You are on page 1of 45

Kebudayaan Aceh

BAB II
PEMBAHASAN

A. Identifikasi Geografi

Nanggroe Aceh Darussalam, provinsi paling barat Indonesia, diapit oleh Samudera
Hindia dan Selat Malaka, merupakan batas akhir Indonesia. Letaknya amat strategis
sebagai pintu masuk ke Nusantara dan sebagian negara Asia lainnya. Meliputi daratan
seluas 55.390 m2 termasuk ratusan pulau-pulau lepas pantai sepanjang pantai barat.
Di tengah-tengahnya terdapat pengunungan Bukit Barisan yang dikelilingi oleh hutan
hujan yang padat dan puncak Geureudong (2.595 m), Peuet Sago (2.780 in), Bumi
Telong (2.566 m), Ucop Molu (3.187 m), Abong-abong (3.015 m), Leuser (3.466 m),
Seulawah Agam (1.782 m) dan Seulawah Inong (866 m).
Aceh memiliki wilayah seluas 57.365,57 km2, yang terdiri atas kawasan hutan
lindung 26.440,81 km2, kawasan hutan budidaya 30.924,76 km2 dan ekosistem
Gunung Leuser seluas 17.900 km2, dengan puncak tertinggi pada 4.446 m diatas
permukaan laut.
- Adapun batas batas nya yaitu
- Sebelah utara dengan Laut Andaman
- Sebelah timur dengan Selat Melaka

2
Kebudayaan Aceh

- Sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera Utara


- Sebelah barat dengan Samudra Hindia.
- Daerah Melingkupi : 119 Pulau, 35 Gunung, 73 Sungai
- Nanggroe (Banyaknya Dati II): 21 Kabupaten
- Banyaknya Kecamatan : 228
- Mukim : 642
- Kelurahan : 111
- Gampong (Desa) : 5947
Ibukota dan bandar terbesar di Aceh ialah Banda Aceh. Bandar besar lain ialah
seperti Sabang, Lhokseumawe, dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling
parah dilanda gempa bumi 26 Desember 2004.
Keindahan alam daerah Aceh yang paling penting adalah hutan tropis basah,
lereng-lereng dan gunung merapi. Gunung merapi yang semi aktif dan ditumbuhi
dengan hutan lebat banyak terdapat sumber air panas dan danau, serta hutan itu
sendiri merupakan habitat yang baik bagi sejumlah binatang dan tumbuhan langka
yang masih bersisa. Aceh mempunyai kekayaan sumber bumi seperti minyak dan gas
asli.

B. Sejarah Aceh
Babad Cina pada awal 6 M telah menyatakan kewujudan sebuah kerajaan di
bagian ujung utara pulau Sumatra yang mereka kenali sebagai Po-Li. Dibandingkan
dengan kawasan-kawasan [di Indonesia] yang lain, Aceh merupakan daerah pertama
yang mempunyai hubungan langsung dengan dunia luar.
Aceh memiliki sebuah sejarah yang lama. Aceh memainkan peranan penting
dalam tranformasi yang dijalani daerah ini sejak berdirinya. Marco Polo, pada 1292,
sewaktu dalam pelayaran ke Parsi dari China telah singgah ke Sumatra. Beliau
melaporkan terdapat enam pelabuhan yang sibuk di bagian utara pulau tersebut.
Mereka termasuk perlabuhan Perlak, Samudera dan Lamuri.
Kerajaan Islam pertama yang berdiri di Aceh adalah Kerajaan Perlak pada tahun
840 M (225 H). Sultan pertama Kerajaan Perlak yang terpilih adalah Saiyid Maulana
Abdul-Aziz Syah (peranakan Arab Quraisy dengan puteri Meurah Perlak) yang
bergelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul-Aziz Syah. Kerajaan ini berdiri
sekitar 40 tahun setelah Islam tiba di Bandar Perlak yang dibawa oleh saudagar dari
Teluk Kambey(Gujarat) pimpinan Nakhuda Khalifah. Kerajaan inilah yang kemudian
dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara.

3
Kebudayaan Aceh

Penguasaan pelabuhan di Malaka oleh Portugis pada 1511 telah menyebabkan


banyak pedagang Arab dan India memindahkan perdagangan mereka ke Aceh.
Kedatangan mereka membawa kekayaan dan kemakmuran kepada Aceh, dan
menandakan mulanya penguasaan Aceh dalam perdagangan dan politik di utara pulau
Sumatra khususnya dan Nusantara umumnya. Keadaan ini bertahan hingga ia
mencapai puncaknya antara tahun 1610 dan 1640.
Kemunduran Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun
1641 disebabkan penguasaan perdagangan oleh Inggeris dan Belanda. Ini juga
menyebabkan mereka berlumba-lumba menguasai sebanyak-banyaknya kawasan di
Nusantara untuk kegiatan perdagangan mereka. Perjanjian London 1824 yang
ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai
segala kawasan British di Sumatra sementara Belanda akan menyerahkan segala
kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan menandingi
British/Inggris untuk menguasai Singapura.
Belanda telah mendapati lebih sukar untuk melawan Aceh dari apa yang mereka
sangkakan. Perang Aceh, yang berlansung dari 1873 hingga 1942 (tetapi tidak
berlanjut-lanjut), merupakan sebuah peperangan paling lama dihadapi oleh Belanda
dan merenggut lebih 10,000 orang tentara.
Pasca-pencabutan Daerah Operasi Militer (DOM), atau sering dikenal dengan
Operasi Jaring Merah, pada 7 Agustus 1998 yang sudah berlangsung selama 10 Tahun
sejak 1989, tuntutan kemerdekaan Aceh yang disuarakan oleh Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) kian bergema. Selain itu, muncul tuntutan pungutan suara sebagai akumulasi
kekecewaan rakyat Aceh pada pemerintah Jakarta. Tuntutan itu digerakkan oleh para
intelektual muda Aceh yang terhimpun dalam Organisasi Sentral Informasi
Referendum Aceh (SIRA).
SIRA yang didirikan di Banda Aceh pada 4 Februari 1999 berhasil
mengakomodasi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Misalnya
tercermin dalam aksi kolosal yang dibuat oleh SIRA pada 8 November 1999 yang
dihadiri oleh 2 Juta rakyat Aceh dari berbagai kabupaten di Aceh. SIRA yang
dipimpin oleh Muhammad Nazar berhasil memobilisir perjuangan rakyat Aceh, untuk
mendapatkan hak-haknya sebagai sebagai sebuah bangsa.
Keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri semakin bergema dengan
kelahiran berbagai organisasi perlawanan rakyat di Aceh, seperti KARMA, Farmidia,
SMUR, FPDRA, SPURA, PERAK, dan HANTAM, yang lahir dengan mengusung

4
Kebudayaan Aceh

berbagai macam isu. HANTAM misalnya, dengan mengusung isu Antimiliterisme


berhasil membuat sebuah aksi yang spektakuler pada tahun 2002, dengan aksi yang
paling fenomenal, karena dalam aksinya mereka menuntut gencatan senjata antara RI
dan GAM. Selain itu HANTAM dalam aksinya mengusung empat bendera, seperti
bendera GAM, RI, Referendum dan Bendera PBB. Aksi yang berlangsung pada 6 Mei
2002 itu berakhir dengan penangkapan semua peserta aksi HANTAM seperti Taufik
Al Mubarak, Muhammmad MTA, Asmara, Askalani, Imam, Habibir, Ihsan, dan
beberapa orang lagi. Aksi itu memberikan makna khusus bahwa campurtangan PBB
untuk memediasi konflik Aceh tak dapat ditolak.

C. Identifikasi Pemerintahan
Adapun susunan pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam yaitu
 Kabupaten Aceh Barat
 Kabupaten Aceh Barat Daya
 Kabupaten Aceh Besar
 Kabupaten Aceh Jaya
 Kabupaten Aceh Selatan
 Kabupaten Aceh Singkil
 Kabupaten Aceh Tamiang
 Kabupaten Aceh Tengah
 Kabupaten Aceh Tenggara
 Kabupaten Aceh Timur
 Kabupaten Aceh Utara
 Kabupaten Bener Meriah
 Kabupaten Bireuen
 Kabupaten Gayo Lues
 Kabupaten Nagan Raya
 Kabupaten Pidie
 Kota Banda Aceh
 Kota Langsa
 Kota Lhokseumawe
 Kota Sabang
 Kabupaten Simeulue

5
Kebudayaan Aceh

D. Identifikasi Demografi
Sebagian besar penduduknya merupakan ras Melayu, tetapi terdapat juga
campuran ras Arab, Cina, Eropa dan India. Selain itu Aceh dikelompokkan menjadi
beberapa suku seperti suku Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Kluet, Singkil, Aneuk Jamee
and Simeulue.
Di Aceh terdapat beberapa subsuku yaitu Aceh sebagai mayoritas yang mendiami
sebagian besar kawasan Aceh, Gayo mendiami Aceh Tengah dan sebagian Aceh
Tenggara, Alas mendiami Aceh Tenggara, Tamiang mendiami sebagian Aceh Timur,
Kluet dan Aneuk Jamee mendiami sebagian Aceh Selatan.
Jumlah penduduk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2005
No Kabupaten/ Kota Laki Laki Perempuan Jumlah
1 Simeuleu 40.519 37.870 78.389
2 Aceh Singkil 75.177 73.100 148.277
3 Aceh Selatan 93.684 97.855 191.539
4 Aceh Tenggara 84.143 84.910 169.053
5 Aceh Timur 150.785 153.858 304.643
6 Aceh Tengah 81.016 79.533 160.549
7 Aceh Barat 76.932 73,518 150.450
8 Aceh Besar 152.377 144.164 296.541
9 Pidie 228.404 245.955 474.359
10 Bireuen 169.767 182,068 351.835
11 Aceh Utara 241.942 251.728 493.670
12 Aceh Barat Daya 56.809 58.867 155.676
13 Gayo Lues 35.488 36.557 72.045
14 Aceh Tamiang 118.581 116.733 235.214
15 Nagan Raya 61.609 62.134 123.743
16 Aceh Jaya 31.515 29.145 60.660
17 Bener Meriah 53.168 52.980 106.148
18 Banda Aceh 94.052 83.829 177.881
19 Sabang 14.663 13.934 28.597
20 Langsa 68.518 69.068 137.586
21 Lhokseumawe 76.614 78.020 154.634
22 Pidie Jaya - - -
23 Subulussalam - - -
Jumlah 2.005.763 2.025.826 4.031.589
E. Perekonomian
a) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Perekonomian Aceh sangat bergantung pada sektor pertambangan1 (termasuk
minyak dan gas), yang menyumbangkan 23 persen PDB pada tahun 2005. Industri
manufaktur, yang menyumbangkan 22 persen dari PDB sangat dipengaruhi oleh
ketersedian gas dengan harga yang relatif murah. Pada tahun 2005, perekonomian

6
Kebudayaan Aceh

Aceh menurun sebesar 13 persen. Hal ini terutama disebabkan karena penurunan
produksi pada sektor pertambangan, pertanian dan industri manufaktur.
Sementara itu sektor jasa mengalami peningkatan Tingkat konsumsi oleh
masyarakat meningkat secara signifikan selama tahun 2005, yang sebagian besar
dipenuhi oleh impor antar-propinsi. Neraca perdagangan antar propinsi berubah
dari surplus 13 persen pada tahun 2004, yang disebabkan oleh ekspor komoditas
bahan mentah dalam volume besar, menjadi defisit sebesar 12 persen pada tahun
2005. Investasi meningkat secara substansial. Pembentukan Modal Tetap
Domestik Bruto (PMTB) didominasi oleh pembelanjaan publik oleh pemerintah
pada setiap level pemerintahan. Hal ini mencerminkan pentingnya peran investasi
public dalam rekonstruksi Aceh.

b) Lapangan Pekerjaan

7
Kebudayaan Aceh

Permasalahan lapangan kerja baru masih merupakan tantangan utama di Aceh.


