You are on page 1of 9

IV.

KERANGKA KONSEPTUAL MASALAH

A. Dasar Teori 1. Definisi ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan penyakit akut yang menyerang salah satu bagian dari atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli saluran bawah, termasuk jaringan adneksanya seperti sinus-sinus rongga telinga tengah dan pleura (Depkes, 2002). 2. Etiologi Streptococcus pnemoniae di banyak negara merupakan penyebab paling umum pnemonia yang didapat dari luar rumah sakit yang disebabkan oleh bakteri. Bakteri penyebab ISPA antara lain dari genus Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofillus, Bordetella dan Korinobakterium. Virus penyebab ISPA antara lain golongan Mikosovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus. Namun demikian, patogen yang paling sering menyebabkan ISPA adalah virus, atau infeksi gabungan virus dan bakteri (WHO, 2007). 3. Epidemiologi World Health Organization (WHO) memperkirakan insidensi ISPA di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada kelompok usia balita. Menurut WHO 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara berkembang dan ISPA merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh 4 juta anak balita setiap tahun (WHO, 2007). Di Indonesia, ISPA masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama terutama pada bayi (0-11 bulan) dan balita (1-4 tahun). Diperkirakan angka kejadian ISPA pada balita di Indonesia yaitu sebesar 10-20%. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), penyakit ISPA pada tahun 1986 berada di urutan keempat (12,4%) sebagai penyebab kematian bayi. Sedangkan pada tahun 1992 dan

1995 menjadi penyebab kematian bayi yang utama yaitu 37,7% dan 33,5%. Hasil SKRT pada tahun 1998 juga menunjukkan bahwa penyakit ISPA merupakan penyebab kematian utama pada bayi (36%) dan hasil SKRT pada tahun 2001 menunjukkan bahwa prevalensi tinggi ISPA yaitu sebesar 39% pada bayi dan 42% pada balita (Depkes, 2000). Berdasarkan hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007, prevalensi ISPA sekitar 25,5% dengan prevalensi tertinggi terjadi pada bayi dua tahun (>35%). Di Jawa Barat kejadian ISPA berada di angka 24,73%, untuk daerah Jawa Tengah sebesar 29,08%. Angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8%, dan balita 15,5%. ISPA cenderung terjadi lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan dan tingkat pengeluaran rumah tangga yang rendah. ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan yaitu sebanyak 40% - 60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15% - 30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit (Depkes, 2009). 4. Faktor risiko Menurut Depkes RI, faktor resiko terjadinya ISPA secara umum yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, dan faktor perilaku. a. Faktor Lingkungan 1. Pencemaran Udara Dalam Rumah Kebiasaan merokok dan penggunaan tungku kayu akan menghasilkan asap dengan konsentrasi yang tinggi dan dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan balita bermain (Depkes, 2002). Selain itu disebutkan bahwa, kebiasaan menggunakan obat nyamuk bakar juga dapat meningkatkan risiko kejadian ISPA (Wiwoho, 2005). 2. Ventilasi Rumah Ventilasi adalah proses penyediaan udara atau pengarahan udara ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara

mekanis. Membuat ventilasi udara serta pencahayaan di dalam rumah sangat diperlukan karena akan mengurangi polusi asap yang ada di dalam rumah sehingga dapat mencegah seseorang menghirup asap tersebut yang lama kelamaan bisa menyebabkan terkena penyakit ISPA. Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai (Depkes, 2002). 3. Kepadatan Hunian Kamar Kepadatan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada. Begitu juga keadaan jumlah kamar yang penghuninya lebih dari dua orang, karena bisa menghalangi proses pertukaran udara bersih sehingga menjadi penyebab terjadinya ISPA (Depkes, 2002). b. Faktor Gizi Anak 1. Imunisasi Imunisasi aktif adalah usaha merangsang individu untuk membuat respon imun terhadap penyakit-penyakit infeksi, khususnya penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Program imunisasi aktif sangat efektif untuk mencegah penyakit virus dan bakteri. Beberapa penyakit PD3I memiliki gejala yang menyerupai ISPA sehingga imunisasi merupakan usaha yang baik dalam upaya menurunkan kejadian ISPA, khususnya pnemonia. Vaksin yang diberikan kepada bayi merupakan suatu zat yang mempunyai sifat immunogenitas, yaitu suatu zat yang

