You are on page 1of 74

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu masalah kesehatan dunia. Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 2007 adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup. (Badan Pusat statistik & Macro International, 2007) Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara angka ini adalah masih tinggi. Indonesia berupaya menurunkan angka ini menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. (Direktorat Bina Kesehatan Anak, 2012) Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia khususnya di Jawa Barat masih tinggi. Angka yang pasti saat ini di Jawa Barat belum diketahui, namun diperkirakan tidak jauh dari angka nasional, yaitu AKI 421 per 100.000 kelahiran hidup. Pada akhir PELITA VI diharapkan terdapat penurunan angka kematian ibu menjadi 225 per 100.000 kelahiran hidup. ( Djuhaeni, 2009) Perdarahan hebat adalah penyebab yang paling utama dari kematian ibu diseluruh dunia. Sebagian besar kasus perdarahan pada persalinan terjadi selama persalinan kala tiga. Diperkirakan ada 14.000.000 kasus perdarahan dalam kehamilan paling sedikit 128.000 perempuan mengalami perdarahan sampai meninggal. Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu empat jam setelah melahirkan dan merupakan akibat dari masalah yang timbul

selama persalinan kala tiga. Perdarahan pasca persalinan didefinisikan sebagai kehilangan darah sebanyak lebih dari 500 ml setelah kelahiran dan perdarahan pasca persalinan berat didefinisikan kehilangan darah lebih dari 1000 ml (Shane 2002). Dalam penelitian deskriptif yang dilakukan oleh sebuah Rumah sakit bagian Obstetri dan Ginekologi di Pakistan diperoleh data secara retrospektif dari tanggal 1 januari sampai 31 Desember 2009 dengan jumlah total 302 kematian, terdapat 74 kasus kematian ibu dinyatakan bahwa 34 kasus kematian terbanyak (45,9%) terjadi karena perdarahan postpartum yang disebabkan atonia uteri. (Fayyaz et al., 2011) Seorang ibu dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan kurang dari satu jam. Lebih dari 90 % dari seluruh kasus perdarahan pasca salin yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran bayi disebabkan oleh atonia uteri. Sebagian besar kematian akibat perdarahan pascapersalinan terjadi pada beberapa jam pertama setelah kelahiran bayi. Karena alasan ini,

penatalaksanaan persalinan kala tiga sesuai dengan standar dan penerapan manajemen aktif kala tiga merupakan cara terbaik dan sangat penting untuk mengurangi kematian ibu. (JNPK-KR, 2008) Penatalaksanaan aktif persalinan kala tiga terdiri dari pemberian uterotonika, penegangan tali pusat terkendali dan masase fundus uteri yang efektif mencegah perdarahan pasca persalinan. Penggunaan uterotonika dapat menurunkan 40% insidensi perdarahan pasca persalinan. Obat uterotonika yang sering digunakan adalah oksitosin. Selain itu juga penggunaan

uterotonika yang lain adalah sintometrin dan prostaglandin E1 (misoprostol). (Carpenter, 2001) Oksitosin synthetic termasuk dalam golongan oksitosik. Oksitosik ialah obat yang merangsang kontraksi uterus. (Ganiswara, 1995) Oksitosin merupakan obat pilihan utama untuk pencegahan perdarahan pasca persalinan mempunyai efektivitas yang sama dengan ergot alkalaoid dan prostaglandin tetapi dengan efek samping yang lebih rendah. (Carpenter, 2001) Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1 sintetik obat yang telah diberikan secara oral dan diindikasikan untuk mencegah ulkus lambung akibat penggunaan obat anti inflamasi non steroid. (Allen &OBrien, 2009) WHO melakukan penelitian yang membandingkan antara misoprostol 600 mcg per rectal dengan 10 IU Intramuscular, dan hasilnya diperoleh tidak ada perbedaan jumlah darah pasca persalinan. Namun dengan

mempertimbangkan efek samping yang berkaitan dengan perbedaan dosis misoprostol maka WHO menyatakan adalah bijaksana untuk melakukan uji klinis terhadap misoprostol dengan dosis yang lebih rendah. (Situmorang, 2009) Dalam suatu penelitian prospektif observasional yang melibatkan 237 orang wanita didapatkan bahwa pemberian 600 mcg misoprostol per oral segera setelah penjepitan tali pusat hanya memberikan insidens perdarahan postpartum sebesar 6%, dan tidak ada yang mengalami perdarahan 1000cc. (Goldberg et al., 2001)

Berdasarkan hasil penelitian, uterotonika misoprostol 600 mcg per rectal sama efektifnya dibandingkan 10 IU oksitosin intramuscular. Walaupun efektivitasnya sama dengan oksitosin intramuscular, namun misoprostol unggul dalam hal kepraktisan cara pemberian dan lebih menyenangkan pasien karena tidak harus disuntik, lebih mudah disimpan dan lebih tahan lama. (Manu, 2004) Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2500/MENKES/SK/XII/2011 usulan untuk memasukkan misoprostol untuk kelas oksitosik ini belum dapat diterima, walaupun penggunaanya sudah sangat meluas untuk mencegah perdarahan pada persalinan. Hal ini disebabkan karena obat ini belum mendapatkan persetujuan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk indikasi tersebut, disamping keamanananya (kemungkinan penyalahgunaan). Penyimpanan oksitosin dan ergometrin dalam jangka panjang memerlukan lemari pendingin, yang memungkinkan tidak tersedia pada beberapa kondisi. (Shane, 2002) Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa potensi obat oksitosika akan menurun bila tidak disimpan dengan cara yang benar. Disarankan agar obat-obatan oksitosika disimpan dalam lemari es (suhu antara 2-6 oC) dan dihindarkan dari sinar matahari langsung. Obat ini dapat disimpan selama 1 bulan dalam suhu 30 oC atau 2 minggu dalam suhu 40 oC. (IBI, 2006)

Berdasarkan pengalaman, penulis menemukan bahwa di berbagai tempat praktik seperti praktik bidan swasta, puskesmas bahkan rumah sakit, penyimpanan obat-obatan oksitosik seperti tidak sesuai dengan stndar yang seharusnya disimpan di dalam rantai dingin dan tidak terkena cahaya. Glmezoglu et al (2007) dalam Cochrane Review menilai efek profilaksis prostaglandin pada persalinan kala III. Tiga puluh tujuh uji

misoprostol dan 9 uji prostaglandin intramuskular (42.621 perempuan) dimasukkan dalam studi ini. Peneliti ini menyimpulkan bahwa pilihan uterotonika di tempat dimana manajemen aktif bisa dilakukan adalah 10 IU oksitosin yang diberikan IV atau IM. Pemakaian oksitosin secara luas di berbagai tempat persalinan harus menjadi tujuan utama. Namun oksitosin mempunyai keterbatasan dalam penyimpanannya dan sedikit lebih mahal dari pada misoprostol. Kalau keadaan ini menjadi kendala, maka pemakaian misoprostol dapat dipertimbangkan. Dosis empiris yang sering digunakan dalam berbagai uji adalah 600 mcg oral. (DEPKES RI, 2008) Misoprostol stabil pada suhu kamar dan stabil terhadap cahaya. misoprostol memiliki banyak keunggulan dan mudah dipergunakan, terutama jika dibandingkan dengan preparat prostaglandin lainnya, misoprostol relatif murah, stabil, mudah disimpan, dan cepat diabsorpsi sehingga beberapa penelitian dilakukan berkaitan dengan penggunaanya di bidang obstetric dan ginekologi. (Carpenter, 2001)

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik mengetahui lebih lanjut mengenai Efektivitas pemberian oksitosin dan misoprostol untuk pencegahan perdarahan postpartum primer ditinjau dari berbagai literatur?

B. Rumusan masalah Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini adalah Bagaimana efektivitas pemberian oksitosin dan misoprostol untuk pencegahan perdarahan postpartum primer ditinjau dari berbagai literatur?

C. Tujuan 1. Tujuan umum Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai efektivitas pemberian oksitosin dan misoprostol untuk pencegahan perdarahan postpartum primer 2. Tujuan khusus a. Memaparkan konsep perdarahan postpartum b. Memaparkan tentang oksitosin c. Memaparkan tentang misoprostol d. Memaparkan efektivitas pemberian oksitosin dan misoprostol untuk pencegahan perdarahan postpartum primer berdasarkan cara kerja, waktu atau onset reaksi, cara pemberian dan dosis, efek samping, penyimpanan obat dan sumber daya

D. Manfaat Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Diantaranya: 1). Bagi penulis Penulis dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang berguna dari berbagai literatur 2). Bagi Tenaga Kesehatan Agar tenaga kesehatan lebih mengetahui efektivitas oksitosin dan misoprostol untuk pencegahan perdarahan pasca persalinan yang dapat dikembangkan lebih lanjut 3). Bagi Institusi Pendidikan Sebagai bahan untuk menambah wawasan dan informasi bagi mahasiswi lain

E. Ruang lingkup Dalam karya tulis ilmiah ini, akan dibahas mengenai konsep perdarahan postpartum, oksitosin dan misoprostol serta efektivitas pemberian oksitosin dan misoprostol berdasarkan cara kerja, waktu atau onset reaksi, cara pemberian dan dosis, efek samping, penyimpanan obat dan sumber daya untuk pencegahan perdarahan postpartum primer

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep perdarahan postpartum 1. Pengertian Perdarahan pasca partum adalah perdarahan berlebihan dari traktus genital setelah bayi lahir hingga 6 minggu setelah persalinan. Jika terjadi selama kala tiga persalinan atau dalam 24 jam setelah melahirkan, perdarahan ini disebut perdarahan pasca partum primer. Jika terjadi setelah 24 jam pertama hingga minggu keenam pasca partum, perdarahan ini disebut perdarahan pasca partum sekunder. (Fraser & Cooper, 2009) Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang terjadi segera setelah persalinan melebihi 500 ml yang dibagi menjadi bentuk perdarahan postpartum primer (atonia uteri, retensio plasenta, robekan jalan lahir) dan sekunder (tertinggalnya sebagian plasenta atau membranya, perlukaan terbuka kembali, infeksi pada tempat implantasi plasenta). (Manuaba et al., 2007) Perdarahan postpartum primer adalah berapapun jumlah darah yang hilang yang mengganggu kesejahteraan ibu. Akan tetapi, harus selalu diingat bahwa gangguan pada kondisi ibu mungkin tidak terlihat sampai ia telah kehilangan sejumlah darah yang membahayakan dirinya. (Boyle, 2008) Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh ke dalam keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan yang menetes perlahan-lahan

tetapi terus menerus yang juga berbahaya karena kita tidak menyangka akhirnya perdarahan berjumlah banyak, ibu menjadi lemas dan juga jatuh dalam keadaan pre syok atau syok. (Mochtar, 1998)

2.