Pengangguran meningkat dari 6 persen pada tahun 2000 menjadi 12 persen pada
tahun 2006. Kenaikan upah juga terjadi, yang disebabkan oleh kombinasi dari ke
empat faktor berikut ini:
i) kekurangan pasokan jenis-jenis tenaga kerja tertentu yang banyak diperlukan2
(pekerja konstruksi yang semi-terampil);
ii) kurangnya mobilitas populasi menciptakan kurangnya tenaga kerja di
wilayah-wilayah tertentu, seperti yang tercermin dari tingginya aliran tenaga
kerja bidang konstruksi dari Sumatra Utara;
iii) kenaikan upah menyusul laju infl asi yang tinggi untuk melindungi daya beli
para pekerja; dan
iv) tersedianya jaring pengaman sosial secara meluas oleh LSM dan donor yang
berakibat membuat orang-orang tidak terdorong untuk mencari pekerjaan
berupah rendah secara aktif.
Struktur lapangan pekerjaan bergeser dari bidang pertanian ke sektor lainnya,
terutama jasa. Pergeseran komposisi sector lapangan pekerjaan di Aceh dari
pertanian ke sektor lainnya, mengikuti trend pergeseran pada tingkat nasional,
yang pada saat ini sector pertanian hanya mampu menyerap sekitar 45 persen dari
seluruh total lapangan kerja.
Kecenderungan ini kemungkinan besar diperkuat oleh kebutuhan akan upaya-
upaya rekonstruksi di Aceh. Di lain pihak, jumlah angkatan kerja telah meningkat
sebesar 5 persen semenjak tsunami, hal ini merupakan salah satu penyebab
mengapa pengangguran meningkat walaupun terdapat upaya rekonstruksi besar-
besaran.
Sektor pertanian masih merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja yang
terbesar, pada tahun 2006. Sektor ini menyerap 56 persen dari tenaga kerja, namun
sector jasa (termasuk konstruksi) pada saat ini mempekerjakan 38 persen dari
keseluruhan angkatan kerja. Penurunan lapangan kerja secara keseluruhan sejak
tahun 2003 terutama disebabkan oleh penurunan lapangan kerja pada sektor
pertanian.
Di luar pertanian, total lapangan kerja yang tersedia meningkat sebesar 8
persen antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2006. Pada periode yang sama,
lapangan kerja pada sector pertambangan meningkat sebesar 70 persen, salah satu
penyebabnya adalah upaya-upaya rekonstruksi.

8
Kebudayaan Aceh

Sementara itu jumlah industri rumah tangga dan industri meningkat secara
substansial selama dua tahun terakhir sebagai akibat dari banyaknya bantuan yang
dilakukan oleh donor dan LSM secara terus-menerus kepada masyarakat untuk
memperbaiki mata pencaharian mereka, yang mendorong banyak orang untuk
memulai usaha kecil.
Yang pada akhirnya akan menyebabkan meningkatnya lapangan kerja pada
sektor manufaktur.

c) Perdagangan
i) Ekspor
Ekspor Aceh sangat bergantung pada gas alam (Liquid Natural Gas–
LNG). Ekspor non-migas didominasi oleh industri-industri yang bergantung
pada ketersediaan gas dengan harga murah. Konflik yang berkepanjangan juga

9
Kebudayaan Aceh

menyebabkan menurunnya produksi gas dan ketidakpastian kebijakan


pemerintah terhadap penyubsidian gas menyebabkan penurunan ekspor
industri non-migas secara dramatis.
Dua perusahaan produsen pupuk telah mengurangi produksinya secara
signifi kan sejak awal dekade ini, kedua perusahaan ini adalah PT Pupuk
Iskandar Muda pada tahun 2001 dan PT Aceh Asean Fertilizer pada tahun
2005. Ekspor komoditas juga menurun. Produk-produk pertanian dan
perikanan diharapkan merupakan alternative utama yang dapat meningkatkan
laju pertumbuhan ekspor. Namun, sejak tahun 2000 ekspor mengalami
penurunan walaupun harga dan permintaan internasional meningkat.

ii) Impor
Impor meningkat secara substansial setelah tsunami, dari US$ 12,9 juta
pada tahun 2004 menjadi US$ 18,5 juta pada tahun 2006. Sebagian besar hal
ini disebabkan dari upaya-upaya rekonstruksi dan juga meningkatnya
konsumsi.

10
Kebudayaan Aceh

F. Sistem Kemasyarakatan Dan Kekerabatan


a) Sejarah Masyarakat Aceh
Pada waktu masih sebagai sebuah kerajaan, yang dimaksud dengan Aceh
adalah wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Aceh Besar, yang di dalam
istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk, yaitu salah satu kabupaten atau daerah tingkat
II di Nanggroe Aceh Darussalam.
Semasa masih sebagai kerajaan, Aceh Rayeuk (Aceh Besar) merupakan inti
Kerajaan Aceh (Aceh Proper) dan telah menyebarkan sebagian penduduknya ke
darah-daerah lain di sekitarnya (daerah takluk) yang oleh Belanda dinamakan
Onderhorigheden.
Sebutan Aceh juga digunakan oleh orang-orang di daerah takluk di luar Aceh
Rayeuk (Aceh Besar) dalam wilayah Kerajaan Aceh untuk menyebut nama
ibukota kerajaan yang sekarang bernama Banda Aceh.Mereka yang mendiami
pesisir Timur seperti Pidie, Aceh Utara hingga Aceh Timur, dan Pesisir Barat dan
Selatan, jika mau ke ibukota kerajaan (Banda Aceh) mengatakan mau pergi ke
Aceh.
Sebutan ini masih ada yang menggunakannya sampai sekarang. Selain sebagai
nama daerah, Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis
sebagai penduduk asli yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam.
Di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam sekarang terdapat 20 daerah tingkat II
yang didiami oleh delapan kelompok etnis, yaitu etnis Aceh, Gayo, Alas,
Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Semua etnis in adalah
penduduk asli yang dalam istilah Belanda disebut inlander (penduduk pribumi)
Setiap suku tersebut memiliki kekhasan tersendiri seperti bahasa, sastra,
nyanyian, tarian, musik dan adat istiadat.

11
Kebudayaan Aceh

Para pendatang luar (orang-orang asing) yang pernah mengunjungi Aceh


sewaktu masih sebahai sebuah kerajaan menyebutkan dengan nama beragam.
Orang Portugis misalnya menyebut dengan nama Achen dan Achem, orang
Inggris menyebut Achin, orang Perancis menamakan Achen dan Acheh, orang
Arab menyebut Asyi, sementara orang Belanda menamakan Atchin dan Acheh.
Orang Aceh sendiri menyebut dirinya dengan nama Ureung Aceh (orang Aceh).

b) Sistem Kemasyarakatan
Etnis Aceh dibagi ke dalam empat kawom (kaum) atau sukee (suku).
Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin Al-Kahar
(1530-1552). Keempat kawom atau sukee tersebut, yaitu :
a. Kawom atau sukee lhee reutoh (kaum atau suku tiga ratus). Mereka berasal
dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk asli.
b. Kawom atau sukee imuem peut (kaum atau suku imam empat). Mereka berasal
dari orang-orang Hindu atau India sebagai pendatang.
c. Kawom atau sukee tol Batee (kaum atau suku yang mencukupi batu). Mereka
bersal dari berbagai etnis, pendatang dari baerbagai tempat.
d. Kawom atau sukee Ja Sandang (kaum atau suku penyandang). Mereka adalah
para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam.
Pada awalnya, akibat asal-usul yang berbeda, keempat kawom ini seringkali
terlibat dalam konflik internal. Kawom-kawom ini sampai sekarang masih
merupakan dasar masyarakat Aceh dan solidaritas sesama kawom cukup tinggi.
Mereka loyal kepada pimpinannya. Semua keputusan atau tindakan yang akan
diambil selalu melibatkan pimpinan dan orang-orang yang dituakan dalam
kawom-kawom tersebut.
Adat Aceh sebagai aspek budaya, tidak identik dalam pemahaman “ budaya “
pada umumnya, karena segmen-segmen integritas bangunan adat juga bersumber
dari nilai-nilai agama (syariat) yang menjiwai kreasi budayanya. “Adat ngon
agama lagei zat ngon sifeut “. Roh Islami ini telah menjiwai dan menghidupkan
budaya Aceh, sehingga melahirkan nilai-nilai filosofis, yang akhirnya menjadi
patron landasan Budaya Ideal, dalam bentuk Narit Maja : “Adat Bak Poe
Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusan Bak
Lakseumana“. Pou Teumeureuhom; Simbol pemegang kekuasaan. Syiah Kuala;
Simbol hukum syari’at/agama dari ulama. Qanun; Perundang-undangan yang
benilai agama dan adat dari badan legeslasi yang terus berkembang. Reusam;

12
Kebudayaan Aceh

Tatanan protokuler/seremonial adat istiadat dari ahli-ahli adat yang terus berjalan.
Pengembangan nilai-nilai tatanan ini, mengacu kepada sumber asas, yaitu ”
Agama (hukum) ngon Adat, lagei zat ngon Sifeut ”
Untuk memelihara tumbuhnya adat istiadat Aceh, ada dua kawasan yang perlu
diprogramkan pengembangan apresiasi adat, dimana para tokoh adat (leading)
sektor dengan perangkatnya amat berperan di dalamnya, yaitu kawasan Gampong
dan kawasan Mukim:
a. Gampong: Kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi
pemerintahan terendah langsung di bawah mukim yang menempati wilayah
tertentu, dipimpin oleh Keuchik dan yang berhak menyelenggarakan urusan
rumah tangganya sendiri. Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong (Qanun, No.5 Tahun 2003)
b. Mukim: kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai
batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di
bawah Camat yang dipimpin oleh Imeum Mukim. Imeum Mukim adalah
Kepala Pemerintahan Mukim (Qanun No.4 Tahun 2003)

c) Struktur Masyarakat
Berdasarkan pendekatan historis, lapisan masyarakat Aceh yang paling
menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan, yaitu golongan Umara dan
golongan Ulama. Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat
pelaksana pemerintah dalam satu unit wilayah kekuasaan.
Contohnya seperti jabatan Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat
tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pimpinan unit
Pemerintah Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang
memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit
pemerintahan Mukim dan Keuchiek atau Geuchiek yang menjadi pimpinan pada
unit pemerintahan Gampong (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut
di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai
lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian, atau kelompok elite sekuler.
Sementara golongan Ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi masalah-
masalah keagamaan (hokum atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin
keagamaan atau masuk kelompok elite religius, Oleh karena para ulama ini
mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang

13
Kebudayaan Aceh

yang berilmu, yang dalam istilah Aceh disebut Ureung Nyang Malem. Dengan
demikian tentunya sesuai dengan predikat/sebutan ulama itu sendiri, yang berarti
para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok
Ulama ini dapat disebutkan, yaitu :
- Tengku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan
dengan keagamaan pada satu unit pemerintah Gampong (kampung).
- Imum Mukim (Imam Mukim), yaitu yang mengurusi maslah keagamaan pada
tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang
pada setiap hari Jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang
bersangkutan.
- Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang
dipandang menerti mengenai hokum agama pada tingkat kerjaan dan juga
pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang. Teungku-teungku,
yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan
rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang sudah cukup
tinggi tingkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chiek.

d) Pola Kehidupan Masyarakat Aceh


Pola kehidupan masyarakat Aceh diatur oleh hukum adat yang berdasarkan
kaidah kaidah hukum agama Islam. Adapun susunan masyarakat adalah sebagai
berikut :
a. Golongan Rakyat Biasa; yang dalam istilah Aceh disebut Ureung Le (orang
banyak). Disebut demikian karena golongan ini merupakan golongan yang
paling banyak (mayoritas) dalam masyarakat adat Aceh.
b. Golongan Hartawan; yaitu golongan yang bekerja keras dalam
mengembangkan ekonomi pribadi. Dari pribadi-pribadi yang sudah berada
itulah terbentuknya suatu golongan masyarakat. Karena keberadaannya
sehingga mereka menjelma menjadi golongan hartawan. Golongan ini cukup
berperan dalam soal-soal kemasyarakatan khususnya sebagai penyumbang-
penyumbang dana.
c. Golongan ulama/cendikiawan; umumnya mereka berasal dari kalangan rakyat
biasa yang memiliki ilmu pengetahuan yang menonjol. Sehingga mereka
disebut orang alim dengan gelar Teungku. Mereka cukup berperan dalam
masalah-masalah agama dan kemasyarakatan.

