Keamanan PBB mengalami deadlock pada kasus pembersihan etnis Kosovo Albania oleh angkatan
bersenjata Bosnia Serbia, angkatan bersenjata North Atlantic Treaty Organization (“NATO”)
0100090000032a0200000200a20100000000a201000026060f003a03574d46430100000000000100f5b200000000
01000000180300000000000018030000010000006c00000000000000000000001a0000000f000000000000000000
00005a4200008400000020454d4600000100180300001200000002000000000000000000000000000000f609000
0e40c0000d8000000170100000000000000000000000000005c4b030068430400160000000c000000180000000a
0000001000000000000000000000000900000010000000d70700000f000000250000000c0000000e000080250000
000c0000000e000080120000000c00000001000000520000007001000001000000d2ffffff0000000000000000000
00000900100000000000004400022430061006c0069006200720069000000000000000000000000000000000000
000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000011006872110010000000cc
7511004c73110052516032cc751100c47211001000000034741100b075110024516032cc751100c4721100200000
0049642f31c4721100cc75110020000000fffffffffc02d200d0642f3115000500ffff0180ffff0180efff0180ffffffff000
0050000080000000800004300000001000000000000002c01000025000000632e90010008020f050202020403020
4ef0200a07b20004000000000000000009f00000000000000430061006c006900620072000000000041007200690
061006c00200052006f0075006e00f87211009c38273104000000010000003473110034731100e87825310400000
05c731100fc02d2006476000800000000250000000c00000001000000250000000c00000001000000250000000c0
0000001000000180000000c00000000000002540000005400000000000000000000001a0000000f0000000100000
088870741d1450741000000002c000000010000004c000000040000000000000000000000d60700001000000050
000000200000001b00000046000000280000001c0000004744494302000000ffffffffffffffffd80700001000000000
0000004600000014000000080000004744494303000000250000000c0000000e000080250000000c0000000e0000
800e000000140000000000000010000000140000000400000003010800050000000b0200000000050000000c020
400a702040000002e0118001c000000fb020500020000000000bc02000000000102022253797374656d00000000
00000000000000000000000000000000000000000000040000002d010000040000002d010000040000000201010
01c000000fb02f3ff0000000000009001000000000440002243616c69627269000000000000000000000000000000
00000000000000000000040000002d010100040000002d010100040000002d010100050000000902000000020d
000000320a0c0000000100040000000000a802050020710900040000002d010000040000002d010000030000000
000
3
meluncurkan serangan udara terhadap Serbia pada 1999. Independent International Commission on
Kosovo menyatakan bahwa tindakan NATO sah, meskipun tidak legal. Walaupun begitu, isu ini
masih menuai debat dan tidak memperoleh opinion juris yang cukup karena negara-negara kecil
mencurigai intervensi kemanusiaan sebagai kuda Troya yang akan digunakan untuk mencapai
dominasi Barat, sementara negara-negara besar tidak ingin mendapatkan kewajiban untuk
mengintervensi setiap kali terjadi krisis kemanusiaan. Rejim Piagam PBB sendiri lebih menjunjung
kedaulatan negara daripada hak asasi warga negara. Namun, baru-baru ini komunitas internasionnal
secara bertahap memperkuat ketetapan untuk secara aktif melindungi hak asasi manusia. Sehingga,
kini signifikansi negara dan kedaulatan telah berkurang dalam membatasi kapasitas intervensi
komunitas internasional. Lanskap legal internasional pun terbuka bagi pengakuan terhadap doktrin
intervensi kemanusiaan. Hovell mengungkapkan enam persyaratan fundamental terkait kriteria
intervensi “kemanusiaan”, yaitu (1) tingkat kekejaman perlakuan terhadap hak asasi manusia yang
tinggi secara kualitatif maupun kuantitatif dan dilakukan berkelanjutan, (2) inefektivitas Dewan
Keamanan dalam bertindak, (3) tingkat keharusan dilakukannya tindakan militer yang tinggi, (4)
proporsionalitas tindakan yang “masuk akal” dengan peluang keberhasilan yang “tinggi”, (5)
penerimaan oleh komunitas internasional, dan (6) niat kemanusiaan yang sungguh-sungguh.
Namun, menurut Hovell sendiri, prinsip-prinsip ini memiliki ruang lingkup yang sempit.
