You are on page 1of 31

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG Teknologi rekayasa genetika yang saat ini berkembang pesat merupakan hasil dari beberapa penelitian, terutama yang berkaitan dengan penemuan DNA salah satunya adalah penurunan karakteristik pada suatu organisme. Prinsip dasar penurunan karakteristik fisik suatu organisme pertama kali dikemukakan oleh George Mendel tahun 1865 yang dilakukan pada tanaman pea, dengan menunjukkan adanya hubungan fenotip dan genotip dari suatu organisme. Faktorfaktor penurunan ini oleh Suton (1902) disebut sebagai gen, dimana gen adalah kumpulan DNA yang terdapat dalam kromosom inti sel yang berfungsi mengatur dan mengendalikan sifat makhluk hidup. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Avery, Ac Leod dan Mc. Carty pada tahun 1944 serta Hershey dan Chasey pada tahun 1952, semakin diyakini bahwa gen adalah DNA yang merupakan material genetik. Para ahli biologi seperti Delbruck, Chargaff, Crick dan Monod memberikan sumbangan yang besar pada revolusi genetika kedua tahun 1966, yaitu dengan menguraikan struktur DNA, serta proses transkripsi dan translasi ke protein. Selanjutnya pada tahun 1971-1973 penelitian genetika ini maju dengan pesatnya, sehingga dapat dikatakan telah terjadi revolusi dalam bidang biologi modern, yaitu ditandai dengan munculnya teknologi DNA rekombinan atau rekayasa genetika dimana inti dari seluruh prosesnya adalah kloning gen (Faisal, 2005). Menurut Faisal (2005), teknologi rekayasa genetika merupakan transplantasi atau pencakokan suatu gen ke dalam gen lainnya, yang dapat bersifat antar gen ataupun lintas gen melalui teknik biologi molekuler untuk mendapatkan karakter yang dikehendaki. Produk yang diperoleh melalui teknologi rekayasa genetika ini dikenal dengan istilah transgenik. Dimana produk-produk transgenik ini mencakup berbagai hal, diantaranya obat-obatan, tanaman, binatang, enzim, bahan bakar dan pelarut. Salah satu produk teknologi rekayasa genetika yang cukup mudah ditemui saat ini adalah tanaman transgenik. Teknologi rekayasa genetika pada tanaman pertama kali dilakukan pada tahun 1980an, dimana pada tahun 1988 telah

dihasilkan 23 jenis tanaman transgenik, tahun 1989 meningkat menjadi 30 tanaman dan pada tahun 1990 sudah lebih dari 40 jenis tanaman transgenik. Beberapa contoh produk teknologi rekayasa genetika pada tanaman yang telah dilakukan sampat saat ini adalah seperti pada kedelai, jagung, tembakau, kapas, padi, tomat dan sebagainya (Faisal, 2005). Bahkan saat ini juga sedang berkembang tanaman transgenik yang sangat bermanfaat dalam bidang medis, yaitu berupa tanaman transgenik yang berfungsi sebagai vaksin atau disebut sebagai edible transgenic plant-made vaccines (Yu, Natalie, 2008). Edible transgenic plant-made vaccines diproduksi dalam pertanian molekuler, dimana tanaman dengan spesifikasi tertentu diproses melalui transformasi dan material dari tanaman tersebut digunakan sebagai perantara antigen untuk dapat masuk ke dalam tubuh secara oral. Secara spesifik, sebagai perantara antigen secara oral, tanaman yang telah berhasil ditransformasi dapat dimodifikasi terlebih dahulu dalam bentuk pil ataupun makanan yang selanjutnya dapat dengan mudah masuk dalam tubuh (Yu, Natalie, 2008). Produksi edible transgenic plant-made vaccines didasari oleh beberapa penemuan kelemahan yang dimiliki oleh vaksin konvensional atau injected vaccines, dimana penggunaan injected vaccines ini adalah melalui proses injeksi sehingga memasuki tubuh secara langsung melalui peredaran darah. Beberapa kelemahan vaksin konvensional ini, diantaranya terletak pada proses pemasukan injected vaccines ke dalam tubuh ini lebih beresiko, selain itu produksi injected vaccines ini juga membutuhkan biaya yang besar serta kurang efisien dalam hal penyimpanan. Oleh karena itu, para ilmuwan mulai mengembangkan penelitian tentang edible plant-made vaccines karena vaksin jenis ini dianggap memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan vaksin konvensional (injected vaccines) (Yu, Natalie, 2008). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pada makalah ini akan dibahas lebih mengenai proses teknologi rekayasa genetika pada tanaman khususnya untuk memproduksi tanaman transgenik, yaitu edible transgenic plant-made vaccines.

RUMUSAN MASALAH Rumusan masalah yang akan dikaji pada makalah ini, antara lain : 1. Apakah yang dimaksud dengan teknologi rekayasa genetika? 2. Apakah yang dimaksud dengan tanaman transgenik? 3. Bagaimana cara memproduksi suatu tanaman transgenik beserta contohnya? 4. Apakah yang dimaksud dengan edible transgenic plant-made vaccines? 5. Bagaimana cara memproduksi edible transgenic plant-made vaccines beserta contohnya? 6. Apakah kebaikan dan kelemahan dari edible transgenic plant-made vaccines? TUJUAN Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui, mengerti dan memahami tentang teknologi rekayasa genetika, tanaman transgenik dan edible transgenic plant-made vaccines.