14
Kebudayaan Aceh

d. Golongan kaum bangsawan; termasuk didalamnya keturunan Sultan Aceh


yang bergelar "Tuanku" keturunan "Uleebalang" yang bergelar "Teuku" (bagi
laki-laki) dan "Cut" (bagi perempuan).
Selain pembagian susunan masyarakat tersebut di atas, sistem kesatuan
masyarakat Aceh, merupakan perwujudan dari beberapa buah keluarga inti, yang
menjadi suatu kelompok masyarakat; yang disebut "Gampong" (Kampung).
Sistem sosial pada masyarakat Aceh berpedoman pada keluarga inti. Setiap
perbuatan yang dilakukan sebuah keluarga inti akan memberi pengaruh kepada
keluarga lainnya.
Dengan demikian hubungan antara satu keluarga inti dengan keluarga inti
lainnya cukup erat. Selain itu, penggolongan masyarakat Aceh dapat dibagi pula
ke dalam empat kelompok, yaitu golongan penguasa, terdiri atas penguasa
pemerintahan dan pegawai negeri; kelompok ulama, yaitu orang-orang yang
berpengetahuan di bidang agama; kelompok hartawan (mereka yang memiliki
kekayaan), dan kelompok rakyat biasa.
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka ragam
budaya yang menarik khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan perayaan.
Aceh sebagai sebuah entitas etnis dan wilayah tertentu sangat berbeda dengan
etnis atau wilayah lainnya di Indonesia.
Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan terbuka. Di daerah
Nanggroe Darussalam ini terdapat beberapa sub etnis, yaitu
• Aceh
• Alas, orang Alas berasal dari kabupaten Aceh Tenggara yang lazim disebut
Tanah Alas. Sukubangsa ini dianggap sebagai pecahan dari sukubangsa Gayo.
Jumlah penduduknya diperkirakan sekitar 90.000 jiwa lebih. Sebagai alat
komunikasi sehari-hari orang Alas menggunakan bahasa sendiri, yaitu bahasa
Alas. Penggunaan bahasa ini dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek
Hulu, dialek Tengah, dan dialek Hilir. Dengan demikian orang Alas
dibedakan berdasarkan penggunaan dialek bahasa tersebut.
• Aneuk Jamee, suku bangsa Anak Jamek atau Aneuk Jamee di kecamatan
Samadua dan Manggeng, Kabupaten Aceh Selatan. Jumlah populasinya
diperkirakan sekitar 14.000 jiwa. Aneuk Jamee dalam bahasa Aceh secara
harfiah berarti "anak tamu" atau pendatang. Dalam sistem kekerabatan
tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau dan Aceh.

15
Kebudayaan Aceh

• Gayo, orang Gayo berdiam di Kabupaten Aceh Tengah, sebagian lain di


Kabupaten Aceh Tenggara dan Aceh Timur, terutama di sekitar Danau Laut
Tawar. Tempat bermukim orang Gayo disebut Tanoh Gayo (Tanah Gayo).
Diperkirakan jumlah orang Gayo seluruhnya sekitar 120.000 jiwa.
• Gumbak Cadek, suku bangsa ini dikenal pula dengan nama orang Muslim
Gunung Kong atau Orang Cumbok. Mereka hidup dari peladangan berpindah
di hutan-hutan kebupaten Aceh Barat.
• Tamiang, orang Tamiang mendiami beberapa kecamatan di Kabupaten Aceh
Timur, yang dahulu merupakan wilayah administratif Kawedanan Tamiang.
Diperkirakan saat ini orang Tamiang berjumlah sekitar 125.000 jiwa lebih.
• Kluet
• Simeulu
• Singkil

e) Sistem Kekerabatan
Adat Aceh dari masa istri dalam keadaan hamil sampai kepada anaknya
dikawinkan (Mampleue)
− Meunineum biasa juga disebut Keumaweueh
Pada waktu hamil pertama seorang istri, yang dinamakan Meutijeuem, sampai
pada waktu hamil 5 bulan, oleh pihak orang tua perempuan yang hamil tersebut
diadakan sedikit kenduri dengan disertai nasi ketan dan dipanggil ahli famili dari
pihak istri yang hamil. Setelah ahli famili dari pihak istri berkumpul, maka
diadakan upacara basuh Kepala (Rhah Ulee).Upacara meunieum ini ada juga
dilakukan sewaktu seorang istri hamil setelah 7 bulan. Bahan makanan yang
dibawa oleh pihak orang tua si suami ialah Bu Kulah yaitu nasi putih yang
dibungkus dengan daun pisang berbentuk Piramid di dalam hidang, bu leukat (nasi
ketan) untuk peusunting meunantu yang sedang hamil, disertai Ayam Panggang
dan Tumpou.
Maksud tujuan dari upacara adat Meunineum ini pada mulanya ialah lebih
menguatkan rasa persaudaraan antara kedua belah pihak (suami-istri) dan utnuk
lebih menguatkan silaturrahmi antara sesama ahli famili. Makanan yang dibawa
ini dibagi-bagikan juga kepada famili pihak istri.
− Kelahiran Bayi

16
Kebudayaan Aceh

Setelah bayi lahir dan setelah dibersihkan, maka kalau bayi tersebut laki-laki
diazankan ditelinga kanan dan kalau bayi tersebut perempuan diqamatkan
ditelinga kiri, yang dilakukan olah Ayah si bayi ataupun oleh kerabat tertua yang
terpandang alim dalam keluarga.
− Upacara Adat Peucicap
Menurut penyelidikan kami kepada orang-orang tua, bawah upacara ini
dilakukan pada hari ke-7 setelah bayi dilahirkan, yaitu kepada bayi tersebut
dicicipi Madu Lebah, Kuning Telur dan Air Zam-zam.Oleh pihak orang tua si
suami dibawakan seperangkat keperluan bayi tersebut, yaitu ija (kain) ayunan, ija
geudong (kain pembalut) bayi, ija tumpe (popok), tilam, bantal dan tali ayun (tali
ayunan). Kalau dikalangan kaum hartawan ada juga yang membawa tali ayun dari
emas. Selain itu juga diberikan sepersalinan pakaian kepada si istri yang baru
melahirkan, yang diberikan oleh ibu mertuanya. Pada hari itu juga diadakan
Akikah, yaitu menyembelih seekor kambing, cukur rambut bayi dan pemberian
nama kepada si bayi, dengan upacara peusijuek dan sebaran beras- padi serta doa
selamat.
− Peusijuek Dapu dan Peutron Aneuk (Pada Hari Ke 44 Setelah Anak
Dilahirkan Yaitu Setelah Madeueng)
Upacara peusijuek dapu (setawar sedingin tempat berdiang) dilakukan oleh
orang tua dan ahli famili dari orang tua suami, yaitu orang tua pihak suami
menyunting ketan kepada menantunya yang perempuan dengan uang Teumeutuek
dan disertai dengan sepersalinan pakaian. Kalau di kalangan orang-orang
bangsawan, selaian kepada menantu perempuan, juga turut diberi persalinan
pakaian kepada orang-orang (dayang-dayang) yang turut serta mengasuh
perempuan yang medeueng setelah melahirkan. Selain itu pada hari itu juga
diadakan upacara turun anak kehalaman (Peutron Aneuk).
− Peutron Aneuk
Anak yang telah berumur 44 hari tersebut diturunkan kehalaman dengan
dipayungi dan kaki anak tersebut diinjakkan ke tanah (peugiho tanoh). Pada
upacara ini diatas kepala si anak dibelah Buah Kelapa dengan alas kain putih yang
dipegang oleh 4 orang. Kelapa yang telah dibelah tersebut, sebelah diberikan
kepada pihak orang tua suami dan sebelah lagi diberikan kepada pihak orang tua si
istri, dengan tujuan supaya kedua belah pihak tetap kekal dalam persatuan, rukun
damai, kompak dan teguh dalam persaudaraan.

17
Kebudayaan Aceh

Selanjutnya diadakan pembakaran petasan (mercon) dan disuruh orang-orang


yang tangkas dan ahli bermain pedang mempertunjukkan ketangkasan dengan
mencincang batang pisang, supaya anak tersebut nanti berani dalam menghadapi
peperangan membela negara, dan dapat menjadi Panglima Perang yang tangkas
dan arif bijaksana. Selanjutnya anak tersebut ditempatkan ke dalam sebuah balai
di halaman, dengan tujuan supaya anak tersebut nanti dapat menyesuaikan dirinya
dengan masyarakat dan dapat menjadi orang terkemuka dalam Masyarakat.
Setelah Upacara tersebut barulah anak itu dibawa masuk ke dalam rumah dengan
terlebih dahulu orang tua yang membawa memberi Salam dan disambut salam
serta do’a restu untuk kebahagian si anak.
− Menyerahkan Anak Ketempat Pengajian
Setelah anak berumur 7 tahun, anak tersebut dihantar oleh orang tuanya
ketempat pengajian (Guru Mengaji), kalau anak lelaki ke tempat pengajian anak-
anak laki-laki, kalau anak perempuan ke tempat pengajian anak perempuan
dengan guru wanita. Pada waktu mengantar anak tersebut dibawa serta ketan
kuning dengan tumpo dan ayam panggang, pisang abin beberapa sisir, kain putih 6
hasta, sehelai kain sarung, sedekah sekedarnya dan Beureuteh (Beras Padi
digongseng) dicampur kembang. Oleh Guru mengaji dibagi-bagikan makanan
yang dibawa tersebut diantara anak-anak mengaji, supaya terdapat kekompakan
dan persatuan yang baik antara anak yang baru mengaji dengan murid-murid yang
lama.
− Upacara Sunat Rasul (Khitan)
Sunat Rasul dilakukan setelah anak berumur antara 10 sampai 13 tahun. Anak
tersebut diberi berpakaian adapt didudukkan diatas pelaminan dimaba diadakan
acara Peusijeuk dengan setawar sedingin, beras padi serta dipesunting dengan
ketan oleh kaum kerabat pihak ayah dan ibu serta teumeuntuk (pemeberian) uang
oleh kaum kerabat. Selain itu juga ada teumeuntuk uang dari pihak tamu yang
diundang kepada orang tua si anak, ataupun hantaran berupa benda. Pada upacara
Sunat Rasul ini diadakan jamuan kenduri, yang bagi rakyat menurut daya dan bagi
Bangsawan diadakan secara mewah, hamper menyerupai kenduri
Perkawinan.Upacara Sunat Rasul dilakukan oleh mudim dengan anak tersebut
disuruh mengucapkan Dua Kalimah Syahadah.
− Upacara Adat dalam Menyelesaikan Persengketaan atau Perkelahian Antar
Anak-Anak.

