You are on page 1of 6

CURRENT TREATMENT IN GASTROENTERO-HEPATOLOGY DISEASES

dr. Suzanna Ndraha SpPD KGEH FINASIM Department of Internal Medicine, Consultant of Gastroenterohepatology Koja Hospital, Jakarta, Indonesia simposium GASTROENTEROHEPATOLOGY 12 Juli 2012 di RSUD Koja

DISPEPSIA Dispepsia merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari rasa nyeri / tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, rasa panas 1 2,3,4 yang menjalar di dada. Bila didapatkan tanda alarm, yaitu mual muntah yang tidak sembuh dengan terapi yang lazim, terapi empiris gagal, anemia, melena dan/hematemesis, penurunan berat badan yang signifikan akibat penyakit, disfagia, maka investigasi yang berupa pemeriksaan laboratorium, radiologik dan endoskopik harus dijalankan. Selanjutnya terapi disesuaikan dengan hasil temuan investigasi. Namun bila tidak ditemukan tanda alarm, maka tidak perlu terlalu cepat melakukan investigasi. Pasien dapat diterapi secara empiris terlebih dahulu. Dengan demikian maka, berdasarkan ada tidaknya penyakit/kelainan organik-biokimiawi dispepsia dibedakan menjadi: I. Dispepsia fungsional 5 II. Dispepsia organik, sebagian besar diakibatkan kelainan esofago-gastro-duodenal, yaitu: 1. Gastritis 2. Tukak peptik 3. Karsinoma SCBA (Saluran cerna bagian atas) Penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease, GERD), sudah merupakan diagnosis tersendiri yang terpisah dari dyspepsia, walaupun mempunyai simtom yang tumpang tindih dengan sindroma dispepsia, dan dapat muncul bersama dispepsia. Dalam praktek sehari-hari, sering terjadi kesulitan membedakan dispepsia fungsional dengan NERD (non-erosive 6 reflux disease) yang merupakan bagian dari GERD. DISPEPSIA FUNGSIONAL A. Definisi: 7 Konsensus Roma III . B. Klasifikasi : Di masa lalu, dispepsia fungsional dibedakan menjadi 4 subgrup yaitu tipe ulkus, tipe dismotilitas, tipe refluks dan tipe non spesifik. Namun dispepsia tipe refluks ternyata dapat berlanjut menjadi penyakit organik yaitu GERD, sehingga dispepsia tipe refluks tidak lagi dimasukkan kedalam dispepsia 7 2 fungsional. Klasifikasi dispepsia fungsional yang lebih baru saat ini adalah: 1. Dispepsia tipe ulkus 2. Dispepsia tipe dismotilitas 3. Dispepsia tipe non spesifik 2 C. Patofisiologi dispepsia fungsional hingga kini belum jelas D. Tatalaksana dispepsia fungsional terdiri dari a. Diet yang menghindari makanan pencetus serangan 8 b. Terapi medikamentosa GASTRITIS A. Etiologi: 9,10 Penyebab terbanyak adalah infeksi Helicobacter pylori (Hp) dan OAINS

1) a. b. 2) B. 1. 2. 3.

Gastritis akibat Hp: Gastritis kronik non atropi predominasi antrum Gastritis kronik atropi multifokal Gastropati obat antiinflamasi non steroid (OAINS) Faktor risiko mendapat gastropati OAINS adalah riwayat ulkus peptikum, usia diatas 60 tahun, terapi lebih dari 1 macam OAINS dan terapi OAINS bersama steroid. 10 Gejala klinik: bisa asimtomatik (30-40%), namun umumnya bermanifestasi sebagai sindroma dispepsia, terutama rasa nyeri. Tatalaksana Bila penggunaan OAINS dapat dihentikan, maka dapat dipilih penghambat asam jenis H2RA atau PPI, bersama dengan sitoprotektor (sukralfat 3x1gram, rebamipide 3x100mg, teprenone 3x50mg) Bila penggunaan OAINS tidak dapat dihentikan: maka dipilih OAINS yang selektif menghambat Cox2, dan dipilih penghambat asam jenis PPI, bersama dengan sitoprotektor Eradikasi Helicobacter pylori (Hp): PPI (Omeprazol 2x20 mg) +amoksisilin (2x1000 mg)+ klaritromisin (2x500 mg)

i. ii. iii.

