You are on page 1of 15

MENIMBANG ULANG SAKSI DE AUDITU SEBAGAI ALAT BUKTI

(Pendekatan Praktik Yurisprudensi dalam Sistem Civil Law) Oleh : Muntasir Syukri

A. PENDAHULUAN Salah satu tahapan yang harus dilalui dalam proses litigasi adalah upaya pembuktian. Menjadi kewajiban para pihak berperkara dalam pembuktian adalah meyakinkan mejelis hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan atau dalam pengertian yang lain yaitu kemampuan para pihak memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan (dibantahkan) dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Oleh karena itulah menjadi suatu asas bahwa barang siapa yang mendalilkan sesuatu maka harus membuktikannya.1 Membuktikan artinya

mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku. Tugas hakim didalam hukum acara perdata adalah menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan telah benar-benar ada atau tidak, adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila para pihak menginginkan kemenangan dalam suatu perkara, apabila para pihak tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang mendasar gugatan maka gugatannya akan dikalahkan dan apabila mampu membuktikan gugatan maka gugatannya akan dimenangkan.

Hakim Pengadilan Agama Bangil


Pasal 163 HIR

Didalam hukum acara perdata telah dikenal ada 5 (lima) macam alat bukti, yaitu alat bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan alat bukti sumpah.2 Saksi sebagai salah satu alat bukti dalam hukum acara perdata mempunyai jangkauan yang sangat luas hampir meliputi segala bidang dan segala macam sengketa perdata kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Saksi yang telah memenuhi syarat formil dan materiil berarti ia mempunyai kekuatan nilai pembuktian bebas (vrijbewijs kracht). Artinya hakim bebas untuk menilai kesaksian itu sesuai dengan nuraninya, hakim tidak terikat dengan keterangan saksi karena hakim dapat saja menyingkirkan keterangan saksi asal dipertimbangkan dengan cukup berdasarkan argumentasi yang kuat dan bahkan hakim dapat pula menerima keterangan saksi meskipun itu berkualitas testimonium de auditu asal ada dasar eksepsional untuk menerimanya. Meskipun di kalangan mainstrean menolak testimonium de auditu sebagai alat bukti, namun kalau dilacak setidaknya diskursus mengenai testimonium de auditu terus menggelinding sampai sekarang masih terjadi dikalangan akademik dan praktisi hukum antara menerima dan menolak testimonium de auditu sebagai alat bukti dalam hukum perdata. Apakah testimonium de audito tetap tidak bernilai sama sekali sehingga harus selalu ditolak sebagai alat bukti dalam hukum perdata ? Ataukah testimonium de audito masih mempunyai nilai pembuktian sehingga dapat dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai alat bukti ?, sebagaimana dapat ditemukan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung RI sehingga bisa menjadi acuan, meski sejatinya negara kita menganut sistem hukum kodefikasi Eropa Kontinental (civil law).

Pasal 164 HIR, 284 R.Bg dan Pasal 1866 KUH Perdata.

B. SISTEM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PERDATA Hukum pembuktian dalam berperkara merupakan bagian yang sangat kompleks bahkan menjadi rumit oleh karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth)3, meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata bukan kebenaran yang bersifat absolut tetapi kebenaran yang bersifat relatif . Sistem pembuktian dalam hukum acara perdata tidak sama sebagaimana yang dianut dalam sistem pembuktian dalam hukum acara pidana yang dalam proses pemeriksaannya menuntut pencarian kebenaran selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian juga harus didukung lagi oleh keyakinan hakim tentang kebenaran telah terbuktinya kesalahan terdakwa (beyond a reasonable doubt), kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran yang hakiki (materiele waarheid).4 Sedangkan dalam proses peradilan perdata kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim hanya kebenaran formil (formeel waarheid), tidak dituntut adanya keyakinan hakim. Dalam kerangka sistem pembuktian yang demikian, sekiranya tergugat mengakui dalil penggugat meskipun mengandung kebohongan dan palsu, hakim harus menerima kebenaran itu dengan kesimpulan bahwa berdasarkan pengakuan itu tergugat dianggap dan dinyatakan melepaskan hak perdatanya atas hal yang diperkarakan.5

3 4 5

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 496 Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal. 9 Ibid, hal. 107

