You are on page 1of 12

BAB 12 TINGKAH LAKU PROSOSIAL Dalam buku Psikologi Sosial karangan David O.

Sears, altruisme adalah tindakan sukarela untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun atau disebut juga sebagai tindakan tanpa pamrih. Altruisme dapat juga didefinisikan tindakan memberi bantuan kepada orang lain tanpa adanya antisipasi akan reward atau hadiah dari orang yang ditolong (Macaulay dan Berkowitz, 1970). Definisi lain dari altruisme yaitu peduli dan membantu orang lain tanpa mengharap imbalan (Myers, 1993). Menurut Batson; 1991, altruisme adalah keadaan motivasional seseorang yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan orang lain. Menurut Cialdini (1982) anak adalah individu yang berusia antara 10-12 tahun, yang merupakan masa peralihan antara tahapan presosialization (tahap dimana anak tidak peduli pada orang lain, mereka hanya akan menolong apabila diminta atau ditawari sesuatu agar mau melakukannya,tapi menolong itu tidak membawa dampak positif bagi mereka), tahap awareness (tahap dimana anak belajar bahwa anggota masyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka saling membantu, mengakibatkan mereka menjadi lebih sensitif terhadap norma sosial dan tingkah laku prososial), dan tahap internalization (15-16 tahun). Pada tahap ini perilaku menolong bisa memberikan kepuasan secara intrinsik dan membuat orang merasa nyaman. Norma eksternal yang memotivasi menolong selama tahap kedua sudah diinternalisasi. Cialdini dan Kenrick (1976) telah mengadakan penelitian tentang motivasi untuk menolong. Partisipan dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok pertama anak usia 6-8 tahun dan kelompok kedua remaja berusia 15-18 tahun. Kedua kelompok mendapat perlakuan yang sama yaitu setengah dari partisipan diminta untuk berpikir tentang masa lalunya yang menyedihkan, sedangkan setengah yang lain memikirkan masa lalunya yang netral. Kedua kelompok diberi kesempatan untuk menolong orang lain yang tidak dikenal dengan memberikan beberapa kupon yang telah mereka menangkan dalam suatu permainan. Hasilnya anak yang dikondisikan dalam keadaan sedih tidak lebih termotivasi untuk menolong dibanding dalam keadaaan netral. Sebaliknya, remaja yang

dikondisikan dalam keadaan sedih lebih termotivasi untuk menolong dibanding dalam keadaan netral. Hipotesis Empati Altruisme Menurut Hipotesis Empati Altruisme yang dinyatakan oleh Batson bahwa dengan menyaksikan orang lain yang sedang dalam keadaan membutuhkan akan menimbulkan kesedihan atau kesukaran pada diri orang yang melihatnya seperti kecewa dan khawatir. Mekanisme utama dari model empati Batson ini adalah reaksi emosional terhadap masalah orang lain. Batson mengusulkan bahwa empati concern mengurangi stress atau tekanan terhadap orang lain. Empathy concern merupakan penyebab motivasional altruistik yang situasinya terletak pada identifikasi dermawan terhadap situasi genting bagi korban. Batson (1991) mengidentifikasi bahwa ada 3 cara untuk menolong. Dua cara utama bersifat egoistik. Cara pertama didasarkan pada pembelajaran sosial dan reinforcement. Cara kedua melibatkan pengurangan ketegangan dan cara ketiga mewakili altruisme. Pada cara ini persepsi kebutuhan orang lain berhubungan dengan ikatan khusus dengan orang tersebut (contohnya karena kesamaan dengan orang itu atau usaha yang disengaja untuk menempatkan diri pada posisi orang itu) menggeneralisasikan empathy concern. Beberapa penelitian jenis field studies pernah dilakukan dengan permasalahan apakah acara televisi yang mengandung karakter prososial mempunyai pengaruh jangka panjang terhadap tingkah laku anak-anak yang menonton acara tersebut. Sebuah studi yang dilaksanakan di Australia oleh Ahammer dan Murray (1979) menemukan bahwa mempertunjukkan anak pada acara televisi yang mengandung tingkah laku prososial selama setengah jam per hari dalam kurun waktu 5 hari dapat meningkatkan sikap kooperatif dan kemauan menolong sesama pada anak-anak. Herold (1986) memimpin peninjauan komprehensif terhadap penelitian tentang bagaimana program tgelevisi dengan tema prososial atau yang mengandung pesan sosial mempengaruhi anak yang menontonnya. Dia menyimpulkan bahwa program-program televisi tersebut mempunyai dampak positif yang lebih kuat kepada anak dibandingkan dampak negatif dari program yang mengandung tema agressif atau antisosial. Menurut teori cognitve development, salah satu proses kognitif yang terlibat dalam perkembangan sikap menolong pada anak adalah ketika anak 2

