You are on page 1of 16

39

BAB IV
ENDAPAN BATUBARA
4.1 Pembahasan Umum
Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa
tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami
proses fisika dan kimia dan mengakibatkan pengayaan pada kandungan karbon (Wolf,
1984 dalamAnggayana, 2002). Pembentukan batubara secara umum terbagi atas dua
proses utama. Pembentukan batubara diawali dengan proses penggambutan
(peatification) dari sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi pada lingkungan reduksi,
kemudaian dilanjutkan dengan proses pembatubaraan (coalification) secara biologi,
fisika dan kimia yang terjadi akibat pengaruh sedimen yang membebaninya
(overburden), tekanan, temperatur dan waktu.
Gambar 4.1 Proses terbentuknya batubara (Anggayana, 2002)
Karakter batubara yang berbeda sangat bergantung terhadap jenis tumbuhan
purba, lokasi tumbuh dan berkembang biak tumbuhan, lingkungan pengendapan
tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta keadaan geologi daerah
setempat. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami lapangan batubara (coal
field) dan lapisannya (seam coal).
40
4.2 Pembentukan Batubara
Proses pembentukan batubara secara umum terbagi atas dua bagian utama, yaitu:
a. Proses Penggambutan (Peatification)
Gambut adalah sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari tumpukan
hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam kondisi tertutup
udara (di bawah air), tidak padat, memiliki kandungan air lebih dari 75% massa dan
kandungan mineral lebih kecil dari 50% dalam kondisi kering (Wolf, 1984 dalam
Anggayana, 2000).
Proses penggambutan ini merupakan proses awal pembentukan batubara. Pada
proses ini terjadi proses microbial dan biochemical. Oleh karena itu, factor utama dalam
proses ini adalah kandungan miktoorganisme / bakteri. Mikroorganisme yang berperan
juga sangat khusus yaitu mikroorganisme anaerob. Saat tumpukan sisa tumbuhan berada
pada kondisi basah (di bawah air, tidak seluruhnya berhubungan dengan udara),
sehingga kondisi oksigen yang cukup rendah, bakteri aerob tidak dapat hidup. Oleh
karena itu, bakteri anaerob yang berkembang dan menguraikan sisa tumbuhan tersebut
menjadi gambut.
b. Proses Pembatubaraan (Coalification)
Proses pembatubaraan adalah proses pembentukan batubara dari gambut yang
telah terbentuk. Dengan kata lain, proses ini merupakan proses perkembangan gambut
melalui lignit, subbituminous dan bituminous menjadi antrasit serta meta-antrasit
(Anggayana, 2002).
J ika lapisan gambut yang terbentuk, kemudian ditutupi oleh sedimen di atasnya,
maka bakteri anaerob akan mati. Lapisan gambut tersebut akan mendapat peningkatan
tekanan, peningkatan temperatur. Faktor yang mempengaruhi peningatan temperature ini
antara lain pertambahan kedalaman, kehadiran intrusi, proses vulkanisme dan aktivitas
tektonik.
Reaksi pembentukan batubara adalah:
5(C
6
H
10
O
5
) C
20
H
22
O
4
+3CH
4
+8H
2
O +6CO
2
+CO
Cellulose Lignit Gas Metan
41
Keterangan:
Cellulose : Zat organik yang merupakan zat pembentuk batubara
Kenaikan tekanan dan temperatur pada lapisan gambut cenderung akan menghasilkan
lignit atau batubara muda. Hasil dari reaksi di atas juga menggambarkan terjadinya
pelepasan air (H
2
O) dan gas karbondioksida (CO
2
), gas metan (CH
4
) dan gas karbon
monoksida (CO). Selain itu terjadi peningkatan kepadatan batubara, kekerasan batubara,
serta peningkatan kalori.
Klasifikasi batubara berdasarkan asal tumbuhan pembentuk gambut (Sudarsono,
2000), yaitu:
1. Batubara Autochtone, batubara yang berasal dari tumbuhan yang tumbang di tempat
tumbuhnya. Setelah tumbuhan mati dan belum mengalami transportasi lalu segera
ditutupi oleh lapisan sedimen dan selanjutnya mengalami proses pembatubaraan.