18
Kebudayaan Aceh

Dalam suatu perkelahian antara anak-anak, jika terjadi pertumpahan darah


(rho darah), oleh orang tua-tua kampung terus diadakan perdamaian diantara
kedua belah pihak orang tua anak-anak yang berkelahi, dengan diwajibkan bagi
pihak yang memukul dhirt kepada orang tua anak yang keluar darah, yaitu
diwajibkan membawa ketan kuning, tumpou, kain putih 6 hasta, pakaian satu salin
dan uang. Selama belum sembuh, segala urusan pengobatan ditanggung oleh
pihak yang tidak rho darah dan dihadapkan orang-orang tua kampong kedua belah
pihak orang tua anak-anak tersebut diadakan upacara bermaaf-maafan.
− Pertunangan Menjelang Pernikahan
Kalau seorang anak lelaki yang telah dewasa hendak dijodohkan dengan anak
perempuan dari seseorang, terlebih dulu diutus seorang yang bijak dalam
berbicara untuk megadakan urusan perjodohan (meuselungoue),dan pada orang
tua dari anak perempuan.
Dalam pembicaraan tersebut dibicarakan persetujuan perjodohan dan
penetapan mas kawin (mahar) serta penentuan hari membawa tanda (ikatan).
− Ba Ranub Kong Haba
Pada hari yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak maka datanglah
serombongan orang tua-tua dari pihak lelaki kepada pihak orang tua perempuan
dengan membawa sirih penguat ikatan (ranub kong haba), yaitu sirih lengkap
dengan alat-alatnya dalam cerana, pisang talon (Pisang Raja dan Wajib 1 Talam),
ada juga yang disertakan kain baju.
Selain itu juga dibawa benda mas 1 atau 2 mayam dengan ketentuan menurut
adat kalau ikatan ini putus disebabkan oleh pihak lelaki yang memutuskannya,
maka tanda mas tersebut hilang. Tetapi kalau ikatan putus disebabkan karena
pihak perempuan yang memutuskannya, maka tanda mas tersebut harus
dikembalikan dengan dua kali ganda. Pada upacara ini juga ditentukan hari dan
bulan diadakannya pernikahan dan pulang penganten (Woe Linto).
− Upacara Adat Perkawinan (Woe Linto)
Tiga hari sebelum naik Pengantin (Woe Linto) terlebih dahulu oleh pihak
pengantin laki (Linto) diantar kepada pihak pengantin perempuan (Dara Baro)
sirih inai (Ranub Gaca), Ranub lipat/Ranub Gapu 1 hidang, 1 hidang alat-lat
pakaian Dara Baro, 1 Hidang Breueh Pade, 1 hidang telur rebus yang diberi
berwarna, setawar sedingin, dan daun inai (Gaca) untuk inai Dara Baro. Di
rumah Dara Baro diadakan acara Koh Andam.

19
Kebudayaan Aceh

− Mampleue (Mempelai) Woe Linto


Pada upacara mempelai Linto diberi berpakaian Adat dan dihantar ke rumah
Dara Baro beramai-ramai, dengan didahului oleh orang tua yang bijak, dan Linto
diapit oleh anak-anak muda yang sebaya. Bawaan dari pihak Linto ialah Jeunamee
(mahar atau mas kawin) seumpama1 bongkol mas, diisi dalam cerana beserta
Jinong Kunyet dab Beras Padi. Cerana dibungkus dengan kain Sutra Kuning yang
pada ujung kain diletakkan bohru dari emas, ranub rajeu’ atau ranub peurakan,
kue-kue (peunajoh) wajeb, meuseukat, dhoi-dhoi, bhoi, penajoh tho keukarah,
bungong kayee dan lain-lain. Di halaman rumah Dara Baro rombongan Linto
dijemput (dinantikan) oleh orang tua dari pihak Linto diberi salam dengan kata-
kata bersanjak yang disambut pula dengan kata-kata halus bersanjak oleh pihak
Dara Baro.
Setelah itu Linto dibawa naik ke rumah, yang sewaktu tiba ditangga Linto
disetawar-sedingin, dengan siraman air Mawar dan Beras Padi. Setiba diatas
rumah Linto bersama rombongan ditempatkan di serambi, didudukkan di atas
Pelaminan kecil, dimana diadakan jamuan makan, dan pernikahan Ijab Kabul. Ada
juga pernikahan Ijab Kabul ini didahulukan harinya sebelum Upacara mempelai.
Selain itu barulah Linto dijemput (dibawa) ke pelaminan besar untuk disandingkan
dengan Dara Baro. Biasanya setelah bersanding, Linto bersama rombongan
pulang kembali ke rumah orang tuanya.
− Upacara Sesudah Mampleue
Upacara Petujoh, yaitu Linto pulang ke rumah Daro Baro dengan rombongan
kira-kira 25 orang. Di halaman rumah Daro Baro diadakan Upacara penanaman
Kelapa yang dilakukam oleh Linto bersama Dara Baro. Pada Upacara Peutujoh
oleh ibu Dara Baro diadakan teumeutuek (pemberian) uang kepada Linto disertai
sepersalinan pakaian. Pemberian dari pihak orang tua Dara Baro, oleh Linto
dibawa pulang untuk diperhatikan kepada ibu Linto. Selanjutnya boleh ibu Linto
membawa nget tujoh dan peukayan tujoh kepada Dara Baro.
− Tueng Dara Baro
Kira-kira hari ke-10 sampai 1 bulan, Dara Baro dijemput oleh ibu Linto
dengan ranub Batee dan Gateng, Dara Baro dibawa ketempat Linto. Sesampainya
di rumah Linto diadakan upacara, yaitu Peusijeuk Dara Baro dan Teumeutuek
kepada Dara Baro yang dilakukan oleh ibu dan kerabat Linto. Tangan Linto dan
Dara Baro dimasukkan ke dalam empang beras dan empang garam, sebagai ganti

20
Kebudayaan Aceh

memberi tahu bahwa ini adalah rumahnya sendiri dan tahu dimana beras dan
garam untuk perjanjian di masa-masa mendatang. Bawaan dari Dara Baro
sewaktu pergi kerumah Linto adalah kue-kue Adat 3 hidang yang terdiri dari
wajeb, dodoi, meusekat dan kue-kue kering lainnya serta ranub bate, kue-kue
bawaan Daro Baro tersebut, oleh ibu Linto dibagi-bagikan kepada kerabat dan
tetangga. Selanjutnya oleh orang tua pihak Linto dihadiahkan kepada Dara Baro
sesuatu benda menurut kemampuan dan lazim yaitu hewan betina. Demikianlah
sekitar Adat Aceh, yang dapat kami paparkan menurut pengetahuan kami dan
yang dapat kami tanyakan dari orang-orang tua, dengan pengharapan supaya
dikoreksi kembali.

G. Produk Budaya
a) Bahasa
Orang Aceh mempunyai bahasa sendiri yakni bahasa Aceh, yang termasuk
rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Aceh terdiri dari beberapa dialek, di
antaranya dialek Peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase, Pidie, Tunong, Seunagan,
Matang, dan Meulaboh, tetapi yang terpenting ada;ah dialek Banda. Dialaek ini
dipakai di Banda Aceh. Dalam tata bahasanya, Bahasa Aceh tidak mengenal
akhiran untuk membentuk kata yang baru, sedangkan dalam sistem fonetiknya,
tanda eu kebanyakan dipakai tanda pepet (bunyi e).
Dalam bahasa Aceh, banyak kata yang bersuku satu. Hal ini terjadi karena
hilangnya satu vocal pada kata-kata yang bersuku dua, seperti turun menjadi tron,
karena hilangnya suku pertama, seperti daun menjadi beuec. Di samping itu
banyak pula kata-kata yang sama dengan bahasa-bahasa Indonesia bagian timur.
Masyarakat Aceh yang berdiam di kota umumnya menggunakan bahasa
Indonesia sebagai pengantar, baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan
sosial. Namun demikian, masyarakat Aceh yang berada di kota tersebut mengerti
dengan pengucapan bahasa Aceh. Selain itu, ada pula masyarakat yang
memadukan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Aceh dalam berkomunikasi.
Pada masyarakat Aceh di pedesaan, bahasa Aceh lebih dominan dipergunakan
dalam kehidupan sosial mereka. Dalam sistem bahasa tulisan tidak ditemui sistem
huruf khas bahasa Aceh asli.
Tradisi bahasa tulisan ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang disebut bahasa
Jawi atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu. Pada masa
Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, dan

21
Kebudayaan Aceh

kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat
juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh. Banyak
orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi.

b) Pakaian Adat dan Perhiasan Pengantin


Pengantin laki-laki (Linto baro) maupun pengantin
perempuan (Dara Baro), keduanya sama-sama
menggunakan baju, celana panjang dan sarung songket.
Bahan dasar pakaian pengantin ini dahulu ditenun dengan
benang sutera. Pada masa sekarang bahan pakaian banyak
yang terbuat dari kain katun, nilon, planel dan sebagainya.
Bagi pengantin laki-laki baju dan celana berwarna hitam,
sedangkan pengantin perempuan baju berwarna merah atau kuning dengan celana
panjang hitam.
Belakangan ini terdapat suatu kecenderungan untuk menerapkan benang emas
pada bagian ujung lengan baju laki-laki, juga pada kerah, kantong dan pada bagian
ujung kaki celana. Demikian juga dengan pakaian pengantin perempuan. Padahal,
dulunya pakaian pengantin laki-laki dan perempuan pada dasarnya tidak diberi
sulaman atau ragam hias. Alasannya adalah karena ragam hias telah dipenuhi
dengan aksesoris yang berbentuk aneka ragam perhiasan yang terdiri dari berbagai
bahan yang membuat suasana kemilau dan gemerlap.
Sejarah Singkat Perhiasan
Perhiasan dikenal oleh semua bangsa di dunia. Orang memakai perhiasan
dengan tujuan yang bermacam-macam, antara lain untuk memenuhi kelengkapan
pakaian upacara keagamaan dan adat sebagai simbol status di dalam masyarakat
ataupun hanya agar kelihatan lebih cantik, anggun, berwibawa, dan bahkan juga
memberikan kekuatan magis. Sejak zaman prasejarah, bangsa-bangsa di Asia
Tenggara, khususnya di Indonesia sudah mengenal perhiasan.
Berbagai bahan dan jenis perhiasan telah dibuat sejalan dengan kemajuan
teknologi. Perhiasan yang mendapat pengaruh India, antara lain bersifat religius,
misalnya tali kasta (untuk menyembuhkan penyakit atau sebagai jimat) dan
menunjukkan lambang status di dalam masyarakat, seperti mahkota, kalung,
cincin, rantai yang digunakan oleh raja atau bangsawan. Demikian juga
pemakaian perhiasan pada masa Islam yang menunjukkan lambang status.