Tugas dan peran hakim untuk mencari kebenaran formil adalah bersifat pasif namun bukan pasif total dalam arti tidak hanya dimaknai hakim terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan para pihak semata, tetapi juga tetap berperan dan berwenang menilai kebenaran fakta yang diajukan ke persidangan dengan tetap berpegang pada ketentuan bahwa hakim tidak dibenarkan mengambil prakarsa aktif meminta para pihak mengajukan atau menambah pembuktian yang diperlukan, menerima setiap pengakuan dan pengingkaran yang diajukan para pihak di persidangan untuk selanjutnya dinilai kebenarannya oleh hakim serta pemeriksaan dan putusan hakim terbatas pada tuntutan yang diajukan para pihak. Dalam perkembangan selanjutnya muncul aliran aktif argumentatif yang menentang ajaran peran dan kedudukan hakim bersifat pasif, dengan argumentasi bahwa hakim tidak boleh dijadikan mahluk tak berjiwa (antre anemimes)6 tidak mempunyai hati nurani dan kesadaran moral, karena tidak layak dan tidak pantas hakim membiarkan para pihak berlaku sewenang-wenang menyodorkan dan menyampaikan kebenaran yang berisi kebohongan dan kepalsuan. Argumentasi kedua, tujuan dan fungsi peradilan adalah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truht and justice)7. Sehingga untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan maka fungsi dan peran hakim harus aktif mencari dan menilai kebenaran yang diajukan para pihak dengan menyingkirkan fakta atau bukti yang berisi kebohongan dan kepalsuan serta menolak alat bukti yang mengandung fakta abstrak sebagai dasar penilaian dalam mengambil putusan. Oleh karena itulah dalam proses peradilan perdata hakim tidak dilarang mencari dan menemukan kebenaran materiil karena tujuan pembuktian adalah untuk
6

M. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pada Peradilan Agama, Yayasan AlHikmah, Jakarta, 1993/1994, hal. 63. M. Yahya Harahap, Ibid, hal. 63.

meyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu sehingga hakim dalam mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir serta mengambil keputusan berdasarkan pada pembuktian tersebut, sehingga kebenaran formil dan kebenaran materiil hendaknya harus dicari dan diwujudkan secara bersamaan dalam pemeriksaan suatu perkara,8 akan tetapi apabila kebenaran materiil itu tidak ditemukan, tentunya harus kembali mengambil keputusan berdasarkan kebenaran formil.9

C. KONSEP TESTIMONIUM DE AUDITU DALAM HUKUM PERDATA Tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau surat. Dalam kenyataannya karena tidak adanya alat bukti tulisan atau ada alat bukti tulisan akan tetapi tidak mencukupi batas minimal pembuktian hanya sebagai bukti permulaan maka pembuktian dengan saksi yang kebetulan melihat, mengalami atau mendengar peristiwa yang disengeketan menjadi sebuah alternatif. Alat bukti saksi mempunyai jangkauan yang sangat luas sekali hampir meliputi segala bidang dan segala macam sengketa perdata, hanya dalam hal yang sangat terbatas sekali keterangan saksi tidak diperbolehkan, seperti melarang pembuktian saksi terhadap isi suatu akta otentik, rasio pelarangan adalah karena pada umumnya keterangan saksi cenderung kurang dapat dipercaya, sering berbohong, sehingga bisa terjadi pertentangan antara keterangan saksi dengan isi suatu akta dan jika dibiarkan maka nilai kekuatan pembuktian akta otentik bisa kehilangan tempat berpijak yang berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap akta otentik.

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 228. M. Yahya Harahap, op cit, 2005, hal. 498

Banyak penulis yang menggambarkan bahwa alat bukti keterangan saksi cenderung tidak dapat dipercaya, dengan argumentasi bahwa saksi cenderung berbohong baik sengaja atau tidak, saksi mendramatisir, menambah atau mengurangi dari kejadian yang sebenarnya dan ingatan manusia atas suatu peristiwa tidak selamanya akurat sering dipengaruhi oleh emosi.10 Oleh karena itulah ada persyaratan yang harus dipenuhi terhadap alat bukti saksi yang meliputi persyaratan formil dan materiil yang bersifat kumulatif dan bukan alternatif. Artinya bila suatu kesaksian tidak memenuhi seluruh syarat yang dimaksud maka kesaksian itu tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Adapun syarat formil itu adalah : 1. saksi adalah orang yang tidak dilarang oleh undang-undang untuk menjadi saksi.11 2. saksi memberikan keterangan di persidangan.12 3. saksi mengucapkan sumpah sebelum memberikan keterangan.13 4. ada penegasan dari saksi bahwa ia menggunakan haknya sebagai saksi, jika undang-undang memberikannya hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi.14 5. saksi diperiksa seorang demi seorang.15 Sedangkan syarat materiil saksi adalah : 1. keterangan saksi berdasarkan alasan dan pengetahuan, maksudnya keterangan saksi harus berdasarkan alasan-alasan yang mendukung pengetahuan saksi atas peristiwa/fakta yang diterangkannya.16