J enis batubara yang terbentuk memiliki penyebaran yang cukup luas dan merata,
kulaitasnya lebih baik karena kadar abu sedikit.
2. Batubara Allochtone, batubara yang berasal dari tumbuhan yang tertransportasi serta
terendapkan di hilir sungai. Saat terakumulasi di suatu tempat, kemudian sedimen
menutup sisa tumbuhan lalu mengalami proses pembatubaraan. J enis batubara yang
terbentuk dengan cara ini memiliki penyebaran yang tidak luas, tetapi dijumpai di
beberapa tempat. Kualitas batubara yang terbentuk relative kurang baik, karena
banyak mengandung material pengotor yang tertransportasi bersama dengan sisa
tumbuhan dan diendapkan bersama-sama sewaktu pengendapan batubara.
4.3 Lingkungan Pengendapan Batubara
Kualitas dan kuantitas batubara sangat bergantung pada lingkungan pengendapan
batubara. Lingkungan pengendapan batuabara yang berbeda dapat mengakibatkan
variasi ketebalan penyebaran lateral, komposisi dan kualitasnya. Horne (1978) membagi
klasifikasi lingkungan pengendapan utama batubara di daerah pantai, yaitu:
1. Lingkungan back barrier: Lingkungan ini menghasilkan karakter endapan batubara
seperti lapisan batubara yang tipis, pola penyebaran yang memanjang sejajar sistem
penghalang atau sejajar jurus lapisan, bentuk perlapisan berlembar karena
42
dipengaruhi tidal channel setelah pengendapan atau bersamaan dengan proses
pengendapan, kandungan sulfur tinggi, sehingga kurang ekonomis untuk ditambang.
Urutan stratigrafi pada lingkungan ini dicirikan oleh batulempung dan batulanau
berwarna abu-abu gelap yang kaya akan material organik, kemudian ditutupi oleh
lapisan tipis batubara yang tidak menerus atau zona sideritik dengan burrowing.
Semakin ke arah laut akan ditemukan batupasir kuarsitik, sedangkan ke arah daratan
terdapat batupasir greywacke dari lingkungan fluvial-deltaik.
2. Lingkungan lower delta plain: lingkungan ini menghasilkan karakter batubara
seperti lapisan batubara tipis, kandungan sulfur bervariasi, pola sebaran umumnya
sepanjang channel atau jurus pengendapan, bentuk lapisan ditandai oleh hadirnya
splitting oleh endapan creavase splay, tersebar meluas cenderung memanjang jurus
pengendapan, tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel bentuk
lapisan batubara. Endapan pada daerah ini didominasi oleh urutan butiran mengkasar
ke atas yang tebal. Pada bagian atasnya terdapat batupasir dengan struktur sedimen
ripple mark.
3. Lingkungan transitional lower delta plain: Pada lingkungan ini ditandai dengan
perkembangan rawa yang ekstensif. Karakter batubara pada lingkungan ini yaitu
lapisan batubara yang tebal, kandungan silfur rendah, lapisan batuabra tersebar
meluas dengan kecenderungan agak memanjang sejajar dengan jurus pengendapan.
Splitting juga berkembang akibat channel kontemporer dan washout oleh aktivitas
channel subsekuen. Batuan sedimen berbutir halus pada bagian bay fill sequences
lebih tipis daripada di bagian lower delta plain. Pada zona ini terdapat fauna air
payau dan laut dan banyak dijumpai burrowing.
4. Lingkungan upper delta plain-fluvial: Karakter batubara yang dihasilkan adalah
lapisan batubara yang tebal, kandungan sulfur rendah, lapisan batubara terbentuk
sebagai tubuh-tubuh pod-shaped pada bagian bawah dari dataran limpah banjir yang
berbatasan dengan channel sungai bermeander. Penyebarannya meluas cenderung
mamanjang sejajar kemiringan pengendapan, tetapi kemenerusan secara lateral
sering terpotong channel atau sedikit yang menerus, bentuk batubara ditandai
hadirnya splitting akibat channel kontemporer dan washout oleh channel subsekuen.