ULKUS PEPTIK A. Tukak Peptik terdiri dari tukak lambung dan tukak duodenum B. Patogenesis: a. Faktor Agresif: H pylori dan OAINS Rokok, stres, malnutrisi, diet tinggi garam, defisiensi vitamin, genetik b. Faktor Defensif: Preepitel: mukus dan bikarbonat Epitel: kecepatan perbaikan mukosa yang rusak, sel sehat bermigrasi ke ulkus Subepitel: Mikrosirkulasi PG endogen menekan ekstravasasi leukosit yang merangsang reaksi inflamasi jaringan C. Diagnosis: a. Anamnesis: Sindrom dispepsia, dengan periode remisi dan eksaserbasi Keluhan dispepsia: mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa, rasa terbakar, rasa penuh, cepat kenyang Tukak akibat OAINS dan tukak pada usia lanjut bisanya asimtomatik b. Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium: tidak khas c. Penunjang: Endoskopi SCBA dan histopatologi D. Komplikasi: Perdarahan, Perforasi, Obstruksi 11 E. Tatalaksana: Diet: tidak merangsang Hindari rokok dan alkohol Hindari OAINS, pilih golongan Cox2 inhibitor selektif Obat-obatan untuk mengurangi keasaman lambung diberikan selama 4-8 minggu, dengan sasaran pH intragastrik diatas 3 sehingga aktifitas pepsin minimal. Bila relaps, pemberian obat diulang selama 4-8 minggu dan dilanjutkan denganmaintenance selama 12 bulan. Dalam terapi ulkus, antasida hanya bersifat simtomatik untuk mengurangi rasa perih di ulu hati. Obat-obatan yang dapat digunakan adalah: a. PPI: omeprazol 2x20mg, lansoprazol 2x30mg, pantoprazol 2x40mg,maintenance omeprazol 1x20mg, lansoprazol 1x30mg, pantoprazol 1x40mg dosis tunggal pagi hari. b. H2RA: ranitidine 2x150-300mg, maintenance 1x150mg malam hari Eradikasi HP: terapi tripel PPI (Omeprazol 2 x 20 mg) + amoksisilin ( 2x1000 mg ) + klaritromisin (2x500 mg) selama 1-2 minggu. Jika gagal, dilanjutkan dengan terapi kuadrupel selama 1-2 minggu

(Bismuth 4x120mg) + (Omeprazol 2 x 20 mg) + amoksisilin ( 2x1000 mg ) + klaritromisin (2x500 mg). Dengan eradikasi Hp biasanya relaps dapat dicegah sehingga terapi maintenance tidak perlu diberikan Obat-obat yang mempercepat pengosongan lambung (prokinetik) akan mengurangi pemaparan faktor agresif terhadap lambung sehingga bermanfaat untuk penyembuhan ulkus di lambung. Prokinetik yang dapat dipilih antara lain metoklopramid 3x10mg, domperidon 3x10mg, cisaprid 3x10mg. Obat yang dapat meningkatkan faktor defensif lambung adalah sitoprotektor dan prostaglandin E eksogen (misoprostol 4x200 g). Sitoprotektor (sukralfat 3x1gram, rebamipide 3x100mg, dan teprenone 3x50mg) bekerja dengan meningkatkan produksi PG dan meningkatkan sekresi 7,10 mukus. Misoprostol sendiri penggunaannya terbatas karena efek samping kram perut serta diare, 12 dan kepatuhan yang rendah karena dosisnya 4 kali sehari KARSINOMA SCBA 13 A. Karsinoma esofagus Hampir 95% merupakan Ca sel skuamosa Insidens tinggi di daerah Asian esophageal cancer belt yang meliputi Iran, Asia tengah, Afganistan, Siberia dan Mongolia. Predisposisi: lingkungan/geografis, diet (aflatoksin, asbestos, defisiensi vitamin A,E,C, alcohol, rokok, radiasi, akalasia, skleroterapi, sosioekonomi, ras Keluhan klinis: disfagia (90%) Diagnosis: esofagografi memakai barium (OMD), endoskopi SCBA diikuti oleh biopsi Staging: menggunakan TNM Terapi: operasi reseksi, radiasi (umumnya radiosensitif), kemoterapi ajuvan 14,15 B. Karsinoma lambung Terbanyak adenokarsinoma Insidens tinggi di Jepang, Cina, amerika selatan dan eropa timur. Predisposisi: Hp, diet tinggi nitrat (nitrosamin) sebagai pengawet, makanan yang diasap dan diasinkan, rokok, atrofi lambung Keluhan klinis: berat badan turun, nyeri epigastrium, muntah Diagnosis: foto kontras ganda, endoskopi SCBA diikuti oleh biopsy Staging: menggunakan TNM Terapi: operasi reseksi dan kemoterapi. Kemoterapi umumnya menggunakan regimen FAM (5FU, doksorubisin dan mitomisin C. Radiasi umumnya kurang berhasil