Penyebab Perdarahan merupakan akibat dari kelainan pada 4 faktor utama yang

mendasari terjadinya perdarahan menurut Anderson & Etches (2007), yaitu: a. Tonus otot terdiri dari atonia uteri (70 %) Penyebab perdarahan terbanyak adalah karena tonus otot yang disebabkan karena atonia uteri (80-85%). (Versavel & Darling, 2006). Pada kehamilan cukup bulan aliran darah ke uterus sebanyak 500-800 cc/menit. Jika uterus tidak berkontraksi dengan segera setelah kelahiran plasenta, maka ibu dapat mengalami perdarahan sekitar 350-500 cc/menit dari bekas tempat melekatnya plasenta. (JNPK-KR, 2008) Bila uterus berkontraksi maka miometrium akan menjepit anyaman pembuluh darah yang berjalan diantara serabut saraf tadi. Atonia uterus adalah suatu kondisi dimana myometrium tidak dapat berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali. (JNPK-KR, 2008) Kesalahan paling sering adalah mencoba mempercepat kala tiga. Dorongan dan pemijatan uterus mengganggu mekanisme fisiologi pelepasan plasenta dan dapat menyebabkan pemisahan sebagian plasenta yang mengakibatkan perdarahan. (Oxorn & Forte, 2010)

10

Atonia uteri dan kemungkinan perdarahan pascapartum segera pada wanita normal sebenarnya dapat diantisipasi segera sebelum kelahiran terjadi. Kondisi berikut ini harus diwaspadai bidan mengingat potensi perdarahan pascapartum segera berhubungan dengan atonia uterus menurut Varney (2008) adalah a) Distensi uterus pada kehamilan (kehamilan kembar, polihidramnion, atau bayi besar). Polihidramnion atau kehamilan kembar yang menyebabkan distensi uterus yang berlebihan. Jika ketuban pecah saat persalinan pada kasus polihidramnion atau setelah kelahiran bayi pertama dalam kehamilan multiple, penyempitan rongga uterus yang mendadak dan luas dapat menjadi presipitasi pelepasan plasenta. Saat uterus sangat teregang dalam kehamilan, sel otot menjadi kurang mampu berkontraksi dan retraksi pada kala tiga persalinan. (Boyle, 2008) b) Induksi oksitosin atau augmentasi Persalinan yang dipicu atau dipacu dengan oksitosin lebih rentan mengalami atonia uteri dan perdarahan postpartum. (Cunningham et al., 2005) c) Persalinan cepat atau presipitatus Kerja uterus yang berlebihan pada kala satu dan kala dua persalinan dapat mengakibatkan kegagalan retraksi otot uterus pada kala tiga, jalannya janin yang terlalu cepat pada jalan lahir dapat menghalangi regangan jaringan yang berangsur-angsur dan perlahan, yang dapat

11

mengakibatkan laserasi

serviks, vagina, atau perineum sehingga

meningkatkan kehilangan darah. (Boyle, 2008) d) Kala satu dan dua persalinan yang memanjang atau partus lama Persalinan lama yang mengakibatkan inersia uterus. Dalam persalinan yang fase aktifnya berlangsung lebih dari 12 jam, inersia uteri dapat terjadi kelelahan otot. (Fraser &Cooper, 2009) Kelelahan akibat partus lama, bukan hanya rahim yang lelah cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan, tetapi juga ibu yang keletihan kurang mampu bertahan terhadap kehilangan darah. (Oxorn & Forte, 2010) e) Grand multiparitas Wanita dengan paritas tinggi mungkin beresiko besar mengalami atonia uteri. Fuchs dkk. (1985) melaporkan hasil akhir pada hampir 5800 wanita para 7 atau lebih. Mereka melaporkan bahwa insiden perdarahan postpartum sebesar 2,7 persen pada wanita ini meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan obstetric umum. Babinszki dkk. (1999) melaporkan insiden perdarahan postpartum sebesar 0,3 persen pada wanita dengan paritas rendah, tetapi 1,9 persen pada mereka dengan para atau lebih. (Cunningham et al., 2005)

12

f) Riwayat atonia uterus/ perdarahan pascapartum pada saat melahirkan anak sebelumnya Riwayat obstetric yang detail yang diperoleh pada pemeriksaan antenatal yang pertama akan memastikan dilakukanya pengaturan agar ibu dapatmelahirkan di unit konsultan. (Fraser & Cooper, 2009) b. Trauma jalan lahir terdiri dari laserasi, hematom, inversio uteri, rupture uteri (20 %) Perdarahan yang cukup banyak dapat terjadi dari robekan yang dialami selama proses melahirkan baik yang normal maupun tindakan. Jalan lahir harus diinspeksi sesudah tiap melahirkan selesai hingga perdarahan dapat dikendalikan. (Oxorn & Forte, 2010) c. Jaringan plasenta tertahan atau retensio plasenta (10 %) Retensio sebagian atau seluruh plasenta dalam rahim akan mengganggu kontraksi dan retraksi, menyebabkan sinus-sinus darah tetap terbuka, dan menimbulkan perdarahan postpartum. (Oxorn & Forte, 2010) d. Kelainan faktor koagulasi terdiri dari koagulapati (1%) Hal-hal yang berhubungan dengan kelainan pembekuan darah antara lain solusio plasenta, pre-eklampsia, septkemia dan sepsis dan emboli air ketuban. (Situmorang, 2009)

13

3.

Pencegahan Untuk mengurangi kemungkinan perdarahan postpartum khususnya

disebabkan atonia uteri atau retensio plasenta maka dilaksanakan tatalaksana aktif pertolongan kala tiga. (Manuaba et al., 2007) Ada tiga langkah manajemen aktif kala tiga yaitu memberikan oksitosin 10 IU unit secara intramuscular dalam waktu satu menit setelah bayi lahir, penegangan talipusat terkendali, massase fundus uteri segera setelah plasenta lahir. (JNPK-KR, 2008) Penatalaksanaan aktif kala tiga persalinan telah direkomendasikan International Confederation of Midwives (ICM) and International Federation of Gynaecologists Obstetricians (FIGO) yang efektif untuk mencegah perdarahan postpartum. (Fayyaz et al., 2011) Manajemen aktif kala tiga telah terbukti merupakan cara terbaik untuk mencegah timbulnya perdarahan pasca persalinan. Rumah sakit yang telah memasukkan praktik ini dalam prosedur tetapnya mendapatkan adanya penurunan bermakna kejadian perdarahan pasca persalinan. (DEPKES RI, 2008) Manajemen aktif kala tiga telah dianggap sebagai cara menurunkan hemoragi pascapartum pada ibu dengan risiko peningkatan kehilangan darah dan manajemen ini telah didukung oleh World Health Organization (1994) sebagai suatu cara menurunkan perdarahan postpartum ketika tidak ada keterbatasan akses mendapatkan produk darah atau sumber lain. (Walsh, 2008)

14

Penatalaksanaan aktif merupakan kebijakan yang mengharuskan dilakukanya pemberian uterotonika profilaktik sebagai tindakan pencegahan untuk menurunkan resiko perdarahan pasca partum tanpa memperdulikan status obstetrik ibu. Kebijakan penatalaksanaan aktif biasanya meliputi pemberian rutin agens uterotonika, baik secara intravena, intramuskular maupun secara oral. Pemberian ini dilakukan bersamaan dengan pengkleman talipusat segera setelah kelahiran bayi dan pelahiran plasenta dengan menggunakan traksi tali pusat terkontrol. Penatalaksanaan aktif kala tiga merupakan kebijakan penatalaksanaan persalinan kala tiga yang paling banyak dilakukan di dunia. (Fraser & Cooper, 2009) Suatu meta-analisa dari studi-studi tersebut, yang tersedia melalui database Cochrane dan WHO reproductive Health Library (Kesehatan Reproduksi WHO) menegaskan bahwa pengelolaan aktif berkaitan dengan berkurangnya kehilangan darah ibu (termasuk perdarahan post partum biasa hingga berat), berkurangnya anemia setelah persalinan dan berkurangnya kebutuhan terhadap trasfusi darah. Pengelolaan aktif juga berkaitan dengan berkurangnya risiko kala III yang patologis dan berkurangnya pemakaian obat-obat uterotonika yang berlebihan, sehingga manajemen Aktif Kala III penting dilakukan. 2002) Beberapa studi berskala besar, yang dilakukan secara acak dan terkontrol (dilakukan di RS yang memiliki perlengkapan yang lengkap) ( Shane,

15

membandingkan pengaruh Pengelolaan Aktif Kala III dengan Pengelolaan Menunggu pada suatu percobaan di Dublin, Irlandia, 705 ibu bersalin ditangani secara aktif dengan 0,5 ergometrin dan dilakukan penegangan talipusat terkendali, sementara 724 ibu bersalin ditangani secara

menunggu/fisiologis. Hasil dari percobaan tersebut adalah berkurangnya perdarahan pasca persalinan dan berkurangnya kasus anemia di antara ibu bersalin yang mendapat penanganan pengelolaan Aktif Kala III. ( Shane, 2002) Ibu bersalin yang ditangani dengan aktif secara bermakna menurunkan kasus perdarahan pasca persalinan, dan sisa plasenta serta lebih sedikit memerlukan tambahan obat-obatan uterotonika. Tidak satupun dari studi-studi tersebut di atas memperlihatkan meningkatnya kasus komplikasi serius sehubungan dengan pengelolaan aktif. Di Indonesia, uterotonika yang digunakan umumnya adalah oksitosin. ( Shane, 2002) Beberapa uji klinis telah dilakukan oleh beberapa negara sedang berkembang salah satunya di Mozambique yang memperoleh hasil dimana misoprostol 400 mcg per rectal sama efektifnya dengan oksitosin 10 IU IM dalam mencegah perdarahan postpartum. (Situmorang, 2009) Penelitian yang dilakukan di Inggris menyimpulkan misoprostol sebagai uterotonik pengganti efektif dalam mencegah perdarahan postpartum serta dapat diberikan bila oksitosin tidak tersedia. (Situmorang, 2009) Penelitian pada tahun 1998 telah membandingkan pemakaian misoprostol untuk penatalaksanaan aktif kala tiga dibanding dengan placebo.

16

Pada penelitian di Afrika selatan tersebut menggunakan uji klinik acak pada 550 penderita. Pada pemberian misoprostol secara rectal dengan dosis 400 mcg, didapatkan perdarahan 1000 ml pada kelompok misoprostol 4,8 % dan pada placebo 7% (tidak bermakna), dan pemberian oksitosin juga berbeda tidak bermakna dari kelompok yaitu 3,3 % pada kelompok misoprostol dan 4,7 % pad kelompok placebo. (Manu, 2004)

B. Oksitosin 1. Pengertian Oksitosin adalah bentuk sintesis oksitosin alami yang diproduksi dalam pituitary posterior dan aman digunakan dalam konteks luas dibandingkan kombinasi agens ergometrin/oksitosin. ( Fraser & Cooper, 2009) Oksitosin adalah suatu hormon yang dihasilkan oleh kelenjar hipofise posterior (oksitosin endogen), yang pada wanita pasca melahirkan hormon ini menstimulasi produksi air susu dan kontraksi uterus untuk menghasilkan perdarahan dari uterus. Oksitosin baik endogen maupun eksogen bekerja pada reseptor di uterus yaitu miometrium dan desidua (endometrium). Namun, jumlah oksitosin endogen adalah tidak cukup untuk mencegah perdarahan pasca persalinan sehingga dibuat suatu oksitosin sintetik (oksitosin eksogen) untuk digunakan sebagai preparat uterotonika dalam mencegah perdarahan postpartum. (Situmorang, 2009)

17

Oksitosin merangsang otot polos uterus dan kelanjar mama. Fungsi perangsangan ini bersifat selektif dan cukup kuat. Stimulus sensories pada serviks, vagina dan payudara secara reflek melepaskan oksitosin dari hipofisis posterior. (Ganiswara, 1995) Oksitosik menyebabkan uterus berkontraksi. Oksitosin adalah

uterotonik endogen dari lobus posterior kelenjar hipofisis. Uterotonik eksogen meliputi bentuk-bentuk sintesis oksitosin, ergot, dan prostaglandin. Bentuk sintesis oksitosin (pitocin, Oxytocin, Syntocinon) menstimulasi kontraksi intermitten. (Varney, 2008)

2. Indikasi Oksitosin dapat membantu menghasilkan kontraksi uterus pada kala III persalinan, sehingga dapat mengontrol perdarahan postpartum. (Fitrianingsih, Dwi & Zulkoni, A, 2009). a. Terapi perdarahan postpartum Pada perdarahan postpartum yang disebabkan atonia uteri, tetesan oksitosin merupakan metode terapi yang baik. Pemberian tetesan ini efektif untuk memperbaiki tonus uterus dan dapat dipertahankan selama diperlukan. (Oxorn & Forte, 2010) b. Pencegahan perdarahan postpartum Untuk mempercepat kelahiran placenta dan untuk mengurangi perdarahan pada kala plasenta, oksitosin dapat diberikan sebelum plasenta lahir (Oxorn & Forte, 2010)

18

Bila oksitosin digunakan untuk mengontrol perdarahan uteri, pemakaian injeksi intravena secara cepat harus dihindari, karena dapat menyebabkan penurunan tekanan darah akut. (Fitrianingsih, Dwi & Zulkoni, A, 2009). Penyuntikan obat-obat uterotonika segera setelah melahirkan bayi adalah salahsatu intervensi paling penting yang digunakan untuk mencegah perdarahan postpartum. Oksitosin dan traksi tali pusat adalah intervensi utama dari manajemen aktif dikaitkan dengan tahap ketiga lebih pendek, dan kehilangan darah berkurang. (Shane, 2002) Obat-obatan oksitosika makin banyak digunakan secara rutin pada kala tiga persalinan untuk membantu pelepasan plasenta dan mengendalikan perdarahan. Keuntungan pemberian obat-obatan oksitosika dalam manajemen kala tiga telah di buktikan melalui beberapa uji coba klinis. Bila kebijaksanaan penggunaan obat-obatan oksitosika dalam persalinan akan dilaksanakan, maka bidan harus dilatih sehingga memiliki kompetensi untuk memberikan obat tersebut mampu mengenali efek samping obat itu. Bidan harus mampu mengenali tanda-tanda dini keracunan oksitosika, terutama tanda-tanda dini rupture uteri dan merujuk segera untuk mendapatkan bantuan dokter spesialis secepatnya. (IBI, 2006) Uterotonika profilaksis menurunkan risiko perdarahan

postpartum sebesar 60% dan menurunkan tambahan uterotonika

19

sekitar 70% dihubungkan dengan efeksamping obat seperti nausea dan nyeri kepala. (Dasuki et al, 2010) Penggunaan uterotonik sangat bermanfaat dalam

mengendalikan perdarahan uterus pascapartum. Kerja yang diharapkan dapat cepat diperoleh melalui rute intermuskular maupun rute intervena untuk obat oksitosin terlarut, dan tidak ada bahaya kardiovaskuler pada pemberian langsung intravena masing-masing obat ini. (Varney, 2008)

3. Kontraindikasi Kontraindikasi pada penggunaan oksitosin menurut Oxorn & Forte (2010) adalah a. Ada disproprsi, umumnya berupa panggul sempit, dan obstruksi jalan lahir oleh tumor. b. Grandemultipara, kemungkinan terjadinya rupture uteri terlampau besar c. Bekas SC d. Uterus yang hipertonik (Hipertonic uterus) atau yang tak terkoordinasi (incoordinate uterus). Keadaan hipertonik atau inkoordinasi uterus ini menjadi semakin buruk pada pemberian oksitosin dan dapat menimbulkan cincin konstriksi.