PEMBAHASAN
TEKNOLOGI REKAYASA GENETIKA Teknologi rekayasa genetika merupakan salah satu cabang dalam bidang bioteknologi, dimana bioteknologi merupakan suatu usaha penggunaan tanaman, hewan ataupun mikroba, baik secara keseluruhan maupun sebagian, untuk membuat atau memodifikasi situ produk mahluk hidup ataupun merubah spesies makhluk hidup yang telah ada. Dalam teknologi rekayasa genetika dikenal juga istilah proses rekayasa genetika atau genetic engineering (GE), dimana proses ini diartikan sebagai suatu proses bioteknologi modern dimana sifat-sifat dari suatu makhluk hidup dapat dimodifikasi dengan cara menyisipkan gen dari satu spesies makhluk hidup ke spesies yang lain ataupun dalam satu spesies. Proses genetic engineering (GE) ini juga dikenal dengan istilah teknologi rekombinan DNA atau recombinant DNA technology. Pada teknologi rekayasa genetika ini dikenal juga beberapa istilah, seperti transgenik yang merupakan suatu organisme yang mengandung transgen, dimana transgen adalah gen asing yang disisipkan ke dalam suatu spesies. Transgen ini dapat diisolasi dari suatu spesies yang sekerabat atau bahkan spesies yang lain sama sekali, umumnya transgen ini diisolasi dari spesies yang memiliki sifat unggul tertentu. Sehingga dapat dikatakan bahwa transgenik merupakan hasil atau produk yang diperoleh dari proses teknologi rekayasa genetika. Organisme ini juga sering disebut sebagai GMO (Genetically Modified Organism) yang menyatakan secara jelas bahwa organisme tersebut telah mengalami modifikasi genetik. Mekanisme dari proses genetic engineering (GE) atau recombinant DNA technology intinya adalah proses kloning gen, dimana awalnya meliputi proses isolasi fragmen DNA yang mengandung gen target atau transgen. Kemudian fragmen DNA yang mengandung gen target atau transgen diklon pada molekul DNA sirkuler (plasmid) yang disebut vektor (vector). Vektor bertindak sebagai wahana yang membawa gen target masuk ke dalam sel tuan rumah (host), biasanya berupa bakteri. Di dalam sel host, vektor melakukan replikasi yang menghasilkan banyak turunan yang identik, baik vektornya ataupun gen target

yang disisipkan (transgen). Ketika sel host membelah, molekul DNA rekombinan diwariskan kepada progeny dan terjadi lagi replikasi vektor. Setelah terjadi sejumlah pembelahan yang identik, dimana tiap sel dalam klon mengandung satu atau lebih molekul DNA rekombinan. Setelah tereplikasi, barulah kemudian molekul DNA rekombinan tersebut dapat dimanfaatkan lebih lanjut (Gambar 1).

Gambar 1. Mekanisme Proses Genetic Engineering

Setelah melalui proses tersebut maka akan diperoleh suatu produk yang dikenal dengan istilah transgenik ataupun GMO (Genetically Modified Organism), dimana salah satu contohnya adalah tanaman transgenik. TANAMAN TRANSGENIK Tanaman transgenik merupakan salah satu produk yang dihasilkan melalui proses rekayasa genetika, dimana tanaman ini dihasilkan dengan cara mengintroduksi suatu gen tertentu, biasanya gen yang membawa suatu sifat unggul tertentu, kedalamnya sehingga diperoleh suatu tanaman yang memiliki karakteristik seperti yang dikehendaki. Beberapa sifat dari tanaman transgenik yang umumnya diaplikasikan dalam bidang pertanian, diantaranya : 1. resisten terhadap zat kimia tertentu, seperti herbisida 2. resisten terhadap hama dan penyakit tertentu 3. memiliki sifat-sifat tertentu, seperti padi yang memiliki kandungan beta karoten dan vitamin A, kedelai dengan kadar lemak tak jenuh rendah, dan sebagainya 4. dapat mengambil nitrogen sendiri dari udara, dimana gen dari bakteri pemfiksasi nitrogen disisipkan ke dalam tanaman sehingga tanaman mampu memfiksasi nitrogen dari udara sendiri 5. resisten terhadap stress lingkungan, seperti mampu beradaptasi pada kekeringan, iklim dingin dan kadar garam tinggi Pemilihan karakteristik tanaman tanaman transgenik tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas baik fenotip maupun genotip dari tanaman tersebut, sehingga tanaman transgenik tersebut dapat memberikan keuntungan yang lebih bagi konsumennya. Berikut ini merupakan beberapa tanaman transgenik yang telah dikembangkan beserta manfaatnya : 1. Peningkatan kandungan nutrisi : Pisang, cabe, raspberries, stroberi, ubi jalar 2. Peningkatan rasa : tomat dengan pelunakan yang lebih lama, cabe, buncis, kedelai

3. Peningkatan kualitas fenotip : pisang, cabe, stroberi dengan tingkat kesegaran dan tekstur yang meningkat 4. Mengurangi alergen : polong-polongan dengan kandungan protein allergenik yang lebih rendah 5. Kandungan bahan berkhasiat obat : tomat dengan kandungan lycopene yang tinggi (antioksidan untuk mengurangi kanker), bawang dengan kandungan allicin untuk menurunkan kolesterol, padi dengan kandungan vitamin A dan besi untuk mengatasi anemia dan kebutaan 6. Tanaman untuk produksi vaksin dan obat-obatan untuk mengobati penyakit manusia Gambar 2 menunjukkan beberapa contoh tanaman transgenik yang merupakan hasil dari proses rekayasa genetika.

Gambar 2. Beberapa Contoh Tanaman Transgenik

PEMBUATAN TANAMAN TRANSGENIK Pada dasarnya pembuatan tanaman transgenik ini sama seperti prosedur rekayasa genetika pada umumnya, yaitu meliputi isolasi fragmen DNA yang mengandung gen yang menurunkan karakteristik yang diinginkan atau transgen, pembuatan rekombinan DNA dan kloning gen, transformasi molekul DNA rekombinan ke dalam sel tanaman dan regenerasi tanaman.

Gambar 3 merupakan ilustrasi pembuatan tanaman transgenik secara umum.

Gambar 3. Pembuatan Tanaman Transgenik

Proses pembuatan tanaman transgenik, hal pertama yang harus dilakukan adalah identifikasi fragmen DNA yang mengandung gen yang akan menghasilkan sifat tertentu (sifat yang diinginkan). Fragmen DNA yang mengandung gen dengan karakter yang diinginkan dapat diambil dari tanaman lain, hewan, cendawan, atau bakteri. Kemudian setelah teridentifikasi, selanjutnya gen tersebut dapat diisolasi. Setelah gen yang diinginkan terisolasi, maka dapat dilakukan perbanyakan atau replikasi gen yang disebut dengan istilah kloning gen. Pada tahapan kloning gen, fragmen DNA asing yang mengandung gen tersebut atau transgen akan dimasukkan ke dalam vektor kloning (agen pembawa transgen), contohnya plasmid (DNA yang digunakan untuk transfer gen). Kemudian, vektor kloning akan dimasukkan ke dalam bakteri sehingga DNA dapat diperbanyak seiring dengan perkembangbiakan bakteri tersebut. Apabila gen yang diinginkan telah diperbanyak dalam jumlah yang cukup maka akan dilakukan transfer gen asing tersebut ke dalam sel tanaman yang berasal dari bagian tertentu, salah satunya adalah bagian daun. Proses transfer gen ini dikenal juga dengan istilah transformasi DNA. Transfer gen ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metode transfer gen secara langsung, dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu :

1. Metode senjata gen (gen gun) atau penembakan miroproyektil (microprojectile bombardment) Prinsip dari metode ini adalah penembakan partikel DNA yang telah terlapisi dengan emas dan kemudian secara langsung ditembakkan ke dalam sel atau jaringan tanaman (Gambar 4).