Hovell menyimpulkan bahwa hukum internasional telah terbukti dapat menyesuaikan diri dan
berubah sebagai respon terhadap ancaman-ancaman baru. Hukum internasional juga bukanlah apa
yang diinginkan oleh suatu negara, atau suatu kelompok negara, tertentu. Maka, dibutuhkan refleksi
teliti terhadap apakah respon terhadap terorisme dalam Strategy dapat diadopsi sebagai renovasi
terhadap tata legal internasional, jangan sampai ia mengganggu keseimbangan terlalu jauh. Oleh
karena itu, dibutuhkan pertimbangan global jangka panjang. Tentu sulit untuk meramalkan efek tata
legal yang baru terhadap stabilitas internasional di masa depan. Terkait terorisme, menurut Hovell,
hukum internasional memang tidak dapat menjadi solusi yang sempurna, tetapi ia penting sebagai
framework internasional yang dapat terus berjalan.
10 Jessica Stern, Terror in The Name of God: Why Religious Militants Kill (New York: HarperCollins Publisher Inc.,
2003)
11 Anonymous, Imperial Hubris: Why the West is Losing the War on Terror (Washington, D.C.: Brassey’s, Inc.,
2004)
12 Charles Hill, “A Herculean Task: The Myth and Reality of Arab Terrorism” dalam Store Talbott dan Nayan
Chanda, ed., The Age of Terror: America and the World After September 11 (New York: Basic Books, 2001), 83-111
Apa yang ingin penulis sampaikan adalah bahwa dalam memerangi terorisme, AS tidak dapat
serta-merta mengambil langkah unilateral dan semena-mena memaksakan ideologi dan
kepentingannya. AS membutuhkan pemahaman komprehensif tentang sifat dasar terorisme dan
menghancurkan hal-hal yang dapat menjadi penyebabnya. Beberapa penyebab tersebut adalah
tindakan AS sendiri yang semena-mena terhadap subyek terorisme tersebut, dalam hal ini kaum
Islam Arab. Dalam hal ini, AS perlu introspeksi diri dan memotong akar-akar terorisme yang
berasal dari kebijakan AS tersebut. AS juga memerlukan negara-negara lain untuk membantunya,
misalnya dengan mengoptimalkan posisinya di Dewan Keamanan PBB. Menurut Monika Heupel
(2007), Dewan tersebut dapat memaksakan kewajiban yang mengikat secara legal kepada negara-
negara anggota PBB. Dewan juga dapat mengadopsi sanksi terhadap negara yang dicurigai
mendukung terorisme serta berinovasi memaksakan kewajiban umum counter-terrorism kepada
negara-negara anggota serta mengadaptasi strategi-strategi compliance yang diaplikasikannya.13
Yang penulis usulkan adalah, AS bersama Dewan bekerja sama menciptakan regulasi yang dapat
mencegah lahirnya teroris-teroris baru melalui alasan-alasan yang diungkapkan Stern. Langkah ini,
selain lebih adil dan damai, juga masih berada dalam framework legal internasional. AS dengan
Dewan juga dapat memaksa negara-negara anggota menciptakan regulasi legal sebagai respon
terhadap isu perang melawan terorisme ini. Majelis Umum juga dapat menjadi sarana efektif
kampanye antiterorisme, buktinya Majelis ini telah mengadopsi resolusi 60/288, “The United
Nations Global Counter-Terrorism Strategy”.