20

Pemberian oksitosin merupakan kontraindikasi jika uterus sudah berkontraksi dengan kuat atau bila terdapat obstruksi mekanis yang menghalangi kelahiran anak seperti plasenta previa atau disporporsi sefalopelvik. Jika keadaan serviks masih belum siap, pematangan serviks harus dilakukan sebelum pemberian oksitosin. (Jourdan, 2004) e. Kelelahan ibu Keadaan ini harus diatasi dengan istirahat dan pemberian cairan, bukan dengan stimulasi oleh oksitosin. Kontraksi otot uterus memerlukan glukosa maupun oksigen. Jika pasokan keduanya tidak terdapat pada otot yang berkontraksi tersebut dan keadaan ini mungkin terjadi karena starvasi atau pasokan darah yang tidak memadai maka respons yang timbul terhadap pemberian oksitosin tidak akan adekuat sehingga pemberian oksitosin secara sedikit demi sedikit tidak akan efektif. Situasi ini lebih cenderung dijumpai pada persalinan yang lama. (Jourdan, 2004) f. Fetal distress Bukan saja oksitosin tidak boleh diberikan pada keadaan ini, tetapi juga bila dalam pemberian tetesan terjadi ketidakteraturan atau kelambatan denyut jantung, maka tetesan tersebut harus dihentikan. g. Segala jenis kelainan prsentasi dan posisi

21

Kelainan letak yang diperkirakan tidak dapat lahir spontan pervaginam misalnya letak lintang merupakan kontraindikasi.

(Fitrianingsih, Dwi & Zulkoni, A, 2009). Pemberian infus oksitosin merupakan kontraindikasi pada ibu hamil yang menghadapi risiko melahirkan per vaginam, misalnya kasus dengan malpresentasi atau solusio plasenta atau dengan risiko ruptur uteri yang tinggi. Pemberian infus oksitosin yang terus menerus pada kasus dengan resistensi dan inersia uterus merupakan kontraindikasi. (Jourdan, 2004) Obat-obatan oksitosika tidak boleh diberikan secara

intramuskulaer sebelum bayi dilahirkan. Bidan perlu diingatkan bahwa obat-obatan oksitosika tidak boleh diberikan sebelum bayi lahir, kecuali atas petunjuk dokter dan itu pun hanya sebagai terapi untuk mempercepat persalinan. Bila diberikan sebelum bayi lahir, obatobatan oksitosika selalu harus diberikan dalam cairan intravenous (dengan titrasi) sehingga bisa dihentikan bila kontraksi menjadi terlalu kuat. Pemberian dimulai dengan beberapa tetes per menit dan meningkat sampai kontraksi menjadi kuat. (IBI, 2006) Penggunaan obat oksitosika untuk mempercepat persalinan berkaitan dengan terjadinya rupture uteri dan perdarahan antepartum hebat. Oleh karena itu pemberian obat oksitosika sebelum persalinan harus dilakukan dengan hati-hati dan selalu dibawah pengawasan

22

dokter. Penggunaan obat-obatan oksitosika sebelum persalinan bukan bagian dari praktik normal kebidanan. (IBI, 2006)

C. Misporostol 1. Pengertian Misoprostol adalah analog prostaglandin E1. Misoprostol telah disahkan FDA (Food And Drug Administration) sejak tahun 1988 untuk mencegah ulkus lambung akibat penggunaan obat anti inflamasi non steroid Sejak tahun 1990, misoprostol banyak digunakan dalam bidang obstetri dan ginekologi karena efeknya terhadap kontraksi uterus dan penipisan serviks yang diberikan secara oral. Kemudian, secara off label saat ini, misoprostol menjadi salah satu obat yang penting di bidang obstetri dan ginekologi. Pada tahun 2005, penggunaan misoprostol untuk kehamilan tidak diakui oleh FDA (Food And Drug Administration) karena dapat menyebabkan hiperstimulasi uterus. (Bellad & Goudar, 2006) Misoprostol adalah analog prostaglandin E1 sintetis yang telah disahkan oleh FDA sejak tahun 1985. Sebagai analog prostaglandin E1 sintetis, misoprostol bersifat uterotonika dan memiliki efek dalam pelebaran servik. Preparat misoprostol ini merupakan satu-satunya preparat

prostaglandin yang terjangkau untuk pematangan serviks dan induksi persalinan di negara-negara miskin. (DEPKES RI, 2008) Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1 obat yang telah disahkan (Food And Drug Administration) untuk mencegah ulkus lambung

23

akibat penggunaan obat anti inflamasi non steroid. Misoprostol dipasarkan dalam dua bentuk sediaan yaitu tablet 100 mcg dan 200 mcg (Goldberg & Wing, 2003) Misoprostol termasuk dalam golongan hormon prostaglandin yang dapat menyebabkan kontraksi uterus dan penipisan serviks. Misoprostol telah di pasarkan sejak 1985 dengan merek Cytotec. Misoprostol tersedia lebih dari 80 negara di seluruh dunia untuk mencegah ulkus lambung akibat penggunaan obat anti inflamasi non steroid (Fiala & Weeks, 2005) Prostaglandin merupakan asam-asam carboxylat dengan 20 atom carbon yang secara enzimatik terbentuk dari asam-asam lemak essential polyunsaturasi. Kebanyakan organ tubuh mampu mensitesis prostaglandin disamping mampu memetabolismenya menjadi senyawa-senyawa yang kurang aktif. (Oxorn & Forte, 2010) Berdasarkan strukturnya, prostaglandin dibagi menjadi empat

kelompok yaitu kelompok E, F, A dan B. Tiga senyawa dari kelompok E dan tiga senyawa dari kelompok F merupakan senyawa primer. Delapan senyawa lainya adalah matabolit dari enam senyawa induk tersebut. Tigabelas diantara empat belas senyawa prostaglandin yang dikenal terdapat pada manusia. (Oxorn & Forte, 2010) Cara kerjanya yang tepat belum diketahui, tetapi diperkirakan prostaglandin menjadi bagian dari mekanisme yang mengendalikan transmisi dalam saraf simpatetik. Tampak adanya ada dua aktivitas yang umum yaitu

24

pengubahan kontraktilitas otot polos dan modulasi aktivitas hormonal. (Oxorn & Forte, 2010) Prostaglandin menghasilkan respons-respons fisiologik dengan ragam yang luas. Baik kelompok E maupun F memiliki daya stimulasi yang sangat kuat terhadap myometrium. Namun demikian, pada keadaan dimana pemberian oksitosin merupakan kontraindikasi, prostaglandin bisa memainkan peranan dalam menstimulasi aktivitas uterus pada saat aterm. (Oxorn & Forte, 2010) Didalam tubuh terdapat berbagai jenis prostaglandin (PG) dan tempat kerjanya berbeda-beda, serta saling mengadakan interaksi dengan autakoid lain, neurotransmitter, hormone serta obat-obatan. Prostaglandin ditemukan pada ovarium, miometrium, dan cairan menstrual dengan konsenterasi berbeda selama siklus haid. (Ganiswara, 1995) Pada manusia Prostaglandin berperan penting dalam peristiwa persalinan. Berlainan dengan oksitosin prostaglandin merangsang terjadinya persalinan, pada setiap usia kehamilan. (Ganiswara, 1995) Dibagian kebidanan penggunaan prostaglandin terbatas pada PGE2 dan PGF2.. Semua PGF merangsang kontraksi uterus baik hamil maupun tidak hamil. Sebaliknya PGE2 merelaksasi jaringan uterus tidak hamil in vitro, tetapi memperlihatkan efek oksitosik lebih kuat dari PGF2 pada kehamilan trimester kedua dan ketiga. Untuk memulai persalinan aterm, PGE2 sama efektifnya dengan PGF2 atau oksitosin. (Ganiswara, 1995)

25

2. Indikasi Indikasi yang diakui oleh FDA adalah untuk pencegahan dan pengobatan ulkus lambung akibat pemakaian antiinflamasi non steroid. Indikasi ini didasarkan pada efeknya merangsang sistem mucus dan bikarbonat di lambung dan mengurangi produksi asam lambung. Pemakaian misoprostol di bidang obstetri dan ginekologi pada umumnya direkomendasikan pada daerah di mana uterotonika atau prostaglandin tidak tersedia atau terlalu mahal. Pada daerah dengan sumber daya terbatas (low-resource settings), keamanan pemakaian misoprostol hendaknya diperbandingkan dengan metode aborsi yang tidak aman seperti ramuan herbal, insersi benda asing atau trauma yang disengaja. Manfaat misoprostol adalah untuk terminasi kehamilan, induksi persalinan penatalaksanaan kala tiga persalinan dan penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan. Penggunaan misoprostol untuk keadaan tersebut tidak diindikasikan pada kemasan obat (off-label). Di Indonesia, misoprostol sudah banyak digunakan dalam praktik kebidanan, baik untuk terminasi kehamilan, induksi persalinan maupun penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan Ditetapkanya status penggunaan: terbatas, Hingga saat ini misoprostol masuk dalam kategori obat golongan G (Obat keras yang hanya bisa didapatkan dengan resep dokter) artinya penggunaan obat ini, baik untuk pembelian maupun penggunaan harus selalu dalam pengawasan dokter. (DEPKES RI, 2008)

26

Obat keras merupakan obat yang hanya bisa didapatkan dengan resep dokter. Obat-obat yang umumnya masuk ke dalam golongan ini antara lain obat jantung, obat darah tinggi/hipertensi, obat darah rendah/antihipotensi, obat diabetes, hormon, antibiotika, dan beberapa obat ulkus lambung. Obat golongan ini hanya dapat diperoleh di Apotek dengan resep dokter. (www.yoyoke.web.ugm.ac.id) Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1, berbeda dengan prostaglandin lainya, tidak memiliki efek signifikan pada paru-paru atau pembuluh darah (dan dapat digunakan pada penderita asma). (Fiala & Weeks, 2005) Penggunaan misoprostol dalam bidang obstetric dan ginekologi tidak ada satupun yang disetujui Badan Pengawasan Obat dan makanan di Amerika Serikat (Food And Drug Administration). (Allen & OBrien, 2009) Misoprostol mempunyai pengaruh terhadap kontraksi uterus dan penipisan serviks sehingga misoprostol banyak digunakan dalam bidang obstetric dan ginekologi diantaranya menurut Goldberg, et al, (2001) adalah a. Abortus terapeutikus/medical abortion. b. Induksi Persalinan Goldberg & Wing (2003) Pada Agustus tahun 2003, (Cytotek, Searle) sebagai manufaktur dari misoprostol yang telah mengeluarkan peringatan tertulis kepada seluruh provider kesehatan di Amerika yang berisikan peringatan pemberian misoprostol untuk wanita hamil karena

27

didapatkanya laporan kejadian rupture uteri setelah penggunaanya pada induksi persalinan di beberapa negara. Peringatan tertulis ini kemudian banyak rekasi dan kontroversi diberbagai negara, Banyak rumah sakit yang kemudian menghilangkan obat ini dari daftar obatnya. Bahkan di beberapa negara terjadi pembatasan pemasukan obat dikarenakan fungsinya yang dapat mengakibatkan aborsi dan sering kali digunakan sebagai aborsi illegal. Namun, The American College of Obstetricians and