Gambar 4. Proses Particle Bombardment

Metode ini sering digunakan pada spesies jagung dan padi. Untuk melakukannya, digunakan senjata yang dapat menembakkan mikroproyektil berkecepatan tinggi ke dalam sel tanaman. Mikroproyektil tersebut akan mengantarkan DNA untuk masuk ke dalam sel tanaman. Penggunaan senjata gen memberikan hasil yang bersih dan aman, meskipun ada kemungkinan terjadi kerusakan sel selama penembakan berlangsung. 2. Karbid silikon Suspensi sel tanaman yang akan ditransformasi dicampur dengan serat karbid silicon dan DNA plasmid dari gen yang diinginkan dimasukkan ke dalam microtube kemudian dicampur dan diputar menggunakan vortex. 3. Elektroporasi Metode transfer DNA yang umum digunakan pada tanaman monokotil adalah elektroporasi dari protoplas. Elektroporasi menggunakan perlakuan listrik bervoltase tinggi menyebabkan permeabilitas tinggi pada membran sel dengan membentuk pori-pori sehingga DNA mudah penetrasi ke dalam proptoplas.

Perlakuan elektroporasi ini seringkali dikombinasikan dengan perlakuan poly ethylene glycol (PEG) pada protoplas (Gambar 5).

Gambar 5. Proses Penggabungan Protoplas

Atau secara lebih sederhana pada metode elektroporasi ini, sel tanaman yang akan menerima gen asing harus mengalami pelepasan dinding sel hingga menjadi protoplas (sel yang kehilangan dinding sel). Selanjutnya sel diberi kejutan listrik dengan voltase tinggi untuk membuka pori-pori membran sel tanaman sehingga DNA asing dapat masuk ke dalam sel dan bersatu (terintegrasi) dengan DNA kromosom tanaman. Kemudian, dilakukan proses pengembalian dinding sel tanaman. Metode transfer gen yang berikutnya adalah metode transfer gen secara tidak langsung, dimana metode transformasi ini diperantarai oleh bakteri Agrobacterium tumefaciens (Gambar 6).

10

Gambar 6. Transfer Gen dengan Agrobacterium tumefaciens

A. tumafaciens adalah mikroorganisme tanah yang menyebabkan penyakit crown gall (pembengkakan) pada banyak spesies tanaman dikotil (Gambar 7). Penyakit ini muncul bila terdapat luka pada batang tanaman yang memungkinkan A. tumafaciens dapat menyerang tanaman. Setelah bakteri ini menginfeksi akan menyebabkan proliferasi jaringan seperti kanker di daerah puncak (crown). Kemampuan untuk menyebabkan penyakit ini memiliki hubungan dengan adanya plasmid Ti (Tumor Inducing) dalam sel bakteri tersebut.

Gambar 7. Penyakit Crown Gall

11

Sifat yang khusus pada plasmid Ti (Gambar 8) adalah bahwa infeksi sebagian dari molekul plasmid dapat berintegrasi dalam kromosom DNA tanaman, sehingga dihasilkan segmen yang disebut T-DNA.

T-DNA region

Opine catabolism Virulence region Ori

Gambar 8. Plasmid Ti

Segmen ini dipertahankan dalam bentuk stabil pada tanaman dan diturunkan ke sel anak sebagai bagian integral kromosom. T-DNA kira-kira mengandung 8 gen yang diekspresikan dalam sel tanaman dan bertanggung jawab atas sifat-sifat kanker pada sel yang ditransformasi. Gen-gen tersebut juga mengarahkan sintesis senyawa yang disebut opin yang digunakan bakteri sebagai nutrient. Dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh plasmid Ti pada bakteri A. tumafaciens, maka plasmid Ti dapat digunakan untuk memindahkan gen baru pada sel tanaman sehingga pembuatan tanaman transgenik dimungkinkan. Hal yang penting adalah menginsersikan gen baru ke dalam T-DNA dan kemudian bakteri dapat melakukan integrasi kedalam DNA kromosom tanaman. Karena ukuran plasmid Ti yang agak besar (> 200 kb) maka hal ini menyebabkan manipulasi molekulnya yang sangat sulit. Strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah ini secara umum ada dua yaitu sistem vektor biner dan strategi kointegrasi. Sistem vektor biner didasarkan pada pengamatan bahwa T-DNA tidak perlu secara fisik melekat pada sisa plasmid Ti. Artinya dapat dibuat suatu sistem dengan 2 plasmid dengan T-DNA pada molekul yang relatif kecil dan sisa molekul plasmid dalam bentuk yang normal. Plasmid T-DNA cukup kecil untuk memiliki tempat restriksi yang khas bagi gen yang ingin diklon serta dapat dimanupulasi.

12

Jika A.tumafaciens yang mengandung plasmid Ti yang telah dimanipulasi dimasukkan dalam tanaman secara alamiah, yaitu dengan infeksi luka pada batang, maka hanya sel-sel yang menghasilkan crown gall yang memiliki gen yang diklon. Oleh karena itu diperlukan suatu cara agar gen baru dapat dimasukkan kedalam setiap sel tanaman. Pemecahan untuk masalah ini adalah dengan menginfeksi bukan tanaman dewasa tetapi kultur sel tanaman dalam medium cair. Sel-sel tanaman dapat dilakukan dengan cara yang sama seperti mikroorganisme. Sehingga tanaman dewasa yang berasal dari sel seperti ini akan mengandung gen yang diklon di dalam setiap selnya dan akan meneruskan gen tersebut kepada keturunannya. Meskipun demikian regenerasi tidaklah selalu mungkin dapat terjadi. Syarat yang harus dipenuhi adalah vektor dihilangkan kekuatannya (disarmed) dengan delesi paling sedikit beberapa gen yang bertanggung jawab atas terjadinya sifat kanker pada sel yang ditransformasi. Masalah lain pada regenerasi tanaman dewasa dari sel yang ditransformasi adalah efisiensi proses sangat bergantung pada spesies tertentu. Contoh, regenerasi tanaman tembakau biasanya berhasil sedangkan tanaman biji-bijian seperti gandum dan jagung masih harus diregenerasi dari kultur sel. Selain itu A.tumafaciens yang membawa plasmid Ti dialam hanya menginfeksi tanaman dikotil, sedang tanaman monokotil seperti biji-bijian masih belum jelas. Setelah proses transfer DNA selesai, dilakukan seleksi sel daun untuk mendapatkan sel yang berhasil disisipi gen asing. Hasil seleksi ditumbuhkan menjadi kalus (sekumpulan sel yang belum terdiferensiasi) hingga nantinya terbentuk akar dan tunas. Apabila telah terbentuk tanaman muda (plantlet), maka dapat dilakukan pemindahan ke tanah dan sifat baru tanaman dapat diamati. Salah satu aplikasi tanaman transgenik yang sedang berkembang saat ini adalah pemberian vaksin melalui tanaman transgenik atau yang dikenal dengan istilah edible transgenic plant-made vaccines. EDIBLE TRANSGENIC PLANTMADE VACCINES Peranan vaksin dalam penanggulangan dan pencegahan penyakit infeksi telah sejak lama kita ketahui. Salah satunya yang keberhasilan penanggulangan dan pencegahan penyakit cacar dengan menggunakan vaksin cacar. Sampai