tersebut membuat atribusi tentang penyebab tingkah lakunya sendiri sama seperti tingkah laku orang lain. Menurut Ruble & Feldman (1981), Ruble & Rose (1983) sebelum 7 atau 8 tahun, anak bereaksi hanya pada karakteristik eksternal seseorang (misalnya rambutnya merah), perilaku tiba-tiba (misalnya dia mengambil mainanku), atau konsekuensi tingkah laku (misalnya dia telah menerima hadiah ). Mereka tidak fokus terhadap aspek yang tidak dapat diamati dari seseorang misalnya aspek kepribadian, sedangkan anak usia 9 atau 10 tahun sudah bisa membuat kesimpulan abstrak tentang orang lain dan memiliki kecenderungan untuk memberi atribusi seperti orang biasa terutama pada penyebab internal atau personal. Pada masyarakat untuk menyetujui dan mengikuti nilai-nilai moral tertentu. Sebagian besar orang beranggapan bahwa memiliki pendirian moral yang benar dan bertindak sesuai dengan pcndiriannya itu disebut matang dalam arti moral. Penalaran Moral yang positip akan mendorong ke arah perilaku prososial seperti altruisme, sedangkan penalaran moral yang negatip akan mendorong ke arah perilaku anti sosial termasuk perilaku agresi. Perilaku prososial adalah sualu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan tangsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan bahkan mungkin melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong (Baron & Byrne, 2005). Perilaku prososial memiliki kategori yang luas yang mengarah pada perilaku yang dintlai positif oleh masyarakat, yang tentu saja berlawanan dengan perilaku anti sosial (Hogg dan Vaughn, 2002). Hogg dan Vaughan (2002) membedakan antara perilaku prososial dan perilaku menolong. Perilaku menolong menurut Hogg dan Vaughan merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk memberui keuntungan bagi orang lain. Altruisme merupakan salah satu bentuk dari perilaku prososial, merupakan subkategori dari perilaku menolong yang mengarah pada perilaku yang dimotivasi oleh keinginan/hasrat untuk memhori keuntungan bagi orang lain, bukan bagi diri sendiri (Batson dan Coke; Macaulay dan Berkowitz dalam Hogg dan Vaughn, 2002). Baron dan Byrne (2005) mendefinisikannya sebagai tingkah laku yang merefleksikan pertim.bangan untuk tidak mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain. Sementara menurut Myers (dalam Sarwono, 2002) altruisme

adalah hasrat untuk menolong orang lain tanpa mcmikirkan kcpcntingan sendiri. Altruisme lebih menitikkan pada kesejahteraan orang lain. Tidak diartikan secara altruistik diri juga tidak menampilkan kompensasi yang adekuat dan pengulangan atau pengingkaran secara praktis atau pengorbanan diri. Dalam bidang kesehatan sendiri seorang kader kesehatan harus dapat menjawab, mengapa ia ingin menolong orang lain? helper yang baik harus interes dengan orang lain dan siap menolong dengan cara mencintai dari manusia tersebut. Secara benar bahwa seseorang selama hidupnya membutuhkan kepuasan dan penyelesaian dari kerja yang dilakukan. Tujuannya mempertahankan keseimbangan antara kedua kebutuhan tersebut. Keinginan dalam menolong selalu terkait dalam perilaku sesorang dalam menolong termasuk pada seorang kader kesehatan. Menurut Batson sendiri, ada empat motif dalam perilaku menolong (Hogg dan Vaughan, 2002): 1. Egoisme Tindakan prososial memberikan sumbangan bagi kesejahteraan si pelaku. Seseorang membantu orang lain kemungkinan untuk mendapatkan imbalan materi. sosial ataupun untuk kepentingan diri pribadi; dan untuk menghindari kerugian materi. sosial maupun diri pribadi. Dalam hal ini seorang kader kesehatan akan menolong seseorang dengan motivasi untuk mendapatkan materi. Contoh : dokter dalam mengobati pasiennya.