Gynecologists (ACOG), kemudian mengungkapkan persetujuanya terhadap penggunaan misoprostol ini untuk induksi persalinan. Perdebatan dan kontroversipun kemudian terjadi di berbagai media dan forum terbuka. c. Pencegahan perdarahan postpartum Beberapa studi klinis kecil telah menganjurkan bahwa 400-600 misoprostol yang diberikan secara mcg misoprostol (diberikan melalui mulut dan dubur) memiliki efektivitas seperti oksitosin dan ergometrin dalam mengurangi perdarahan pasca persalinan. Beberapa hasil studi menemukan bahwa misoprostol seefektif oksitosin, tetapi disertai dengan menggigil dan suhu tubuh meningkat. (Shane, 2002) Bambigboye dkk (1998) melaporkan misoprostol 400 mcg yang diberikan per rectal efektif mencegah perdarahan persalinan. (Carpenter, 2001)

28

Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1 yang dapat menjadi alternatif obat uterotonika tiga yang digunakan dalam dalam

penatalaksanaan

aktif

kala

persalinan

pernyataan

International Federation of Gynaecology and Obstetrics (FIGO) dan International Confederation of Midwives (ICM), prevention and treatment of postpartum Haemorrhage: New Advances for low Resources Setting. Jika tidak tersedia oksitosin, dan tidak ada tenaga kesehatan kurang terlatih, pemberian misoprostol per oral yang diberikan satu menit setelah bayi lahir yang dapat menstimulasi uterus berkontraksi yang akan membantu terlepasnya plasenta. Sebelum memberikan misoprostol juga harus memastikan bahwa tidak ada janin kedua. (POPHI, 2008) d. Penanganan perdarahan postpartum. Dalam suatu penelitian deskriptif didapatkan misoprostol dapat menghentikan perdarahan postpartum yang tidak responsive dengan pemberian oksitosin dan metilergometrine. Penelitian tersebut

melibatkan 14 wanita yang mendapatkan 1000 mcg misoprostol per rectal setelah pemberian oksitosin dan metilergometrine, dan pada semua kasus perdarahan berhenti dalam waktu 3 menit setelah pemberian misoprostol. (DEPKES RI, 2008)

29

3. Kontraindikasi Adapun Kontraindikasi Penggunaan misoprostol menurut DEPKES RI (2008) adalah: a. Kehamilan Pada kemasan obat terbaru terdapat peringatan bahwa misoprostol dikontraindikasikan pada kehamilan karena memiliki efek abortus. Namun demikian FDA mengetahui bahwa pada beberapa keadaan, penggunaan misoprostol untuk terapi medis yang tepat, rasional dan diterima. Peresepan obat untuk indikasi yang belum disahkan ini sering dilakukan untuk terapi pada wanita hamil dan tidak dianggap sebagai percobaan karena telah didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang ada. Misoprostol merupakan stimulator kontraksi uterus pada kehamilan lanjut yang sangat kuat dan dapat menyebabkan kematian janin serta ruptur uterus jika digunakan dalam dosis yang tinggi. Oleh karena itu, pemakaiannya harus mengikuti dosis yang dianjurkan dan tidak melebihi dosis tersebut. Berdasarkan aspek legal, misoprostol tidak dapat digunakan pada kehamilan karena sampai saat ini misoprostol hanya

diregistrasikan untuk penatalaksanaan ulkus gaster dan duodenal yang refrakter terhadap antagonis H-2 reseptor.

30

a)

Pada kasus kehamilan bekas SC. Angka kejadian ruptur uteri pada penggunaan misoprostol meningkat pada trimester 3. Sedangkan di trimester 1 dan 2 tidak menunjukkan perbedaan bermakna

b) c) d)

Pada kasus suspect CPD Pada kasus kehamilan multiple dan grande multi Pada kasus presentasi bokong. Presentasi bokong bukan kontraindikasi untuk induksi dengan misoprostol. Namun, pertimbangkan kelebihan dan kekuranganya jika dibandingkan SC

e)

Pada

kasus

pertumbuhan

janin

terhambat.

Misoprostol

meningkatkan resiko terjadinya hipoksia intra uteri dihubungkan dengan efek sampingnya hiperkontraktilitas miometrium f) Pada kematian mudigah, blighted ovum, abortus medicinalis, abortus inkomplit dan insipiens. Misoprostol dapat digunakan dengan aman (sesuai dosis) untuk kasus tersebut. Hal yang perlu diperhatikan adalah untuk abortus inkomplit/insipiens dimana biasanya sedang/telah terjadi perdarahan yang banyak, sedangkan misoprostol membutuhkan waktu untuk bekerja. g) Pada obortus infeksiosa dan missed abortion, sering kali telah terjadi perlekatan dalam kavum uteri, hingga penggunaan misoprostol tidak cukup untuk mengeluarkan seluruh jaringan. Kondisi ini meningkatkan resiko sepsis

31

h)

Pada mola hidatidosa. karena jaringan mola yang banyak dan miometrium yang tipis, penggunaan misoprostol meningkatkan resiko tertinggalnya jaringan mola dan rupture uteri. Meskipun jarang, Misoprostol dapat menimbulkan kelainan congenital yang serius diantaranya adalah sindroma Mobius (kelainan congenital pada wajah). (Goldberg et al., 2001)

b. Postpartum Kontraindikasi Pemberian misoprostol untuk perdarahan postpartum adalah alergi terhadap pemberian misoprostol. Ataupun prostaglandin lainya. (Faundes, 2005) Dalam penatalaksanaan aktif kala tiga persalinan, sebelum memberikan misoprostol juga harus memastikan bahwa tidak ada janin kedua. (POPHI, 2008)

D. Efektivitas pemberian oksitosin dan misoprostol untuk pencegahan perdarahan postpartum primer 1. Pengertian Efektivitas Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Disebut efektif apabila tercapai tujuan

ataupun sasaran seperti yang telah ditentukan. (Rihadini, 2012)

32

2. Cara Kerja a. Oksitosin Oksitosin yang beredar akan berefek bila terdapat reseptor oksitosin pada membrane sel otot polos uterus sehingga merangsang pelepasan sel yang akan menyebabkan kontraksi uterus. Oksitosin terikat pada reseptornya pada membrane sel miometrium, yang selanjutnya terbentuk siklik adenosin-5-monofosfat (camp). Oksitosin bekerja dengan menimbulkan depoarisasi potensial membrane sel, sehingga terjadi penurunan nilai ambang listrik membrane sel. Dengan terikatnya oksitosin pada membrane sel, maka Ca
2+

dimobilisasi dari reticulum sarkoplasmik untuk mengaktivasi

protein kontraktil. (Manu, 2004) Oksitosin bekerja selektif pada otot polos uterus untuk menstimulasi kontraksi ritmis pada uterus, meningkatkan frekuensi kontraksi yang telah ada dan meningkatkan tonus otot-otot polos uterus. Respon yang ditimbulkan tergantung pada ambang rangsangan uterus terhadap obat ini. Oksitosin terutama bekerja pada akhir kehamilan, selama kehamilan dan segera setelah proses persalinan. Oksitosin sintetik tidak mempunyai efek pada system kardiovaskuler seperti peningkatan tekanan darah yang biasanya terjadi karena sekresi vasopressin oleh pituitary posterior.

33

Oksitosin juga bekerja pada reseptor-reseptor sel mioepitel di payudara dan menstimulasi kontraksi sel-sel, ini yang menyebabkan mengalirnya air susu ke duktus yang lebih besar, serta memudahkan keluarnya air susu. (Fitrianingsih & Zulkoni, 2009) Oksitosin dalam penatalaksanaan aktif kala tiga persalinan dapat digunakan untuk membuat rahim berkontraksi. Sintetik oksitosin juga dapat digunakan untuk mencegah dan menangani kontraksi uterus. (Khan & El-Refaey, 2006) b. Misoprostol Misoprostol (Cytotec, Arthrotec) berkhasiat menghambat produksi asam lambung dan melindungi mukosa. Selain itu, meningkatkan sekresi mucus dan bikarbonat, dan mempengaruhi sirkulasi darah di mukosa lambung. (Tjay & Rahardja, 2007) Prostaglandin dipercaya sebagai pengatur regulasi

myometrium. prostaglandin dapat digunakan dalam penatalaksanaan aktif kala tiga persalinan dalam menurunkan perdarahan postpartum. Prostaglandin diproduksi oleh jaringan desidua dan jaringan plasenta. (Khan &El Refaey, 2006) Sampai sekarang literatur mengenai cara kerja misoprostol untuk pencegahan perdarahan pasca persalinan masih terbatas. Pada pemakaian per oral, efek didapatkan secara sistemik untuk mencapai reseptornya di uterus sedangkan pada pemakaian secara vaginal memberikan efek secara topical.

34

Pada pemakaian misoprostol per rectal, obat akan diserap melalui mukosa rectal dan akan masuk ke sirkulasi darah, sehingga uterus akan berkontraksi (target organ) melalui peningkatan hubungan kesenjangan (gap junction) dan peningkatan kadar Ca
2+

intraceluler,

peningkatan reseptor oksitosin, peningkatan actin-miosin sehingga terjadi kontraksi miometrium. (Manu, 2004) Penelitian lain membandingkan pemberian 600 mcg

misoprostol peroral segera setelah penjepitan tali pusat dengan plasebo. Pada penelitian ini terbukti secara signifikan bahwa kejadian perdarahan post-partum dan jumlah darah post-partum lebih rendah pada kelompok misoprostol, sehingga misoprostol dianggap

merupakan obat yang tepat untuk pencegahan perdarahan post-partum pada daerah dengan sarana dan sumber daya yang rendah. (DEPKES RI, 2008) Diab KM dkk (1999) meneliti pemberian misoprostol per oral dan rectal dengan dosis 200 mcg dan 400 mcg dibandingkan dengan oksitosin 5 IU dan ergometrine 0,2 mcg intramuscular. Didapatkan hasil dimana dengan pemberian misoprostol per oral perdarahan lebih sedikit dan dengan per rectal efek samping lebih minimal dibanding per oral. (Carpenter, 2001) Benzinger dkk menyatakan pada rectum tidak ditemukan sistem termoregulasi. (IDAI, 2008)

35

3. Waktu atau onset bekerja a. Oksitosin Oksitosin bekerja dalam 2,5 menit yang diberikan secara intramusculer. Data penelitian terbaru menunjukkan bahwa oksitosin merupakan pilihan uterotonik yang efektif jika penatalaksanaan kala tiga persalinan profilaktik dilakukan, terutama pada ibu yang mengalami kehilangan darah lebih dari 1000 ml. (Fraser & Cooper, 2009) Oksitosin mempunyai waktu paruh yang singkat yaitu dalam beberapa menit. Beberapa hasil penelitian menunjukkan waktu paruh oksitosin 2,5-5 menit karena itu pemberianya harus diulang untuk mempertahankan kadarnya didalam plasma. (Manu, 2004) Oksitosin akan bekerja dalam waktu 1 menit setelah pemberian intravena dan 3-4 menit melalui intramuskuler dengan waktu paruh yang singkat berkisar 1-10 menit. Peningkatan kontraksi uterus dimulai hampir seketika. Oksitosin akan dieliminasi dalam waktu 3040 menit sesudah pemberianya. (Royadi et al., 2010) Oksitosin menyebabkan uterus berkontraksi dan bekerja 2-3 menit setelah pemberian intramuscular, dan mempunyai waktu paruh 10-12 menit. (Situmorang, 2009) Waktu paruh oksitosin diperkirakan berkisar 1-20 menit, kendati data-data farmakologis yang lebih mutakhir menunjukkan angka 15 menit. Oksitosin akan dieliminasi dalam waktu 30-40 menit

36

sesudah pemberianya Meskipun sampai sejauh mana oksitosin melintasi plasenta masih belum jelas namun oksitosin dengan cepat dieliminasi lewat hati, ginjal dan enzim plasenta. (Jourdan, 2004) b. Misoprostol Tabel 2.1 Rute pemberian misoprostol Rute Oral Sublingual Vaginal Rektal Onset reaksi 8 menit 11 menit 20 menit 100 menit Lama Reaksi 2 jam 3 jam 4 jam 4Jam

4. Cara pemberian dan dosis a. Oksitosin Obat-obatan oksitosika yang diberikan pada manajemen kala tiga dapat mencegah terjadinya perdarahan pasca salin. Pemberian 10 IU oksitosin segera setelah bayi lahir dan manajemen aktif kala tiga akan mencegah perdarahan pasca persalinan. (IBI, 2006) Pemberian oksitosin 10 IU Intramuskular sebagai manajemen aktif kala tiga persalinan berguna untuk merangsang uterus berkontraksi yang juga mempercepat pelepasan plasenta. (Manu, 2004) Oksitosin diberikan baik secara injeksi intravena maupun intramuscular. Namun demikian, pemberian oksitosin melalui bolus intravena dapat menyebabkan hipotensi yang berat dan fatal, terutama