43
Urutan stratigrafinya didominasi oleh tubuh batupasir yang menerus untuk
lingkungan backswamp, terdiri dari urutan batubara, batulempung dengan banyak
fosil tumbuhan dan sedikit moluska air tawar, batulanau, batulempung serta
batubara.
Berdasarkan kontrol lingkungan pengendapannya, secara garis besar batubara
yang tipis umumnya diendapkan pada lingkungan back barrier dan lower delta plain.
Untuk endapan batubara yang tebal, umumnya diendapkan pada lingkungantransitional
lower delta plain dan upper delta plain-fluvial.
4.4 Analisis Kualitas dan Klasifikasi Batubara
Terdapat dua jenis analisis kualitas batubara yang utama, yaitu analisis proksimat
dan analisis ultimat. Analisis proksimat umumnya dilakukan oleh perusahaan
pertambangan dan pembeli batubara. Analisis proksimat digunakan untuk menentukan
kelas (rank) batubara. Analisis proksimat terdiri atas empat parameter utama, yaitu kadar
lengas (total moisture), kadar abu (ash content), zat terbang (volatile matter), dan karbon
tertambat (fixed carbon).
Lengas yang terdapat pada batubara dapat menempel di permukaan partikel
batubara. Ada tiga jenislengas, yaitu
1. Lengas bebas (free moisture), lengas yang menempel di permukaan batubara, berasal
dari air hujan, air semprotan dan mudah menguap dalam kondisi laboratorium.
2. Lengas inheren (inheren moisture), lengas yang terdapat dalam kapiler dan dalam
mineral. Lengas ini ini dapat terlepas bila dipanasi pada suhu 105C - 110C.
3. Lengas total (total moisture), jumlah lengas bebas ditambah dengan lengas inheren.
Kadar abu didefiniskan sebagai residu anorganik yang terjadi setelah batubara
dibakar pada suhu 815
o
C dan dialirkannya udara secara lambat ke dalam tungku. Makin
banyak mineral, makin tinggi kadar abunya. Zat terbang adalah bagian dari batubara
yang menguap pada saat batubara dipanaskan tanpa udara (dalam tungku tertutup) pada
suhu 95025
o
C. Karbon tertambat (fixed carbon) diperoleh dari 100% dikurangi dengan
jumlah kadar lengas, kadar abu, dan zat terbang.
44
Analisis ultimat merupakan cara sederhana untuk menunjukkan unsur pembentuk
batubara dengan mengabaikan senyawa kompleks yang ada dan hanya dengan
menentukan unsur kimia pembentuk yang penting. Ada lima unsur utama yang
membentuk batubara yaitu karbon, hydrogen, sulfur, nitrogen, oksigen, dan fosfor.
Kandungan sulfur sangat umum dijumpai dalam endapan batubara, yaitu:
1. Pirit (FeS
2
), terjadi dalam bentuk makrodeposit (lensa, vein, joint).
2. Sulfur Organik, jumlahnya 20 % - 80 % dari sulfur total. Secara kimia terikat dalam
batubara.
3. Sulfur Sulfat, umumnya berupa kalsium sulfat dan besi sulfat dengan jumlah yang
kecil.
Rank (peringkat) digunakan untuk menyatakan tahapan yang telah dicapai oleh batubara
dalam urutan proses pembatubaraan. Sebagai contoh, rank batubara di Amerika Serikat
dan Indonesia menggunakan standarisasi dari ASTM (American Society for Testing
Material).
Tabel 4.1 Klasifikasi Rank Batubara (ASTM, 1981 dalam Wood et al., 1983)
45
4.5 Endapan Batubara daerah penelitian
Pemetaan geologi yang dilakukan di Daerah Negeriagung, Lahat, Provinsi
Sumatera Selatan memberikan hasil bahwa endapan batubara di daerah penelitian
terdapat pada Satuan Batupasir. Satuan ini merupakan satuan pembawa batubara (coal
bearing) dan berdasarkan kemiripan litologi, maka satuan ini disetarakan dengan
Formasi Muara Enim(Pertamina-Beicip, 1992).
Batubara yang ditemukan di daerah penelitian umumnya berupa sisipan,
berwarna abu-abu kehitaman, kilap dull banded, gores abu-abu kehitaman, berat
moderate, kekerasan moderate hard, struktur blocky banded, belahan subconchoidal-
irregular, dengan pengotor berupa pirit dan sulfur.
