Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
I. PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang Masalah
Agama merupakan salah satu karakteristik sosial, sekaligus
sebagai faktor yang sangat penting dalam kaitan dengan komunikasi
antarmanusia dan antarkelompok masyarakat. Agama juga merupakan
salah satu ciri kehidupan sosial manusia yang universal, dalam artian
bahwa semua pemeluk agama mempunyai cara berpikir dan pola perilaku
tersendiri. Oleh karena itu, permasalahan yang mendasar dari
perbedaaan agama ini kemudian adalah bagaimana orang beragama ini
1
∗ Penulis adalah Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Riau.
1
mendefinisikan atau mengkomunikasikan diri mereka di tengah agama-
agama yang lain.
Di tengah-tengah perbedaan agama tersebut, masyarakat
dihadapkan kepada berbagai perbedaan tanda atau simbol, seperti gereja
dengan salib, mesjid dengan bulan-bintang, dan lain sebagainya. Tatkala
melihat beragam tanda atau simbol-simbol rumah ibadah tersebut tersirat
makna, masyarakat sedang dan akan terus berkomunikasi antaragama.
Simbolisasi rumah ibadah ini merupakan pesan dalam komunikasi
antaragama, yang pastinya akan dimaknai berbeda oleh masing-masing
anggota masyarakat tersebut dikarenakan perbedaan agama yang
dipeluk.
Eksistensi agama, termasuk supra-struktur agama yang terdiri dari
pesan-pesan berwujud simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilainya yang
spesifik, selalu diinterpretasikan manusia secara berbeda sesuai
kehidupan masyarakat. Oleh karena agama juga mengandung komponen
ritual, maka sebagian agama tergolong dalam struktur sosial bahkan
budaya suatu masyarakat. Agama tidak hanya dipandang sebagai acara
ritual bersifat rohani yang berurusan dengan akhirat semata, tetapi
memasuki area struktur sosial dan budaya para pemeluknya. Tegasnya,
ada hubungan yang erat antara agama dengan struktur sosial dan budaya
pemeluk agama tersebut. Sehingga antara masyarakat yang satu dengan
yang lain tidak bisa menghindari untuk berinteraksi di antara mereka.
Keberadaan berbagai fenomena komunikasi antaragama antara
masyarakat Islam dan Kristen di kota ini khususnya di RW–06 & 07 dan
umumnya di Kelurahan Labuhbaru Timur Kecamatan Payung Sekaki
Pekanbaru mencerminkan kompleksitas keagamaan masyarakat.
Kompleksitas tersebut bisa digambarkan sebagaimana berikut ini;
Pertama, umumnya masyarakat cenderung memiliki prasangka buruk,
antara pemeluk agama Kristen dengan Islam begitu pula sebaliknya.
Kedua, adanya beberapa isu penyebaran agama yang sering diistilahkan
dengan istilah ”Kristenisasi” dan “Islamisasi” yang ada di kalangan
mereka. Ketiga, dalam berinteraksi sering ditemui bahwa masyarakat
Islam dan Kristen memiliki sikap dan perilaku tertutup, saling curiga,
streotip, saling tidak percaya, dan terkadang terjadi konflik-konflik laten
serta sikap berkomunikasi yang konfrontatif. Keempat, antara kedua
penganut agama ini sering terdapat perasaan cemas, takut dan benci
antara pemeluk agama yang satu dengan yang lain. Kelima, dalam
perilaku keseharian, sering terjadi bentuk kesenjangan dan pengambilan
jarak dalam pergaulan sosial antara agama Islam dan Kristen.
2
Selain itu, kompleksitas fenomena dalam proses komunikasi
antaragama masyarakat di atas sebenarnya terlihat juga melalui beberapa
faktor interen umat penganut suatu agama dan eksteren pemeluk agama
itu sendiri. Fenomena di atas tidak bisa dipungkiri keberadaannya dalam
kehidupan dan aktifitas maupun perilaku komunikasi antaragama yang
dilakukan masyarakat di Kelurahan Labuhbaru Timur Kecamatan Payung
Sekaki Pekanbaru. Problematika yang begitu rupa tentang kehidupan
antaragama dalam masyarakat seperti di atas menyimpan sejumlah gejala
yang kerap kali susah ditebak.