22
Kebudayaan Aceh

Kedatangan bangsa Barat turut mempengaruhi pola ragam bias dan bentuk
perhiasan. Perhiasan di Eropa pun menunjukkan simbol dan status, serta
mengekspresikan rasa cinta dan mempercantik diri. Salah satu bukti bahwa ada
pengaruh budaya Barat di Indonesia, adalah perhiasan kalung dengan ragam bias
berupa gambar singa, burung merpati dan bunga. Ragam bias gambar singa,
burung dan bunga banyak digunakan di Eropa.
Budaya Aceh termasuk seni kerajinan perhiasannya sangat dipengaruhi oleh
peradaban Islam. Motif, ornamen dan desain perhiasan tradisional Aceh
merupakan terjemahan dari peradaban Islam. Pada umumnya ornamen diciptakan
dari abstraksi tumbuh-tumbuhan dengan daun, tangkai, bunga dan buahnya.
Perhiasan tradisional Aceh juga mengenal ornamen yang merupakan abstraksi
benda-benda alamiah seperti awan, bulan, bintang dan lain-lain. Bentuk geometris,
seperti Bieng meuih, reunek leuek, gigoe daruet, boh eungkot dan sebagainya.
Dengan bentuk ornamen yang alamiah dan abstrak tersebut menghasilkan motif-
motif yang menarik. Pakaian adat Aceh dilengkapi dengan beberapa macam
pernik yang biasa selalu dikenakan pada acara-acara tertentu. Pernik-pernik
tersebut antara lain:
1) Keureusang,
Keureusang (Kerosang/Kerongsang/Bros) adalah
perhiasan yang memiliki ukuran panjang 10 Cm dan lebar
7,5 Cm. Perhiasan dada yang disematkan di baju wanita
(sejenis bros) yang terbuat dari emas bertatahkan intan
dan berlian. Bentuk keseluruhannya seperti hati yang dihiasi dengan permata intan
dan berlian sejumlah 102 butir. Keureusang ini digunakan sebagai penyemat baju
(seperti peneti) dibagian dada. Perhiasan ini merupakan barang mewah dan yang
memakainya adalah orang-orang tertentu saja sebagai perhiasan pakaian harian.
2) Patam Dhoe,
Patam Dhoe adalah salah satu perhiasan dahi wanita
Aceh. Biasanya dibuat dari emas ataupun dari perak
yang disepuh emas. Bentuknya seperti mahkota.
Patam Dhoeterbuat dari perak sepuh emas. Terbagi atas
tiga bagian yang satu sama lainnya dihubungkan dengan
engsel. Di bagian tengah terdapat ukuran kaligrafi dengan tulisan-tulisan Allah
dan di tengahnya terdapat tulisan Muhammad-motif ini disebut Bungong
Kalimah-yang dilingkari ukiran bermotif bulatan-bulatan kecil dan bunga.

23
Kebudayaan Aceh

3) Peuniti
Seuntai Peuniti yang terbuat dari emas; terdiri dari tiga buah hiasan motif
Pinto Aceh. Motif Pinto Aceh dibuat dengan ukiran piligran yang dijalin dengan
motif bentuk pucuk pakis dan bunga. Pada bagian tengah terdapat motif
boheungkot (bulatan-bulatan kecil seperti ikan telur). Motif Pinto Aceh ini
diilhami dari bentuk pintu Rumah Aceh yang sekarang dikenal sebagai motif
ukiran khas Aceh. Peuniti ini dipakai sebagai perhiasan wanita, sekaligus sebagai
penyemat baju.
4) Simplah
Simplah merupakan suatu perhiasan dada untuk wanita.
Terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari 24 buah
lempengan segi enam dan dua buah lempengan segi
delapan. Setiap lempengan dihiasi dengan ukiran motif
bunga dan daun serta permata merah di bagian tengah.
Lempengan-lempengan tersebut dihubungkan dengan dua untai rantaiSimplah
mempunayi ukuran Panjang sebesar 51 Cm dan Lebar sebesar 51 Cm.
5) Subang Aceh
Subang Aceh memiliki Diameter dengan ukuran 6 Cm.
Sepasang Subang yang terbuat dari emas dan permata.
Bentuknya seperti bunga matahari dengan ujung
kelopaknya yang runcing-runcing. Bagian atas berupa
lempengan yang berbentuk bunga Matahari disebut
"Sigeudo Subang". Subang ini disebut juga subang bungong mata uro.
6) Taloe Jeuem
Seuntai tali jam yang terbuat dari perak sepuh emas.
Terdiri dari rangkaian cincin-cincin kecil berbentuk
rantai dengan hiasan be4ntuk ikan (dua buah) dan satu
kunci. Pada ke dua ujung rantai terdapat kait
berbentuk angka delapan. Tali jam ini merupakan
pelengkap pakaian adat laki-laki yang disangkutkan di baju.

Selain itu, kita menjumpai satu ornamen yang merupakan motif khas Aceh
yang terkenal dengan nama "bungong kalimah" yang sering dimunculkan dalam
bentuk tulisan "Allah", "Muhammad" dan ayat-ayat lainnya dari Al-Quran.

24
Kebudayaan Aceh

c) Tarian Tradisional
 Saman
Tarian saman diciptakan dan
dikembangkan oleh seorang tokoh
Agama Islam bernama Syeh Saman.
Syair saman dipergunakan bahasa Arab
dan bahasa Aceh. Tarian ini tidak
mempunyai iringan permainan, karena
dengan gerakan-gerakan tangan dan
syair yang dilagukan, telah membuat suasana menjadi gembira. Lagu-lagu
(gerak-gerak tari) pada dasarnya adalah sama, yakni dengan tepukan tangan,
tepukan dada dan tepukan di atas lutut, mengangkat tangan ke atas secara
bergantian.
Tari Saman biasanya ditampilkan menggunakan iringan alat musik,
berupa gendang dan menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan
mereka yang biasanya dikombinasikan dengan memukul dada dan pangkal
paha mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke berbagai
arah.
Tarian ini dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syech.
Karena keseragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan
dalam menampilkan tarian ini, maka para penari dituntut untuk memiliki
konsentrasi yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat tampil dengan
sempurna. Tarian ini dilakukan secara berkelompok, sambil bernyanyi dengan
posisi duduk berlutut dan berbanjar/bersaf tanpa menggunakan alat musik
pengiring.
Karena kedinamisan geraknya, tarian ini banyak dibawak/ditarikan oleh
kaum pria, tetapi perkembangan sekarang tarian ini sudah banyak ditarikan
oleh penari wanita maupun campuran antara penari pria dan penari wanita.
Tarian ini ditarikan kurang lebih 10 orang, dengan rincian 8 penari dan 2 orang
sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi.
 Tari Likok Pulo Aceh
Tarian ini lahir sekitar tahun 1849, diciptakan oleh seorang Ulama tua
berasal dari Arab, yang hanyut di laut dan terdampar di Pulo Acej atau sering
juga disebut Pulau (beras). Diadakan sesudah menanam padi atau sesudah,

25
Kebudayaan Aceh

biasanya pertunjukan dilangsungkan pada malam hari bahkan jika tarian


dipertandingkan berjalan semalam suntuk sampai pagi. Tarian dimainkan
dengan posisi duduk bersimpuh, berbanjar bahu membahu.
Seorang pemaian utama yang disebut syeh berada di tengah-tengah
pemain. Dua orang penabuh rapai berada dibelakang atau sisi kiri/kanan
pemain. Sedangkan gerak tari hanya memfungsikan anggota tubuh bagian atas,
badan, tangan dan kepala. Gerakan tari pada prinsipnya ialah gerakan oleh
tubuh, keterampilan, keseragaman/kesetaraan dengan memfungsikan tangan
sama-sama ke depan, kesamping kiri atau kanan, ke atas dan melingkar dari
depan ke belakang, dengan tempo mula lambat hingga cepat.

 Laweut
Laweut berasal dari kata Selawat, sanjungan yang ditujukan kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW. Sebelum sebutan laweut dipakai, pertama
sekali disebut Akoon (Seudati Inong). Laweut ditetapkan namanya pada Pekan
Kebudayaan Aceh II (PKA II).
Tarian ini berasal dari Pidie dan telah berkembang di seluruh Aceh. Gerak
tari ini, yaitu penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan jalan gerakan
barisan memasuki pi atas dan langsung membuat komposisi berbanjar satu,
menghadap penonton, memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah
tangan sebatas dada, kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan tarian.
 Tari Pho
Perkataan pho berasal dari kata peuba-e, peubae artinya meratoh atau
meratap. Pho adalah panggilan/sebutan penghormatan dari rakyat.hamba
kepada Yang Maha Kuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum
disebut Po Teumeureuhom.
Tarian ini dibawakan oleh para wanita, dahulu biasanya dilakukan pada
kematian orang besar dan raja-raja, yang didasarkan atas permohonan kepada
Yang Maha Kuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa
kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap
tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan
pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering
ditampilkan pada upacara-upacara adat.
 Seudati

26
Kebudayaan Aceh

Sebelum adanya seudati, sudah ada kesenian yang seperti itu dinamakan
retoih, atau saman, kemudian baru ditetapkan nama syahadati dan disingkat
menjadi seudati. Pemain seudati terdiri dari 8 orang pemain dengan 2 orang
syahi berperan sebagai vokalis, salah seorang diangkat sebagai syekh, yaitu
pimpinan group seudati. Seudati tidak diiringi oleh instrument musik apapun.
Irama dan tempo tarian, ditentukan oleh irama dan tempo lagu yang
dibawakan pada beberapa adegan oleh petikan jari dan tepukan tangan ke dada
serta hentakan kaki ke tanah. Tepukan dada memberikan suara seolah-olah ada
sesuatu bahan logam di bagian dada atau perut yang dilengketkan sehingga
bila dipukul mengeluarkan suara getar dan gema.
Tarian ini juga termasuk kategori Tribal War Dance atau Tari Perang, yang
mana syairnya selalu membangkitkan semangat pemuda Aceh untuk bangkit
dan melawan penjajahan. Oleh sebab itu tarian ini sempat dilarang pada zaman
penjajahan Belanda, tetapi sekarang tarian ini diperbolehkan kembali dan
menjadi Kesenian Nasional Indonesia.

d) Alat Musik Tradisional


 Serune Kalee
Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh yaitu sejenis Clarinet
terutama terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat.
Alat ini terbuat dari kayu, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar
menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup
yang terbuat dari kuningan yang disebut perise.
Serune ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat
lapis kuningan serta 10 ikatan dari tembaga yang disebut klah (ring) serta
berfungsi sebagai pengamanan dari kemungkinan retak/pecah badan serune
tersebut. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang clan rapai dalam
upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian tradisional.
 Gendang (Geundrang)
Gendang terdapat hampir di seluruh daerah Aceh. Gendang berfungsi
sebagai alat musik tradisional, yang bersama-sama dengan alat musik tiup
seurune kalee mengiringi setiap tarian tradisional baik pada upacara adat
maupun upacara iainnya.
Alat ini terbuat dari kayu nangka, kulit kambing dan rotan. Pembuatan
gendang yaitu dengan melubangi kayu nangka yang berbentuk selinder