10 11 12 13 14 15 16

M. Yahya Harahap, 2005, hal.625 Pasal 145 HIR, Pasal 172 R.Bg dan Pasal 1909 KUH Perdata Pasal 144 HIR, Pasal 171 R.Bg dan Pasal 1905 KUH Perdata Pasal 147 HIR, Pasal 175 R.Bg dan Pasal 1911 KUH Perdata Pasal 146 HIR dan Pasal 171 (1) R.Bg. Pasal 144 (1) HIR, Pasal 171 (1) R.Bg Pasal 171 (1) HIR, Pasal 308 (1) R.Bg dan Pasal 1907 KUH Perdata.

2. fakta yang diterangkan bersumber dari penglihatan, pendengaran dan pengalaman saksi itu mempunyai relevansi dengan perkara yang disengketakan.17 3. keterangan saksi saling bersesuaian dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti lain.18 Tidak semua keterangan saksi bernilai sebagai alat bukti yang sah, ada beberapa bagian keterangan saksi yang tidak boleh dinilai dan dimasukkan sebagai alat bukti saksi yaitu pendapat pribadi saksi, dugaan saksi, kesimpulan pendapat saksi, perasaan pribadi saksi dan kesan pribadi saksi.19 Memperhatikan syarat materiil alat bukti saksi tersebut maka keterangan yang diberikan harus bersumber dari pengalaman, penglihatan atau pendengaran dari peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara yang disengketan para pihak. Sedangkan keterangan seorang saksi yang bersumber dari cerita atau keterangan yang disampaikan orang lain kepadanya adalah berkualitas sebagai testimonium de audito yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain, disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami.20 Ada juga yang mendefinisikan kesaksian yang diperoleh secara tidak langsung dengan melihat, mendengar dan mengalami sendiri melainkan melalui orang lain.21 Sedangkan Subekti menamakannya dengan kesaksian dari pendengaran.22 Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa posisi testimonium de audito berada diluar kategori keterangan saksi yang ditentukan Pasal 171 HIR dan

17 18 19 20 21

22

Pasal 171 (1) HIR, Pasal 308 (1) R.Bg dan Pasal 1907 KUH Perdata. Pasal 172 HIR, Pasal 309 R.Bg dan Pasal 1908 KUH Perdata Pasal 171 ayat (2) HIR, Pasal 308 ayat (2) R.Bg dan Pasal 1907 ayat (2) KUH Perdata. M. Yahya Harahap, op cit, 2005, hal.661 Mukti Arto, Praktek Perkara Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 164. Subekti, op cit, 1997, hal.45.

Pasal 1907 KUH Perdata, oleh karena sumber kesaksian diperoleh secara tidak langsung atau berasal dari orang lain.

D. DISKURSUS TESTIMONIUM DE AUDITU SEBAGAI ALAT BUKTI Penerapan mengenai testimonium de auditu sebagai alat bukti dalam perkara perdata telah terjadi debatable di kalangan akademisi maupun praktisi hukum antara kelompok yang menolak dan menerimanya. Arus utama (mainstream) adalah mereka yang menolak kesaksian de auditu sebagai alat bukti, hal ini merupakan aturan umum yang masih kuat dianut para praktisi sampai sekarang.23 Saksi yang tidak mendasarkan keterangannya dari sumber pengetahuan sebagaimana yang digariskan Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata tidak diterima (inadmissable) sebagai alat bukti.24 Menurut Sudikno pada umumnya kesaksian de auditu tidak diperkenankan karena keterangan itu tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialami sendiri sehingga saksi de auditu bukan merupakan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan.25 Begitu pula Subekti pada mulanya berpendapat yang sama bahwa saksi de auditu sebagai keterangan yang didasarkan pada pandangan dari orang lain tentang sesuatu tidak ada harganya sama sekali.26 Sementara itu diluar dari kelompok arus utama tersebut, ada yang berpendapat membolehkan dengan membenarkan penerapan testimonium de auditu sebagai alat bukti. Subekti yang semula berpendapat testimonium de auditu tidak ada harganya sama sekali, namun kemudian berpendapat membenarkan penerapan keterangan saksi
23 24 25 26