13

dengan akhir tahun 1990-an melalui kampanye internasional terhadap penanggulangan penyakit utama penyebab infeksi seperti difteri, pertussis, polio, campak, tetanus dan tuberkulosis, lebih dari 80 % balita di seluruh dunia telah divaksinasi dengan ke 6 jenis vaksin tersebut, sehingga dapat menurunkan tingkat kematian bayi di seluruh dunia secara signifikan. Namun demikian tidak semua program vaksinasi ini berhasil dengan baik. Sekitar 20 % bayi-bayi yang dilahirkan belum terjangkau oleh vaksinasi, sehingga tingkat kematian balita akibat penyakit infeksi di seluruh dunia masih tinggi. Beberapa faktor penting penyebab kegagalan vaksinasi antara lain adalah harga vaksin yang mahal, menurunnya efektifitas vaksin akibat distribusi yang tidak baik, cara penyimpanan vaksin yang tidak tepat, tidak adanya kotak pendingin dalam pendistribusiannya, serta sebagian besar vaksin harus diberikan dengan cara penyuntikan. Keadaan ini mempengaruhi ketersediaan vaksin terutama di negara-negara miskin, dimana penyakit infeksi tersebut mengakibatkan tingginya angka penderita dan kematian. Keterbatasan tersebut memacu para peneliti untuk menemukan suatu terobosan baru dalam teknologi pembuatan dan cara pemberian vaksin. Bentuk vaksin yang diminati adalah vaksin yang dapat dikonsumsi tanpa harus menyuntikkannya atau tanpa harus disimpan di ruang pendingin sehingga memudahkan pendistribusiannya. Untuk mengatasi kendala yang dihadapi dalam ketersediaan vaksin terutama bagi para balita yang tinggal di negara-negara yang sedang berkembang, pada awal tahun 1990-an telah dikembangkan suatu teknologi tanaman transgenik dimana tanaman tersebut mengandung fragmen DNA yang berasal dari bakteri atau virus. Fragmen DNA bakteri atau virus yang dikloning ke dalam suatu tanaman ini merupakan gen yang akan mengkode pembentukan protein, yang biasanya dipilih protein yang terletak dipermukaan sel bakteri atau virus, sehingga bila tanaman tersebut dikonsumsi akan menghasilkan respon imun. Sistem kekebalan tubuh yang terbentuk akan dapat mengenali epitop spesifik pada permukaan sel bakteri dan virus, yang masuk ke dalam tubuh, sehingga akan terhindar dari infeksi bakteri atau virus tersebut. Produk tanaman transgenik inilah yang disebut dengan edible plant-made vaccine.

14

Vaksin secara potensial dapat mencegah dan mengobati penyakit manusia. Vaksin adalah persiapan biologi yang dapat meningkatkan imunitas atau kekebalan terhadap suatu partikel penyakit. Umumnya vaksin mengandung suatu agen yang menyerupai mikroorganisme penyebab penyakit, dan biasanya diproduksi dari mikroba bentuk lemah atau mati. Agen ini mampu menstimulus sistem imunitas tubuh untuk mengenali agen sebagai zat asing, membunuhnya dan mengingatnya, sehingga sistem imunitas ini dapat dengan mudah mengenali dan membunuh mikroorganisme yang sejenis apabila terinfeksi disuatu saat kemudian. Vaksinasi adalah proses materi antigenik (vaksin) untuk memproduksi kekebalan terhadap suatu jenis penyakit. Vaksin dapat mencegah ataupun memperbaiki akibat dari infeksi oleh suatu zat patogen. Vaksinasi melibatkan stimulasi sistem imunitas untuk menyiapkannya terhadap terjadinya suatu invasi dari partikel patogen. Penggunaan vaksin sangatlah efektif karena sel T dan sel B spesifik untuk melawan agen vaksin yang patogen, atau spesifik pada salah satu bagiannya, sehingga siap untuk melakukan proliferasi dan diferensiasi lebih cepat dibandingkan apabila terjadi secara alami oleh adanya zat patogen yang masuk. Kemajuan baru di bidang vaksin seperti conjugated pneumococcal vaccines untuk orang dewasa, nasal spray vaccines influenza, dan acellular pertussis vaccines untuk orang dewasa, merupakan cara yang efisien untuk menghasilkan proteksi imun yang bertahan lama. Penelitian sedang dilakukan pada vaksin yang banyak digunakan untuk penyakit-penyakit di negara berkembang seperti malaria, hookworm, dengue, enterotoxigenic E. coli, shigella, tuberkulosis. Vaksin terhadap penyakit non infeksi (seperti kanker, diabetes, dan penyakit Alzheimer) dan ketergantungan nikotin dan kokain masih merupakan pengobatan alternatif. Vaksin terhadap senjata biologi akan dimungkinkan dengan kemajuan pada vaksin DNA. Teknologi pemberian vaksin baru akan mempermudah cara pemberian (seperti transkutan, depot, nasal dan pemberian oral) tanpa mengurangi efikasi. Salah satu strategi terbaru untuk produksi dan pengantaran antigen vaksin secara oral adalah dengan edible transgenic plant-made vaccine dengan menggunakan metode mikrobiologi, dimana tanaman akan mengalami modifikasi genesitas. Gen ini merupakan gen yang diduga mengkode antigen vaksin

