You are on page 1of 12

CDMA Network

Memang menyebalkan kalau saat berbicara di telepon seluler untuk


urusan penting tiba – tiba hubungan telepon kita terputus dan ketika
mau menghubungi lagi sulit mendapatkan saluran. Bagi operator
penyelenggara jaringan hal seperti ini harus diwaspadai kalau tidak
ingin pelanggannya dengan mudah berpindah ke operator lain.
Sedangkan bagi para insinyur telekomunikasi ada baiknya untuk
mengetahui mengapa hal ini terjadi apalagi bagi kalangan yang ingin
lebih dalam memahami dunia seluler.

Permasalahan unjuk kerja pada jaringan yang masih baru, sering


dialami oleh operator telekomunikasi seluler baik yang berbasis GSM
maupun CDMA. Kejadian seperti dropcall ketika sedang berbicara,
gagal hand off, atau call set up yang lama adalah hal yang biasa
ditemui. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kejadian
tersebut, baik karena perancangan sisi radio atau perencanaan PN,
peramalan trafik yang tidak tepat, perencanaan link budget yang
kurang, dan pada ujungnya adalah karena desain jaringan yang tidak
optimal. Dalam tulisan ini akan dipaparkan mengenai berbagai hal
yang mempengaruhi unjuk kerja jaringan CDMA beserta
pemecahannya.

Istilah CDMA
Sebelum dibahas lebih lanjut ada beberapa istilah yang akan
digunakan dalam analisis yang harus dipahami dulu. Disini
digunakan terminologi mobile station (MS) untuk menyatakan
terminal secara umum apakah terminal bergerak ataukah tidak.
Sedangkan base station kadang sering digunakan untuk menyatakan
entitas BTS.

Eb/I0 atau Eb/N0 merupakan perbandingan antara energi tiap bit


sinyal informasi terhadap sinyal interferensi atau sinyal derau (noise)
yang menyertainya. Pada intinya adalah perbandingan antara kuat
sinyal yang dikehendaki terhadap kuat sinyal yang tidak
dikehendaki. Makin besar nilai Eb/I0 akan makin memberikan
performansi yang lebih baik.
FER (frame error rate) suatu perbandingan antara frame error
terhadap frame yang diterima dengan baik. Merupakan parameter
yang digunakan untuk mengukur permasalahan kualitas suara dan
cakupan layanan. Nilai FER direpresentasikan dalam prosentase,
misalnya 2% artinya hanya 2 frame dari 100 frame yang dikirimkan
diperbolehkan mengalami kesalahan. FER pada sistem CDMA yang
baik adalah nilainya rendah baik untuk arah BTS ke terminal MS
(forward) maupun arah terminal MS ke BTS (reverse).

Cell Coverage atau cakupan mengandung arti suatu area yang masih
berada dalam wilayah layanan dari base station sel tersebut.
Komunikasi yang menghubungkan baik dalam arah forward
maupun reverse harus berada dalam kondisi sama baiknya.

Processing Gain. Ialah perbandingan antara lebar bandwidth sinyal


pembawa (W) terhadap sinyal informasi yang dikirimkan dalam hal
ini yang digunakan adalah vocoder rate atau rate set (R). Rate set
yang digunakan dalam CDMA adalah vocoder 9.6 kbps dan 14.4
kbps. Perbandingan W/R untuk vocoder 9.6 kbps adalah 21.072 dB
dan untuk vocoder 14.4 kbps adalah 19.311 dB, dimana W sebesar
1.228 MHz. Processing gain akan mempengaruhi banyak hal dalam
sistem CDMA diantaranya adalah cakupan dan kualitas suara.

Mean opinion score (MOS). Ialah representasi kualitas suara yang


dilakukan dengan membandingkan antara vocoder satu dengan
vocoder lainnya menurut opini pendengar secara rata – rata di dalam
ruangan yang bebas interferensi suara dengan perlakuan yang sama,
oleh orang yang sama dan dalam kondisi yang sama. Pembobotan
dilakukan dengan memberikan nilai satu sampai dengan lima,
dimana nilai satu adalah kualitas terburuk dan lima adalah terbaik.
Contoh kualitas suara untuk telepon PSTN dengan PCM mempunyai
nilai MOS sekitar 4,1.