M. Yahya Harahap, op cit, 2005, hal.665. Teguh Samudra, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, hal.63. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 131. Subekti, op cit, 1997, hal.42

de auditu sebagai alat bukti apabila mereka terdiri dari beberapa orang dan keterangan yang disampaikan langsung mereka dengar dari tergugat atau penggugat untuk melengkapi keterangan saksi lain yang memenuhi syarat formil dan meteriil kesaksian sehingga memenuhi batas minimal pembuktian, atau keterangan saksi de auditu dipergunakan untuk menyusun persangkaan. Karena sebagai kesaksian keterangan saksi de auditu memang tidak ada nilainya akan tetapi bukan berarti hakim lantas dilarang untuk menerimanya. Yang dilarang adalah jika saksi menarik kesimpulankesimpulan, memberikan pendapat atau perkiraan-perkiraan.27 Yang termasuk berada pada kelompok ini (diluar mainstream) adalah Yahya Harahap yang menerima saksi de auditu sebagai alat bukti dengan pendapatnya yang sangat moderat.28 Bahkan Yahya Harahap mengkritik keras terhadap sikap para praktisi hukum yang secara otomatis menolak testimonium de auditu sebagai alat bukti karena tanpa adanya analisis dan pertimbangan yang argumentatif.29

E. PENERAPAN TESTIMONIUM DE AUDITU SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM YURISPRUDENSI Terlepas dari diskursus di kalangan para akademisi dan para praktisi mengenai eksistensi testimonium de audito dalam ranah hukum perdata, satu hal yang harus

27 28

29

Subekti, op cit, 1997, hal.42. M. Yahya Harahap, op cit, 2005, hal.663....dipertimbangkan dengan menganalisis apakah ada dasar eksepsional untuk menerimanya dengan pertimbangan sejauhmana kualitas dan nilai kekuatan pembuktian yang melekatnya... M. Yahya Harahap, op cit, 2005, hal.664 ... dengan mengambil contoh Putusan Mahkamah Agung No. 881 K/Pdt/1983 tanggal 18 Agustus 1984 yang menegaskan saksi-saksi yang diajukan penggugat semuanya terdiri dari de auditu sehingga keterangan yang mereka berikan tidak sah sebagai alat bukti, Putusan Mahkamah Agung No. 4057 K/Pdt/1986 tanggal 30 April 1988 pada putusan inipun langsung ditolak dengan alasan para saksi terdiri dari saksi de auditu oleh karena itu tidak memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang sebagai alat bukti, dan Putusan Mahkamah Agung No. 1842 K/Pdt/1984 tanggal 17 Oktober 1985 karena ketiga orang saksi yang diajukan penggugat adalah de auditu sehingga tidak memenuhi syarat sebagai saksi yang memiliki nilai kekuatan pembuktian.