13 Monika Heupel, “Adapting to Transnational Terrorism: The UN Security Council's Evolving Approach to
Terrorism”, dalam Security Dialogue 2007; 38; 477, diakses dari
http://sdi.sagepub.com/cgi/content/abstract/38/4/477 4 Desember 2008 14:37
0100090000032a0200000200a20100000000a201000026060f003a03574d46430100000000000100f5b200000000
01000000180300000000000018030000010000006c00000000000000000000001a0000000f000000000000000000
00005a4200008400000020454d4600000100180300001200000002000000000000000000000000000000f609000
0e40c0000d8000000170100000000000000000000000000005c4b030068430400160000000c000000180000000a
0000001000000000000000000000000900000010000000d70700000f000000250000000c0000000e000080250000
000c0000000e000080120000000c00000001000000520000007001000001000000d2ffffff0000000000000000000
00000900100000000000004400022430061006c0069006200720069000000000000000000000000000000000000
000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000011006872110010000000cc
7511004c73110052516032cc751100c47211001000000034741100b075110024516032cc751100c4721100200000
0049642f31c4721100cc75110020000000fffffffffc02d200d0642f3115000500ffff0180ffff0180efff0180ffffffff000
0050000080000000800004300000001000000000000002c01000025000000632e90010008020f050202020403020
4ef0200a07b20004000000000000000009f00000000000000430061006c006900620072000000000041007200690
061006c00200052006f0075006e00f87211009c38273104000000010000003473110034731100e87825310400000
05c731100fc02d2006476000800000000250000000c00000001000000250000000c00000001000000250000000c0
0000001000000180000000c00000000000002540000005400000000000000000000001a0000000f0000000100000
088870741d1450741000000002c000000010000004c000000040000000000000000000000d60700001000000050
000000200000001b00000046000000280000001c0000004744494302000000ffffffffffffffffd80700001000000000
0000004600000014000000080000004744494303000000250000000c0000000e000080250000000c0000000e0000
800e000000140000000000000010000000140000000400000003010800050000000b0200000000050000000c020
400a702040000002e0118001c000000fb020500020000000000bc02000000000102022253797374656d00000000
00000000000000000000000000000000000000000000040000002d010000040000002d010000040000000201010
01c000000fb02f3ff0000000000009001000000000440002243616c69627269000000000000000000000000000000
00000000000000000000040000002d010100040000002d010100040000002d010100050000000902000000020d
000000320a0c0000000100040000000000a802050020710900040000002d010000040000002d010000030000000
000
9
Kesimpulan
Dapat dilihat bahwa tindakan AS dalam retorika “perang melawan terorisme” ini sangat
diwarnai perspektif realisme dalam memandang hukum internasional, yaitu sebagai refleksi
balance of power yang berlaku, sehingga ia tidak relevan dengan norma-norma internasional14.
Perspektif lain mungkin masih dapat mencoba menjelaskan fenomena unilateralisme AS, namun
yang benar-benar relevan, menurut penulis, adalah realisme. Rasionalisme, yang memandang
hukum internasional sebagai titik fokus diskursus tentang agen dan tindakan politik yang sah serta
dengan pendekatan “supply-demand” melihat bahwa negara menciptakan hukum internasional
untuk memfasilitasi kepentingan bersama itu dengan mengurangi penipuan, mengurangi biaya
transaksi, dan meningkatkan informasi,15 hanya akan menganggap fenomena pelanggaran terhadap
hukum internasional ini sebagai sesuatu yang wajar, karena tidak ada negara di dunia ini, selain AS
dan Israel, yang memiliki kepentingan bersama memerangi terorisme sampai harus melakukan
serangan unilateral. Ketika AS tidak dapat memperoleh bantuan yang dibutuhkannya dari hukum
internasional, ia akan mundur perlahan dari framework legal internasional tersebut dan melangkah
ke penanganan secara militer. Konstruktivisme, yang memandang hukum internasional sebagai
pusat struktur-struktur normatif yang membentuk politik dan tindakan negara yang sah,16 akan
memandang bahwa AS memiliki motif individual (mengantisipasi ancaman terorisme terhadap
keamanan nasional AS) dan klaim justifikatif (mengimposisi sistem demokrasi ke seluruh pojok
dunia). Sehingga, konstruktivisme memandang rasionalitas politik yang lebih dalam yang
mengondisikan penggunaan force. Namun, pandangan penulis cukup sederhana: HUKUM
INTERNASIONAL TENGAH DIINJAK-INJAK OLEH AS. AS, negara hawkish garis keras yang siap tempur,
tidak mungkin mengindahkan hukum. Hukum, bagi AS, tidak dapat dipaksakan terhadap
keinginannya sebagai negara adidaya serta tidak dapat dianggap mengikat. Ini merupakan bentuk
arogansi AS yang kerap kali amnesia tentang tindakan-tindakannya yang melanggar hukum yang
diciptakannya sendiri.
Penulis agak skeptis terhadap pendapat Hovell dalam artikel di atas. Ia mengusulkan hukum
internasional yang dapat berubah-ubah melalui aplikasi aktualnya, sekalipun belum diamandemen.
Bagaimana hukum internasional yang seperti ini dapat bersifat mengikat secara legal? Karena,
subyek hukum ini akan dapat dengan mudah menyelewengkannya. Katakanlah, terjadi pelanggaran
atau quasi-pelanggaran, sang pelanggar dapat dengan mudah memberikan justifikasi yang sah
dengan memberikan interpretasi yang berbeda terhadap hukum internasional. Syarat untuk dapat
membuat spekulasi ini sah adalah dengan memiliki power yang signifikan dalam konstelasi politik
global, seperti yang dimiliki AS, sehingga negara-negara lain tidak berani membantah justifikasi
yang diklaimnya. Alasan AS menginvasi Afghanistan dan Irak pun jelas: memaksimalkan
kepentingan atau tujuan nasionalnya sendiri, yaitu kebutuhannya akan bahan bakar atau minyak
dunia.17 Maka, dengan ini penulis menyatakan bahwa, sebagaimana asumsi realisme, dalam hal ini,
POLITIK TELAH MENGANGKANGI HUKUM INTERNASIONAL.