Rekonstruksi penampang geologi dapat memberikan penyebaran vertikal suatu
lapisan batuan. Penyebaran batubara di daerah penelitian sangat terbatas, karena jumlah
singkapan yang sangat minimumdan keterbatasan melintasi daerah penelitian karena
daerah penelitian termasuk dalam Kuasa Pertambangan (KP) Batubara. Perusahaan
batubara yang terdapat di daerah penelitian diantaranya yaitu PT. Bara Alam Utama, PT.
Bara AlamSelaras. Ketebalan batubara di daerah penelitian relatif tebal mencapai 3
meter - 4,8 meter dengan kemiringan 18-71(landai-terjal).
Pada daerah penelitian ditemukan empat titik singkapan batubara dengan pola
jurus lapisan berarah relatif baratlaut-tenggara. Singkapan batubara dijumpai pada
sungai Aek Serelo dan daerah Kuasa PertambanganPT. Bara Alam Utama.
Tabel 4.2Data singkapan batubara daerah penelitian
No. Seam Lokasi Pengamatan Kedudukan Lapisan Ketebalan
1 A SRL-7 N 108E/18 4,5m
2 B SND-2 N 265E /65 3,2m
3 B
SNP-04 N269E/71
3,1m
4 C SNP-04 N269E/71 3m
5 C SNP-03
N273E/25
4,8m
46
Berdasarkan pola penyebaran singkapan batubara dan karakter lapisan batubara
yang diamati di lapangan dan pemboran, disimpulkan bahwa di daerah penelitian
ditemukan tigalapisan (seam) batubara (Lampiran G-4) dengan variasi ketebalan antara
3, m 4,8mdengan urutan tua ke muda yaitu Seam A, Seam B danSeam C. Semua seam
batubara menjanjikan untuk dihitung jumlah sumberdayanya ditinjau dari segi ketebalan
lapisannya (lebih dari 50 cm).
4.5.1 Seam Batubara A
Batubara pada seam A ditemukan pada pada lokasi pengamatan singkapan SRL-
7 (Foto 4.1). Ketebalan batubara pada seam ini mencapai 4,5 m dengan ciri-ciri yaitu
berwarna hitam kecoklatan, kilap dull banded, gores coklat kehitaman, berat moderate,
kekerasan moderate hard, struktur blocky banded, belahan subconchoidal. Seam ini
mempunyai kontak atas lapisan berupa batulempung, tetapi tidak ditemukan kontak
dengan lapisan di bawahnya. Seam ini memiliki pengotor berupa sulfur dan pirit.
Foto4.1 Singkapan perlapisan batubara dengan batulempung pada lokasi SRL-7(foto
menghadap ke utara)
4.5.2 Seam Batubara B
Batubara pada seam B ditemukan pada pada lokasi pengamatan singkapan SND-
2 dan SNP-04. Ketebalan batubara pada seam ini mencapai 3,2 m dengan ciri-ciri
berwarna hitam kecoklatan, kilap dull banded, gores coklat kehitaman, berat moderate,
47
kekerasan moderate hard, struktur blocky banded, belahan subconchoidal-irregular.
Seam ini mempunyai kontak atas dan kontak bawah lapisan berupa batupasir.
Foto4.2 Perlapisan batubara dengan batupasir pada lokasi SND-2 dekat daerah tambang
PT. BAU (foto menghadap ke timur)
4.5.3 Seam Batubara C
Batubara pada seam C ditemukan pada padalokasi pengamatan singkapan SNP-
03 dan SNP-03. Ketebalan batubara pada seam ini mencapai 4,8 m dengan ciri-ciri
berwarna abu-abu kehitaman, kilap dull banded, gores abu-abu kehitaman, berat
moderate, kekerasan moderate hard, struktur blocky banded, belahan subconchoidal-
irregular . Seam ini mempunyai kontak atas lapisan berupabatupasir dan kontak bawah
lapisan berupa batupasir.