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang ada, maka penelitian ini
mempunyai beberapa tujuan yaitu:
1. Untuk mengetahui pola komunikasi sosial antara masyarakat Islam
dan Kristen di Kelurahan Labuhbaru Timur Kecamatan Payung Sekaki
Kota Pekanbaru.
2. Untuk mengetahui tipologi komunikator antaragama baik masyarakat
Islam maupun Kristen di Kelurahan Labuhbaru Timur Pekanbaru.
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan berupa
temuan-temuan yang dapat menjadi titik awal bagi penelitian komunikasi,
lebih khusus bagi pengembangan kajian komunikasi antaragama. Selain
itu, penelitian ini berguna sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi
para tokoh agama maupun pemerintah dalam proses pengambilan
keputusan, penetapan strategi, kebijakan, dan tindakan komunikasi
khususnya berkenaan dengan komunikasi antaragama.
3
Perspektif yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan
penelitian adalah dengan paradigma konstruktivis. Pendekatan yang
digunakan oleh Berger ini berdekatan dan memiliki kesamaan dengan
interaksionisme simbolik. Tesis utama dari Berger (1966) adalah manusia
dan masyarakat adalah produk dialektis, dinamis dan plural secara terus
menerus. Dengan kemampuan berpikir dialektis, dimana terdapat tesa,
antitesa dan sintesa, Berger memandang masyarakat sebagai produk
manusia dan manusia sebagai produk masyarakat, yang tentunya melalui
komunikasi (Berger & Luckmann, 1990:87).
Proses dialektis tersebut berlangsung dalam suatu proses tiga
tahapan –Berger menyebutnya sebagai “momen”. Pertama, eksternalisasi,
yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik
dalam kegiatan mental maupun fisik. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang
telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi
manusia tersebut. Ketiga, internalisasi yaitu penyerapan kembali dunia
objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektivitas
individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial.
Bagi Berger, realitas tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga
sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan
dikonstruksi. Oleh karena itu peneliti menggunakan paradigma
konstruktivis. Dalam hal ini, ada dua karakteristik penting dari paradigma
ini. Pertama, paradigma konstruktivis menekankan pada politik
pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran
tentang realitas. Kedua, paradigma ini memandang kegiatan komunikasi
sebagai proses yang dinamis. Selain itu pendekatan ini terutama
memandang bahwa kehidupan sehari-hari adalah kehidupan melalui dan
dengan bahasa. Bahasa tidak hanya mampu membangun simbol-simbol
yang diabstraksikan dari pengalaman sehari-hari, melainkan juga
“mengembalikan” simbol-simbol itu dan menghadirkan sebagai unsur yang
objektif dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk membuat penelitian ini lebih komprehensif, penelitian ini
menggunakan suatu persepektif atau kerangka konseptual yang dikenal
dengan nama Interaksionisme Simbolik. Perspektif ini berusaha untuk
memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Manusia
bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-
objek di sekeliling mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang
lain, situasi, objek, dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan
perilaku mereka.
4
Menurut pandangan Interaksi simbolik, seperti ditegaskan Herbert
Blumer (1969) bahwa proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang
menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang
menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Dalam konteks ini,
makna dikonstruksikan dalam proses interaksi, dan proses tersebut
bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan
sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi dari
organisasi sosial dan kekuatan sosial. Tegasnya, masyarakat adalah
proses interaksi simbolik (Mulyana, 2001:70). Penggunaan simbol yang
meliputi makna dan nilainya, tidak berlangsung dalam satuan-satuan kecil
yang terisolasi, melainkan terkadang dalam satuan (setting) yang lebih
besar dan kompleks.