37

jika terdapat perburukan kardiovaskuler. Jika diberikan sebagai bolus intravena, obat ini harus segera diberikan secara perlahan dengan dosis yang tidak lebih dari 5IU. (Jourdan, 2004) b. Misoprostol Pada semua rute pemberian, absorpsi terjadi sangat cepat tetapi yang paling cepat bila misoprostol diberikan secara oral (mencapai konsenterasi puncak setelah 12 menit, waktu paruh 20-30 menit). (Fiala & Andrew Weeks, 2005) Dosis, efektifitas dan keamanan penggunaan misoprostol untuk pencegahan perdarahan pasca persalinan. Untuk pencegahan

perdarahan pasca persalinan, diberikan misoprostol 400-600 mcg, peroral atau rectal, segera setelah bayi lahir dan sebelum plasenta lahir. (Carpenter, 2001) a) Misoprostol per oral Menurut Dasuki, et al. (2010) penelitian tentang

perbandingan efektivitas misoprostol 600 mcg per oral dengan 10 IU secara intramuskular yang dilakukan secara uji klinik ajak terkontrol. Didapatkan hasil penelitian bahwa rata-rata lama kala tiga (0,21 ml), jumlah perdarahan kala tiga (0,55 ml), jumlah

perdarahan kala empat (3,46 ml) pada prevensi perdarahan postpartum menggunakan misoprostol per oral dibandingkan

38

dengan pemberian oksitosin intramuskuler tidak berbeda baik secara statistik maupun secara klinis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa efektifitas misoprostol per oral tidak berbeda baik dengan oksitosin untuk prevensi perdarahan postpartum. Sebagaimana uterotonika yang lain, misoprostol

menyebabkan rahim berkontraksi sehingga dapat mengurangi perdarahan pasca persalinan. Misoprostol memiliki manfaat potensial termasuk mudah diberikan (melalui mulut dan dubur), murah dan stabil. Efektivitasnya, dibandingkan dengan obat-obatan uterotonika yang lain dalam mengurangi perdarahan pasca persalinan. (Shane, 2002). Misoprostol dengan dosis 400 mcg per oral dapat menurunkan 81% insidensi perdarahan postpartum yang telah terbukti pada wanita di Bangladesh. Beberapa penelitian yang telah dilakukan Negara yang berkembang seperti India, Guinea Bissau, Indonesia, Nepal, Nigeria yang menujukkan misoprotol efektif untuk mencegah perdarahan postpartum jika tidak tersedia oksitosin. (Nashreen et al., 2011) b) Misoprostol per rectal Penelitian tentang perbandingan efektifitas misoprostol per bukkal dan rektal dan oksitosin terhadap jumlah darah kala IV

39

persalinan dengan melkaukan randomized clinical trial Hasil penelitian menurut Royadi et al (2010) adalah Misoprostol 400 mcg per rektal mempunyai efektifitas yang lebih baik terhadap jumlah perdarahan kala 1V dibandingkan misoprostol 400 mcg per bukkal dan oksitosin 10 IU per intramuskuer. Terlihat semua pasien yang terlibat dalam penelitian ini jumlah perdarahanya < 500 ml atau rata-rata 35-80 ml. Diantara ketiga obat uterotonika tersebut misoprostol rektal paling sedikit jumlah perdarahanya dibanding misoprostol per bukkal dan oksitosin intramuskuler dengan rata-rata 43,82 ml. Tidak ditemukan perbedaan signifikan efek samping pada kedua kelompok perlakuan. Hal ini disebabkan karena lapisan epitel di mukosa rectum lebih tipis dan tidak berkreatin. Pembuluh darah vena di rectum juga banyak. Bila penyerapan obat melalui vena rektalis media dan vena rektalis inferior, maka absorpsi obat akan masuk kedalam sirkulasi sistemik dan tidak melewati metabolisme lintas pertama sehingga bioavailibiltas baik. Bila melalui vena rectalis superior yang merupakan bagian dari sirkulasi portal, setelah terabsorpsi langsung dibawa ke hati melalui vena porta. Pada pemberian melalui rectal rata-rata waktu untuk mencapai konsenterasi maksimum adalah 40-65 menit.

Metabolisme lintas pertama dihati adalah sekitar 50% obat yang

40

diabsorpsi dari rectum akan melalui sirkulasi portal. Prinsip pemberian secara rectal adalah sama dengan pemberian oral dalam penyebaranya di mukosa mulut. Efek pertama pada pemberian secara rectal tergantung dari tingkat area mukosa rectal dimana obat tersebut diserap. Keuntungan pemberian cara rectal adalah bisa diberikan pada penderita yang mengalami gangguan pencernaan seperti mual, muntah, tidak sadar pada penderita pasca bedah. Pada pemberian obat melalui bukkal penyerapan obat lebih lambat karena lapisan epitel bukkal lebih tebal dibandingkan mukosa rectum walaupun juga tidak berkreatin. Pembuluh darah di mukosa bukkal juga tidak melewati vena porta hepatica tapi

langsung ke vena jugularis kemudian ke vena kava dan selanjutnya ke sirkulasi sistemik. Sedangkan pada efek samping tidak memperlihatkan hubungan yang signifikan terhadap jenis efek samping dari penggunaan obat tersebut. Menurut Situmorang (2009) dalam penelitian tentang perbandingan efektifitas misoprostol 400 mcg per rectal dengan 10 IU oksitosin pada penatalaksanaan aktif persalinan kala tiga yang dilakukan secara uji klinis acak terkontrol (randomized clinical trial). Didapatkan hasil penelitian bahwa Tidak ada perbedaan bermakna rata-rata volume darah kala IV, pada kelompok

41

misoprostol 63,17 ml sedangkan kelompok oksitosin 151,50 ml Ada perbedaan bermakna rata-rata lamanya kala tiga, dimana kelompok misoprostol 10,6 menit sedangkan kelompok oksitosin 13,9 menit. Secara penelitian radiologis awal mengidentifikasi bahwa pelepasan plasenta biasanya terjadi setelah 3 menit kelahiran bayi. Penelitian lebih baru menemukan rata-rata lama kala tiga adalah 6,8 menit, dengan rentang intrakuartal 4 sampai 10 menit. (Wals, 2008) Combs dan Laros (1991) meneliti 12.275 persalinan pervaginam tunggal dan melaporkan median durasi lama kala tiga adalah 6 menit. (Cunningham et al., 2005) Tidak dijumpai subyek yang mengeluhkan efek samping pada kelompok misoprostol, sedangkan pada kelompok oksitosin dijumpai 2 subyek (6,6%) mengeluhkan nyeri kepala, Tidak dijumpai kejadian retensio plasenta, atonia uteri, perlunya penambahan uterotonika, dan kematian pada kelompok misoprostol, sedangkan pada kelompok oksitosin dijumpai satu kasus. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa efektifitas misoprostol 400 mcg per rectal sama dengan oksitosin sebagai uterotonika. Dalam perbandingan antara misoprostol per rectal dengan intramuscular oksitosin dapat disimpulkan bahwa misoprostol

42

sebagai altenatif sebagai uterotonika seperti oksitosin yang digunakan dalam manajemen aktif kala tiga khususnya di negara berkembang. Dan misoprostol memiliki efektifitas yang sama untuk pencegahan perdarahan postpartum seperti oksitosin. Sehingga misoprostol per rectal dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti oksitosin jika tidak tersedia. (Shrestha, 2011)

5. Efeksamping a. Oksitosin Obat-obatan oksitosika tersebut bukan tanpa efek samping. Ada ibu bersalin yang mendapat dosis tunggal oksitosika yang akan dialami menurut IBI (2006) adalah a) Cardiac arrest (henti jantung) Pemberian oksitosin dengan jumlah yang besar dapat mengakibatkan vasodilatasi yang nyata dan mendadak sehingga penurunan tekanan darah, khususnya tekanan diastolic. Curah jantung dapat berkurang dan penurunan curah jantung dapat memicu reflex takikardia. (Jourdan S, 2004) b) Gangguan pernafasan yang disebabkan oleh edema paru atau perdarahan intra serebral akibat hipertensi hebat c) Kecenderungan meningkatnya insiden dari lambatnya pelepasan atau tidak bisa lepasnya plasenta.

43

Dalam studi di Dublin (Irlandia), ditemukan insidensi plasenta manual (ada gangguan pelepasan plasenta), insiden perdarahan postpartum sekunder yang lebih tinggi, d) Mual, sakit kepala dan nyeri setelah persalinan. Mual dan muntah dapat disebabkan oleh kontraksi otot polos usus atau kerja langsung oksitosin pada zona pemicu kemoreseptor dan pusat muntah dalam medula oblongata. (Jourdan, 2004) Selama sembilan bulan terakhir kehamilan, daya reaksi otot rahim terhadap oksitosin meningkat sebesar delapan kali lipat. Bila dilakukan pemberian oksitosin, baik frekuensi maupun kekuatan kontraksi otot polos rahim akan meningkat sehingga rasa nyeri persalinan semakin hebat. Pasien melaporkan bahwa kontraksi yang diinduksi oleh pemberian oksitosin terasa lebih nyeri daripada kontraksi pada persalinan spontan. Penguatan persalinan dengan oksitosin membawa risiko hiperstimulasi uerus, karena beberapa individu hipersensitif terhadap oksitosin, pemberian infuse oksitosin selalu mengandung bahaya kontraksi uterus yang tetanik atau spasmodic sekalipun dosis yang diberikan sudah rendah. (Jourdan, 2004) e) Oksitosika juga berpotensi meningkatkan tekanan darah, namun dapat mengurangi insiden perdarahan postpartum primer. Oksitosin bekerja pada reseptor hormone anti diuretic dalam pembuluh darah untuk menghasilkan vasokonstriksi. Efek

44

vasokonstriksi ini dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah yang hebat dan mendadak hingga diatas 200/120 mmHg, kenaikan tekanan darah yang hebat serta mendadak ini dapat menimbulkan krisis hipertensi, dan kematian ibu pernah terjadi. (Jourdan, 2004) f) Kontraksi pembuluh darah tali pusat Jika mekanisme proteksi ini diaktifkan sebelum waktunya, janin akan mengalami kekurangan oksigen. Hipoksia janin dapat menimbulkan bradikardia, disritmia kardiak dan bahkan kematian. Setiap keadaan gawat janin sudah ada sebelumnya cenderung menjadi semakin berat dengan pemberian infus oksitosin. (Jourdan, 2004) g) Kerja antidiuretik Jika preparat oksitosin sintetik diberikan, khususnya dengan dosis tinggi, maka kerjanya menyerupai kerja hormone antidiuretik. Tanpa pemantauan yang cermat, hal ini dapat menimbulkan retensi cairan yang berbahaya. Setiap air yang ditahan akan mengalir lewat osmosis dari plasma kedalam cairan jaringan dan kemudian kedalam sel-sel tubuh yang akan membengkak. Retensi air dapat meningkatkan volume cairan jaringan. Peningkatan ini pada gilirannya akan menimbulkan edema dependen, kenaikan tekanan vena jugularis dan bahkan edema paru yang mengganggu pernafasan serta oksigenasi. Retensi air dapat menyebabkan intoksikasi air (Pembengkakan sel) namun, tidak semua kasus

45

intoksikasi air lebih cenderung terjadi jika diberikan cairan infuse yang hipotonik, seperti larutan glukosa (dekstrosa). (Jourdan, 2004) h) Reaksi hipersensitivitas b. Misoprostol Efek samping misoprostol untuk pencegahan perdarahan postpartum tergantung dosis yang diberikan. Suatu studi melaporkan efek samping yang terjadi yaitu demam dan menggigil pada pemberian misoprostol 400 mcg yang diberikan setelah penjepitan talipusat menurun dari 11% menjadi 4%. Studi lain menyatakan jika misoprostol diberikan 400 mcg atau 200 mcg diberikan per rectal terjadi 7% insidensi menggigil. (UM et al., 2009). Adapun efek samping yang paling umum terjadi pada pemberian misoprostol menurut Goldberg et al., (2001) adalah a) Diare Efek samping pemberian misoprostol yang terjadi adalah diare (3%). (Carpenter, 2001). Diare juga merupakan hal yang mungkin terjadi setelah pemberian misoprostol akan tetapi, biasanya dapat diatasi dengan sendirinya setelah 1 hari. (Gynuity Health Projects, 2007). b) Mual dan muntah Insidensi (Carpenter, muntah 2001). (8%) pada pemberian kontraktilitas misorostol. traktus