Foto 4.3 Perlapisan batubara dengan batupasir pada lokasi SNP-03dekat daerah
PT. BAU (foto menghadap ke utara)
48
Gambar 4.2 Pengukuran Stratigrafi detail pada singkapan SNP-04yang menunjukkan seam B
dan seam C
49
Data penyebaran singkapan batubara dari ketiga seam batubara di atas dapat
direkonstruksi dari peta persebaran batubara (Lampiran G-4). Seri seam yang tidak
lengkap pada suatu sayap menjadi salah satu kesulitan dalam interpretasi jumlah seam
batubara. Seam A hanya ditemukan di bagian baratdaya daerah peneliian, sedangkan
seam B dan seam C hanya ditemukan di bagian timurlaut daerah penelitian. Acuan
dalam penentuan seam batubara hanya ditentukan oleh kesamaan ciri-ciri litologi batuan
yang berada pada top dan bottom lapisan batubara. Berikut ini merupakan posisi seam
batubara pada satuan batupasir (Gambar 4.3).
Gambar 4.3Posisi seam batubara di daerah penelitian padaSatuan Batupasir (warna kuning)
Dari pola penyebaran seam batubara pada beberapa singkapan, pengukuran
penampang stratigrafi dan ketebalan umum relatif tebal yaitu 3 4,8 mdan kadar sulfur
yang sedikit (0,22%), lingkungan pengendapan dari endapan batubara daerah penelitian
50
diinterpretasikan berada di lingkungan upper delta plain-fluvial hingga transitional
lower delta plain.
Gambar 4.4Lingkungan pengendapan batubara berdasarkan model lingkungan batubara
(Modifikasi Horne, 1978)
Analisis proksimat untuk menentukan kualitas batubara dilakukan pada seluruh
sampel dari masing-masing seam batubara di daerah penelitian. Hasil analisis yang
dilakukan pada laboratorium berada dalam basis pelaporan air dried basis (adb). Untuk
klasifikasi rank ASTM digunakan basis pelaporan dry mineral matter free (dmmf). Pada
basis adb, sampel batubara ditempatkan di udara terbuka, kadar lengasnya secara
perlahan akan mencapai kesetimbangan dengan kelembaban udara. Analisis basis dmmf
dapat memberikan gambaran mengenai komposisi organik murni.
Rumus untuk mengubah basis adb menjadi basis dmmf yaitu:
FC (dmmf) =
{( , ) ]
| ( , , )]
VM (dmmf) =100 - FC (dmmf)
51
CV (dmmf) =
{( ) ]
| ( , , )]
Keterangan:
FC =Fixed Carbon (Karbon tertambat) % (adb)
VM =Volatile Matter (Zat Terbang) % (adb)
M =Moisture (Kadar Lengas) % (adb)
A =Ash (Abu) % (adb)
S =Sulphur (Sulfur) % (adb)
BTU =British Thermal Unit ; per pound =1,8185 CV (adb)
Hasil analisis proksimat tercantum dalam Lampiran E, dapat disimpulkan bahwa
rank batubara daerah penelitian menurut klasifikasi ASTM termasuk dalam Sub
Bituminous A.
4.6 Sumberdaya Batubara daerah penelitian
Sumberdaya merupakan kekayaan alam yang diharapkan dapat dimanfaatkan dan
dengan menggunakan parameter geologi tertentu dapat berubah menjadi cadangan
apabila memenuhi kriteria layak tambang. Cadangan batubara merupakan sumberdaya
yang telah diakui bentuk ukuran, penyebarannya, kuantitas, kualitas, dan ekonomis
untuk ditambang.
Dalam menghitung sumberdaya batubara ada empat metode yang umum
digunakan, yaitu:
1. Metode Penampang
2. Metode Circular USGS
3. Metode Blok
4. Metode Poligon
Pemakaian metode di atas disesuaikan dengan kualitas data, jenis data yang
diperoleh dan kondisi lapangan serta metode penambangan (misalnya sudut
penambangan). Karena minimnya data yang diperoleh pada daerah penelitian, yakni data
yang digunakan dalam perhitungan hanya berupa data singkapan, dan kemudahan
52
perhitungan maka metode yang digunakan untuk perhitungan sumberdaya penelitian
adalah metode circular USGS. Selain itu digunakan faktor koreksi 30% sebagai faktor
pengontrol hasil perhitungan sumberdaya batubara sehingga hasil perhitungan menjadi
lebih realistis.