Perspektif interaksionisme simbolik secara singkat dapat dasarkan
pada tiga premis dasar. Pertama, individu merespons suatu situasi
simbolik. Mereka merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan
objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung
komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Individu
dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri. Kedua,
makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat
pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.
Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke
waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi
sosial. Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat
melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri
(Mulyana, 2001:72).
Sesuai dengan pemikiran di atas, model komunikasi dalam
penelitian ini adalah model interaksional (Fisher, 1986:242). Beberapa
konsep penting yang digunakan dalam model ini adalah diri (self), diri
yang lain (others), simbol, makna, penafsiran, dan tindakan. Model
komunikasi interaksional ini sebenarnya sangat sulit untuk digambarkan
dalam suatu model diagramatik, karena sifatnya yang kualitatif,
nonsistemik, dan nonlinier. Model verbal lebih sesuai digunakan untuk
melukiskan model ini (Mulyana, 2001:159-161).
Blumer (dalam Fisher, 1986:241) dalam hal ini mengemukakan tiga
premis yang menjadi dasar model ini. Pertama, manusia bertindak
berdasarkan makna-makna yang diberikan individu terhadap lingkungan
sosialnya (simbol verbal, simbol nonverbal, lingkungan fisik). Kedua,
makna didapatkan dan berhubungan langsung dengan interaksi sosial
yang dilakukan individu dengan lingkungan sosialnya. Ketiga, makna
diciptakan, dipertahankan, diubah dan dikembangkan lewat proses
5
penafsiran yang dilakukan individu dalam berhubungan dengan
lingkungan sosialnya. Oleh karena individu terus berubah, maka
masyarakat pun ikut berubah melalui interaksi.
8
Persaingan dengan latarbelakang keagamaan di masyarakat sulit
dipisahkan dengan persaingan antar etnis/kesukuan. Persaingan ini erat
kaitannya dengan motif ekonomi, hal ini seiring dengan daya tarik Kota
Pekanbaru itu sendiri. Kota Pekanbaru sendiri mengalami tingkat
pertambahan penduduk pendatang yang cukup tinggi, khususnya yang
berasal dari Provinsi Sumatra Utara dan Sumatra Barat serta dari daerah
lainnya. Meskipun secara fisik tidak nampak, namun apabila diamati
secara lebih mendalam, persaingan ini memang ada dan berjalan terus,
dan kebanyakan tidak teramati secara jelas di permukaan.
Komunikasi dalam bentuk persaingan dalam batas-batas tertentu
juga memembentuk tingkah laku individu dan menciptakan masyarakat
yang sehat. Sebagai bentuk persaingan yang sehat, dibutuhkan suatu
usaha yang kreatif oleh masing-masing masyarakat Islam dan Kristen.
Bersaing atau berlomba-lomba untuk kebaikan, bentuk persaingan yang
konstruktif. Bila dikaji secara mendalam persaingan dapat mendorong dan
merangsang individu dan kelompok agama ini untuk lebih maju. Sehingga
dengan adanya persaingan antara Islam dan Kristen, masing-masing
kelompok agama dapat secara konstruktif membangun peradaban yang
damai di wilayah ini dengan ciri yang tersendiri sesuai lokalitas di mana
masyarakat ini berada.
Pola komunikasi persaingan ini memang didasarkan pada
pengaruh agama itu sendiri terhadap masyarakat. Memang agama
sepertinya mempunyai peranan dalam mengatur seseorang harus
berkomunikasi dengan siapa, apa yang boleh dikomunikasikan, dan
bagaimana ia harus berkomunikasi dan sikap atau perlaku lainnya.