Peningkatan

gastrointestinal keadaan ini akan menimbulkan diare, muntah, dan

46

kram abdomen. (Jourdan, 2004). Mual dan muntah bisa terjadi 2 sampai 6 jam setelah pemberian misoprostol. Jika dibutuhkan maka diberikan anti emetic (anti mual) c) Nyeri perut Kram atau nyeri perut, biasanya terjadi setelah melahirkan, biasanya tejadi dalam beberapa jam pertama dan mungkin mulai terjadi setelah 30 menit pemberian misoprostol. Nonsteroidal antiinflammatorydrugs (NSAIDs) atau analgesia lain dapat digunakan untuk menghilangkan rasa sakit tanpa mempengaruhi keberhasilan. (Gynuity Health Projects, 2007) d) Demam Insidensi demam (suhu> 38C) adalah 2 sampai 34%. (Carpenter, 2001) Insidensi Efek samping demam lebih sedikit dibandingkan dengan menggigil, dan demam belum tentu menunjukkan infeksi. Peningkatan suhu tubuh sering didahului dengan menggigil, puncaknya terjadi 1-2 jam setelah pemberian misoprostol, dan secara bertahap berkurang dalam waktu 2-8 jam. jika dibutuhkan, antipiretik dapat digunakan untuk menghilangkan demam. Jika demam atau menggigil berlangsung setelah 24 jam, pasien harus diberi tindakan medis untuk menghindari infeksi. (Gynuity Health Projects, 2007) Normalnya prostaglandin bekerja pada hipotalamus untuk menimbulkan panas (pireksia) ketika terjadi infeksi. Pireksia

47

dengan kenaikan suhu yang melebihi 1oC terjadi pada 34% pasien yang mendapatkan misoprostol oral untuk pencegahan postpartum. Efek ini biasanya bersifat sepintas dan akan hilang dalam waktu beberapa jam setelah pemberian berakhir. (Jourdan, 2004). Prostaglandin PGE2 dan 15 metil PGF2 yang

meningkatkan suhu tubuh sekilas dan diduga kerjanya melalui pusat pengatur suhu di hipotalamus. (Ganiswara, 1995) Dalam otak prostaglandin dibentuk sebagai reaksi terhadap zat-zat pirogen berasal dari bakteri (infeksi). Prostaglandin ini menstimulasi pusat regulasi suhu di hipotalamu dan menimbulkan demam. (Tjay & Rahardja, 2007) Demam (pireksia) adalah keadaan suhu tubuh diatas normal sebagai akibat peningkatan pusat pengaturan suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh Interlukein-1. Pengaturan suhu pada keadaan sehat atau demam merupakan keseimbangan antara produksi dan pelepasan panas. Demam disebabkan oleh senyawa yang dinamakan pirogen. Pirogen endogen yang dihasilkan oleh sel monosit, makrofag dan sel tertentu lainya secara langsung atau dengan perantaraan pembuluh limfe masuk sistem sirkulasi dan dibawa ke

hipotalamus. Didalam pusat pengendalian suhu tubuh pirogen endogen menimbulkan perubahan metabolic, antara lain sintesis prostaglandin E2 (PGE2) yang mempengaruhi pusat pengendalian

48

suhu tubuh sehingga set point untuk suhu tersebut ditingkatkan untuk suhu tubuh yang lebih tinggi. Pusat ini kemudian mengirimkan impuls ke pusat produksi panas untuk meningkatkan aktivitasnya dan ke pusat pelepasan panas untuk mengurangi aktivitasnya sehingga suhu tubuh meningkat atau terjadi demam. (IDAI, 2008) e) Mengigil Jalur pemberian oral dapat berhubungan dengan menggigil (19 sampai 62%). (Carpenter, 2001) Menggigil merupakan efek samping yang paling umum terjadi dari pemberian misoprostol selama postpartum, terjadi dalam satu jam pemberian dan efek samping sementara akan mereda setelah 2-6 jam setelah melahirkan. (Gynuity Health Projects, 2007) Dewasa dan anak besar mempertahankan panas dengan vasokonstriksi dan memproduksi panas dengan vasokonstriksi dengan menggigil sebagai respons terhadap kenaikan suhu tubuh. Aliran darah yang diatur oleh susunan saraf memegang peranan penting dalam mendistribusikan panas dalam tubuh. Pada lingkungan panas atau bila suhu tubuh meningkat, pusat pengatur suhu di hipotalamus mempengaruhi serabut saraf eferen dari sistem saraf autonom untuk melebarkan pembuluh darah. Peningkatan aliran darah di kulit menyebabkan pelepasan panas dari pusat tubuh melalui permukaan kulit ke sekitarnya

49

dalam bentuk keringat. Di lain pihak, ada lingkungan dingin, penurunan aliran peredaran darah dikulit (vasokonstriksi) akan mempertahankan suhu tubuh. Hipertermia maligna adalah keadaan patologis, ditandai adanya peningkatan produksi panas yang tidak terkendali. (IDAI, 2008) c. Oksitosin dan misoprostol Penelitian multicenter WHO melakukan randomisasi trial dalam penatalaksanaan aktif kala tiga persalinan dengan pemberian oksitosin 10 IU intramuskuler dibandingkan dengan misoprostol 600 mcg oral menunjukkan misoprostol memiliki efektivitas yang sama dengan oksitosin atau metilergometrine dalam mengurangi perdarahan diberikan sebagai manajemen aktif kala tiga dalam persalinan. Dibandingkan dengan perempuan yang menerima oksitosin, jika

perempuan yang menerima misoprostol 600 mcg peroral segera setelah persalinan memiliki jumlah kehilangan darah yang lebih besar, membutuhkan uterotonika lain dan memiliki insidens mengalami peningkatan suhu dan menggigil. (Gulmezoglu et al., 2001) Penelitian Amant tahun 1999 membandingkan efektifitas dan efeksamping misoprostol oral dibandingkan dengan metilergometrine intravena dalam pencegahan perdarahan postpartum. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna terhadap perdarahan pasca persalinan, namun misoprostol berhubungan dengan efeksamping yang lebih besar. (Capenter, 2001)

50

Menurut Shresta et al., (2011) Dalam journal Rectal Misoprostol versus Intramuscular Oksitosin for prevention of postpartum Hemorrhage adapun hasil penelitianya adalah efeksamping dalam 6 jam diantara

kelompok misoprostol dan oksitosin secara statistik terdapat kemiripan secara signifikan. Sedangkan efeksamping yang timbul antara kelompok misoprostol dan oksitosin dalam 24 jam secara statistik tidak signifikan Tabel 2.2 Efeksamping antara misoprostol dan oksitosin Efek samping dalam 6 jam Tidak ada efek samping Demam dengan menggigil Nyeri perut Efek samping dalam 24 jam Tidak ada efek samping Demam dengan menggigil Nyeri perut Misoprostol 73 % 25 % 2% Misoprostol 77 % 16 % 7% Oksitosin 87% 10 % 3% Oksitosin 89% 4% 7%

Perbedaan yang agak menonjol adalah pada efek samping obat terutama menggigil, sedangkan mual ditemukan 5 kasus pada penggunaan misoprostol dan 1 kasus pada penggunaan oksitosin. Menurut Nissen, efek samping misoprostol yang terbanyak adalah diare diikuti mual dan muntah. Hal ini disebabkan misoprostol menyebabkan kontraksi otot polos

51

longitudinal traktus gastrointestinal tetapi relaksasi pada otot polos sirkuler. Pada penelitian ini tidak ditemukan efek samping berupa diare. Untuk efek samping misoprostol berupa menggigil, pada

farmakokinetika dari misoprostol belum pernah disebutkan penyebabnya. Tetapi pada penelitian El-Refaey ditemukan kejadian menggigil 62%. Tidak dilakukan tindakan atau terapi untuk mengatasi menggigil, karena tidak dikatakan tidak menimbulkan morbiditas, hanya perasaan yang tidak menyenangkan. Terjadi sekitar 20 menit setelah menelan obat

(misoprostol) dan berlangsung selama 10-15 menit. Pada penelitian ini, dari 120 kasus misoprostol, didapatkan 14 kasus dengan menggigil (11,7 %). Seluruhnya berlangsung 10-15 menit dan tidak ada tindakan tambahan yang diberikan. Menurut WHO insidensi menggigil pada persalinan normal tanpa intervensi 10% sehingga efek samping obat berupa menggigil masih harus dilihat lagi, apakah disebabkan oleh misoprostol. Apakah menggigil disebabkan oleh misoprostol, maka farmakokinetikanya yang dapat menerangkan adalah bahwa misoprostol ini bereaksi menimbulkan proses inflamasi berupa demam. Demam tersebut menimbulkan meggigil pada kasus pemakaian misoprostol. Dari 13 kasus misoprostol yang didapatkan menggigil hanya 7 kasus yang mengalami kenaikan temperatur, sedangkan lainnya tetap atau turun. ( Dasuki., et al 2010)

52

Adapun meggigil dapat ditemukan jika misoprostol digunakan dalam dosis tinggi. efek samping penggunaan rectal untuk pencegahan perdarahan postpartum, Khan et al menunjukkan bahwa mengigil terjadi 73 % pada pemberian rectal dan 95% pada pemberian oral. Adapun Analisis berdasarkan efeksamping antara misoprostol dan oksitosin mennunjukkan demam dan menggigil dengan frekuensi paling tinggi pada kelompok misoprostol 41% sedangkan oksitosin 14%. Dan nyeri perut terjadi pada kelompok misoprostol dan oksitosin. ketika

pasien mengalami menggigil dapat diberikan selimut. Demam dan menggigil yang terjadi pada kelompok prostaglandin E (misoprostol) yang terjadi di pusat termoregulator. (Shrestha, 2011)

6. Penyimpanan a. Oksitosin Oksitosin lebih stabil dibandingkan dengan ergometrine dan methylergometrine. Jika oksitosin, ergometrine & methylergometrine disimpan dalam rantai dingin atau cold chain dengan suhu 4-8 OC atau dalam keadaan tidak terkena cahaya, jumlah zat aktifnya tidak akan menghilang. Namun, jika disimpan dalam suhu yang lebih tinggi dan terkena cahaya, oksitosin lebih stabil dibandingkan dengan

ergometrine dan methylergometrine. Secara penglihatan ergometrine dapat terdeteksi jika kehilangan zat aktifnya, yaitu larutan ergometrine akan kehilangan bahan aktifnya kurang dari 90 %.

53

Ergometrine dan methylergometrine sangat sensitif terhadap cahaya. Kedua obat tersebut harus disimpan dalam keadaan gelap atau tidak terkena cahaya dan akan kehilangan zat aktifnya jika terpapar cahaya dalam waktu yang singkat. Perbedaan kestabilan antara oksitosin, ergometrine dan

methylergometrine sangat penting jika terpapar cahaya. Penulis menemukan bahwa ergometrine dan methylergometrine akan cepat kehilangan potensinya jika terpapar cahaya bahkan cahaya langsung . Rata-rata ergometrine dan methylergometrine akan kehilangan potensi zat aktifnya sebesar 21% dan 27 % dari masing-masing obat tersebut akan kehilangan zat aktifnya selama satu bulan penyimpanan jika terpapar cahaya tidak langsung. Oksitosin tidak menunjukkan banyak kehilangan potensi jika dilakukan uji yang sama. Penulis

menyimpulkan bahwa oksitosin lebih stabil dibandingkan dengan ergometrine dan methylergometrine, karena oksitosin tidak memiliki efek buruk jika terpapar cahaya.

54

Tabel 2.3 Kesimpuan studi simulasi tentang kestabilan obat oksitosika dibawah kondisi tropis

Rata-rata zat aktif setelah 12 bulan penyimpanan Gelap, 4-8


o

Gelap, 30
o

Terkena cahaya 21-25 oC

Ergometrine

Kehilangan 5%

Kehilangan 31 % Kehilangan 18 % Kehilangan 14 %

Kehilangan 90 % Kehilangan 90 % Kehilangan 7%

Methylergometrine

Kehilangan 4%

Oksitosin

Kehilangan 0%

Nilai rata-rata presentase kehilangan potensi berdasarkan zat aktifnya. WHO dalam penelitianya menyimpulkan bahwa obat uterotonika dapat disimpan dalam dua minggu jika suhu 400 C atau satu bulan dengan suhu 300 C selama tidak menyebabkan efek yang serius tentang potensi obat oksitosika tersebut. Oleh karena itu, obat oksitosika tersebut tidak didinginkan dari pemasok atau central store yang tidak akan menimbulkan efek yang signifikan tentang potensi obat oksitosika injeksi. Dalam kasus tidak tersedia rantai dingin atau cold chain, oksitosin dan ergometrine mungkin sementara waktu

penyimpanannya tidak pada rantai pendingin maksimum selama 3 bulan dengan suhu tidak melebihi 300 C.