Parameter Performansi Jaringan Seluler


Pada dasarnya unjuk kerja atau performansi sistem seluler baik
berbasis sistem CDMA maupun GSM dapat diukur dengan melihat
beberapa parameter Quality of Service (QoS) jaringan. Operator
seluler di negara maju melakukan pengujian unjuk kerja jaringannya
secara periodik sebelum mendapatkan komplain layanan dari
pelanggan. Berikut ini contoh beberapa parameter yang digunakan
untuk mengukur performansi jaringan di Singapura untuk ketiga
operator disana yaitu SingTel Mobile, Starhub Mobile dan M1
Mobile. Parameter ini juga sering disebut sebagai Key Performance
Index (KPI).

Call success ratio. Atau rasio keberhasilan panggil didasarkan pada


jumlah panggilan sukses terhadap total jumlah panggilan yang
dilakukan.

Service coverage. Atau cakupan layanan didasarkan pada kekuatan


sinyal dan kemampuan jaringan dapat tetap mempertahankan kuat
sinyal sebesar –100dBm atau lebih baik selama periode panggilan
terjadi.

Voice Quality. Atau kualitas suara didasarkan pada kemampuan


jaringan memberikan tingkat kualitas suara yang dapat diterima
dengan baik dengan metode MOS dan merupakan informasi
komplemen dari cakupan layanan.

Call Drop-out atau Drop call. Parameter ini didasarkan pada


ketidakpastian jaringan mengalami putus hubungan saat terjadi
panggilan oleh terminal MS oleh jaringan dalam waktu 100 detik
selama periode panggilan untuk tiap terminal MS.

Fenomena dan Analisis Jaringan Radio CDMA


Faktor penyebab keempat QoS di atas saling terkait satu dengan
yang lain. Untuk itu dalam menganalisis sistem CDMA tidak bisa
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Ada trade-off antara
area cakupan, kapasitas sistem dan kualitas suara saling
mempengaruhi sehingga ketika salah satu performansi dinaikkan
maka dua yang lain akan menurun. Sedangkan pada call success
ratio selain dipengaruhi oleh kuat sinyal Eb/I0 pada sisi radio, faktor
yang sangat menentukan adalah sisi dimensioning jaringan.
Area Cakupan
Terminal MS akan dapat terlayani oleh sistem CDMA bila nilai Eb/I0
yang dia butuhkan cukup. Margin daya dibutuhkan untuk mengatasi
adanya perubahan kondisi lingkungan yang menyebabkan Eb/I0
turun di bawah level yang dipersyaratkan. Eb/I0 yang dibutuhkan
pada batas cakupan suatu sel ditentukan oleh sinyal pilot Eb/I0 yang
dibutuhkan oleh tiap terminal ditambah dengan margin daya.
Rendahnya harga Eb/I0 disebabkan karena sinyal pilot yang
diterima oleh MS rendah. Solusinya adalah dengan meningkatkan
nilai sinyal daya pada base station atau bila memang redaman yang
terjadi sangat tinggi yaitu dengan menambah jumlah sel (base
station).

Penggunaan rate set pada sistem juga akan mempengaruhi luas


cakupan yang bisa dilayani. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa
rate set yang digunakan akan menentukan processing gain yang
akhirnya mempengaruhi penerimaan Eb/I0 di sisi terminal MS.
Perbedaan processing gain antara rate set 9.6 kbps dengan rate set
14.4 kbps sangatlah signifikan, dimana sistem yang menggunakan
rate set 9.6 kbps sekitar 1.76 dB lebih baik. Bisa jadi suatu tempat atau
lokasi yang semula ketika sistem menggunakan rate set 9.6 kbps
mendapatkan layanan maka ketika diganti dengan rate set 14.4 kbps
kemungkinan akan tidak terlayani. Sebagai informasi saja
TELKOMFlexi menggunakan kedua rate set ini di dalam
jaringannya.

Sel pada sistem CDMA mempunyai karakteristik berkerut (mengecil)


ketika beban mendekati ambang beban maksimum yang bisa
dilayani oleh transmiter sel. Hal ini menyebabkan pelanggan yang
berada di perbatasan cakupan yang mulai mengkerut akan tidak
mendapatkan layanan ketika terjadi pengkerutan. Untuk itu
pelanggan tersebut harus dilimpahkan ke sel tetangga yang sedang
mempunyai beban lebih ringan. Orang mengatakan soft capacity
untuk hal yang dialami oleh sistem CDMA ini.
Gambar 1. menunjukkan perubahan cakupan layanan karena
fenomena pengerutan sel.