2. Altruisme Tindakan prososial memberikan sumbangan bagi kesejahteraan orang lain. Melakukan perilaku altruis tidak dengan maksud mendapatkan balasan . Motivasi prososial jenis ini berkaitan dengan harga diri yang tinggi. Hal ini tentu berkaitan dengan tanggung jawab sosial seorang kader kesehatan terhadap kesembuhan pasien yang ditanganinya.

3. Kolektivisme Tindakan prososial memberikan sumbangan bagi kesejahteraan kelompok sosial; misalnya keluarga, kelompok etnis, maupun negara. Namun demikian, 4

tindakan yang menguntungkan ingroup mungkin akan merugikan oiitgroutp. Motivasi ini memberikan efek bagi seorang tenaga kesehatan yang memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan kebetuhan kelompok sosialnya. Sebagai contoh, seorang dokter yang menolong pasiennya untuk memperoleh materi guna memberikan nafkah bagi kelompok sosialnya (keluarga). 4. Prinsipalisme Tindakan prososial mengikuti prinsip moral seorang tenaga kesehatan itu sendiri. Walaupun korelasi antara penalaran moral dengan perilaku prososial tidak cukup kuat, namun hasil penelitian ccnderung mcndukung pandangan bahwa kedua proses ini setidaknya berkorelasi. Menurut Sarwono (2002) ada beberapa teori yang dapat menjelaskan perilaku menolong, yaitu: 1. Teori Behaviorisme Mendasarkan pendapatnya pada teori kondisioning klasik dari Pavlov, yaitu manusia menolong karena dibiasakan oleh masyarakat unluk menolong dan untuk perbuatan itu masyarakat menyediakan ganjaran yang positif. (Macy dalam Sarwono, 2002). Di bidang kesehatan sendiri, ganjaran positif dapat diperoleh jika masyarakat merasakan efek kesembuhan dari pertolongan asa seorang tenaga kesehatan. 2. Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory) Mendasarkan diri pada prinsip sosial-ekonomi dimana setiap tindakan seseorang akan mempertimbangkan untung ruginya; baik finansial maupun psikologis. (Foa & Foa daiam Sarwono, 2002). Yang dimaksud dengan keuntungan adalah bila hasil yang diperoleh dari perilaku menolong tersebut lebih besar dari usaha menolong yang dilakukan. 3. Teori Empati Dari segi egoisme perilaku mcnolong dapat mengurangi ketegangan dan dari segi simpati perilaku menolong dapat mengurangi penderitaan orang lain. Gabungan dari keduanya dapat menjadi empati yaitu ikut merasakan penderitaan orang lain sebagai penderitaannya sendiri (Batson dalam 5

Sarwono, 2002). Rasa empati ini juga yang dirasakan seorang tenaga kesehatan sehingga memiliki perasaan yang sama dengan penderita (pasiennya). 4. Teori Norma Sosial Menurut teori ini orang menolong karena diharuskan oleh norma-norma masyarakat, Ada tiga macain norma sosial yang dijadikan pedoman untuk perilaku menolong: Norma Timbal Balik (reciprocity norm) Kita harus membalas pertolongan dengan pertolongan. Jika sekarang kita menolong orang lain, lain kali kita akan ditolong orang; dimasa lampau kita ditolong orang sekarang kita harus menolong orang (Gouldner, dalam Sarwono, 2002). Norma Tanggungjawab Sosial (Social responsibility Norm) "Kita wajib menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan apapun dimasa depan". Oleh karena itu kita mau menolong orang buta menyeberang jalan, menunjukkan jalan kepada yang bertanya (Berkowitz dalam Sarwono, 2002). Keadaan ini erat hubungannya dengan atribusi. Jika yang kita berikan adalah atribusi eksternal pada kesusahan orang lain (miskin karena cacat, dsbnya) maka kita lebih bersedia memberikan pertolongan dari pada karena Atribusi internal (miskin karena malas, dsbnya). Disamping itu, teori ini juga berkaitan dengan konsep beragama dan beretika sehingga perilaku menolong tidak semata-mata dikendalikan oleh naluri biologik. Norma Keseimbangan (Harmonic Norm] Seluruh alam semesta harus berada dalam keadaan seimbang, serasi dan selaras. Manusia harus membantu mempertahankan keadaan seimbang itu antara lain dengan perilaku menolong (Ma dalam Sarwono, 2002). 5. Teori Evolusi 6

