You are on page 1of 4

NAMA NIM HOME BASE DOSEN

: HIDJRAH ROCHAYATI : 0910271452 : MAOSPATI, MAGETAN : Ibu NUR FAUZIAH, M.Pd.

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER MATA KULIAH : WAWASAN GENDER

Analisa mengenai bias gender pada: 1. Buku Ajar Permasalahan: Pada buku ajar banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Misalnya, gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang hanya dimiliki oleh laki-laki. Begitu pula, pada gambar orang memasak, yang selalu digambarkan yang masak adalah perempuan. Padahal, dalam kehidupan nyata, banyak juga koki atau juru masak yang laki-laki. Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik. Kalimat seperti Ayah membaca koran dan ibu memasak di dapur dan bukan sebaliknya Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran, masih sering ditemukan dalam banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di dalam kelas. Beberapa kalimat lain yang dapat ditemukan dalam buku ajar, misalnya: Ibu memasak di dapur; Ani mencuci piring, ayah pergi ke kantor, Amin bermain sepak bola. Lazimnya, kalimat-kalimat tersebut juga dilengkapi dengan gambar ilustratif agar si anak lebih imajinatif dalam memahami deretan kata-kata itu. Misalnya, gambar seorang ibu yang sedang memasak di dapur, ayah yang sedang bekerja di kantor atau di proyek bangunan. Itu semua menunjukkan bias jender. Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim dan kerja domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan kerja publik bagi laki-laki.

Solusi: Beberapa hal yang terdapat dalam buku ajar tersebut membuktikan bahwa dalam penyusunan buku ajar, masih terdapat makna bias gender. Atas beberapa hal tentang bias gender tersebut, diperlukan beberapa solusi agar tidak terjadi bias gender dalam penyusunan buku ajar. Adapun solusi-solusi tersebut antara lain: a. Karena pendidikan merupakan proses vital dalam hidup manusia, maka perlu pembebasan komponen-komponen pendidikan dari bias gender. Dalam hal ini pihak yang paling berkompeten tentu Depdiknas, sekolah, dan guru secara pribadi. Untuk itu, bagi pihak Depdiknas, disarankan untuk menyesuaikan buku-buku ajar yang diterbitkan dengan memperhatikan masalah bias gender. b. Menambah gambar-gambar dalam buku ajar, dimana gambar orang memasak tidak harus selalu perempuan, bisa juga laki-laki. Kalimatkalimat yang bersifat bias gender, perlu direvisi. Misalnya, dengan kalimat-kalimat: Ayah membaca koran dan ibu memasak di dapur disesuaikan menjadi Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran. c. Memberikan saran dan masukan kepada pihak pengarang/penerbit untuk memperhatikan masalah-masalah gambar dalam buku ajar supaya lebih memperhatikan masalah bias gender. 2. Media Pembelajaran Permasalahan: Pada pembelajaran di sekolah, termasuk di PAUD dan Taman KanakKanak, terdapat berbagai media pembelajaran yang digunakan, seperti gambar, alat bermain, dongeng, dan sebagainya. Pada beberapa media pembelajaran, masih terdapat hal-hal yang merupakan suatu bentuk terjadinya bias gender. Misalnya, gambar seorang pilot yang selalu laki-laki, anak yang bermain bola yang selalu laki-laki, orang yang menggendong anak selalu perempuan, dan sebagainya. Pada beberapa alat bermain, seperti boneka, selalu diarahkan untuk digunakan anak perempuan. Alat ketangkasan dan

keseimbangan, misalnya tangga, selalu diarahkan untuk digunakan anak lakilaki. Dalam dongeng atau cerita, guru cenderung menggunakan kata-kata bahwa pekerjaan yang memerlukan kelembutan adalah untuk perempuan dan pekerjaan yang memerlukan keberanian dan fisik adalah untuk laki-laki. Solusi: Dari beberapa masalah bias gender pada media pembelajaran tersebut, dapat disampaikan beberapa solusi sebagai berikut: a. Guru perlu merevisi cara penyampaian penggunaan media belajar, sehingga anak tidak memiliki pandangan bahwa pekerjaan yang memerlukan fisik serta konsentrasi yang tinggi selalu diperuntukkan bagi laki-laki, sedangkan pekerjaan yang memerlukan sifat kelembutan selalu diperuntukkan bagi perempuan. Mereka perlu diberi wawasan bahwa orang laki-laki juga bisa mengerjakan hal-hal yang biasanya dilakukan oleh kaum perempuan dan sebaliknya. b. Pada penggunaan media bermain, anak-anak laki-laki juga diperbolehkan menggunakan boneka agar mereka juga tahu cara memperlakukan seorang anak dengan kelembutan. Permainan keseimbangan yang menantang juga boleh dilakukan anak perempuan agar mereka juga bisa memiliki keberanian layaknya seorang laki-laki. c. Anak-anak perlu diberi pemahaman bahwa alat-alat permainan, seperti mobil-mobilan dan bola, juga dapat digunakan oleh anak perempuan, karena sekarang juga banyak perempuan yang mampu mengemudikan mobil dengan tangkas. 3. Metode Pembelajaran Permasalahan: Pada pembelajaran di sekolah, termasuk di PAUD dan TK, guru biasanya juga menggunakan metode pembelajaran ceramah, demonstrasi, dan bimbingan kelompok. Pada saat menyampaikan bimbingan kepada anak secara berceramah, guru sering menyebutkan hal-hal, misalnya pekerjaan yang mengandung makna bias gender, seperti yang cenderung memasak adalah ibu

dan yang bekerja di sawah adalah bapak. Petani sering disebutkan sebagai Pak (Pak Tani), dan bukan Bu (Bu Tani). Dalam hal menyampaikan metode demonstrasi, dimana anak diajak melakukan kegiatan dengan benar, biasanya anak perempuan diajarkan cara menggendong bayi dengan benar, anak laki-laki diajarkan cara menendang bola dan tidak anak laki-laki yang diajarkan cara menggendng bayi (boneka) dengan benar, serta anak perempuan juga diajarkan cara menendang bola. Hal ini menunjukkan adanya perlakuan yang diskriminatif, dimana didalamnya juga terkandung makna bias gender. Pada saat melakukan bimbingan secara kelompok, guru PAUD dan TK kebanyakan mengelompokkan anak perempuan dengan perempuan dan anak laki-laki dengan laki-laki. Hal ini seharusnya tidak perlu dilakukan, karena mereka perlu bersosialisasi tanpa memandang jenis kelamin (gender). Solusi yang disampaikan: a. Guru perlu juga mengajarkan cara menggendong bayi atau memasak kepada anak laki-laki dan juga mengajarkan cara menendang bola dengan baik kepada anak perempuan. b. Memberi penjelasan bahwa semua pekerjaan boleh dikerjakan semua jenis kelamin, misalnya anak laki-laki juga perlu tahu cara merawat bayi dan memasak.

You might also like