27
Kebudayaan Aceh

sedemikian rupa sehingga badan gendang menyerupai bambam. Pada


permukaan lingkarannya (kiri-kanan) dipasang kulit kambing, yang
sebelumnya telah dibuat ringnya dari rotan dengan ukuran persis seperti
ukuran lingkaran gendangnya.
Sebagai alat penguat/pengencang permukaan kulit dipakai tali yang juga
terbuat dari kulit. Tali ini menghubungkan antara kulit gendang yang kanan
dengan kiri. Alat pemukul (stick) gendang juga dibuat dari kayu yang
dibengkakkan pada ujungnya yaitu bagian yang dipukul ke kulit.
 Canang
Canang adalah alat musik pukul tradisional yang terdapat dalam kelompok
masyarakat Aceh, Gayo, Tamiang dan Alas. Masyarakat Aceh menyebutnya
"Canang Trieng", di Gayo disebut "Teganing", di Tamiang disebut "Kecapi"
dan di Alas disebut dengan "Kecapi Olah". Alat ini terbuat dari seruas bambu
pilihan yang cukup tua dan baik. Kemudian bambu tersebut diberi lubang,
selanjutnya ditoreh arah memanjang untuk mendapatkan talinya. Lobang yang
terdapat pada ruas bambu itu disebut kelupak (Alas dan Gayo).
Jumlah tali tidak sama pada setiap daerah. Pada Canang Trieng terdapat 5
buah tali (senar) yaitu 4 buah yang saling berdekatan terletak di kiri sedangkan
sebuah lagi agak besar terletak di kanan lubang. Tali sebelah kiri dipetik
menggunakan lidi, sedangkan tali sebelah kanan dipetik dengan kuku/ibu jari
kiri.
Tali kecapi ada yang 3 buah dan ada yang 4 buah. Sedangkan Kecapi Olah
terdapat 4 sampai 5 buah, yang masing-masing tali diberi nama sendiri yaitu
gong (tali besar dekat keleepak), tingkat (1 atau 2 buah tali yang letaknya di
tengah) dan gerindik (tali yang paling halus/tinggi suaranya), dipetik dengan
bambu yang telah diraut tipis.
Pada teganing terdapat 3 buah tali yang paling tipis terletak paling kanan
dan paling kasar terletak paling kiri. Masing-masing tali ini disebut secara
berurutan dengan nama canang, memong dan gong. Cara memainkan teganing
yaitu dengan memukul talinya dengan kayu pemukul yang disebut peguel.
 Rapai
Rapai merupakan sejenis alat instrumen musik tradisional Aceh, sama
halnya dengan gendang. Rapai dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari
batang nangka) yang setelah dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu

28
Kebudayaan Aceh

yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas
dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing sedangkan
bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat
dari rotan yang dibalut dengan kulit. (Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut
sidak).
Rapai digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara terutama
yang berhubungan dengan keagamaan, perkawinan, kelahiran dan permainan
tradisional yaitu debus. Memainkan rapai dengan cara memukulnya dengan
tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Pemimpin permainan
rapai disebut syeh atau kalipah.
e) Senjata
 Reuncong (Rencong)
Ada empat macam rencong yang menjadi senjata andalan masyarakat Aceh
yaitu :
- Reuncong Meucugek :
Disebut reuncong meucugek karena pada gagang rencong tersebut terdapat
suatu bentuk panahan dan perekat yang dalam istilah Aceh disebut cugek atau
meucugek.
- Reuncong Meupucok :
Reuncong ini memiliki pucuk di atas gagangnya yang terbuat dari ukiran
logam yang pada umumnya dari gading atau emas. Bagian pangkal gagang
dihiasi emas bermotif tumpal (pucok rebung) serta diberi permata ditampuk
gagang, panjang keseluruhan rencong sekitar 30 cm. Sarung rencong juga
dibuat dari gading serta diberi ikatan dengan emas. Bilah terbuat dari besi
putih.
- Reuncong Pudoi :
Istilah pudoi dalam masyarakat Aceh adalah sesuatu yang dianggap masih
kekuranan atau masih ada yang belum sempurna. Gagang rencong ini hanya
lurus saja dan pendek sekali. Jadi, yang dimaksud pudo atau yang belum
sempuna adalah pada bentuk gagang rencong tersebut.
- Reuncong Meukure:
Perbedaan rencong dengan rencong jenis lain adalah pada mata rencong.
Mata rencong diberi hiasan tertenu seperti gambar ular, lipan bunga dan
lainnya.

29
Kebudayaan Aceh

 Siwaih
Senjata ini sejenis dengan rencong yang juga merupakan senjata untuk
menyerang. Bentuknya hamper sama dengan rencong tetapi siwaih ukurannya
(baik besar maupun panjang) melebihi dari rencong. Siwaih sangat langka
ditemui, selain harganya mahal, juga merupakan bahgian dari perlengkapan
raja-raja atau ulebalang-ulebalang. Namun demikian untuk siwaih yang telah
diberikan hiasan emas dan permata pada sarung dan gagangnya lebih
berfungsi sebagai perhiasan dari pada sebagai senjata.
 Peudeung (Pedang)
Berdasarkan daerah asal pedang, di Aceh dikenal beberapa macam pedang
yaitu:
- Peudeung Habsyah (dari negara Abbsinia),
- Peudeung Poertugis (dari Eropa Barat)
- Peudeung Turki berasal dari Turi
 Tombak
Selain rencong, siwaih dan pedang; terdapat jenis senjata lain yaitu
tombak. Tombak Meujanggot merupakan salah satu tombak yang ada di Aceh.
Gagangnya terbuat dari kayu, bilahnya dari besi dengan ukiran motif
lingkaran, segitiga dan persegi panjang. Panjangnya sekitar 200 cm. Pangkal
(teubueng) di antara gagang dan bilah disematkan potongan kain dan ijuk
menyerupai jenggot. Tombak ini digunakan sebagai perlengkapan
upacara/lembaga kebesaran raja.

f) Permainan Tradisional
 Geulayang Tunang
Geulayang Tunang terdiri dari dua kata yaitu geulayang yang berarti
layang-layang dan tunang berarti pertandingan. Jadi geulayang tuning adalah
pertandingan laying-layang atau adu laying yang diselenggarakan pada waktu
tertentu. Permainan ini sangat digemari di berbagai daerah di Aceh. Mengenai
nama permainan ini kadang-kadang juga ada pula yang menyebutnya adud
geulayang. Kedua istilah yang disebutkan terakhir sama artinya, hanya
lokasinyalah yang berbeda.
Pada zaman dahulu permainan ini diselenggarakan sebagai pengisi waktu
setelah mereka panen padi. Sebagai pengisi waktu, permainan ini sangat

30
Kebudayaan Aceh

bersifat rekreatif. Oleh karena itu, permainan ini sering kali dilombakan dalam
acara peringatan hari kemerdekaan RI atau event-event lainnya.
 Geudeue-Geudeue
Geudeue-Geudeue atau disebut juga due-due adalah permainan
ketangkasan yang terdapat di Pidie. Di samping ketangkasan, gesit, keberanian
dan ketabahan pemain geudeue-geudeue harus bertubuh tegap dan kuat.
Permainan ini kadang-kadang berbahaya karena permainan ini merupakan
permainan adu kekuatan.
Cara memainkannya adalah seorang yang berbadan tegap tampil di arena.
Ia menantang dua orang lain yang juga bertubuh tegap. Pihak pertama
mengajak pihak kedua yang terdiri dari 2 orang supaya menyerbu kepadanya.
Ketika terjadi penyerbuan, pihak pertama memukul dan menghempaskan
penyerangnya (pok), sedangkan pihak yang pihak kedua menghempaskan
pihak yang pertama.
Dalam tiap permainan bertindak 4 orang juru pemisah yang disebut
ureueng seumubla (juri), yang berdiri selang-seling mengawasi setiap pemain.
 Peupok Leumo
Peupok Leumo adalah sejenis permainan yang khas terdapat di Aceh
Besar. Permainan ini merupakan suatu permainan mengadu sapi. Permainan
ini sebelumnya berkembang di kalangan peternak sapi. Zaman dahulu
lazimnya peupok leumo diselenggarakan oleh sekelompok peternak yang
berada pada satu lokasi seperti yang berada pada satu kampung atau lebih luas
lagi satu mukim, diselenggarakan seminggu sekali. Untuk menentukan hari-
hari penyelenggaraan setiap hari Minggu, Jumat atau hari lainnya. Dapat juga
diselenggarakan pada sore hari, pukul 16.00 - 18.00.
Selain peupok leumo masih ada lagi acara peupok leumo tunang, yaitu
permainan peupok leumo untuk mencari sapi yang akan keluar sebagai
pemenang. Acara Peupok leumo tuning ini biasanya diselenggarakan oleh
sebuah panitia. Waktu tergantung kepada cuaca dan musim-musim tertentu
seperti sehabis panen atau waktu lain seperti pada hari-hari besar dan
sebagainya.
 Pacu Kude
Pacu Kude dapat diartikan duduk di atas kuda yang lari atau dapat
diartikan sebagai pacuan kuda. Permainan ini terdapat di Kabupaten Aceh

31
Kebudayaan Aceh

Tengah. Karena daerah ini terdapat padang rumput yang sangat luas serta kuda
adalah alat angkutan yang sangat praktir di daerah pegunungan, di samping
untuk membajak sawah.
Sehabis panen kuda-kuda ini tidak mempunyai kegiatan apa-apa yang
dianggap penting. Waktu-waktu seperti itu sering kuda-kuda tersebut berlari-
lari berkelompok. Kebiasaan ini dikoordinir akhirnya terbentuk permainan
pacu kude.
Pada awalnya permainan ini adalah permainan informal, tidak ada aturan
yang baku untuk dilaksanakan. Namun lama kelamaan, permainan ini
ditingkatkan menjadi permainan resmi dan terdapat aturan-aturan yang harus
dipatuhi.
 Bola Keranjang (bahasa gayo: tipak rege).
Sejenis bola yang dibuat dari rotan belah dipergunakan pada permainan
sepak raga (sepak takraw). Permainan ini sudah jarang sekali dilakukan
sekarang ini. Pada bola keranjang diikat rumbai-rumbai kain yang berwarna
merah, putih dan hitam sebanyak 15 helai.
Pada masa dahulu sepak raga merupakan sejenis permainan rakyat.
Permainan ini sangat digemari oleh anak-anak, remaja/pemuda maupun orang-
orang dewasa. Mereka memanfaatkan waktu-waktu senggangnya dengan
permainan ini.

g) Tempat Wisata
 Kerkhoff
Sebagaimana diketahui bahwa Kerajaan
Aceh dan rakyatnya sangat gigih melawan
Belanda yang memerangi Aceh. Rakyat
Aceh mempertahankan Negerinya dengan
harta dan nyawa. Perlawanan yang cukup
lama mengakibatkan banyak korban
dikedua belah pihak. Bukti sejarah ini
dapat ditemukan dipekuburan Belanda (Kerkhoff) ini. Disini dikuburkan
kurang lebih 2000 orang serdadu Belanda yang kuburannya masih dirawat
dengan baik.