Sehingga keseluruhan perilaku memang selalu didasarkan pada
penafsirannya terhadap simbol-simbol atau perintah agama yang
dianutnya. Melalui komunikasi dengan persaingan ini masing-masing
individu masyarakat kemudian menciptakan tipe kemasyarakatan dan
kebudayaan yang ada di Labuhbaru Timur.
c. Komunikasi Melalui Konflik
Pola komunikasi melalui konflik yang terjadi di daerah Labuhbaru
Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru antara masyarakat Islam dan
Kristen tidak nampak secara langsung. Konflik yang sering muncul adalah
ketika masalah sosial seperti perkelahian antar remaja, konflik antar
tetangga dan umumnya hanya tampak secara laten. Ada sedikit
persamaan antara konflik dengan persaingan –seperti yang dijelaskan
sebelumnya—terletak pada fokus dan cara mencapai tujuan. Dalam
persaingan, fokus primer adalah tujuan dan interaksinya sesuai dengan
aturan dan tatacara yang secara membudaya telah dirumuskan dan
cenderung lebih bermanfaat bagi masing-masing kelompok agama. Dalam
konflik, fokusnya adalah pada permusuhan, pemusnahan, dan
9
memperlemah daya atau kemampuan masyarakat dari agama yang lain,
sehingga cara yang kurang bersih pun dapat digunakan untuk mencapai
tujuan. Konflik dalam mencapai kemenangan, berfokus pada usaha
mengurangi jumlah pemeluk agama yang lain, sedangkan persaingan
fokusnya bukan pada pengurangan masyarakat agama lain, tetapi pada
tujuan dan pencapaiannya untuk bisa berlomba-lomba secara konstruktif
tanpa melemahkan agama lain.
Komunikasi dengan latar perbedaan agama sering diwarnai oleh
sikap benci, permusuhan dan bahkan mengarah kepada perilaku konflik
nyata. Bentuk komunikasi antaragama, baik harmonis maupun konflik
lebih sering ditimbulkan oleh faktor kepentingan sosial-politik, ekonomi,
dan budaya, namun juga terkadang tidak terlepas dari faktor keagamaan.
Untuk membina masyarakat yang pluralis-multikultural dan tanpa konflik
dengan memelihara komunikasi yang harmonis antara komunitas-
komunitas yang berbeda agama, sepertinya faktor keagamaan tidak bisa
diabaikan.
11
Proses komunikasi antaragama yang diperankan oleh para tokoh
keagamaan di masyarakat Islam dan Kristen bisa berbentuk nasehat-
nasehat, ceramah-ceramah, atau khotbah-khotbah yang mereka berikan
kepada jemaahnya. Keberadaan tokoh keagamaan dalam komunikasi
antara masyarakat Islam dan Kristen merupakan orang yang menjadi
bagian pembentuk konsep diri seseorang. Orang yang dikagumi, disegani
dan dijadikan antutan bagi masyarakat sering menjadi sarana untuk
mengetahui secara luas tentang ajaran keagamaan bagi yang memiliki
kedangkalan dalam ilmu agama.
Kegiatan masyarakat yang berkenaan dengan ajaran, upacara
kebaktian, pernikahan, pemakaman, dan ritual keagamaan lainnya,
dibawa kepada dan diselesaikan oleh pemimpin agama yang
bersangkutan. Begitu juga dengan perilaku agama dan sosial masing-
masing pemeluk agama mereka dasarkan pada ajaran agama yang
mereka peroleh dari tokoh-tokoh agama tersebut. Namun akhirnya, sikap
dan perilaku masing-masing pemeluk ini, pada prinsipnya dikembalikan
pada diri masyarakat sesuai dengan motivasi, psikologis, lingkungan dan
dimana mereka berada. Berkaitan dengan ini, umumnya ditemukan bahwa
masing-masing tokoh kedua agama ini masih mengajarkan/menunjukkan
ajaran agama yang eksklusif kepada jemaahnya, jarang sekali peneliti
menemukan bentuk perintah/ajaran agama yang menghormati pemeluk
agama yang lain.
f. Komunikasi Melalui Peran Pemerintah
Masyarakat Kelurahan Labuhbaru Timur Pekanbaru adalah
masyarakat yang majemuk dari segi agama maupun etnis dan budaya.
Oleh karena itu, proses komunikasi antar pemeluk agama yang berbeda
juga ditentukan oleh peran-peran pemerintah setempat. Keberadaan
aparat pemerintah memang tidak bisa diabaikan dalam menciptakan
keharmonisan dan jalannya komunikasi antar masyarakat yang berbeda
agama di kelurahan ini.