HEPATITIS KRONIK 1. HEPATITIS B KRONIK Definisi Hepatitis B kronik adalah penyakit hepatitis B persisten yang selama 6 bulan, tidak sembuh secara 16 klinis atau laboratorium atau gambaran patologi anatomi. Gejala Klinis Pasien dengan hepatitis B kronik carrier bisa tampak sehat dan asimptomatis. Pada fase replikasi, gejala klinis dapat timbul seperti malaise, anorexia, mual, nyeri ringan di kuadran atas, dekompensasi hati. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan hepatomegali, splenomegali, eritema palmaris dan 16,17 spider nevi. Pemeriksaan Penunjang Pada hepatitis B kronik inaktif akan ditemukan : Carrier sehat bisa mempunyai nilai SGOT dan SGPT normal

a.

b.

a. b.

HBeAg, HBV DNA (marker infektivitas) negatif HBsAg dan Anti HBc positif Pada hepatitis B kronik aktif bisa ditemukan : Peningkatan SGOT-SGPT ringan hingga sedang. Kadar HBV DNA meningkat. HBsAg dan AntiHBc positif HBe Ag bisa positif atau negatif sehingga berdasarkan status HBe, hepatitis B kronik aktif dibedakan Hepatitis B kronik eAg positif. Pada jenis ini, eAg positif pertanda replikasi aktif (infektivitas tinggi), dan serokonversi HBeAg [+] menjadi HBeAg [-] Anti HBe positif dapat menjadi target keberhasilan terapi Hepatitis B kronik eAg negatif. Pada jenis ini, serokonversi HBeAg [+] menjadi HBeAg [-] Anti HBe positif tidak dapat menjadi target keberhasilan terapi sehingga nilai kuantitatif HBV DNA harus dijadikan parameter indikasi dan keberhasilan terapi 18 Biopsi hati sebelum terapi eradikasi virus direkomendasikan bila (APASL 2008) Ada replikasi virus dan SGPT meninggi, atau SGPT high normal dan usia diatas 40 tahun Tabel 1: Virologi Hepatitis B
16

HBsAg

AntiHBs +/+/+ +

AntiHBc + + + +

Hepatitis B Akut Hepatitis B Kronik Pengidap Vaksinasi Sembuh

+ + + -

IgM anti HBc + -

HBeAg

HBVDNA + + -

+ +/-

Pada tabel 1 dapat dilihat beberapa petanda virus hepatitis B yang membedakan hepatitis B akut, hepatitis B kronik (aktif), pengidap/carrier (hepatitis B kronik inaktif), pasca vaksinasi hepatitis B, dan pasca infeksi hepatitis B yang sembuh. Kriteria Diagnosis menurut AASLD 2009 1. Hepatitis B kronik HBsAg positif > 6 bulan 5 HBV DNA serum >20.000 IU/mL (10 copies/mL) 4 Pada Hepatitis B kronik HBeAg negatif HBV DNA lebih rendah yaitu 2000-20.000 IU/mL (10 5 10 copies/mL) Peningkatan SGOT/SGPT persisten/intermiten Biopsi hati menunjukkan hepatitis kronik dengan nekroinflamasi sedang-berat 2. Carrier HBsAg inaktif HBsAg positif > 6 bulan HBeAg [-], Anti HBe [+] HBV DNA serum < 2000 IU/mL SGOT/SGPT persisten normal Biopsi hati menunjukkan tidak ada tanda-tanda hepatitis kronik 3. Hepatitis B sembuh Ada riwayat hepatitis B akut atau kronik, anti HBs [+], anti HBc [+] HBsAg [-] HBV DNA tidak terdeteksi SGPT normal Penatalaksanaan
19