55

Oleh sebab itu dalam peningkatan efektivitas, kestabilan yang lebih baik, kontraindikasi dan efeksamping yang lebih sedikit dan biaya yang sama. WHO merekomendasikan oksitosin sebagai obat pilihan utama yang diberikan pada manajemen aktif kala tiga persalinan di negara-negara berkembang. Jika oksitosin tidak tersedia, ergometrine boleh digunakan jika penyimpananya baik dan tidak terkena cahaya. (www.pphprevention.org/files/Practicalguidance-

secure_00.) Penyimpanan oksitosin harus ditempat yang tidak terkena dengan cahaya diantara 4-22 oC, misalnya didalam lemari es. ( Jourdan, 2004)

56

Bagan 2.1 Pemilihan obat oksitosika Jika oksitosin dan ergometrine tersedia PENYIMPANAN* TIDAK Lokasi: Lemari pendingin? (2-8 C) IYA Kontraindikasi untuk ergometrine?
T I D A K
o

CAHAYA Central drug store Labor/delivery unit Postpartum unit

OKSITOSIN

Selama pengangkutan GELAP Kontraindikasi untuk ergometrine? IYA OKSITOSIN TIDAK

OKSITOSIN OKSITOSIN ATAU ERGOMETRINE **

b. Misoprostol Misoprostol telah tersedia dalam bentuk tablet yang mempunyai masa aktif obat adalah 18-36 bulan. Dan penyimpanan oksitosin dalam

IYA

57

suhu dibawah 25-30 oC (77 - 86 oF) disimpan dalam tempat yang kering. Dan misoprostol stabil pada suhu ruangan.

7. Sumber daya Apabila ditinjau dari segi ekonomis dan biaya, penggunaan misoprostol per rectal lebih mahal dari pada oksitosin intramuskuler, tetapi misoprostol mempunyai keuntungan yaitu: lebih praktis dalam hal cara pemberian, penyimpanan mudah, dan tidak perlu keahlian dalam pemakaian. (Manu, 2004) Dengan mempertimbangkan masih banyak persalinan dilakukan penolong belum benar-benar terampil dan tanpa pengetahuan penggunaan oksitosin yang standar, misoprostol dapat menjadi uterotonika alternatif untuk menurunkan kejadian perdarahan pasca persalinan secara global. (Situmorang, 2009) Untuk melaksanakan pemberian oksitosika secara rutin pada manajemen kala tiga di Negara-negara asia tenggara perlu

dipertimbangkan masalah biaya. Komponen biaya bukan hanya meliputi biaya pelatihan dan biaya obat, tetapi juga biaya penyimpanan (lemari es), penyimpanan persediaan dan transportasi. (IBI, 2006). Dalam jurnal Misoprostol and active management of the third stage of labor yang melakukan penelitian tentang penggunaan misoprostol 600 mcg per oral dalam manajemen aktif kala tiga persalinan, didapatkan hasil penelitian bahwa wanita yang diberikan misoprostol 11% lebih sedikit

58

kehilangan darah 500 ml. Sehingga dapat dipertimbangkan pemberian misoprostol ketika oksitosin tidak tersedia (Prata et al., 2006) PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1464/MENKES/PER/X/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan bahwa bidan tidak berwenang dalam pemberian misoprostol. Dan bidan hanya berwenang untuk pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum. USP Expert Advisory Panel merekomendasikan misoprostol sebagai alternative dalam mengurangi insidens perdarahan pasca persalinan, terutama pada kondisi tidak tersedia oksitosin dan obat uterotonik lainnya. karena adanya pengaruh yang dihasilkan oleh misoprostol terhadap kontraksi uterus dan penipisan serviks dapat digunakan untuk pencegahan dan penanganan perdarahan postpartum. (Carpenter, 2001)

59

BAB III PEMBAHASAN

A. Konsep perdarahan postpartum Menurut berbagai literatur yang telah penulis sampaikan bahwa perdarahan postpartum adalah perdarahan dengan jumlah banyak yang terjadi segera setelah persalinan setelah bayi lahir hingga 6 minggu setelah persalinan yang dapat mengganggu kesejahteraan ibu seperti ibu menjadi lemas bahk dalam keadaan pre syok atau syok. Sehingga, seorang bidan harus cepat dan tanggap untuk melakukan intervensi jika terjadi perdarahan postpartum. Atonia uteri merupakan penyebab tersering perdarahan postpartum primer sebesar 70-85 %. Atonia uteri adalah keadaan otot uterus tidak mengalami retraksi dan kontraksi yang kuat sehingga pembuluh darah terbuka. Deteksi dini komplikasi selama kehamilan dan persalinan sangat penting bagi bidan, sehingga kemungkinan terjadi perdarahan postpartum akan segera diantisipasi segera sebelum kelahiran terjadi. Pada kasus-kasus perdarahan pasca persalinan dapat diramalkan seperti kasus kelahiran bayi besar, uterus yang overdistensi kemungkinan besar akan menjadi hipotonik setelah persalinan. Sehingga, wanita dengan janin yang besar, janin lebih dari satu atau hamil kembar, hidramanion,

59

60

partus lama, induksi/stimulasi, cenderung mengalami perdarahan karena atonia uteri. Suatu meta-analisa dari studi-studi tersebut, yang tersedia melalui database Cochrane dan WHO reproductive Health Library (Kesehatan Reproduksi WHO) menegaskan bahwa pengelolaan aktif berkaitan dengan berkurangnya kehilangan darah ibu (termasuk perdarahan post partum biasa hingga berat), berkurangnya anemia setelah persalinan dan berkurangnya kebutuhan terhadap trasfusi darah. WHO merekomendasikan pengelolaan aktif Kala III untuk setiap persalinan ( Shane, 2002)

B. Oksitosin Menurut berbagai literatur yang telah penulis sampaikan bahwa oksitosin endogen adalah suatu hormon alami yang diproduksi oleh hipotalamus dan diekskesikan oleh kelenjar hipofisis posterior. Oksitosin baik endogen maupun eksogen bekerja pada reseptor di uterus yaitu miometrium dan desidua (endometrium) dan payudara. Oksitosin dapat menstimulasi kontraksi otot polos uterus dan kelenjar payudara sehingga, oksitosin memiliki peranan dalam proses persalinan dan pengeluaran air susu. Namun, jumlah oksitosin endogen adalah tidak cukup untuk mencegah perdarahan pasca persalinan sehingga dibuat suatu oksitosin sintetik (oksitosin eksogen) untuk digunakan sebagai preparat uterotonika dalam mencegah perdarahan postpartum. (Situmorang, 2009) Bentuk

61

sintesis oksitosin (pitocin, Oxytocin, Syntocinon) menstimulasi kontraksi uterus. Oksitosin dapat menstimulasi kontraksi uterus sehingga dapat mengontrol perdarahan postpartum. Sehingga oksitosin eksogen merupakan obat uterotonika yang utama digunakan secara rutin pada kala tiga persalinan untuk membantu pelepasan plasenta dan mencegah perdarahan postpartum primer.

C. Misoprostol Misoprostol termasuk dalam golongan hormon prostaglandin yang dapat menyebabkan kontraksi uterus dan penipisan serviks. Misoprostol telah di pasarkan sejak 1985 dengan merek Cytotec. (Fiala & Weeks, 2005) Misoprostol adalah sintetis dari analog prostaglandin E1. Pada awalnya misoprostol digunakan untuk mencegah ulkus lambung akibat penggunaan obat anti inflamasi non steroid. FDA (Food And Drug Administration) hanya menerima dan menganjurkan untuk digunakan sebagai pencegahan ulkus lambung akibat penggunaan obat anti inflamasi non steroid. Dan secara off label misoprostol menjadi obat yang penting dalam bidang obstetri dan ginekologi karena efeknya terhadap kontraksi uterus dan penipisan serviks. Searle, selaku manufaktur dari misoprostol pada tahun 2000 telah mengeluarkan peringatan tertulis kepada seluruh provider kesehatan di

62

Amerika yang berisikan peringatan pemberian misoprostol untuk wanita hamil dan juga untuk penggunaan di bidang kebidanan. Karena didapatkanya laporan kejadian rupture uteri setelah penggunaanya pada induksi persalinan di beberapa negara. Namun, The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), kemudian mengungkapkan persetujuanya terhadap penggunaan misoprostol ini untuk induksi persalinan.

D. Efektivitas pemberian oksitosin dan misoprostol untuk pencegahan perdarahan postpartum primer 1. Cara kerja oksitosin dan misoprostol Seperti yang dikemukakan oleh Fitrianingsih & Zulkoni (2009) Oksitosin bekerja pada membrane sel otot polos uterus sehingga merangsang pelepasan sel yang akan menyebabkan kontraksi uterus. Sedangkan cara kerja misoprostol seperti yang dikemukakan oleh Manu (2004) Sampai sekarang literatur mengenai cara kerja misoprostol untuk pencegahan perdarahan pasca persalinan masih terbatas. Pada pemakaian per oral, efek didapatkan secara sistemik untuk mencapai reseptornya di uterus sedangkan pada pemakaian secara vaginal memberikan efek secara topical. Pada pemakaian misoprostol per rectal, obat akan diserap melalui mukosa rectal dan akan masuk ke sirkulasi darah, sehingga uterus akan berkontraksi (target organ) melalui peningkatan hubungan

63

kesenjangan (gap junction) dan peningkatan kadar Ca

2+

intraceluler,

peningkatan reseptor oksitosin, peningkatan actin-miosin sehingga terjadi kontraksi miometrium.

2. Waktu atau onset bekerja oksitosin dan misoprostol Oksitosin memiliki onset bekerja lebih cepat dibandingkan dengan misoprostol. Oksitosin bekerja dalam 2,5 menit yang diberikan secara intramusculer. Sedangkan misoprostol memiliki onset reaksi paling cepat yaitu misoprostol per oral bekerja dalam 8 menit dibandingkan dengan misoprostol per sublingual, vaginal dan rectal.

3. Cara pemberian dan dosis a. Oksitosin Oksitosin dapat diberikan secara rutin pada setiap persalinan yang telah direkomendasikan oleh WHO. Obat-obatan oksitosika yang mengandung oksitosin syntetik yang diberikan pada

manajemen aktif kala tiga persalinan efektif mencegah terjadinya perdarahan postpartum. Intervensi yang dilakukan dengan pemberian 10 IU oksitosin secara intramuskuler segera satu menit setelah bayi lahir. Dan dikontraindikasikan jika terdapat janin kedua. b. Misoprostol Dosis penggunaan misoprostol untuk pencegahan perdarahan pasca persalinan yang telah direkomendasikan adalah misoprostol

64

400-600 mcg peroral atau rectal, yang diberikan segera setelah bayi lahir dan sebelum plasenta lahir. a) Misoprostol per oral Pada semua rute pemberian, absorpsi terjadi sangat cepat tetapi yang paling cepat bila misoprostol diberikan secara oral (mencapai konsenterasi puncak setelah 12 menit, waktu paruh 20-30 menit). (Fiala & Andrew Weeks, 2005) Banyak penelitian yang menyatakan bahwa dengan pemberian misoprostol per oral dapat menurunkan insidensi perdarahan postpartum. Seperti yang dikemukakan oleh Dasuki, et al. (2010) dalam penelitian yang dilakukan secara uji klinik ajak terkontrol tentang perbandingan efektivitas misoprostol 600 mcg per oral dengan 10 IU secara intramuskular didapatkan hasil penelitian efektifitas misoprostol per oral tidak berbeda baik dengan oksitosin untuk prevensi perdarahan postpartum dalam hal rata-rata lama kala tiga, jumlah perdarahan kala tiga jumlah perdarahan kala empat. b) Misoprostol per rectal Misoprostol per rectal juga efektif untuk menurunkan insidensi perdarahan postpartum seperti yang dikemukakan oleh Royadi, et al. (2010) bahwa misoprostol 400 mcg per rektal mempunyai efektifitas yang lebih baik terhadap jumlah

65

perdarahan kala 1V dibandingkan misoprostol 400 mcg per bukkal. Hal ini disebabkan karena lapisan epitel di mukosa rectum lebih tipis dan tidak berkreatin. Pada pemberian obat melalui bukkal penyerapan obat lebih lambat karena lapisan epitel bukkal lebih tebal dibandingkan mukosa rectum walaupun juga tidak berkreatin. Keuntungan pemberian cara rectal adalah bisa diberikan pada penderita yang mengalami gangguan pencernaan seperti mual, muntah, tidak sadar pada penderita pasca bedah.