15

perlindungan terhadap virus, bakteri dan parasit patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan. Vaksin ini dapat secara mudah dihantarkan oleh proses pencernaan dari bagian tanaman transgenik yang mudah dicerna, atau yang menghasilkan protein murni dalam jumlah besar untuk oral. Beberapa tipe tanaman maupun jaringan tanaman yang dapat digunakan untuk produksi protein dan antigen vaksin lainnya, yaitu : 1. daun dan jaringan punca (stem) dari beragam spesies dan varietas tembakau, Arabidopsis thaliana, alfalfa, bayam dan kentang 2. rumput yang hidup di air, seperti Lemma spp. 3. biji-bijian seperti beras, kacang-kacangan, tembakau dan jagung 4. buah, seperti tomat dan strobery 5. sayuran umbi akar, seperti wortel 6. single-cell cultures dari alga Chlorella dan Chlamydomonas 7. kultur suspensi sel dari tembakau dan tanaman lainnya 8. kultur rambut akar yang diturunkan dari berbagai macam tanaman melalui transformasi Agrobacterium rhizogenes 9. transformasi kloroplas pada beragam spesies tanaman Berikut ini beberapa bagian dari tanaman yang sesuai untuk pembuatan edible transgenic plant-made vaccines, yaitu:

Antigen yang ditransformasikan ke dalam tanaman, dimungkinkan akan diekspresikan pada sitoplasma dan berkembang pada lokasi tersebut, atau bahkan dapat berlokasi pada berbagai organel tanaman maupun pada komparment

16

penyusunnya, seperti pada nukleus, mitokondria, vakuola, retikulum endoplasma ataupun apoplast sebagai sinyal peptida yang spesifik. Kriteria tipe tanaman yang dapat digunakan sebagai host dalam produksi edible transgenic plant-made vaccines ini, diantaranya bahwa tanaman tersebut harus mudah dicerna (edible) oleh manusia ataupun hewan, dengan istilah lain tanaman tersebut harus memenuhi status generally regarded as safe (GRAS) . Selain itu, tanaman transgenik yang akan digunakan sebagai edible plant-made vaccine ini harus dapat memproduksi daun, buah, biji ataupun umbi yang mudah dicerna. Kriteria lainnya, yaitu bahwa biomassa tersebut harus dapat diregenerasikan, melalui dengan yield yang tinggi. PERKEMBANGAN EDIBLE TRANSGENIC PLANT-MADE VACCINES Berikut ini merupakan beberapa protein serupa vaksin yang telah sukses diproduksi dalam tanaman transgenik, diantaranya pada A. Thaliana termasuk antigen dari virus gastroenteritis transmissible pada babi (Gomez et.al, 1998), Shigella flexneri yang ditransformasi antigen IpaC (MacRae et.al, 2004), penyakit infeksi bursal pada ayam (Wu et.al, 2004), antigen Mycobacterium tuberculosis (TB) ESAT-6 (Rigano et.al, 2006), protein rekombinan virus hepatitis B atau human immunodeficiency [partikel HBV/HIV dan protein HIV-1 p24 (Greco et.al, 2007; Lindh et.al, 2008) dan protein human papillomavirus L1 (Kohl et.al, 2007)]. Pada bagian buah dan umbi, diantaranya telah berhasil dikembangkan beberapa vaksin misalnya antigen yang berhasil diproduksi pada buah tomat, yaitu seperti glycoprotein G pada virus rabies, glycoprotein F pada virus synctial respiratory, protein permukaan pada virus hepatitis E, antigen Yersinia pestis F1V, antigen sintetik HBV/HIV, capsid antigen virus Norwalk, antigen permukaan virus hepatitis B, dan polipeptida sintetik yang mengandung epitop diphteria, pertussis, dan eksotoksin tetanus (DPT). Bahkan saat ini sedang dikembangkan transformasi protein chimaeric HPV-16 L1. Sedangkan pada kentang, telah berhasil ditransformasikan beberapa vaksin, diantaranya E.coli heat-labile enterotoxin (LT-B), lapisan protein virus Norwalk, virus untuk penyakit haemorrhagic (RHDV) VP 60 pada kelinci, HbsAg, kombinasi vaksin cholera,

17

E.coli dan rotavirus, protein human papillomavirus E7 dan L1, serta envelope protein virus untuk penyakit Newcastle. Pada daun dan bibit juga telah berhasil dikembangkan beberapa jenis vaksin dimana telah dilakukan pula tes in vivo terhadap vaksin tersebut, diantaranya seperti pada alfalfa transgenik yang diberikan sebagai pakan mencit menunjukkan adanya fusi antara epitop dari FMDV dengan glucuronidase (gus A) sebagai gen reporter, bayam transgenik yang dapat digunakan untuk menurunkan virus rabies pada mencit, produksi HBsAg pada lupin dan lettuce transgenik sehingga menghasilkan antibodi terhadapnya pada mencit dan manusia, albumin bibit bunga matahari dalam lupin yang menghasilkan efek anti-allergen terhadap vaksin, antigen permukaan pada virus hepatitis B pada yellow luppin calli atau tumours transgenik. Selanjutnya pada biji-bijian seperti jagung yang telah berhasil mentransformasikan beberapa jenis antigen terhadap virus dan bakteri serta antibodi. Contohnya E.coli LT-B toxin dan vaksin terhadap virus gastroenteritis (TGEV), dimana keduanya telah dilakukan uji in vivonya. Selain itu adalah padi yang telah berhasil mentransformasikan Cry j 1 dan Cry j 2 protein allergenik pada keju Jepang yang mampu mereduksi allergen yang spesifik terhadap IgE, poliferasi sel T dan respon histamin. Lalu sintetik gen fusi dari E.coli LT-B dan epitop dari epidermis virus diare, sebagai vaksin oral terhadap infeksi virus penyakit bursal (IBDV) VP2, serta memproduksi fusi dari chimaera dengan subuniy cholera toxin (CTB) sebagai stimulus spesifik untuk respon dari serum antibodi As16. Berikut ini merupakan beberapa contoh tanaman transgenik yang berperan sebagai perantara penghasil vaksin atau biofactor :

18

PEMBUATAN EDIBLE TRANSGENIC PLANT-MADE VACCINES Pembuatan edible plant-made vaccines dapat dilakukan dengan beragam cara, diantaranya sebagai berikut:

Akan tetapi, pembuatan edible transgenic plant-made vaccines melalui tanaman transgenik merupakan metode yang paling umum, mudah dan efisien untuk dikembangkan. Hal ini dikarenakan pembuatan edible transgenic plant-made vaccines memiliki beberapa keuntungan disbanding metode yang lain, yaitu memiliki yield yang tinggi, ekonomis, dapat mencakup skala besar, permanent,

19

lebih murni, idak terkontaminasi, memiliki ekspresi multi gen dan toksisitas rendah. Adapun pembuatan tanaman transgenik sebagai vaksin pada dasarnya memiliki metode yang sama seperti pada pembuatan tanaman transgenik pada umumnya. Dimana tahapannya meliputi identifikasi dan isolasi transgen, replikasi gen atau kloning gen, transfer gen dan proses transformasi, serta regenerasi (Gambar 9).