Secara umum, langkah-langkah yang digunakan untuk menghitung sumberdaya
batubara dengan menggunakan metode circular USGS (Wood et. al., 1983) adalah
sebagai berikut:
1. Pembuatan Peta Sebaran Batubara
2. Pembuatan lingkaran di setiap titik singkapan batubara (Gambar 4.4) dimana:
a. Daerah yang berada pada jarak datar radius 0 400 m merupakan
sumberdaya terukur (measured resources)
b. Daerah yang berada pada jarak datar radius 400 - 1200 m merupakan
sumberdaya tertunjuk (indicated resources)
c. Daerah yang berada pada jarak datar radius 1200 - 4800 m merupakan
sumberdaya terkira (inferred resources)
3. Berdasarkan radius lingkaran yang telah dibuat berdasarkan metode circular
USGS (Wood et al., 1983) sebelumnya, maka akan didapat titik perpotongan
pada tiap lingkaran, dimana hasil dari titik perpotongan tersebut akan
menghasilkan luas daerah yang akan dihitung jumlah sumberdayanya.
Gambar 4.5Pembagian daerah sumberdaya dengan metode circular USGS (Wood et. al, 1983)
53
4. Rumus perhitungan jumlah sumberdaya batubara daerah penelitian mengacu
pada metode circular USGS (Wood et al., 1983) dimana aturan perhitungan di
atas berlaku untuk kemiringan lapisn batubara lebih kecil atau sama dengan 30
0
,
sedangkan untuk batubara dengan kemiringan lapisan lebih dari 30
0
aturannya
adalah harga proyeksi radius lingkaran tersebut ke permukaan (Gambar 4.5)
5. Adapun rumus perhitungan adalah:
a. Untuk dip () < 30
0
Sumberdaya =Luas area (m
2
) x Tebal (m) x Berat J enis (Ton/m
3
)
b. Untuk dip () > 30
0
Sumberdaya =Luas area (m
2
) x Tebal (m) x cos x Berat Jenis (Ton/m
3
)
Gambar 4.6Pengaruh kemiringan lapisan batubara pada perhitungan sumberdaya (Wood et. al,
1983)
Dengan menggunakan metode circular USGS tersebut, perhitungan sumberdaya
dari daerah penelitian hanya dilakukan hingga perhitungan sumberdaya tertunjuk
54
dikarenakan struktur geologi daerah penelitian yang meliputi sesar mendatar dan luas
daerah penelitian yang tidak terlalu luas, sehingga jika dilakukan perhitungan
sumberdaya terkira akan menghasilkan jumlah yang tidak valid. Dari perhitungan yang
dilakukan terhadap tigaseam yang terdapat di daerah penelitian (Lampiran G), diperoleh
sumberdaya batubara terukur sebesar 2.059.824,3 ton dan sumberdaya batubara
tertunjuk sebesar 6.533.388,1ton.
4.7 Prospek dan Pengembangan Batubara
Dari hasil penyelidikan pada daerah penelitian, ditemukan 4singkapan batubara
Dari data tersebut, lapisan batubara daerah penelitian dibagi dalam 3lapisan, yaitu Seam
A, Seam B, Seam C dengan ketebalan berkisar 3 4,8 m. Batubara tersebut hadir sebagai
sisipan pada Satuan Batupasir yang disetarakan dengan Formasi Muara Enim. Prospek
pengembangan batubara daerah penelitian masih harus dipertimbangkan. Seam A yang
memiliki dip sebesar 18 dengan ketebalan 4,5m sangat ekonomis karena overburden
yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan Seam B dan Seam C yang kemiringan
lapisannya cukup besar. Nilai kalori batubara seam A juga cukup baik yaitu sebesar
5.962 Cal/gr (adb). Batubara dengan nilai kalori tersebut dapat digunakan untuk
keperluan pembangkit listrik.
Pertimbangan lain yang dapat dijadikan nilai ekonomis untuk eksploitasi yaitu
untuk infrastruktur ke daerah penelitian. Seam A memiliki akses yang sulit karena
berada dekat dengan sungai, sementara untuk seam B dan seam C telah dibangun jalan
logging.

You might also like