4. Efek samping Menurut berbagai literatur yang telah penulis sampaikan bahwa bahwa efek samping yang terjadi pada kelompok oksitosin lebih kecil dibandingkan dengan kelompok misoprostol untuk pencegahan

perdarahan postpartum primer. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gulmezoglu et al., (2001) perempuan yang menerima misoprostol 600 mcg peroral segera setelah persalinan memiliki insidens mengalami peningkatan suhu dan menggigil. Beberapa hasil studi menemukan bahwa misoprostol seefektif oksitosin, tetapi disertai dengan menggigil dan suhu tubuh meningkat. (Shane, 2002)

66

Hal ini diperkuat oleh Shresta et al., (2011) Dalam journal Rectal Misoprostol versus Intramuscular Oxytocin for prevention of postpartum Hemorrhage hasil penelitianya adalah efeksamping lebih besar pada kelompok misoprostol. Efek samping yang terjadi adalah a. Demam dan menggigil sebesar 25 % pada kelompok misoprostol sedangkan 10 % pada kelompok oksitosin pada 6 jam pertama. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Dasuki, et al. (2010) tentang perbandingan efektivitas misoprostol 600 mcg per oral dengan 10 IU secara intramuskular dinyatakan bahwa perbedaan yang agak menonjol adalah pada efek samping obat terutama menggigil. Pada penelitian ini, dari 120 kasus misoprostol, didapatkan 14 kasus dengan menggigil (11,7 %). Seluruhnya berlangsung 10-15 menit dan tidak ada tindakan tambahan yang diberikan. Dari 13 kasus

misoprostol yang didapatkan menggigil hanya 7 kasus yang mengalami kenaikan temperatur, sedangkan lainnya tetap atau turun. Dewasa dan anak besar mempertahankan panas dengan vasokonstriksi dan memproduksi panas dengan vasokonstriksi dengan menggigil sebagai respons terhadap kenaikan suhu tubuh. (IDAI, 2008) Dalam otak prostaglandin dibentuk sebagai reaksi terhadap zatzat pirogen berasal dari bakteri (infeksi). Prostaglandin ini menstimulasi pusat regulasi suhu di hipotalamu dan menimbulkan demam. (Tjay & Rahardja, 2007)

67

b. Nyeri perut Nyeri perut sebesar 2% pada kelompok misoprostol sedangkan 3% pada kelompok oksitosin. Oksitosin menyebabkan mual, sakit kepala dan nyeri setelah persalinan. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Situmorang (2009) Tidak dijumpai subyek yang mengeluhkan efek samping pada kelompok misoprostol, sedangkan pada kelompok oksitosin dijumpai 2 subyek (6,6%) mengeluhkan nyeri kepala. Kram atau nyeri perut, biasanya terjadi setelah melahirkan, biasanya tejadi dalam beberapa jam pertama dan mungkin mulai terjadi setelah 30 menit pemberian misoprostol. Nonsteroidal anti-

inflammatorydrugs (NSAIDs) atau analgesia lain dapat digunakan untuk menghilangkan rasa sakit tanpa mempengaruhi keberhasilan. (Gynuity Health Projects, 2007) Adapun efek samping yang paling umum terjadi pada pemberian misoprostol menurut Carpenter (2001) adalah diare (3 %), muntah (8%), Nyeri perut, demam (2 sampai 34%) , Mengigil (19 sampai 62%).

5. Penyimpanan Penyimpanan obat-obatan oksitosika sesuai dengan standar harus selalu diperhatikan. Penyimpanan oksitosin disarankan pada rantai dingin atau cold chain dengan suhu 4-8 OC atau dalam keadaan tidak terkena cahaya, sehingga jumlah zat aktifnya tidak akan menghilang.

68

Oksitosin lebih stabil dibandingkan dengan ergometrine dan methylergometrine. ergometrine dan methylergometrine akan cepat kehilangan zat aktifnya jika tidak disimpan dalam rantai dingin atau cold chain dengan suhu 4-8 OC atau dalam keadaan tidak terkena cahaya. Sehingga penyimpanan oksitosin yang tidak pad rantai dingin atau cold chain dapat disimpan dalam dua minggu jika suhu 400 C atau satu bulan dengan suhu 300 C. Rata-rata ergometrine dan methylergometrine akan kehilangan potensi zat aktifnya sebesar 21% dan 27 % dari masing-masing obat tersebut akan kehilangan zat aktifnya selama satu bulan penyimpanan jika terpapar cahaya tidak langsung Pemakaian oksitosin secara luas di berbagai tempat persalinan harus menjadi tujuan utama. Namun oksitosin mempunyai keterbatasan dalam penyimpanannya dan sedikit lebih mahal dari pada misoprostol. Jika keadaan ini menjadi kendala, maka pemakaian misoprostol dapat dipertimbangkan. Penyimpanan misoprostol lebih mudah dibandingkan dengan oksitosin. Misoprostol tidak memerlukan rantai dingin, misoprostol stabil pada suhu ruangan dengan suhu dibawah 25-30 oC (77 - 86 oF) disimpan dalam tempat yang kering.

69

6. Sumber daya Asuhan kebidanan yang berkualitas khususnya selama

tatalaksana aktif persalinan kala tiga dapat memberikan kenyamanan bagi ibu, sehingga bidan dapat mepertimbangkan pemilihan obat uterotonika yang utama untuk profilaksis perdarahan postpartum tergantung pada penilaian klinis dari pemberi pelayanan kesehatan, tersedianya pilihan obat, dan pertimbangan antara manfaat dan efek sampingnya. Oksitosin memerlukan tenaga terlatih, memerlukan jarum suntik steril sedangkan misoprostol melihat cara pemberian yang mudah, tanpa memerlukan tenaga kesehatan, tanpa memerlukan jarum suntik dan stabil dalam suhu kamar. Oeh karena itu, misoprostol dapat dipertimbangkan sebagai alternative dalam mengurangi insidens perdarahan pasca persalinan, terutama pada kondisi tidak tersedia oksitosin dan obat uterotonik lainnya.

70

BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan 1. Perdarahan postpartum adalah perdarahan dengan jumlah banyak terjadi segera setelah persalinan yang mengganggu kesejahteraan ibu dan terlihat ibu menjadi lemas bahkan pre syok ataupun syok. Salah satu intervensti yang penting untuk mencegah perdarahan postpartum primer adalah penggunaan uterotonika seperti oksitosin dan

misoprostol yang merupakan bagian dari manajemen aktif kala tiga persalinan. 2. Dalam tubuh manusia mengeluarkan oksitosin alami yang disebut dengan oksitosin endogen, karena jumlahnya tidak cukup mencegah perdarahan postpartum primer sehingga dibuat suatu oksitosin eksogen atau oksitosin sintetik. Pemberian oksitosin eksogen terutama dalam manajemen aktif kala tiga persalinan lebih efektif pada ibu hamil yang beresiko seperti anemia, grandemultipara, riwayat perdarahan postpartum sebelumnya, hamil kembar, dan bayi besar, hidramnion, dan partus lama. Sedangkan oksitosin endogen lebih efektif diberikan pada ibu yang tidak memiliki resiko untuk terjadinya perdarahan postpartum primer. 3. Misoprostol adalah sintetik dari analog prostaglandin E1, efeknya dapat menstimulasi kontraksi uterus sehingga dapat digunakan untuk

71

mencegah perdarahan postpartum primer pada manajemen aktif kala tiga persalinan. 4. Efektivitas oksitosin dan misoprostol untuk pencegahan perdarahan postpartum primer berdasarkan cara kerja, waktu atau onset reaksi, cara pemberian dan dosis, efeksamping, penyimpanan, dan

sumberdaya a. Oksitosin bekerja pada otot polos uterus sehingga dapat menstimulasi kontraksi uterus dan misoprostol dapat berinteraksi dengan reseptor di dalam sel myometrim, yang dapat memicu terjadinya kontraksi uterus. b. Oksitosin memiliki onset reaksi yang lebih cepat dibandingkan dengan misoprostol sehingga efektivitas oksitosin dalam hal onset reaksi lebih baik dibandingkan dengan misoprostol. c. Oksitosin dapat diberikan segera 1 menit setelah bayi lahir dengan dosis 10 IU secara intramuskuler sedangkan dosis misoprostol 400600 mcg yang diberikan secara oralatau rectal. Misoprostol per oral paling cepat diabsorpsi dibandingkan dengan pemberian

misoprostol sublingual, vaginal dan rectal. d. Efek samping lebih besar pada kelompok misoprostol untuk mencegah perdarahan postpartum primer. Demam dan menggigil merupakan efeksamping yang paling menonjol. Sedangkan efeksamping lainya nyeri perut.

72

e. Keefektifan oksitosin terhadap pencegahan perdarahan postpartum primer memerlukan kedisiplinan dalam hal penyimpanan harus menggunakan rantai dingin atau cold chain dengan temperatur 4-8
o

C atau dalam keadaan tidak terpapar cahaya sehingga seluruh zat

aktif bisa dipelihara dengan baik. Apabila disimpan dengan suhu yang lebih tinggi dan terpapar cahaya, oksitosin lebih stabil dibandingkan dengan ergometrine dan metylergometrine yang sangat sensitive terhadap cahaya yang dalam waktu singkat akan kehilangan zat aktifnya. Apabila terpapar cahaya tidak langsung tingkat kehilangan obat uterotonika ergometrine dan methylergometrine 21-27 % dalam satu bulan. Sedangkan misoprostol disimpan dalam tempat yang kering dan tidak memerlukan rantai dingin. f. Oksitosin harus diberikan oleh seorang penolong persalinan yang terlatih, memerlukan jarum suntik steril dan memerlukan rantai dingin atau cold chain dalam hal penyimpananya sedangkan misoprostol bisa dilakukan sendiri tanpa memerlukan tenaga terlatih, mudah cara pemberianya dan tanpa memerlukan jarum suntik steril.

73

B. Rekomendasi 1. Bagi Produsen ( Tempat penyimpanan awal) Harus memperhatikan peraturan-peraturan bagaimana penyimpanan oksitosin harus disimpan dalam rantai dingin dengan suhu 4-8 oC sampai ke konsumen dalam kondisi cold chain atau dalam keadaan tidak terpapar cahaya. Sedangkan misoprostol dalam hal penyimpanan tidak memerlukan rantai dingin sehingga disimpan dalam suhu ruangan. 2. Bagi Petugas kesehatan khususnya bidan (Pengguna oksitosin) Untuk petugas kesehatan khusunya bidan wajib menyiapkan penyimpanan oksitosin baik dari segi temperature dengan suhu 4-8 oC dan tidak terpapar cahaya, apabila sistem ini tidak terlaksana hendaknya oksitosin tidak digunakan untuk pencegahan perdarahan postpartum primer karena akan kehilangan zat aktifnya. 3. Tempat-tempat pemberi pelayanan khusunya Rumah Bersalin Diperlukan lemari pendingin atau refrigerator untuk menyimpan oksitosin dengan suhu 4-8 oC, jika tidak tersedia lemari pendingin dapat disimpan selama 2 minggu dengan suhu 30 oC dan 1 bulan dengan suhu 40 oC. 4. Bagi Pembuat kebijakan Diperlukan adanya pertimbangan pemberian misoprostol sebagai uterotonika alternatif untuk menurunkan kejadian perdarahan

postpartum primer secara gobal khususnya di beberapa tempat yang

74

mungkin pemberian intervensi manajemen aktif kala tiga secara penuh tidak memungkinkan karena masih banyak persalinan yang dilakukan penolong yang belum benar-benar terampil dan tanpa pengetahuan penggunaan oksitosin yang standar, tidak adanya rantai dingin atau cold chain dan jarum suntik yang steril, sehingga penggunaan oksitosin tidak memungkinkan. 5. Bagi mahasiswa Perkembangan ilmu pengetahuan mengenai pemberian uterotonika seperti oksitosin dan misoprostol efektif untuk mencegah perdarahan postpartum primer dalam manajemen aktif kala tiga persalinan terus berkembang melalui berbagai penelitian. Oleh karena itu, mahasiswi diharapkan untuk terus meningkatkan pengetahuan dengan mengikuti perkembangan dari penelitian-penelitian tersebut.

You might also like