Gambar 9. Proses Pembuatan Tanaman Transgenik

Akan tetapi untuk memproduksi suatu tanaman transgenik sebagai vaksin ini, perlu juga dilakukan beberapa analisa yang bertujuan untuk meyakinkan keberhasilan proses transformasi dari gen ke dalam tanaman dan hal ini dapat dilakukan dengan beragam metode, yaitu yang melibatkan metode analisa secara kualitatif dan kuantitatif. Berikut ini adalah salah satu contoh pembuatan edible transgenic plantmade vaccine, yaitu tomat sebagai penghasil antigen untuk penyakit hepatitis B. Dalam hal ini, antigen yang dikembangkan adalah gen ORF2 yang merupakan bagian gen dari virus hepatitis E. Virus hepatitis E merupakan penyebab utama keakutan dari penyakit hepatitis non A, non B (NANB) di dunia dan umumnya terjadi dinegara yang belum berkembang, dimana Asia Tengah dan Timur serta Afrika Utara adalah wilayah epidemiknya. Rata-rata infeksi paling tinggi adalah menyerang orang muda dengan usia 15 40 tahun. Hepatitis E merupakan penyakit yang

20

ditimbulkan dari air, umumnya disebarkan melalui air yang terkontaminasi, dimana di dalamnya dimungkinkan tersebar bibit virus tersebut. Penyakit ini biasanya disebarkan dari satu individu ke individu lainnya melalui rute fecal-oral. Vaksin untuk virus hepatitis E ini, sebenarnya telah dapat diproduksi dan memiliki efektifitas yang tinggi. Akan tetapi, karena patogen dari virus hepatitis E ini sulit untuk dikultur atau dikembangkan, sehingga vaksinnya pun masih berada dalam keadaan terbatas. Sehingga muncul keinginan untuk memproduksi vaksinnya melalui rekombinan subunit. Susunan gen atau genom virus hepatitis E terdiri atas suatu RNA yang linier, single stranded, dan bermuatan positif, yaitu 7,5 kb yang terdiri dari 3 poly (A) tail dan 3 noncoding region, dan terdiri dari 3 open reading frame (ORFs) yang saling overlapping. Ketiga frame pengkode tersebut digunakan untuk mengekspresikan protein-protein yang berbeda (Gambar 10).

Gambar 10. Ketiga open reading frame (ORFs) pada virus Hepatitis E

ORF2 yang berlokasi diantara 5 147 dan 7 127 nt, terdiri dari 1 980 nt dan mengkode 660 asam amino (71 88 kDa) yang mengekspresikan satu atau lebih penyusun struktural protein capsid. ORF2 juga memiliki epitop yang penting untuk menginduksi antibodi penetral dan difokuskan dalam pengembangan vaksin. Epitop utama berada didekat gugus karboksil diakhir ORF2 dan ORF3. Epitop yang terdapat di ORF2 lebih banyak (90,5%) daripada epitop yang terdapat pada ORF3 (73,5%). Beberapa antigen ORF2 yang berbeda dapat menginduksi beberapa antibodi, seperti berikut ini :

21

Protein yang dikode oleh ORF2 dari virus hepatitis E merupakan suatu subunit yang dapat dikembangkan sebagai kandidat vaksin karena memiliki antigenisitas tinggi. Sejauh ini, gen ORF2 atau fragmentnya telah dapat diekspresikan pada selsel prokariot, sel serangga, sel hewan dan Pichia pastoris serta lainnya, dimana produk yang terekspresi memiliki sifat immunogenitas tinggi. Karena hepatitis E terjadi dinegara berkembang dengan sanitasi lingkungan rendah, dimana proses pengobatan medis mungkin terhalang oleh biaya yang relatif tinggi maka edible transgenic plant-made vaccine dapat dijadikan salah satu alternatif jalan keluarnya. Dalam hal ini tanaman transgenik yang edibel dan digunakan sebagai perantara produksi vaksin terhadap virus hepatitis E adalah buah tomat. Tomat merupakan buah yang kaya nutrisi dan dapat dikonsumsi sebagai dalam keadaan mentah sehingga dapat mempermudah proses transformasi vaksin ke dalam tubuh. Oleh karena itu, tomat dianggap merupakan tanaman yang ideal untuk digunakan sebagai pembawa vaksin oral, khususnya dalam hal ini untuk penyakit hepatitis E. Prosedur pembuatan edible transgenic plant-made vaccine untuk virus hepatitis E dengan perantara buah tomat sebagi tanaman transgenik adalah pertama harus dilakukan identifikasi dan isolasi fragment DNA 810 bp (E2) dari wilayah ORF2 pada virus hepatitis E yang terletak diantara residu asam amino 394 dan 604, dimana fragmen DNA (E2) ini diisolasi langsung dari serum

22

penderita hepatitis E dan kemudian dilakukan PCR terhadapnya. Selanjutnya, fragmen DNA (E2) diinsersikan ke dalam pBPF7 diantara promotor CaMV35S dan terminator nos pada sisi BamHI/EcoRI untuk membentuk pBE2. Fragmen yang mengandung P35S+W+E2+Tnos diisolasi oleh ekstraksi gel dari plasmid pBE2 setelah dilakukan restrisksi oleh PstI dan kemudian diklonkan kembali ke dalam plasmid pCAMBIA1301 yang telah diuraikan dengan endonuklease yang sama utuk memperoleh binary plasmid p1301E2 (Gambar 11).