Kualitas suara
Kualitas suara yang diterima oleh pelanggan dipengaruhi oleh
vocoder set yang digunakan dan FER yang terjadi di jaringan.
Vocoder 14.4 kbps digunakan untuk mendapakan kualitas suara
yang lebih tinggi. Namun kualitas suara ini akan menurun kalau
nilai FER meningkat. Sebagai contoh sistem CDMA yang
menggunakan vocoder 14.4 kbps dan FER 1% mempunyai nilai MOS
3.94, dan ketika FER turun menjadi 2% maka nilai MOS 3.89.
Bila nilai FER dibuat tetap sedang jenis vocoder diubah, maka akan
ada perbedaan kualitas suara antara sistem vocoder 9.6 kbps dan
vocoder 14.4 kbps. Kualitas suara pada vocoder 9.6 kbps pada FER
1% secara kasar ekivalen dengan vocoder 14.4 kbps pada FER 3%.
Dengan demikian vocoder 14.4 kbps memberikan kualitas suara yang
lebih baik daripada vocoder 9.6 kbps pada nilai FER yang sama.
Untuk mendapatkan suatu kualitas suara yang sama, sistem vocoder
9.6 kbps membutuhkan Eb/I0 yang lebih tinggi dibanding sistem
14.4 kbps.
Gambar 2. menunjukkan hubungan antara MOS dan FER. Sebagai
catatan kurva di sini hanya sebagai ilustrasi saja.

Kapasitas Pelangaan
Kapasitas pelanggan yang dapat dilayani oleh satu frekuensi
pembawa sistem CDMA dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
coding rate yang digunakan, level Eb/I0 yang dibutuhkan tiap MS
dan interferensi dari sel lain bila dalam sistem tersebut terdapat
multiple sel. Secara umum kapasitas pelanggan dalam sistem CDMA
dituliskan sebagai berikut:

N = ((W/R) x Gs x Gv)/((Eb/I0)(1+f))

dimana:
W : bandwidth frekuensi pembawa sistem CDMA besarnya 1,228
MHz
R : rate dari vocoder, 9.6 kbps atau 14.4 kbps
Eb : energi per bit
Io : kerapatan daya spektral interferensi
Gs : gain dari sektorisasi antena
Gv : gain dari aktivitas suara
‘f’ : prosentase interferensi dari sel lain.
Vocoder rate (R) yang digunakan mempengaruhi kapasitas jumlah
pelanggan, dimana makin kecil coding rate yang digunakan makin
besar kapasitas pelanggan yang bisa dilayani. Sistem yang
menggunakan coding rate 9.6 kbps akan mempunyai kapasitas
pelanggan lebih besar dibanding sistem yang menggunakan coding
rate 14.4 kbps. Sedangkan Eb/I0 berpengaruh pada kapasitas dimana
makin kecil Eb/I0 akan memberikan kapasitas pelanggan yang
makin besar. Nilai Eb/I0 akan dipengaruhi oleh kekuatan sinyal
yang diterima pelanggan dan interferensi yang terjadi di sistem baik
oleh internal maupun eksternal sistem. Misal di pita frekuensi 1900
MHz, sistem CDMA mempunyai frekuensi kerja yang sama dengan
sistem DECT. Bila sistem CDMA berada di lokasi yang sama dengan
lokasi sistem DECT maka noise floor pada sistem CDMA akan naik
sehingga nilai Eb/I0 naik.

Perbedaan sistem CDMA IS-95 dengan CDMA 2000 1x, salah satunya
adalah penggunaan pilot pada kanal reverse di CDMA 2000 1x.
Kanal pilot pada reverse ini memberikan kemudahan bagi terminal
MS untuk mengolah coding dan mengukur sinyal dari base station
sehingga menurunkan nilai Eb/I0. Itulah salah satu faktor yang
menyebabkan mengapa sistem CDMA 2000 1x mempunyai kapasitas
hampir dua kali lipat dibanding kapasitas sistem CDMA IS-95.
Namun bila ada beberapa terminal IS-95A yang beroperasi di
jaringan CDMA 2000 1x, maka kapasitas CDMA 2000 1x tidak akan
dicapai dengan optimal karena terminal ini akan menaikkan Eb/I0.

Optimalisasi Jaringan
Performansi jaringan di lapangan akan terpengaruh oleh perubahan
pembebanan. Bisa jadi pada sebelum jam 8.00 pagi dimana beban
jaringan masih ringan, performansi bagus dan ketika jam 17.00 sore
dimana trafik tinggi, performansi jaringan menjadi buruk. Aturan
tangan kanan berlaku yaitu jaringan yang memberikan unjuk kerja
buruk pada kondisi beban ringan maka akan lebih buruk pada
kondisi beban puncak.