Berbagai peraturan pemerintah dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat menentukan jslsnnys proses kehidupan dalam beragama
dan berkomunikasi dengan pemeluk agama yang berbeda. Urusan-urusan
kemasyarakatan, dari pembuatan akte kelahiran, urusan pernikahan, izin
mendirikan bangunan, hingga pemilihan-pemilihan pemimpin masyarakat
tentu berurusan dengan pemerintah setempat.
Terkait dengan ini peran aparat pemerintahan dalam komunikasi
antaragama di masyarakat memang menentukan dan tidak bisa
diabaikan. Ini menujukkan bahwa memang setiap struktur kekuasaan
12
terdapat orang-orang dan kelompok yang berperan sebagai pengarah,
perangsang, pendukung, atau pembentuk fungsi-fungsi lainnya yang
mempengaruhi anggota masyarakat untuk bertindak, melalui kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan. Fungsi atau peranan seperti itu diperankan
oleh beberapa pemimpin kemasyarakatan, pemegang kekuasaan, elit
kekuasaan yang ada, hal ini bisa dilihat dari kepemimpinan yang ada yaitu
dari tingkat yang paling rendah RT, RW, Lurah Labuhbaru Timur, Camat
Payung Sekaki, Walikota Pekanbaru, Gubernur Riau, hingga tingkat
kekuasan yang dikendalikan oleh pusat pemerintahan yang dipimpin oleh
Presiden.
13
14
Gambar 1 : Tipologi komunikator masyarakat Islam dan Kristen yang ada
di Kelurahan Labuhbaru Timur Pekanbaru
Sumber : Diolah dari Lapangan
b. Komunikator Toleran
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, pertemuan antar
pemeluk agama Islam dan Kristen memang tidak bisa dihindarkan lagi.
Proses pertemuan biasa dilalui dengan tegur-sapa, saling melempar
senyum, dan proses interaksi dalam kehidupan bertetangga atau
bermasyarakat lainnya. Dalam pertemuan atau komunikasi yang dilakukan
antar pemeluk agama ini agama tidak menjadi topik perbincangan antar
mereka. Umumnya yang menjadi topik pembicaraan adalah tentang sosial
kemasyarakatan. Dan inilah yang menjadi dasar bagi mayoritas informan
yang berjumlah sekitar 12 dari total keseluruhan informan. Sehingga
15
mereka (komunikator itu) dapat diposisikan pada pola toleran ini, karena
mereka mentoleransi pada hal-hal tertentu saja yaitu sosial
kemasyarakatan, namun tidak untuk wilayah keagamaan.
Komunikator antaragama yang toleran ini umumnya diangkat dari
sikap komunikator baik dari masyarakat Islam maupun yang Kristen yang
membedakan antara wilayah keagamaan dan masalah kemasyarakatan.
Memang agama merupakan bagian dari kehidupan yang tidak terlepas
dari masyarakat, akan tetapi mereka cenderung memisahkan diri mereka
dengan orang yang beragama lain atas dasar agama pada batas-batas
tertentu.
Selain itu, pola ini umumnya berdasarkan pada sikap atau perilaku
komunikator baik Islam mapupun Kristen yang menganggap agama
terkadang bukan berarti menjadi penghalang bagi persahabatan dan
kerjasama antara mereka. Masing-masing umat beragama biasanya
menganggap bahwa urusan agama merupakan urusan pribadi dan Tuhan.
Orang lain tidak berhak untuk ikut campur.
c. Komunikator Pluralis
Penggolongkan komunikator pluralis berdasarkan sikap dan
perilaku dari beberapa informan yang berjumlah sekitar empat orang.
Jumlah informan pada pola pluralis ini berjumlah paling sedikit dari total
keseluruhan informan yang ada. Sebagian dari informan yang digolongkan
pada pola ini merupakan peserta komunikasi antaragama di Labuhbaru
Timur yang secara umum dapat menerima perbedaan agama yang ada.