Gambar 11. Plasmid p1301E2

Kemudian plasmid p1301E2 secara langsung ditransformasikan ke dalam Agrobacterium tumefaciens strain EHA105 dengan metode freeze-thaw. Tanaman tomat ditransformasi melalui daun dengan diperantarai oleh Agrobacterium tumefaciens strain EHA105 dengan plasmid p1301E2. Tunas yang dihasilkan berasal dari kalus yang telah bertransformasi setelah ditumbuhkan selama 3 4 minggu pada media khusus yang mengandung 20 mg hygromycin (Hyg) dan 300 mg cefotaxime per liter. Dimana kedua bahan tersebut berfungsi sebagai antibiotik untuk mengurangai kontaminasi dari mikroba lain yang mengganggu pertumbuhan tunas tanaman tomat yang telah bertransformasi. Tanaman tomat kecil yang telah tumbuh dipindahkan ke tanah sebagai media tumbuh kemudian ditumbuhkan sebagaimana tanaman pada umumnya. Gambar 12 menunjukkan prosedur pembuatan tanaman tomat sebagai edible transgenic plant-made vaccine terhadap penyakit Hepatitis E.

23

Gambar 12. Pembuatan Tomat sebagai Edible Transgenic Plant-Made Vaccine terhadap Penyakit Hepatitis E

Tanaman tomat yang telah bertransformasi dan dipindahkan ke dalam media tumbuh tanah, diletakkan di dalam rumah kaca untuk menghasilkan pertumbuhan tanaman tomat yang maksimum dan dengan kualitas terbaik. Dimana tanaman tomat yang telah bertransformasi akan dapat tumbuh dengan baik dan setelah 1 bulan akan menghasilkan bunga serta buah (Gambar 13).

24

Gambar 13. Bunga dan Buah dari Tanaman Tomat yang telah bertransformasi

Beberapa analisa kualitatif dan kuantitatif perlu dilakukan untuk mengetahui keberhasilan proses transformasi. Dalam hal ini beberapa metoda analisa yang dilakukan antara lain analisa ekspresi gen Gus, PCR, Sourthen Dot Blotting dan ELISA. Analisa ekspresi gen Gus bertujuan untuk membuktikan bahwa plasmid p1301E2 dengan transgen tersebut telah bertransformasi dengan gen dalam jaringan tumbuhan. Dimana dalam hal ini diperlukan adanya perbandingan ekspresi gen Gus antara tanaman tomat yang telah ditransformasi dan tidak. Karena perbedaan yang tampak apabila hanya dilihat dengan mata adalah tidak terlalu signifikan perbedaannya, dimana pada tanaman tomat yang telah berhasil mengalami transformasi akan menampakkan warna yang berbeda, yaitu pada daun akan tampak lebih hijau menyala, sedangkan daun tanaman tomat yang tidak ditransformasi tetap berwarna hijau seperti tanaman tomat pada umumnya (Gambar 14).

Gambar 14. Warna Daun Tanaman Tomat Tanpa Transformasi dan telah Bertransformasi

25

Oleh karena itu, perlu dilakukan analisa yang lebih peka dan akurat untuk dapat memastikan telah tertransformasinya transgen dalam plasmid tersebut, salah satunya dengan analisa ekspresi gen Gus ini. Proses pelaksanaan analisa ekspresi gen Gus ini dilakukan dengan mereaksikannya dengan Gus reaction buffer (larutan X-gluc staining) selama 12 hingga 24 jam pada suhu 37 0C, kemudian dibersihkan dengan alkohol absolut, diamati dan difoto dibawah mikroskop. Kemudian dibandingkan antara hasil yang diperoleh pada tanaman tomat yang ditransformasi dan tidak. Berdasarkan hasil analisa ekspresi gen Gus ini tampak bahwa daun pada tanaman tomat yang mengalami transformasi berwarna hijau lebih terang, sedangkan pada tanaman tomat yang tidak ditransformasi berwarna putih (Gambar 15).

Gambar 15. Hasil Analisa Ekspresi Gen Gus pada Tanaman yang Tidak Ditransformasi dan telah Bertransformasi

Hal ini membuktikan bahwa transgen dalam plasmid p1301E2 telah berhasil mengalami transformasi dengan gen dalam jaringan daun tanaman tomat. Metode analisa lain yang dapat dilakukan adalah PCR, dimana PCR ini bertujuan membuktikan terekspresi atau tidaknya gen Hepatitis E virus pada tanaman tomat yang telah ditransformasi dengan plasmid p1301E2. Metode PCR ini dilakukan dengan menggunakan sampel gen yang diisolasi dari daun tanaman tomat yang telah ditransformasi ataupun wild type (tidak ditransformasi) yang kemudian dibandingkan dengan marker DNA serta marker gen HEV dari plasmid p1301E2 dalam suatu hasil elektroforesis DNA. Berdasarkan hasil elektroforesis DNA dari hasil PCR, diperoleh data bahwa pada sampel gen yang berasal dari plasmid p1301E2 mengekspresikan pita 810 bp dan hal ini diikuti oleh sampel gen yang berasal dari daun tanaman tomat yang telah ditransformasi. Sedangkan untuk

26

tanaman tomat wild type, tidak menunjukkan adanya ekspresi pita pada 810 bp (Gambar 16).

Gambar 16. Hasil Elektroforesis DNA pada Gen Hasil PCR A1 = Marker DNA A2 = Gen plasmid p1301E2 A3 = Gen wild type A4 A10 = Gen tanaman tomat ditransformasi plasmid p1301E2

Sehingga dapat dismpulkan bahwa tanaman tomat tersebut telah berhasil ditransformasikan dengan transgen dalam plasmid p1301E2. Berikutnya adalah metode analisa Southern Dot Blotting, yang berfungsi sama seperti pada analisa dengan PCR dan elektroforesis DNA, hanya perbedaannya terletak pada hasil yang diperoleh. Pada PCR dan elektroforesis DNA ditunjukkan dengan terekspresi atau tidaknya pita 810 bp, sedangkan pada metode ini hanya ditunjukkan oleh intensitas warna ungu yang dihasilkan oleh reaksi antigen dan antibodi HEV. Pada metode Southern Dot Blotting ini, diperoleh hasil bahwa sampel yang berasal dari plasmid p1301E2 memberikan warna ungu yang pekat yang menunjukkan tingginya reaksi antara antigen dan antibodi didalamnya. Hal ini diikuti oleh sampel yang berasal dari DNA tanaman tomat yang telah ditransformasi, yaitu warna ungu yang cukup pekat, dimana hal ini menunjukkan bahwa dalam sampel DNA tersebut terdapat reaksi antigen dan antibodi yang cukup tinggi. Sedangkan pada sampel wild type, tidak diperoleh warna ungu atau tidak terekspresi (negatif). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tanaman tomat tersebut telah bertransformasi dengan plasmid p1301E2 (Gambar 17).