Sinyal Pilot
Suatu MS membutuhkan Eb/I0 yang cukup untuk dapat masuk ke
dalam cakupan layanan suatu sel. Untuk itu agar semua MS yang
berada dalam cakupan layanan dapat terlayani maka sinyal Eb/I0
harus dinaikkan bila rendah yaitu dengan menaikkan daya pancar
base station. Namun bila redaman yang terjadi tidak dapat diatasi
solusinya adalah dengan menambah base station.

Interferensi dan Solusinya


Interferensi pada arah forward link ditunjukkan dengan tingginya
nilai FER karena nilai Eb/I0 rendah disertai dengan tingginya daya
yang diterima oleh terminal MS. Terminal menerima daya yang
tinggi disebabkan karena ia mengukur total sinyal yang ada pada
seluruh pita sinyal pembawa, sehingga tingginya daya dan FER pada
MS mengindikasikan banyaknya interferensi pada arah base station
ke MS.

Setidaknya ada empat macam interferensi yang berpengaruh pada


sistem CDMA. Pertama interferensi karena pengaruh kanal trafik
arah forward dari BTS itu sendiri (home base station). Interferensi ini
disebabkan karena semua kanal trafik dari base station dikirimkan ke
terminal MS. Pemecahannya adalah dengan membatasi kanal trafik
yang bisa digunakan oleh sel tersebut. Di sinilah perancang jaringan
CDMA harus memperhatikan proyeksi pelanggan yang bisa
mengakses atau dilayani oleh suatu base station pada kondisi puncak
sehingga dapat dihindari terjadinya interferensi.

Interferensi arah base station ke MS yang kedua adalah interferensi


yang disebabkan oleh transmisi daya overhead yang berlebihan dari
base station tetangga (neighbour BTS). Orang juga sering
menyebutnya sebagai pilot polution, karena di lapangan sinyal pilot
adalah sinyal paling tinggi dibandingkan sinyal overhead lainnya.
Solusinya adalah dengan mengurangi sinyal overhead ini dengan
pengaturan kembali daya pancar terutama untuk kanal overhead
dari BTS yang berdekatan.

Interferensi arah base station ke MS yang ketiga adalah interferensi


yang disebabkan oleh transmisi kanal trafik dari base station lain.
Sinyal interferensi ini merupakan jumlah dari total daya sinyal pada
kanal trafik dari base station lain ke terminal MS di sel lain.
Pemecahan dari permasalahan ini adalah dengan mengatur kembali
orientasi antena tentunya dengan tidak mempengaruhi cakupan dari
sel tetangga tersebut.

Interferensi terakhir yang terjadi pada arah base station ke MS adalah


interferensi yang berasal dari sinyal non-CDMA. Sistem lain tersebut
berada di pita frekuensi sistem CDMA yang digunakan. Contoh
kasus pada interferensi ini adalah adanya sistem DECT yang
kebetulan mempunyai frekuensi kerjas sama dengan sistem CDMA
di pita 1900 MHz. Bila kedua sistem berada di lokasi dan frekuensi
yang sama maka kedua sistem tersebut akan saling menurunkan
performansi.

Sedangkan buruknya cakupan reverse-link ditunjukkan dengan


tingginya nilai FER arah reverse-link karena rendahnya nilai Eb/I0
dan tingginya daya yang diterima terminal MS. Hal ini disebabkan
karena power control terus menerus mencoba untuk mendekati
reverse-link yang dikehendaki dengan cara menambah daya pancar
base station. Ada tiga sumber yang menyebabkan interferensi
reverse-link. Interferensi tersebut adalah karena transmisi kanal
trafik oleh pelanggan lain dalam satu sel yang sama, interferensi
karena kanal trafik oleh pelanggan lain dari sel yang lain, dan
terakhir interferensi karena sinyal non CDMA. Solusinya hampir
sama untuk mengatasi permasalahan interferensi pada arah forward.

Alokasi PN Offset
Tidak seperti dalam sistem GSM dimana pembedaan antara suatu sel
dengan sel yang lainnya ditentukan oleh frekuensi pembawa yang
digunakan. Dalam sistem CDMA perbedaan antara suatu sel dengan
sel lainnya terletak pada PN offset. Jika pengalokasian PN offset ini
tidak tepat maka akan mengakibatkan ambiguitas identifikasi sel
yang melayani suatu terminal MS. PN offset harus dibuat sedemikian
rupa sehingga sel – sel yang berdekatan tidak saling mengganggu.

Indeks PN offset yang tersedia dalam sistem CDMA adalah 512 nilai
unik. Antara indeks PN offset satu dengan yang lainnya berbeda 64
chip, sehingga total periodenya adalah 32768 chip. Satu chip itu
sendiri berharga sekitar 0.814 mikrodetik. Ketika suatu sinyal pilot
bergerak dari suatu sel ke arah MS maka akan terjadi tunda.
Minimum tunda antara satu offset dengan offset lainnya yang
diperbolehkan adalah 64 chip = 4.09 x d (kilometer). Sehingga
dihasilkan interfal satu indeks PN offset adalah sekitar 15.6 km.