Selain itu, mereka memang mampu berkerjasama, selalu berusaha
memahami perbedaan yang ada, dan juga memahami simbol-simbol
agama orang lain, atau jika mereka tidak mengetahui mereka akan selalu
langsung menanyakan kepada yang bersangkutan.
Peserta komunikasi antaragama atau informan pada pola pluralis
umumnya menganggap bahwa memang sudah kenyataan bagi masing-
masing individu masyarakat untuk hidup dengan saling tergantung antara
satu dengan lain di dunia ini. Sehingga kedua kelompok masyarakat ini
saling memperhitungkan satu sama lain, sebagai suatu bagian yang tidak
terpisahkan. Jadi tidak ada bentuk saling curiga-mencurigai antar sesama
masyarakat yang berbeda agama. Tetapi kalau bisa di antara masyarakat
yang berbeda ini dapat saling berbuat baik dan mendoakan.
Sikap saling mendo’akan agar masyarakat dapat menyadari
perbedaan, merupakan salah satu ciri pola pluralis ini. Hal ini terkait agar
di antara masyarakat ini tidak terjadi saling mencurigai. Kedua komunitas
atau komunikator ini saling siap untuk bergerak dari suatu hubungan yang
cendrung berkonflik menuju pola komunikasi yang didasarkan pada niat
baik dan saling percaya serta untuk saling memahami dalam kenyataan
yang lebih konkrit. Hanya dalam tingkat inilah—tingkat interaktif dan
praktis—Kristen dan Islam menjadi apa yang didambakan oleh kedua
komunitas ini. Walaupun kenyataan yang ditemukan belum begitu banyak
tampak di masyarakat kedua pemeluk agama ini.
Tingkat kecurigaan dan streotip dari para peserta komunikasi pada
pola ini sudah bisa diminimalisir oleh kemampuan mereka untuk berpikir
16
rasional dan baik terhadap permasalahan hubungan antarmasyarakat
yang berbeda agama. Tegasnya mereka dapat membedakan sikap
kecurigaan yang berlebihan dengan sikap kewaspadaan sebagai sikap
yang manusiawi. Di samping itu, mereka memang selalu bertindak dengan
mendasarkan pada penafsirannya pada nilai-nilai universalisme, nilai
kemanusiaan, yang tidak membedakan siapa pun dan dari agama
apapun.
Tabel 1
Tipologi Komunikator Antaragama Masyarakat Islam dan Kristen
di Kelurahan Labuhbaru Timur Kota Pekanbaru
17
Komunikator Terbuka pada yang lain, Diri bagian Mengakui
Pluralis memahami yang lain dari yang lain dengan
Aktif berkomunikasi Diri mencari berkoeksisten
Interpretif/Liberal kebenaran si
Orientasi masa lalu, apa yang Yang lain
sekarang dan masa tidak sama
depan diketahui sepertinya
Memiliki kebersamaan (berproses
Mementingkan aktif)
hubungan nilai
kemanusiaan universal
V. PENUTUP
Temuan-temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pola komunikasi
antara masyarakat Islam dan Kristen di Labuhbaru Timur diwarnai oleh
berbagai bentuk pandangan, sikap dan perilaku komunikasi sesuai
karakteristik yang ada pada masyarakat tersebut. Melalui proses
mempersepsi, sikap dan tindakan-tindakan kedua kelompok masyarakat
ini memunculkan dan menciptakan adanya pola komunikasi masyarakat
tersebut sesuai ciri-ciri yang ada. Pola-pola komunikasi tersebut dapat
ditemukan dalam bentuk komunikasi melalui kerjasama, konflik,
persaingan, dominasi agama tertentu, peran tokoh agama, dan peran
aparat pemerintahan. Terkait dengan itu semua, penelitian ini juga
menemukan tiga tipe komunikator antaragama yang ada pada masyarakat
Islam dan Kristen di Kelurahan Labuhbaru Timur dengan bentuk
konstruksi tipologi komunikator eksklusifis, toleran dan pluralis.