14 Christian Reus-Smit, “The Politics of International Law”, dalam The Politics of International Law (Cambridge:
Cambridge University Press, 2004), 15-18
15 Ibid., 20-29
16 Ibid., 21-24
17 Herry Nurdi, op. cit., 197
Daftar Bacaan
Hovell, Devika. “Chinks in the Armour: International Law, Terrorism and the Use of Force”.
UNSW Law Journal Volume 27(2).
http://www.gtcentre.unsw.edu.au/news/docs/intl_law_terrorism_useofforce.pdf
“Anonymous”. Imperial Hubris: Why the West is Losing the War on Terror. Washington, D.C.:
Brassey’s, Inc., 2004.
Best, Antony et al. International History of the Twentieth Century.
Nurdi, Herry. Lobi Zionis Rezim Bush: Teroris Teriak Teroris. Jakarta: PT Mizan Publika, 2006.
Rashid, Ahmad. Taliban: Militant Islam, Oil & Fundamentalism in Central Asia. Yale University
Press, 2001.
Reus-Smit, Christian. The Politics of International Law. Cambridge: Cambridge University Press,
2004.
Shoelhi, Mohammad. Di Ambang Keruntuhan Amerika. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007.
Stern, Jessica. Terror in The Name of God: Why Religious Militants Kill. New York: HarperCollins
Publisher Inc., 2003.
Talbott, Store dan Nayan Chanda, ed. The Age of Terror: America and the World After September
11. New York: Basic Books, 2001.
“Must they be wars without end?”, The Economist, December 15th 2007
0100090000032a0200000200a20100000000a201000026060f003a03574d46430100000000000100f5b200000000
01000000180300000000000018030000010000006c00000000000000000000001a0000000f000000000000000000
00005a4200008400000020454d4600000100180300001200000002000000000000000000000000000000f609000
0e40c0000d8000000170100000000000000000000000000005c4b030068430400160000000c000000180000000a
0000001000000000000000000000000900000010000000d70700000f000000250000000c0000000e000080250000
000c0000000e000080120000000c00000001000000520000007001000001000000d2ffffff0000000000000000000
00000900100000000000004400022430061006c0069006200720069000000000000000000000000000000000000
000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000011006872110010000000cc
7511004c73110052516032cc751100c47211001000000034741100b075110024516032cc751100c4721100200000
0049642f31c4721100cc75110020000000fffffffffc02d200d0642f3115000500ffff0180ffff0180efff0180ffffffff000
0050000080000000800004300000001000000000000002c01000025000000632e90010008020f050202020403020
4ef0200a07b20004000000000000000009f00000000000000430061006c006900620072000000000041007200690
061006c00200052006f0075006e00f87211009c38273104000000010000003473110034731100e87825310400000
05c731100fc02d2006476000800000000250000000c00000001000000250000000c00000001000000250000000c0
0000001000000180000000c00000000000002540000005400000000000000000000001a0000000f0000000100000
088870741d1450741000000002c000000010000004c000000040000000000000000000000d60700001000000050
000000200000001b00000046000000280000001c0000004744494302000000ffffffffffffffffd80700001000000000
0000004600000014000000080000004744494303000000250000000c0000000e000080250000000c0000000e0000
800e000000140000000000000010000000140000000400000003010800050000000b0200000000050000000c020
400a702040000002e0118001c000000fb020500020000000000bc02000000000102022253797374656d00000000
00000000000000000000000000000000000000000000040000002d010000040000002d010000040000000201010
01c000000fb02f3ff0000000000009001000000000440002243616c69627269000000000000000000000000000000
00000000000000000000040000002d010100040000002d010100040000002d010100050000000902000000020d
000000320a0c0000000100040000000000a802050020710900040000002d010000040000002d010000030000000
000
11
Heupel, Monika. “Adapting to Transnational Terrorism: The UN Security Council's Evolving
Approach to Terrorism”. Security Dialogue 2007; 38; 477.
http://sdi.sagepub.com/cgi/content/abstract/38/4/477