memberikan kemampuan membangkitkan respon imun spesifik. Kemampuan ini terdiri dari pembentukan antibodi, pembentukan imunitas seluler, atau kedua-duanya. Kepentingan imunisasi BCG, DPT, campak pada balita antara lain adalah untuk memberi kekebalan kepada balita, sehingga balita tidak rentan

terhadappenyakit infeksi khususnya ISPA (Wiwoho, 2005). 2. Pemberian Vitamin A Vitamin A diperlukan untuk mempertahankan keutuhan struktur dan fungsi epitel. Anak-anak yang mengalami

kekurangan vitamin Amenunjukkan adanya perubahan histologis pada jaringan dalam saluran pernafasan serta saluran kencing dan alat reproduksi sehingga peran vitamin A sangat penting dalam sistem pertahanan tubuh terhadap penyakit infeksi, termasuk infeksi saluran pernafasan akut dan pnemonia (Pudjiadi, 2000). 3. Pemberian Makanan Pendamping ASI Eksklusif (MP-ASI) Pemberian makanan tambahan bagi bayi/balita memang dianjurkan, tetapi pemberiannya setelah bayi berusia 6 bulan. Hal ini diharapkan tidak menambah masalah dalam program ASI eksklusif. Kegagalan pemberian ASI eksklusif diduga karena pemberian makanan atau minuman pralakteal diberikan. Pada buku pedoman pemberantasan pnemonia pada penyakit balita ISPA untuk bahwa

penanggulangan

disebutkan

pemberian makanan tambahan dini merupakan faktor risiko untuk terjadinya ISPA khususnya pnemonia (Wiwoho, 2005). 4. Berat Badan Lahir Anak-anak dengan riwayat Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) (berat bayi lahir kurang dari 2500 gram) akan mengalami lebih berat infeksi pada saluran pernapasan. Hal ini dikarenakan pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pnemonia dan sakit saluran pernapasan lainnya (Depkes, 2002). Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Universitas Cleveland dan Fakultas Kedokteran Universitas Wastern

Cleveland, USA mendapatkan bahwa ada hubungan yang kuat antara penyakit paru dengan berat bayi lahir rendah (Wiwoho, 2005). 5. Status Gizi Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan

mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama (Depkes, 2002). c. Faktor Pengetahuan Ibu Tinggi rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu balita sangat mempengaruhi status kesehatan balita dikarenkan faktor tersebut menentukan penanganan awal dan pengenalan tanda-gejala ISPA. Pengetahuan tentang ISPA meliputi definisi, penyebab, faktor risiko apa saja yang berhubungan dengan ISPA, komplikasi, serta cara pencegahan ISPA (Depkes, 2002). 5. Patofisiologi Timbulnya infeksi saluran pernafasan akut oleh karena masuknya agent penyakit (virus, jamur, atau bakteri) ke dalam saluran pernafasan, dan tubuh tidak mampu memberi perlawanan. Pada kondisi BBLR, kejadian ISPA akan lebih sering terjadi, karena pada kondisi BBLR kekurangan surfaktan (rasio lesitin/sfingomielin), pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna, otot pernafasan yang masih lemah dan tulang iga yang mudah melengkung. Kondisi tersebut di atas dan rendahnya daya tahan tubuh BBLR terhadap penyakit infeksi, semakin mempermudah timbulnya penyakit infeksi saluran pernadasan akut (Hoffman et al., 2003); (Wiwoho, 2005). Pnemonia terjadi akibat ISPA yang berkembang. Agent dominan pada pnemonia adalah bakteri yang terisap ke paru melalui saluran pernafasan. Mula-mula terjadi edema karena reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi yaitu terjadinya sebukan sel polimorfonuklear, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut hepatisasi merah (Wiwoho, 2005). Selanjutnya terjadi deposisi fibrin ke permukaan pleura, terdapatnya kuman dan leukosit polimorfonuklear di alveoli dan terjadinya proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Akhirnya jumlah sel makrofag meningkat di alveoli, sel akan degenerai