Sehingga proposisi penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi
antara pemeluk agama Kristen dan Islam di Kelurahan Labuhbaru Timur
Pekanbaru dapat ke arah membaik dan dapat pula memburuk. Hal ini
sangat terkait erat dengan orientasi masa depan dan kemampuan masing-
masing komunikator untuk menciptakan sebuah komunikasi yang baik
antar pemeluk agama Islam dan Kristen. Semakin mengarah kepada pola
pluralis dangan sikap moderat dan progresif, semakin kecil kemungkinan
masyarakat ini mengarah kepada hubungan yang memburuk. Sebaliknya,
semakin eksklusif, tertutup dan berorientasi kepada masa lalu
masyarakat, semakin besar kemungkinan masyarakat mengarah kepada
komunikasi yang diwarnai konflik-konflik laten maupun terbuka.
18
Saran penelitian ini adalah masyarakat Islam dan Kriosten di
Kelurahan Labuhbaru Timur dan umumnya di Kota Pekanbaru sudah
selayaknya menyadari peran mereka masing-masing untuk dapat
menciptakan suatu kehidupan bermasyarakat yang saling berkomunikasi
tanpa adanya rasa curiga, cemooh, kesalahpahaman dan lain sebagainya.
Tokoh-tokoh agama baik dari kalangan masyarakat Islam dan Kristen
sudah selayaknya dapat memerankan kepemimpinan mereka untuk
membangun akan kesedaran mental dan spiritual masing-masing
jemaahnya. Ketokohan yang dimiliki bukan untuk memotivasi masyarakat
awam untuk membenci agama orang lain. Kegiatan komunikasi, dialog
dan pembicaraan tentang pemecahan masalah kemasyarakatan sudah
selayaknya dilakukan lebih intesif oleh masing-masing pemimpin agama
ini.
Pemerintah sudah semestinya menggunakan wewenang yang
dimiliki bukan untuk membangun masyarakat yang mayoritas saja,
melainkan bagi seluruh kelompok agama, etnis dan suku yang lain.
Kebijakan-kebihjakan yang dikeluarkan oleh legislatif dan yang
dilaksanakan oleh ekskutif sudah selayaknya dapat mengayomi dan tidak
mendiskriminasikan kelompok agama manapun, yang bisa membuat
kecemburuan bagi kelomok agama yang lain.
Akhirnya, secara metodologis penelitian ini hendaknya bisa
ditindaklanjuti dengan berbagai pendekatan lainnya, sehingga dapat
mengembangkan penemuan penelitian yang sudah ada seperti dengan
pendekatan kuantitatif melalui pengujian pola komunikasi atau pun tipologi
komunikator yang ditemukan.
DAFTAR PUSTAKA
Berger, Peter L., & Luckmann, Thomas, 1990, Tafsir Sosial atas
Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, LP3ES,
Jakarta.
Cresswell, Jhon W., 1998, Qualitative Inquiry and Research Design;
Choosing Among Five Tradition, Sage Publication, California.
Fisher, B. Aubrey, 1986, Teori-Teori Komunikasi, Penerj. Soejono Trimo,
Remaja Rosdakarya, Bandung.
19
Liliweri, Alo, 2003, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, LkiS,
Yogyakarta.
Liliweri, Alo, 2003, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Lincoln, Yovonna S., and Guba Egon G., 1985, Naturalistic Inquiry, Sage
Publication, London.
Littlejohn, Stephen W., 1999, Theories of Human Communication, 6th
Edition, Wadsworth Publishing Company, Belmont, USA.
Moleong, Lexy J., 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Miles, Mathew B., & Huberman, A Micheal, 1992, Analisis Data Kualitatif;
Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, Penerj. Tjetjep
Rohendi Rohidi, UI Press, Jakarta.
Mulyana, Deddy, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru
Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaluddin, 2001, Komunikasi Antarbudaya;
Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya,
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Yin, Robert K., 1981, Case Study Research: Design and Methods, Sage
Publication, London.
20