Altruisme dilakukan demi kondisi survival (mempertahankan kelangsungan hidup), yaitu untuk mempertahankan jenis dalam proses evolusi: Perlindungan kerabat (Kin Protection) Secara alamiah orang cenderung membantu orang lain yang ada pertalian darah, orang-orang yang dekat dengannya maupun yang memiliki persamaan dalam keyakinan, orientasi seksual atau sama-sama berada dalam kelompok minoritas (Rushton dkk dalam Sarwono, 2002). Timbal balik biologik (Biological Recprocity) Menolong untuk memperoleh pertolongan kembali dan pertolongan diberikan pada orang yang suka menoiong. Contoh : perilaku menolong pada kelelawar. Teori kognitif Tingkat perkembangan kognitif akan berpengaruh terhadap perilaku menolong. Pada anak-anak, perilaku menolong lebih pada pertimbangan hasil (gain) tanpa mempertimbangkan kerugiannya. Semakin dewasa seseorang semakin tinggi kemampuannya dalam berpikir abstrak sehingga akan semkin mampu mempertimbangkan usaha dan biaya yang dikeluarkan untuk menolong orang lain. Perilaku menolong dipicu oleh faktor dari luar dan dari dalam individu (Sarwono, 2002). 1. Faktor Luar/ Pengaruh siluasi a. Bystanders Yang berpengaruh pada perilaku menolong atau tidak menolong adalah adanya orang lain yang kebetulan bersama kita di tempat kejadian (bystanders). Semakin banyak orang lain semakin kecil kemungkinan untuk menoiong dan sebaliknya orang yang sendirian cenderung untuk menolong. b. Menolong jika orang lain juga menolong

Adanya orang yang menoiong orang lain akan memicu kita untuk juga ikut menoiong. c. Desakan waktu Biasanya orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung untuk tidak menoiong, sedangkan orang yang santai lebih besar kemungkinan untuk memberikan pertolongan pada orang yang memerlukan. d. Kemampuan yang dimiliki. Kalau orang merasa mampu, ia akan cenderung menolong sedangkan kalau merasa tidak mampu ia tidak menolong. 2. Faktor Dalam/ Pengaruh Dari dalam Diri a. Perasaan Perasaan negatif pada anak akan menghambatnya melakukan perilaku menoiong tetapi pada orang dewasa akan mendorongnya melakukan perilaku menoiong karena pada orang dewasa sudah merasakan dampak dari perilaku menoiong untuk mengurangi perasaan negatif tersebut sedangkan pada anak belum ada kemampuan seperti itu. Dilain pihak perasaan sang positif menunjukkan hubungan yang lebih konsisten dengan perilaku menolong. b. Faktor sifat Orang menoiong karena pada diri seseorang ada sifat menoiong yang sudah tertanam dalam kepribadiannya (Guagano dalam Sarwono, 2002). c. Agama Keyakinan terhadap norma agama bahwa harus menoiong prang yang lemah, sehingga membuat seseorang mau memberikan pertolongan kepada orang lain (Baker dalam Sarwono, 2002) d. Tahapan moral Pembuktian secara teoritis ada hubungan antara tahapan perkembangan moral dengan perilaku menoiong (Boedihargo dalam Sarwono, 2002). Tahapan Perkembangan Moral dari Kohlberg (Duska dan Whelan, 1982): 8

1) Tahap Pra-konvensional a) Orientasi hukuman dan kepatuhan (menghindari hukuman) b) Orientasi Relativis Instrumental (keuntungan timbal balik) 2) Tahap Konvensional a) Orientasi anak baik dan anak patuh (untuk menyenangkan orang lain) b) Orientasi hukum dan ketertiban (ketertiban sosial dan otoritas) 3) Tahap Pasca-konvensional a) Orientasi Kontrak sosial legalitas (untuk kepentingan masyarakat)