Jika sinyal dari dua sel yang kebetulan mempunyai PN offset yang
berdekatan mengalami tunda propagasi ke suatu MS maka akan
terjadi ambiguitas deteksi PN offset. MS akan kesulitan melakukan
akuisisi sistem karena tidak tahu sel mana yang sedang aktif
melayaninya. Pada gambar dibawah digambarkan bahwa dua sinyal
pilot dari dua sel yang mempunyai indeks PN offset yang berdekatan
diterima oleh MS dalam interval 64 chip. Sistem penerima di MS
akan bingung untuk menentukan mana sel yang berfungsi sebagai
sel aktif dan mana sel kandidat. Ketika sinyal yang berasal dari sel
aktif dianggap sebagai sel kandidat atau sel neighbour maka perintah
handoff pun tidak bisa dilakukan akibatnya ketika dalam kondisi
panggilan (busy) akan terjadi drop call.
Gambar 3. Ambiguitas identifikasi sel karena pilot polution

Optimalisasi PN offset
Operator CDMA baru yang tidak pernah punya pengalaman
sebelumnya, biasanya terjebak pada paradigma jaringan seluler
berbasis GSM. Atau juga karena kampanye bahwa CDMA tidak
memerlukan perancangan radio maka tanpa memikirkan alokasi PN
offset, main pasang base station tanpa memperhatikan dampaknya.
Memang dalam sistem CDMA tidak memerlukan perancangan radio
tetapi memerlukan perancangan alokasi PN offset untuk tiap selnya
agar tidak terjadi pilot polution. Bila hal itu telah terjadi apa yang
harus dilakukan operator tersebut? Jawabannya adalah dengan
merencanakan ulang re-use PN offset oleh sel – sel yang ada pada
jaringan tersebut. Gol akhir dari usaha ini adalah membuat PN offset
yang sama atau berdekatan tidak saling mempengaruhi antar sel
tersebut dengan mengatur jaraknya.

Kesimpulan
Perancangan radio dalam sistem telekomunikasi berbasis seluler
seperti CDMA tidak sekali jadi dan setelah itu operator tidak
melakukan sesuatu apapun lagi. Namun perancangan tersebut
bersifat continous improvement dimana ada usaha terus menerus
untuk memonitor dan melakukan perbaikan karena performansi
jaringan selalu berubah, baik oleh perubahan kondisi alam, perilaku
pembebanan trafik ataupun karena perubahan di dalam jaringan itu
sendiri.

Referensi
1. Website www.reteumts.com/page_4.htm tentang cell breathing,
2003.
2. Ketchum, J., M. Wallace, and R. Walton, “CDMA Network
Deployment of 8 Kbps and 13 Kbps Voice Services,” Proc. Of
International Conf. On UPC, IEEE, 1996.
3. Dong Seung Kwon, “Rapporteur’s report for Study Question 3.1
Planning, Implementation and Operation for CDMA Technology and
WLL System Implementation aspects”, ETRI, Korea, September 07,
2003.
4. IDA Cellular Network Performance Measurement System Second
report, Singapore, July 2000.
5. Bang Hazim Ahmadi serta rekan lain temen-temen di telkom.

Silabus:

Konsep performansi jaringan, throughput, GOS, QOS, delay, Analisa


& Evaluasi Kinerja jaringan: metoda analisis, modeling & simulasi,
metoda pengukuran dan manajemen jaringan (metoda
eksperimental), isue-isue perencanaan jaringan, sistem circuit
switched: general multi-stage analysis; jaringan packet : performansi
data link protocol, flow control; pemodelan LAN, pemodelan client-
server computing; ATM: traffic & management control, congestion
control; pemodelan sumber trafik

Referensi:
M Ghanbari, CJ Hughes, MC Sinclair, JP Eade, Principles of
Performance Engineering for Telecommunication & Information
Systems

Mischa Schwartz, Telecommunication Networks Protocols,


Modeling and Analysis, Addison Wesley

Daniel A. Menasce, Virgilio A.F. Almeida, Capacity Planning


for Web Performance, Metrics, Models & methods, Prentice Hall,
1998

Thomas G. Robertazzi, Computer Networks & Systems:


Queueing Theory & Performance Evaluation, 3rd ed., Springer-
Verlag, 2000

You might also like