10

kembali diperhatikan bahwasanya tujuan dan fungsi peradilan adalah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truht and justice), sedangkan hakim dalam proses peradilan tidak boleh berperan mengidentikkan kebenaran dan keadilan sama dengan rumusan peraturan perundang-undangan serta hakim bukan sekedar corong Undang-Undang (spreekbuis van de wet). Kalau kita melacak dalam yurisprudensi Peradilan Indonesia sesungguhnya dikalangan para praktisi ada yang mempertimbangkan ulang dengan menerima testimonium de auditu sebagai alat bukti dengan beragam bentuk penerapannya. Pertama testimonium de auditu diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri mencapai batas minimal pembuktian tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain jika saksi de auditu itu terdiri dari beberapa orang. Dalam putusan itu Mahkamah Agung membenarkan testimonium de auditu dapat digunakan sebagai alat bukti yang memenuhi syarat materiil. Hal ini terdapat dalam putusan Mahkamah Agung No. 239 K/Sip/1973 tanggal 25 November 1975, keterangan saksi pada umumnya adalah menurut pesan, namun harus dipertimbangkan dan hampir semua kejadian atau perbuatan hukum yang terjadi pada masa lalu tidak mempunyai surat, tetapi berdasarkan pesan turun-temurun, sedangkan saksi-saksi yang langsung menghadapi perbuatan hukum itu pada masa lalu sudah tidak ada lagi yang hidup sekarang, sehingga dengan demikian pesan turun-temurun itulah yang dapat diharapkan sebagai keterangan dan menurut keterangan dan pengetahuan majelis hakim sendiri pesanpesan seperti itu oleh masyarakat tertentu pada umumnya secara adat dianggap berlaku dan benar. Walaupun demikian hal itu harus diperhatikan dari siapa pesan itu diterima berikut orang yang memberi keterangan harus orang yang menerima langsung pesan. Ternyata masalah tersebut telah sepenuhnya telah terpenuhi dimana

11

orang yang menerangkan pesan didalam majelis persidangan pengadilan adalah orang yang langsung menerima pesan. Kedua testimonium de auditu tidak digunakan sebagai alat bukti langsung tetapi kesaksian de auditu dikonstruksi sebagai alat bukti persangkaan (vermoeden), dengan pertimbangan yang obyetif dan rasional dan persangkaan itu dapat dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu. Sebagaimana terlihat pada putusan Mahkamah Agung No. 308 K/Pdt/1959 tanggal 11 November 1959. Sesungguhnya putusan ini tetap berpegang pada aturan umum yang melarang kesaksian de auditu sebagai alat bukti, namun untuk menghindari larangan tersebut kesaksian itu tidak dikategorikan sebagai alat bukti saksi tetapi dikonstruksi menjadi alat bukti persangkaan (vermoeden). Ketiga, membenarkan testimonium de audito sebagai alat bukti untuk melengkapi batas minimal unus testis nullus testis yang diberikan seorang saksi. Demikian putusan Mahkamah Agung No. 818 K/Sip/1983 tanggal 13 Agustus 1984. Dalam putusan tersebut menyebutnya testimonium de audito sebagai keterangan yang dapat dipergunakan untuk menguatkan keterangan saksi biasa. Dalam kasus ini saksi yang langsung ikut dalam transaksi jual beli hanya saksi pertama, sedangkan saksi kedua dan ketiga hanya berkualitas sebagai de audito, akan tetapi meskipun demikian ternyata dalam persidangan keterangan yang mereka sampaikan merupakan hasil pengetahuan yang langsung bersumber dari tergugat sendiri. Berdasarkan fakta tersebut Mahkamah Agung berpendapat keterangan mereka itu dapat dijadikan sebagai alat bukti yang menguatkan keterangan seorang saksi. Penerimaan testimonium de audito sebagai alat bukti dalam yurisprudensi Mahkamah Agung RI dengan tiga model penerapannya tersebut memang sangat

12

kasuistis dan adanya alasan eksepsional sehingga sangat beralasan untuk dapat diterima. Oleh karenanya yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum formal sangat penting eksistensinya apabila dikaitkan dengan tugas hakim yang tidak hanya sekedar pelaksana Undang-Undang (legisme), namun juga harus menggali menemukan hukum (Rechtsvinding) atau dengan menciptakan untuk hukum

(Rechtsschepping/judge made law). Penerapan yurisprudensi kedalam putusan memang lebih dikenal di negaranegara penganut sistem Anglo Saxon dimana dianut adanya sistem the binding force of precedent atau asas stare decisis et quita non movere. Namun di Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) bukannya sama sekali tidak ada penerapan yurisprudensi dalam putusan hakim, karena didalam praktek Pengadilan hakim tingkat bawah sangat memperhatikan putusanputusan hakim tingkat atas kedalam putusan mereka. Perbedaannya antara dalam sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) seperti di Indonesia dan sistem hukum Anglo Saxon (comman law) adalah terletak pada tidak terikatnya hakim pada peradilan tingkat bawah terhadap suatu yurisprudensi. Menurut Prof. Z. Asikin Kusumaatmadja, S.H. kekuatan mengikat yurisprudensi di Indonesia bersifat persuasive precedent.
30

Hakim harus berani meninggalkan yurisprudensi kalau

sekiranya yurisprudensi itu telah usang dan tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman dan keadaan masyarakat, akan tetapi tidak ada salahnya untuk tetap berpedoman kalau yurisprudensi itu masih sesuai dengan zaman dan sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.31

30

Lilik Mulyadi, Dr. S.H.,M.H, dalam artikelnya, Eksistensi Yurisprudensi Dikaji dari Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan. 31 Abdul Manan, op cit, 2006, hal.8.