27

Gambar 17. Hasil Southern Dot Blotting B1 = Sampel DNA wild type B2 = Sampel plasmid p1301E2 B3 B8 = Sampel DNA tanaman tomat ditransformasi dengan plasmid p1301E2

Intensitas warna ungu yang dihasilkan menunjukkan pula tinggi rendahnya kadar antigen dalam sampel DNA yang ada, dimana semakin tinggi intensitas warnanya maka semakin tinggi pula kadarnya. Beberapa metode analisa yang telah dilakukan tersebut merupakan metode sebagai analisa kualitatif suatu sampel. Sedangkan untuk analisa kuantitatif dapat dilakukan dengan metode ELISA. Dalam hal ini metode ELISA digunakan untuk menentukan kadar protein HEV yang terdapat dalam sampel tanaman tomat wild type dan yang telah ditransformasi dengan plasmid p1301E2, dimana sampel yang digunakan berasal dari ekstrak protein dalam buah dan daun. Hasil yang diperoleh dari metode ELISA ini, baik pada buah ataupun daun, yaitu bahwa pada sampel tanaman tomat wild type tidak menunjukkan hasil apapun (negatif), sedangkan pada tanaman tomat yang telah ditransformasi dengan plasmid p1301E2 memberikan kadar protein sebesar 47,9 ng/g daun dan 61,22 ng/g buah. Dari beberapa analisa yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa tanaman tomat ini dapat digunakan sebagai edible transgenic plant-made vaccine terhadap virus Hepatitis E. KEBAIKAN DAN KELEMAHAN EDIBLE TRANSGENIC PLANTMADE VACCINES Setiap produk yang berasal dari teknologi rekayasa genetika, termasuk salah satunya tanaman transgenik khususnya sebagai edible transgenic plant-

28

made vaccine tentu memiliki beberapa kebaikan dan kelemahan. Kebaikan dari edible transgenic plant-made vaccine antara lain : 1. Biaya produksi untuk skala besar tidak terlalu mahal, apabila dibandingkan dengan vaksin konvensional 2. Mudah dalam hal penyimpanan 3. Mudah dalam hal pemrosesan 4. Administrasinya mudah dan tepat dan mudah diaplikasikan secara oral ataupun nasal ketika produk telah dimurnikan 5. Baik untuk menginduksi imunitas mukosa 6. Mengurangi penggunaan binatang sebagai vaksin Sedangkan beberapa kelemahan yang dapat ditimbulkan oleh edible transgenic plant-made vaccine, diantaranya : 1. Alergenitas 2. Kerusakan lingkungan, disebabkan oleh adanya hilangnya sifat-sifat alami tanaman dan degradasi komponen seluler. 3. Toleransi oral, apabila antigen diberikan terlalu frekuentif atau dengan dosis rendah yang berulang-ulang maka dapat mengakibatkan sistem imunitas mukosa menurun dan menjadi tidak peka terhadap vaksin sehingga tidak dapat melakukan penyembuhan dengan vaksin kembali. 4. Transfer gen, perpindahan antigen ke dalam suplai makanan konvesional melalui hibridisasi genetik atau kontaminasi produk dapat mengakibatkan toleransi oral. 5. Dosis yang tidak konsisten, tidak tertentunya jumlah antigen tidak dapat menghasilkan respon imun yang diperlukan untuk perlindungan terhadap suatu penyakit. Oleh karena itu, penggunaan dan pembuatan edible transgenic plant-made vaccine sebaiknya dilakukan dengan bijaksana atau dapat diatur dalam suatu peraturan tertentu yang berasal dari Pemerintah.

29

KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dari informasi tersebut antara lain : 1. Teknologi rekayasa genetika pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan suatu produk baru dengan kualitas yang lebih tinggi. 2. Tanaman transgenik merupakan salah satu produk hasil dari teknologi rekayasa genetika, dimana proses pembuatannya melibatkan beberapa tahapan tertentu, yaitu isolasi fragmen DNA transgen, pembuatan rekombinan DNA dan kloning gen, transformasi molekul DNA rekombinan ke dalam sel tanaman dan regenerasi tanaman. 3. Edible transgenic plant-made vaccine adalah salah satu aplikasi dari tanaman transgenik yang diperlukan dalam bidang kesehatan dan sedang berkembang saat ini. Salah satu contohnya adalah tanaman tomat sebagai edible transgenic plant-made vaccine terhadap virus Hepatitis E. 4. Tahapan akhir dari pembuatan edible transgenic plant-made vaccine adalah melakukan analisa dengan berbagai metode untuk membuktikan bahwa transgen yang ada telah bertransformasi dengan gen dari jaringan tanaman. 5. Seluruh produk hasil teknologi rekayasa genetika termasuk tanaman transgenik, khususnya edible transgenic plant-made vaccine memiliki beberapa kebaikan dan kelemahan tertentu. Sehingga proses pengembangannya harus dapat dilakukan dengan bijaksana dan bahkan diatur oleh suatu peraturan Pemerintah.

30

DAFTAR PUSTAKA
Berg, J.M, J.L. Tymoczko, L. Stryer. Biochemistry 5th Edition. W. H. Freeman and Company and Sumanas, Inc. Giddings, G., G. Allison, D. Brooks, A. Carter. 2000. Transgenic Plants as Factories for Biopharmaceuticals. Nature America. Kirk, D.D, K. McIntosh, A.M. Walmsley, R.K.D Peterson. 2005. Risk Analysis for Plant Made Vaccines. Transgenics Research Spinger 2005. Lehninger. 2005. Biochemistry 4th Edition. Ma, Y., S.O Lin, Y. Gao, M. Li, W.X Luo, J. Zhang, N.S Xia. 2003. Expression of ORF2 Partial Gene of Hepatitis E Virus in Tomatoes and Immunoactivity Gastroenterology. Rybicki, E.P. 2009. Plant Produced Vaccines : Promise and Reality. Drug Discovery Today Volume 14 Numbers . Rybicki, E.P. 2010. Plant Made Vaccines for Humans and Animals. Plant Biotechnology Journal Volume 8 pp. 620-637. Sophie, S. Genetically Modified Organism (GMO) atau Transgenik. Yayasan IDEP Foundation. Wang, L. and H. Zhuang. 2004. Hepatitis E: An Overview and Recent Advances in Vaccine Research. World Journal of Gastroenterology. of Expression Products. World Journal of

31

You might also like