dan fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi (Wiwoho, 2005). Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal. Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memutus perjalanan penyakit sehingga stadium khas yang diuraikan di atas tidak terlihat lagi. Beberapa bakteri tertentu lebih sering menimbulkan gejala atau keadaan yang berbeda-beda. Misalnya S. pnemonia bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru (bronkopnemonia). Sedangkan S. aureus pada neonatus/bayi kecil (BBLR) menyebabkan pnematokel/abses-abses kecil (Wiwoho, 2005). S. aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisin, leukosin, stafilokinase dan koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan nekrosis, perdarahan dan kavitasi. Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin sehingga terjadi eksudat fibrin non purulen. Terdapat korelasi antara produksi koagulase dan virulensi kuman Streptococcus yang tidak menghasilkan koagulase yang menimbulkan penyakit yang serius (Wiwoho, 2005). M. pnemoniae menimbulkan peradangan dengan gambaran beradam pada paru dan lebih sering mengenai anak usia sekolah/remaja. M. pnemoniae cenderung berkembang biak pada permukaan sel mukosa saluran nafas. Akibat terbentuknya H2O2 pada metabolismenya maka terjadi kerusakan lapisan mukosa saluran nafas. Kerusakan yang terjadi adalah deskuamasi dan ulserasi lapisan mukosa, edema dinding bronkus dan timbulnya sekret yang memenuhi saluran nafas dan alveoli. Kerusakan ini timbul dalam waktu yang relatif singkat antara 24-48 jam dan dapat terjadi pada bagian paru yang cukup luas (Wiwoho, 2005) 6. Klasifikasi Kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah balita, dengan gejala batuk dan atau kerukaran bernafas,. Pola tata laksana penderita meliputi 4 bagian, yaitu pemeriksaan, penentuan ada

tidaknya

tanda

bahaya,

penentuan

klasifikasi

penyakit

dan

pengobatan/tindakan. Klasifikasi ISPA pada balita secara praktis dan sederhana dikembangkan oleh WHO yang kemudian digunakan oleh Departemen Kesehatan RI. Penggolongan dilakukan berdasarkan tingkat keparahan, melalui tanda-tanda klinis. Dalam penentuan klasifikasi tersebut dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok umur 2 bulan-5 tahun dan kelompok umur <2 bulan adalah (Wiwoho, 2005). a. Untuk usia kurang dari 2 bulan i. Pnemonia berat : bila ditandai minimal satu tanda berikut ini, frekuensi pernafasan 60 kali/menit atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. ii. Bukan pnemonia: bila tidak menunjukkan gejala/tanda

peningkatanfrekuensi pernafasan dan tidak menunjukkan adanya penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (hanya merupakan ISPA, batuk pilek, common cold) b. Untuk usia 2 bulan- 5 tahun, ada tiga klasifikasi, yaitu: i. Pnemonia berat Bila disertai nafas cepat, dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam waktu balita menarik nadas. Pengukuran dilakukan pada saat balita tidak dalam keadaan menangis ii. Pnemonia Bila ditandai dengan frekuensi nafas cepat, yaitu: sebanyak 50 kali/menit atau lebih untuk usia 2 bulan sampai dengan 1 tahun dan 40 kali/menit atau lebih untuk usia 1 tahun sampai 5 tahun. iii. Bukan pnemonia Bila tidak ditemukan peningkatan frekuensi pernafasan dan tidak menunjukkan adanya penarikan dinding dadabagian bawah ke dalam (ISPA biasa, batuk pilek, flu, common cold) (Wiwoho, 2005).

7. Tanda dan Gejala Klinis Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Gejala-gejaqla tersebut di antaranya adalah batu, pilek, demam tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding dada (Wiwoho, 2005). Dalam perjalanan penyakit mungkin gejalagejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernapasan. Tanda-tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda laboratoris (Rasmaliah, 2004). Tanda-tanda klinis yaitu : 1. Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi dinding thorak, napas cuping hidung, sianosis, suara napas lemah atau hilang, grunting expiratoir dan wheezing. 2. Pada sistem cardial adalah: takakirdia, bradikardi, hipertensi, hipotensi dan cardiac arrest.. 3. Pada sistem serebral adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, papil bendung, kejang dan koma. 4. Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak. Tanda-tanda laboratoris yaitu : 1. 2. 3. Hipoksemia Hiperkapnia Asidosis (metabolik dan atau respiratorik) Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah: kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun ampai kurang dari setengah volume yang biasa diminumnya), kejang,

kesadaran menurun, stridor, wheezing, demam dan dingin (Rasmaliah, 2004). 8. Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga keadaan gizi agar tetap baik, imunisasi, menjaga kebersihan prorangan dan lingkungan, mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA (Rasmaliah, 2004).

B. Skema Kerangka Konseptual dari Faktor Penyebab Masalah 1. Faktor Lingkungan 2. Faktor Gizi Anak 3. Faktor Pengetahuan Ibu

ISPA

Gambar 4.1. Kerangka Konsep

C. Hipotesis Faktor lingkungan, faktor gizi anak, dan faktor pengetahuan ibu mempengaruhi angka kejadian ISPA.

You might also like