32
Kebudayaan Aceh

Sebaliknya tidak terhitung banyaknya rakyat Aceh yang meninggal dalam


mempertahankan setiap jengkal tanah airnya yang tidak diketahui dimana
kuburnya.
 Krueng Raya
Krueng Raya, 35 Km dari Banda Aceh
merupakansebuah tempat pelabuhan
yang bernama "Pelabuhan Malahayati",
yang dapat ditempuh dalam waktu 30
menit dari Banda Aceh. Sepanjang jalan
ditemukan beberapa tempat yang
menarik, antara lain :
 Pantai Ujong Batee
Pantai Ujong Batee terletak sekitar 17 km arah timur Banda Aceh. Sangat
cocok sebagai tempat rekreasi sambil berenang, memancing, surfing, dsb.
Pantainya yang ditumbuhi pohon cemara yang lebat merupakan pelindung
para pengunjung bila hari panas sehingga cukup nyaman untuk bersantai.
Dekat pantai ini terdapat sebuah restauran yang menyajikan makanan khas
Aceh yang terkenal yaitu Kepiting Besar, Udang Windu, Tiram, Telur Penyu,
dan berbagai hasil laut dan pertanian lainnya.
 Lamreh
Lewat sedikit dari Pelabuhan Malahayati, terletak diatas bukit yang
dulunya sangat tandus. Kini telah ditanami pepohonan. Dari atas bukit Lamreh
ini kita dapat melihat panorama laut yang indah.
 Benteng Indra Patra
Terletak dekat pantai Ujong Batee, menurut riwayat dibangun pada masa
pra Islam di Aceh yaitu dimasa kerajaan Lamuri. Dibuat dari beton kapur,
cukup kuat untuk mempertahankan diri dari serangan Portugis dimasa lalu.
 Makam Laksamana Malahayati
Menurut sejarah, Laksamana Malahayati adalah seorang wanita yang
memimpin Angkatan Laut Kerajaan Aceh. Pada masa hayatnya ia pernah
memangku jabatan Penguasa Pelabuhan dan memegang jabatan penting
lainnya dalam Kerajaan Aceh.
 Ie Su-uem

33
Kebudayaan Aceh

Di daerah Krueng Raya juga dijumpai sumber air panas alam yang konon
baik sekali digunakan untuk mandi dan dapat pula menyembuhkan beberapa
jenis penyakit dan membuat badan sehat.
 Mesjid Raya Baiturrahman
Dipusat kota Banda Aceh
berdiri dengan megahnya
sebuah Mesjid yang agung yang
bernama "MESJID RAYA
BAITURRAMAN". Zaman
dulu ditempat ini berdiri sebuah
Mesjid Kerajaan Aceh. Sewaktu Belanda menyerang kota Banda Aceh pada
tahun 1873 Mesjid ini dibakar, kemudian pada tahun 1875 Belanda
membangun kembali sebuah Mesjid sebagai penggantinya.
Mesjid ini berkubah tunggal dan dibangun pada tanggal 27 Desember
1883. Selanjutnya Mesjid ini diperluas menjadi 3 kubah pada tahun 1935.
Terakhir diperluas lagi menjadi 5 kubah (1959 – 1968).
Mesjid ini merupakan salah satu Mesjid yang terindah di Indonesia yang
memiliki bentuk Yang manis, ukiran yang menarik, halaman yang luas dan
terasa sangat sejuk apabila berada di dalam ruangan Mesjid tersebut.
 Museum Negeri Aceh
Kota Banda Aceh memiliki sebuah
Museum Negeri yang terletak dalam
sebuah Kompleks. Bangunan induk
Museum berupa sebuah rumah
tradisional Aceh, dibuat pada tahun
1914 untuk Gelanggang Pameran di
Semarang, yang kemudian dibawa pulang ke Banda Aceh tahun 1915 oleh
Gubernur Van Swart (Belanda) yang kemudian dijadikan Museum.
Sekarang ini lingkungan Museum ini telah bertambah dengan bangunan
baru yang mengambil motif-motif bangunan Aceh seperti halnya bangunan
Balai Pertemuan yang berbentuk kerucut yang bentuknya diambil dari cara
orang Aceh membungkus nasi dengan daun pisang yang dinamakan
"Bukulah". Bukulah ini antara lain dihidangkan pada kenduri-kenduri tertentu

34
Kebudayaan Aceh

seperti Kenduri Blang, Kenduri Maulid Nabi Besar Muhammad Saw dan lain
sebagainya.
Ruang pamer Museum yang baru, memiliki bangunan 3 lantai, dipenuhi
oleh berbagai koleksi barang-barang purbakala yang ditata dengan baik. Salah
satu koleksi Museum ini adalah Lonceng Besar yang diberi nama
"CakraDonya". Lonceng ini merupakan hadiah dari Kerajaan Cina tempo dulu
yang dibawa oleh Laksamana Ceng Ho pada tahun 1414. Beranda depan
Museum memiliki bentuk khas yang juga memperlihatkan ukiran-ukiran kayu
dengan motif Aceh.
Dikompleks ini sekaligus dijumpai makam sultan-sultan Aceh dimasa lalu.
Makam para Sultan pada umumnya dinuat dari Batu Gunung dan dihiasi
dengan Kaligraphi Arab yang indah mempesona, salah satunya adalah Makam
Sultan Iskandar Muda.
 Pantai Lhoknga Dan Lampuuk
Pantai Lhoknga dan
Lampuuk terletak di pantai
barat Aceh. Dari Banda
Aceh kurang lebih 17 km
dan dapat ditempuh dengan
kendaraan bermotor dalam
waktu kurang dari 20 menit.
Pantai ini cukup indah dan
dapat digunakan sebagai tempat berenang, berjemur di pasir putih,
memancing, berlayar, menyelam dan kegiatan rekreasi lainnya.
Di sore hari pantai ini terasa lebih indah, dimana kita dapat menyaksikan
matahari terbenam (Sun-Set) yang penuh pesona yang memberikan suatu
kenikmatan sendiri. Dikawasan Pantai Lampuuk, anda dapat bermain golf
dengan latar belakang panorama laut di Padang Golf Seulawah. Lewat sedikit
dari pantai Lhoknga, anda dapat menyaksikan panorama Taman Tepi Laut
yang sangat indah.
 Taman Sari
Sultan membangun sebuah
gunung buatan yaitu
Gunongan dimana permaisuri

35
Kebudayaan Aceh

dapat memanjatinya. Begitu bangunan ini siap, permaisuri menjadi


berbahagia dan lebih banyak menghabiskan waktunya disini terutama pada
saat matahari akan tenggelam.
Kerajaan Aceh dahulu mempunyai taman yang indah yang dinamakan "Taman
Sari". Taman ini berada disekitar Istana dan berada pada aliran sebuah sungai
yang bernama "Krueng Daroy". Bangunan yang masih dapat dilihat antara lain
adalah "Pinto-khop" yang merupakan pintu penghubung antara Istana dan
taman. Disamping itu terdapat sebuah bangunan yang
merupakan gunung buatan yang disebut "Gunongan".
Gunongan merupakan sebuah bangunan peninggalan Sultan
Iskandar Muda (1608-1636) untuk permaisurinya Putri
Phang.Menurut sejarah, Putri Phang selalu merasa rindu
akan kampung halamannya, Pahang - Malaysia. Sultan
kemudian mengetahui bahwa kegusaran permaisurinya itu
karena di Pahang Istananya dikelilingi oleh perbukitan dimana permaisuri
dapat bermain, namun disini tidak.
 Monumen RI
Setelah Indonesia merdeka (1945) Belanda masih ingin menjajah Negeri
ini. Dalam perjuangan phisik melawan penjajahan Belanda tersebut, pada
tahun 1948 Indonesia membutuhkan sebuah pesawat terbang untuk menembus
blokade musuh, karena banyak wilayah telah dikuasai Belanda. Untuk
memperoleh sebuah pesawat terbang untuk kepentingan negara waktu itu
dirasa sangat sulit, karena sedang berjuang dan keadaan keuangan negara
belum memungkinkan.
Presiden pertama Republik Indonesia "Soekarno" menghimbau agar rakyat
Aceh menyumbangkan dana untuk membeli pesawat terbang yang diperlukan.
Dalam waktu singkat dana yang diperlukan dapat terkumpul dan berhasil
dibeli sebuah pesawat Douglas DC. 3. Disamping menembus blokade musuh
pesawat ini juga digunakan untuk pengangkutan senjata dari luar negeri untuk
mengusir penjajah. Pesawat ini kemudian merupakan cikal bakal Perusahaan
Garuda Indonesia Airways yang kini merupakan perusahaan penerbangan
terbesar sekaligus "pembawa bendera Indonesia".
Untuk mengenang jasa, masyarakat Aceh yang patriotik ini, pemerintah
membangun sebuah Monumen yang terletak di Jantung Kota Banda Aceh.

36
Kebudayaan Aceh

 Pendopo Gubernur
Pendopo Gubernur dibangun oleh pemerintah Belanda pada tahun
1880 diatas tanah bekas Istana Kerajaan Aceh dan diperuntukkan sebagai
tempat tinggal Gubernur Belanda. Kini bangunan tersebut merupakan
tempat kediaman resmi Gubernur Aceh.

h) Makanan Tradisional
Masakan Aceh pada umumnya didominasi dengan citarasa pedas. Untuk
bumbunya, rempah-rempah termasuk jenis bumbu yang paling sering digunakan.
Namun, di Gampoeng Aceh ini, nilai pedasnya cenderung lebih dikurangi, karena
untuk menyesuaikan dengan selera pengunjungnya, sedangkan penggunaan
rempah-rempah lebih ditingkatkan.
 Bebek Bakar
Bebeknya dibersihkan dengan cara khusus,
sehingga dagingnya pun tidak berbau. Setelah
dibakar bulu halusnya, bebek dibelah jadi 4.
Sebelum dimasak, dibumbui dengan 19 macam
rempah-rempah. Setelah itu, diberi daun kari,
agar lebih harum, baru kemudian dipanggang.
Penyajiannya dengan nasi gurih, cabe hijau,
timun, dan tomat.
 Kari Kambing
Daging kambing dimasak dengan bumbu
utamanya adalah cabe keling atau cabe India.
Cabe keling atau cabe India ini sebenarnya
merupakan cabai merah yang sudah
dikeringkan selama satu minggu, sehingga

37
Kebudayaan Aceh

rasanya pun sangat pedas. Kuahnya yang sangat memerah, benar-benar sepedas
citarasanya.

 Martabak Aceh
Bahan dasarnya adalah 1 kg terigu. Setelah
diaduk, adonan terigunya dipukul-pukul,
sehingga membentuk seperti martabak Bangka
yang sudah sering kita jumpai, baru kemudian
dimasak. Untuk menikmatinya, tersedia
pilihan antara kari kambing atau kuah duren.

 Mie Aceh
Mienya dibuat sendiri dari adonan terigu yang
digiling. Bumbunya hampir sama dengan
bumbu yang digunakan untuk membuat jenis
mie goreng pada umumnya, hanya saja lebih
ditambah rempah-rempah dan rasanya pun
lebih spicy.

 Mie Kepiting
Kepiting digodok setengah matang dengan
bumbu yang digunakan untuk mie aceh.
Setelah itu. kepiting dibelah menjadi 8, dan
dicuci. Digodok lagi, dan ditambahkan mie.
Taste seafood dari kepitingnya sangat kuat.

H. Agama
Islam merupakan agama yang dominan yaitu sekitar 98% dari populasi.
Masyarakat asli Aceh terutama beragama Islam, dan sisanya adalah agama Budha,
Kristen dan Hindu yang dianut oleh keturunan Jawa, Cina, Batak dan India. Kendati

38
Kebudayaan Aceh

demikian kehidupan beragama di Aceh cukup harmonis dengan toleransi yang cukup
tinggi. Sarana peribadatan seperti mesjid dan menasah terdapat di seluruh pelosok
Aceh, sedangkan Gereja, Toa Peh Kong dan Kuil Hindu hanya terdapat di kota-kota
besar saja.