Terdapat 2 kelompok terapi untuk Hepatitis B kronik: Kelompok Imunomodulasi Interferon (INF) mempunyai efek antivirus, antiproliveratif dan imunomodulasi. INF merangsang pembentukan protein efektor yang berfungsi sebagai antivirus dan dapat menurunkan replikasi virus. INF tidak direkomendasikan untuk hepatitis B dengan sirosis hati karena dapat menimbulkan dekompensasi. Penambahan polietilenglikol pada INF menjadi Pegylated IFN- (PegINF) membuat waktu paruh lebih panjang sehingga pemberiannya cukup sekali 16 seminggu. Dosis INF konvensional adalah 5-10 MU 3x/minggu, dan untuk PegINF 90180 g perminggu [17]. Dosis yang lebih rendah dipilih bila terjadi trombositopenia akibat pemberian INF. Lama terapi tergantung pada status HBeAg. Bila HBeAg (+) INF diberikan selama 16-24 mgg (PPHI 2004, AASLD 2009) atau 48 minggu (EASL 2009). Bila HBeAg (-) maka INF diberikan selama 19-21 12 bulan 17-21 Kelompok terapi Antivirus Lamivudin (LAM) bekerja dengan menghambat enzim reverse transcriptase, menghambat produksi VHB baru, berperan mencegah infeksi hepatosit sehat. Dosis tablet 100 mg 1x1 hari Adefovir Dipivoksil (ADV) bekerja dengan menghambat enzim reverse transcriptase. Dosis 10-30 mg/hari Entecavir (ETV) mempunyai efek antiviral yang kuat karena menghambat replikasi HBV pada 3 fase yang berbeda. Dosisnya 0.5-1mg per hari Telbivudin (LdT) 1x600 mg per hari Tenofovir (TDF) 1x300 mg perhari. Kelompok antivirus ini terutama diindikasikan pada kondisi dekompensasi hepar, atau jika pasien 20 tidak bisa diberi interferon. Kombinasi INF dan antiviral oral tidak lagi direkomendasikan. . Tabel 2. Tatalaksana hepatitis B kronik menurut AASLD PRACTICE GUIDELINE 2009
HBeAg HBV DNA SGPT Strategi terapi
21

<20.000 IU/mL (10 copy/mL)


5

2x bann

Efikasi terapi rendah. Observasi saja Pertimbangkan terapi bila SGPT meningkat Pertimbangkan biopsi bila usia > 40 tahun, SGPT persisten tinggi >2x bann, riwayat keluarga hepatoma Pertimbangkan terapi bila HBV DNA >20,000 IU/mL dan hasil biopsi inflamasi sedang/berat atau sirosis

>20.000 IU/mL

>2X bann

Terapi bila HBsAg menetap 3-6 bulan Pertimbangkan biopsi bila terkompensasi, segera terapi bila dekompensasi Terapi awal: IFN/pegIFN, LAM, ADV, ETV, TDF atau LdT Target terapi: serokonversi anti HBe Lama terapi: IFN-: 16 minggu PegIFN-: 48 minggu LAM/ADV/ETV/LdT/TDF: minimum 1 tahun, lanjutkan 6 bulan setelah serokonversi. Terapi awal: IFN/pegIFN, LAM, ADV, ETV, TDF atau LdT, Target terapi: tidak ditetapkan Lama terapi: IFN-/PegIFN-: 1 tahun LAM/ADV/ETV/LdT/TDF > 1 tahun Pertimbangkan terapi bila hasil biopsi inflamasi sedang/berat atau sirosis Observasi, terapi bila HBV DNA atau SGPT meningkat