b) Orientasi azasetika universal (suara hati, etika yang dipilih sendiri) e. Jenis Kelamin Pengamatan terhadap 6.300 orang pejalan kaki di Boston dan Cambridge (AS) ternyata 1,6% menyumbang pada peminta-minta jalanan. Di antara para penyumbang itu laki-laki lebih banyak daripada wanita (Latane & Darley dalam arwono, 2002), mungkin berkaitan dengan kemampuan fmansial. Faktor-faktor dari dalam diri orang yang ditolong mempengaruhi perilaku menoiong (Sarwono, 2002). a. Jenis kelamin Penelitian di AS wanita lebih banyak ditolong daripada laki-laki. Lebih khusus lagi jika penolongnya laki-laki, maka wanita lebih banyak ditolong tetapi jika penolongnya wanita, maka laki-laki dan wanita sama banyak mendapat pertolongan. b. Kesamaan Kesamaan antara penolong dan yang ditolong meningkatkan perilaku menoiong. misalnya dalam hal pakaian, jenis kelamin (laki-laki menuntut hukuman yang lebih ringan terhadap korban perkosaan daripada wanita, Kanekar & Seksaria dalam Sarwono, 2002), ras dan lain-lain c. Tanggungjawab Korban 9

Kalau ada orang terkapar di pinggir jalan dan butuh pertolongan maka orang akan cenderung memberi pertolongan kalau korban berpakaian rapi dan luka-luka daripada korban berbaju lusuh dan berbau alkohol. (Weiner dalam Sarwono, 2002), Kondisi ini berhubungan dengan atribusi yang diberikan. d. Daya Tarik 'Semakin besar rasa tertarik penolong terhadap yang ditolong semakin besar kecenderungan untuk menolong. Secara teoritis dapat dilakukan walaupun dalam kenyataannya belum ditemukan cara yang paling ampuh. Secara umum mengurangi menolong. 1. Mengurangi Kendala a. Mengurangi keraguan atau ketidakjelasan dan meningkatkan tanggungjawab (Bickman dalam Sarwono, 2002) b. Meningkatkan rasa tanggungjawab dapat dipancing dengan ajakan secara pribadi. Misalnya: menjadi relawan lewat telepon, radio dsb. c. Mengingatkan seseorang tentang kesalahannya dengan demikian orang akan cenderung lebih mau menoiong untuk menebus kesalahannya tersebut. d. Memanipulasi gengsi atau harga diri seseorang. Kalau mau minta sumbangan Rp.10.000, minta dulu Rp. 50.000,- maka orang cenderung memberi (foot in the door technique). 2. Memasyarakatkan Perilaku Menolong a. Memberi instruksi : Anak-anak biia diberi instruksi untuk menoiong oran glian biasanya akan meningkatkan perilaku menoiong mereka (Grusec dalam Hogg & Vaughan, 2002). b. Menggunakan reinforcement : pemberian hadiah bagi perilaku akan menyebabkan perilaku itu diulangi kembali (Hogg & Vaughan, 2002) c. Modeling: Manusia belajar menolong dengan melihat orang lain melakukan tindakan menolong (Hogg & Vaughan, 2002) 10 kendala yang menghambat perilaku menolong dan memasyarakatkan perilaku menolong diharapkan dapat meningkatkan perilaku

d. Pengaruh normatif: Mengajarkan inklusi moral seperti penanaman nilai "bahwa orang lain adalah golongan kita juga". Inklusi moral meningkatkan perilaku menolong (Hbgg&Vaughan, 2002; Fogelman, 1994). e. Proses atribusi: Atribusi diri tentang perilaku menolong lebih kuat pengaruhnya dibanding reinforcement. Mereka yang diberi label sebagai orang yang penolong akan berusaha mempertahankan predikatnya (Hogg & Vaughan, 2002). Memberikan atribusi "menolong" pada perilaku altruis. Yang membantu diberi ucapan "terima kasih atas pertolongan anda" sehingga orang bersangkutan merasa perilakunya betul-betul membantu orang lain sehingga ada kecenderungan memulainya. (Batson dalam Sarwono, 2002). f. Memberikan pelajaran tentang perilaku menolong. Orang yang tahu bahwa keberadaan orang lain akan menghambat perilaku menolong akan tetap menolong walaupun ditempat itu banyak orang lain, sebaliknya orang yang tidak tahu akan berlalu begitu saja (Beaman dalam Sarwono, 2002).

DAFTAR PUSTAKA Baron, R.A., & Byrne, D. (2008). Social Psychology (12th Ed.). Boston: Pearson Education. 11

Boeree, C.G. (2008). Psikologi Sosial. Jogjakarta: Ar-Ruz Media. Sarwono, S.W. (1999). Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Taylor, S.E., Peplau, L.A., & Sears, D.O. (2009). Psikologi Sosial (Terjemahan) (Edisi Kedua Belas). Jakarta: Pranada Media Group

12

You might also like