13

Oleh karena itu sesungguhnya terhadap keterangan saksi de audito tidak otomatis harus ditolak sebagai alat bukti. Sikap yang tepat dan lebih moderat adalah dengan menerima terlebih dulu, baru kemudian dipertimbangkan dengan menganalisis apakah ada dasar eksepsional untuk menerimanya dengan pertimbangan yang sangat obyektif dan rasional, sejauh mana kualitas dan nilai kekuatan pembuktiannya yang melekat pada keterangan saksi de audito tersebut.32 Kalau memang dalam suatu keadaan/kondisional serta ada dasar eksepsional dengan kualitas pembuktian yang sudah teruji dan terukur, kenapa harus menyingkirkannya. Disinilah diperlukan kecermatan dan kecerdasan bagi hakim dalam menilai sebuah pembuktian (saksi) untuk memberikan putusan yang berkeadilan. Dalam proses peradilan hakim tidak boleh berperan mengidentikkan kebenaran dan keadilan sama dengan rumusan peraturan perundang-undangan meskipun hakim dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap hukum acara. Karena hukum itu sendiri setidaknya harus mencakup tiga nilai identitas, yaitu keadilan hukum (gerectigheid), kemanfaatan hukum (zwechmatigheid/ doelmatigheid) dan kepastian hukum (rechtmatigheid). Sehingga kerangka berfikir menganalisis fakta hukum dengan mengedepankan aspek filosofis dan sosiologis ketimbang aspek yuridis formalnya terkadang menjadi sebuah pilihan lain bagi seorang hakim.

G. PENUTUP Sejatinya eksistensi testimonium de audito berada diluar kategori keterangan saksi yang ditentukan Undang-Undang, namun untuk mensikapinya adalah tidak serta merta harus menolak sehingga tidak ada nilainya sama sekali, karena dalam keadaan
32

M. Yahya Harahap, op cit, 2005, hal.663.

14

tertentu dapat diterima sebagai alat bukti dengan menganalisis dasar eksepsional untuk dapat diterimanya dengan mempertimbangkan sejauh mana kualitas dan nilai kekuatan pembuktiannya yang melekat pada keterangan saksi de audito tersebut serta dapat dipertimbangkan dari segi kondisional-nya dengan tanpa melepaskan keadaan yang melekat dan mengitarinya, sebagaimana yang terdapat dalam yurisprudensi Mahkamah Agung RI dengan tiga model penerapannya tersebut bisa menjadi sebuah alternatif. Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental yang lebih akrab dengan civil law yang berangkat dari pemikiran positivisme, namun dalam dimensi yang lain terkadang juga mengadopsi sistem hukum yang dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon dengan common law yang berangkat dari pemikiran social-jurisprudence. Sehingga dalam prakteknya tidak sedikit ditemukan penerapan yurisprudensi oleh hakim tingkat bawah kedalam putusan-putusannya meskipun tidak ada keharusan mengikuti putusan sebelumnya. Namun kalau yurisprudensi itu masih cukup relevan dengan zaman dan ada titik temu dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, kenapa tidak ?. WaAllahu alamu bi al-shawab.

Bangil, 27 April 2012

Penulis,

15

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan,

Dr, S.H. S.Ip. M.Hum.,

Penerapan Hukum Acara Perdata di

Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2006. Abdul Manaf, Drs., M.H., Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Mandar Maju, Bandung, 2008. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, 2006. Lilik Mulyadi, Dr. S.H.,M.H, dalam artikelnya, Eksistensi Yurisprudensi Dikaji dari Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan. Mukti Arto, Drs., S.H., Praktek Perkara Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996. Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Agama Buku II, Edisi Revisi, Jakarta, 1998, cet. Ketiga. M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata , Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

_____________________, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pada Peradilan Agama, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 1993/1994. Subekti, Prof. R., S.H., Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988. Teguh Samudra, S.H., Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992.

You might also like