>2000 IU/mL

>2x bann

>2000 IU/mL <2000 IU/mL 1-2x bann bann

terdeteksi

sirosis

Terkompensasi: terapi bila HBV DNA >2.000 IU/mL. HBV DNA <2.000 IU/mLpertimbangkan terapi bila SGPT meningkat Dekompensasi: terapi, transplantasi

Tidak terdeteksi

sirosis

Terkompensasi: observasi Dekompensasi: transplantasi

Tabel 2 menunjukkan tatalaksana hepatitis B kronik menurut American Association for the study of Liver diseases (AASLD) 2009. Pada protokol ini, terapi direkomendasikan sesudah observasi 3-6 bulan dan HBsAg tetap positif. Antivirus yang direkomendasi adalah entecavir atau tenofavir ADV 21 bukan pilihan karena efek antivirus lebih lemah, LAM dan LdT bukan pilihan karena resistensi tinggi. 2. HEPATITIS C KRONIK Definisi 24 Penyakit Hepatitis C adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis C (HCV). Etiologi 9 Penyebab hepatitis C adalah Virus hepatitis C. Epidemiologi Infeksi VHC didapatkan diseluruh dunia. Dilaporkan lebih kurang 170 juta orang diseluruh dunia terinfeksi virus ini. Prevalensi VHC berbeda-beda. Di Indonesia belum ada data resmi mengenai infeksi VHC tetapi menurut survey masal sub-bagian Hepatologi FKUI, sekitar 4% penduduk 17 Indonesia terinfeksi HCV. Transmisi terbanyak berhubungan dengan transfusi darah (sebelum 1992). Dilaporkan pula terjadinya infeksi VHC pada tindakan-tindakan medis seperti endoskopi dan 24,25 perawatan gigi. Genotipe yang didapatkan di Indonesia umumnya genotipe 1 ( 60-70%) diikuti oleh genotipe 2 dan 3. Manifestasi klinis Gejala paling umum dari Hepatitis C adalah kelelahan kronis, Selain itu, gejala lain yang dapat muncul berupa muntah dan tidak enak badan. Kerusakan hati akibat infeksi kronik tidak dapat 24,25 tergambar pada pemeriksaan fisik maupun laboratorium kecuali bila sudah terjadi sirosis hati. Penatalaksanaan Terapi hepatitis C kronik adalah kombinasi inteferon alfa dan ribavirin. Bila ribavirin 26 dikontraindikasikan, monoterapi dengan INF dapat diberikan. . Pada genotipe 1 dan 4, terapi perlu diberikan selama 48 minggu dan bila genotipe 2 dan 3, cukup diberikan selama 24 minggu. Keputusan pemberian interferon umumnya berdasarkan peningkatan SGPT dan HCV-RNA yang 24,25 positif dalam serum, namun APASL 2007 tetap merekomendasi pasien dengan SGPT normal untuk diterapi karena SGPT normal tetap dapat memberikan respon yang sama baiknya dengan 26 SGPT yang meningkat. Konsensus penanganan hepatitis C di Eropah dan Amerika menyarankan biopsi hati karena ALT pada pasien hepatitis C kronik bisa sangat fluktuatif dan adanya fibrosis yang 24,25 signifikan tidak bisa diketahui tanpa biopsi. Namun menurut APASL 2007, biopsi hati bukan syarat 26 untuk memulai terapi, apalagi bila genotip 2 atau 3. Bila dilakukan biopsi, maka indikasi terapi bila hasil histopatologi F1 atau lebih. Penderita hepatitis C dengan sirosis kompensata direkomendasi 26 untuk terapi, namun bila dekompensata disarankan transplantasi hati. Ribavirin diberikan dengan dosis 800mg/hari bila berat badan <55 kg, 1000mg/hari bila 56-75 kg, dan 1200mg/hari bila >75 kg. Dosis INF- konvensional 35 juta unit 3 x/minggu selama 6 bulan, pegINF -2a 180g 1xseminggu selama 12 bulan pada genotipe 1 dan 4, selama 6 bulan pada genotipe 2 dan 3, pegINF -2b, dosis 24,27 1,5 ug/kgBB/kali selama 12 atau 6 bulan tergantung genotype.

You might also like