I. Pembangunan Dan Modernisasi


Sejak dahulu Aceh boleh dikatakan telah mengalami perubahan dalam masyarakat
dan kebudayaan. Perubahan-perubahan yang tampaknya bergerak sangat lambat itu,
disebabkan oleh faktor asing, pembangunan di desa-desa, perubahannya tidak
signifikan. Pembangunan di Aceh terhambat karena keamanan yang kurang,
komunikasi yang buruk, dan sikap apatis dari rakyat terhadap gagasan untuk
membangun. Hal itu karena pemerintahan tidak dijalankan secara konsekuen sehingga
usaha pembangunanpun terhambat.
Rakyat pedesaaan masih kurang dalam hal pendidikan dan penerangan.
Pendidikan umum yang modern adalah media yang ampuh untuk membawa
perubahan dan pembangunan. Sebenarnya Aceh mempunyai potensi yang besar untuk
membangun, hanya cara menggerakkannnya yang kurang. Penggeraknya adalah
pemimpin-pemimpin dan orang-orang yang berpengaruh di desa, seperti keusyik dan
orang-orang yang berwibawa, seperti Teungku.
Modernisasi dalam bidang pemerintahan belum tererealisir dengan baik dan sering
membawa atau menimbulkan birokrasi dalam arti buruk yang diakibatkan karena
korelasi antara peraturan-perarturan dan pelaksanaannya.
Modernisasi dalam bidang teknologi juga belum banyak terlihat terutama pada
masyarakat yang tinggal di pedalaman. Walaupun demikian, telah diusahakan
menggunakan teknologi dalam pertanian, seperti pembuatan pupuk buatan,
penyemprotan hama, dan lain-lain.
Intinya, masih banyak potensi utnuk dibangun, misalnya dalam sektor pertanian.
Pengetahuan dan pengertian dari pemerintah tentang masyarakat Aceh mengenai cara
menggerakkna potensi tersebut harus ditingkatkan. Perlu ditambah jumlah tenaga
yang mempunyai keahlian membangun serta prasarananya.
Pembangunan Di Aceh Pasca Tsunami
Bencana tsunami yang melanda pantai Aceh pada tanggal 26 Desember 2004,
merupakan salah satu bencana alam terburuk dalam sejarah. Lebih dari 130.000 orang
meninggal di Indonesia saja, dan 500.000 lainnya kehilangan tempat tinggal, mata
pencaharian, serta keluarga mereka. Dalam hitungan hari, dunia menggerakkan

39
Kebudayaan Aceh

program bantuan darurat terbesar yang pernah ada; pemerintah asing, komunitas dan
organisasi swasta, termasuk 500 lembaga pemberi bantuan, datang ke Aceh untuk
membagikan makanan, minuman, dan tempat berlindung bagi mereka yang selamat.
Proses rehab-rekon Aceh bisa dikatakan try-error. Walaupun sudah dilakukan
dengan berbagai metode. Hal ini terjadi karena pelaku rehab-rekon belum memiliki
pengalaman dalam menangani musibah sebesar ini. Project management, SDM,
kendala lokasi pekerjaan merupakan contoh-contoh yang bisa menghambat kinerja
lembaga-lembaga seperti NGO nasional maupun internasional dalam melaksanakan
rehab-rekon di Aceh. Juga dalam pengelolaan budget yang ada sangat sering terjadi
perubahan. Harus diakui ada beberapa donor yang sangat kaku, sehingga banyak
permintaan perubahan anggaran/aktivitas yang seharusnya bisa di sesuaikan menjadi
tidak boleh diubah sama sekali. Padahal proses rehab-rekon ini tentu memiliki
dinamika.
Beberapa sektor rehab-rekon yang menjadi indikator bisa dikatakan jalan
ditempat. Dibidang perumahan proses pembangunan perumahan masih mengalami
beberapa persoalan, seperti ketika memakai metode pendampingan. Akibatnya
pembangunan berjalan lamban. Mungkin resiko dalam pembangunan perumahan akan
menjadi minim apabila pengerjaan rumah diberikan kepada pemiliknya. Apalagi calon
penghuni “rumah baru” biasanya acap mengeluh ketika pembangunan “rumahya”
diberikan kepada kontraktor yang pengawasannya hampir minim sehingga
menghasilkan produk rumah yang ‘mengecewakan”.
Masalah lainnya adalah pada kebijakan pemerintah dalam membentuk tata ruang
yang lebih baik dalam pembangunan lingkungan perumahan paska tsunami. Salah
satu tata ruang yang dimaksud misalnya adanya pengosongan enam meter badan
jalan, saluran air, dan lain-lain. Namun, dari 300 desa tsunami hanya 37 desa yang
sudah membuat tata ruang sebagaimana idealnya keinginan pemerintah tersebut.
Tsunami memang telah menghancurkan bayak sektor-sektor alam, seperti tambak,
sawah, kebun dan sumber daya alam lainnya. Upaya melakukan recovery di bidang
ini harus diakui memang agak sulit. Akan ada banyak tantangan yang ditemui, oleh
karenanya perlu kerja sama yang tepat antar NGO maupun donor, dengan
mengadakan recovery dan revitalisasi secara bersama dan terkoordinasi.
Keadaan rehab-rekon ini juga semakin terdesak dengan keadaan Aceh yang kini
berada dalam keadaan Booming Reconstruction, yang mengakibatkan naiknya
kebutuhan secara dramatis dibiaya rehab-rekon seperti material dan juga upah

40
Kebudayaan Aceh

pekerja. Akan tetapi yang anehnya, walau Aceh sedang Booming Reconstructions,
tetap saja angka penggangguran masih tinggi. Persoalan lain adalah, adanya role
sharing antara pelaku rehab-rekon yang tidak berjalan dengan baik. Keruwetan ini
ditambah lagi oleh kenyataan bahwa banyak NGO terkesan mengejar target
penyerapan anggaran.
Walau demikian, kelambanan proses rehab-rekon ini juga semestinya tidak boleh
menjadikan siapa pun untuk mencari kambing hitam. Sebab, menurut suatu kaidah
lama: musibah suatu kaum adalah anugerah bagi kaum lainnya.
Walaupun indikator sulit ditemukan bahwa rehab-rekon ternyata juga telah
merusak mental spritual mayarakat Aceh. Akan tetapi, hal ini diperlihatkan dengan
adanya pergeseran nilai yang kuat dalam tradisi sosial masyarakat Aceh. Namun
demikian, setiap kita mesti juga mengakui ada hal-hal positif dari proses rehab-rekon
ini.
Pembangunan kembali Aceh bukan hanya tentang membangun rumah melainkan
membangun kembali masyarakat—sistem pelayanan kesehatan, pekerjaan, sumber air
yang aman, jalan dan jembatan, mata pencaharian juga rasa kemasyarakatan dan
keamanan.
• Membangun kembali sistem kesehatan
Ketika tsunami melanda Aceh, dimana juga telah menghancurkan sistem
kesehatan yang sudah sangat terbatas akibat 30 tahun perang saudara. Bencana ini
menghancurkan lebih dari 400 fasilitas kesehatan, dan menewaskan banyak dokter,
perawat, dan penyedia jasa kesehatan lainnya yang dibutuhkan untuk membangun
kembali sektor kesehatan pasca tsunami. Tujuan dari strategi pembangunan kesehatan
adalah untuk memperbaiki kesehatan ibu dan anak serta masyarakatnya di daerah-
daerah yang telah ditargetkan di Aceh, dan dengan demikian memperbaiki kualitas
hidup mereka.
• Membangun kembali masyarakat
Tujuan dari proyek pembangunan tempat tinggal adalah untuk memulihkan dan
memperbaiki kualitas hidup para keluarga yang terkena dampak tsunami dengan cara
membangun kembali dan merehabilitasi rumah-rumah serta fasilitas masyarakat,
pemulihan mata pencaharian, pengurangan resiko bencana, pemberdayaan masyarakat
serta penguatan tata pemerintahan setempat. Anggota masyarakat berpartisipasi di
setiap tahapan proses rekonstruksi. Sebagai bagian dari proyek rekonstruksi, mereka
yang selamat bekerja sama untuk membangun atau memperbaiki fasilitas sanitasi

41
Kebudayaan Aceh

yang dibutuhkan di komunitas baru mereka. Dengan membersihkan, memperbaiki dan


mengebor sumur, membangun jamban dan sistem sanitasi serta menyediakan air
bersih, diharapkan dapat memperbaiki kondisi air bersih dan sanitasi bagi lebih dari
100.000 orang.
• Membangun Kembali Mata Pencaharian
Tsunami tidak hanya menghancurkan rumah-rumah; tapi juga menghancurkan
pekerjaan dan pendapatan, sehingga banyak yang selamat tidak mampu menghidupi
diri mereka sendiri dan keluarga mereka. Beberapa cara dilakukan untuk memperoleh
kembali mata pencaharian mereka melalui sederet kegiatan seperti perbaikan dan
pembangunan sektor pertanian, perikanan, peternakan dan usaha kecil, seperti
kepemilikan becak (taksi motor), usaha jahit atau membuka warung.
• Membangun Kembali Masa Depan dan Menghadapai Risiko Bencana Di Masa
Datang
Pemulihan memerlukan waktu, dan diperlukan partisipasi masyarakat Aceh untuk
membangun kembali rumah, komunitas dan kehidupan mereka di tahun-tahun
mendatang. Masyarakat perlu memastikan rumah dan desa baru mereka lebih siap
menghadapi bencana apapun di masa datang, dengan menyertakan mitigasi risiko
bencana ke dalam semua kegiatannya. Perencanaan oleh masyarakat (Community
Planning) menjamin semua orang mengetahui rute penyelamatan diri yang terbaik
jika suatu bencana lain terjadi; pembuatan rumah bermutu tinggi membuat rumah
lebih tahan terhadap gempa bumi yang kuat atau banjir, dan sistem peringatan dini
memberi lebih banyak waktu kepada orang untuk menyelamatkan diri dalam situasi
darurat. Bersama, kita membangun masa depan yang lebih baik bagi Aceh.

J. Problematika kebudayaan di Aceh


Konsep, politik dan strategi kebudayaan, dalam suatu kawasan teritori seperti
Aceh –yang di dalamnya terdapat beraneka ragam (sub)etnik dan bahasa, selalu saja
melahirkan tiga lingkup pengkajian penting penting, yakni: (a) bagaimana
menuntaskan pemetaan hubungan antara lokal, nasional dan global dalam konteks
kebudayaan? (b) Apa dan bagaimana yang disebut identitas dan krisis kebudayaan?
(c) perubahan apa yang mungkin terjadi dan bagaimana memberdayakan kebudayaan?
Memahami jalan kebudayaan dan proses seperti itu, turut menentukan dalam
perumusan, pembentukan dan pemetaan berbagai masalah dan penyelesaiannya,
termasuk berbagai masalah dan kebijakan yang menyangkut dengan publik. Salah

42
Kebudayaan Aceh

memahami konsep kebudayaan pada akhirnya hanya akan melahirkan pembangunan


kebudayaan yang kurang tepat.
Masyarakat Aceh adalah semuanya Islam. Hal ini kemudian berimplikasi kepada
kenyataan kebudayaan di Aceh. Kebudayaan menyangkut kepada hal-hal yang sangat
kompleks.
Kebudayaan mudah difahami di Banda Aceh. Namun demikian, ketika memasuki
wilayah wujud, mereka kesulitan untuk menunjukkan kebudayaan. Sehingga
kebudayaan sering dikonkretkan kepada tari seudati, rumoh Aceh, pakaian adat, dan
lain-lain yang akhirnya akan memberi pemahaman kepada konsep kebudayaan yang
sangat sempit.
Pascatsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 yang telah membawa
banyak kerusakan di Aceh, membuat langkah pembangunan kembali sebagai jalan
yang harus ditempuh. Dalam usaha rekonstruksi dan rehabilitasi, tersimpullah salah
satu keputusan penting di Aceh bahwa pendekatan kultural dalam membangun Aceh –
pascatsunami dan penandatanganan damai—harus dijadikan salah satu hal penting
diperhatikan berbagai pihak.
Dalam konteks kebudayaan (culture), bencana itu berimplikasi serius. Ada
masalah yang tersisa dalam konteks kebudayaan pascabencana. Perubahan wujud
kebudayaan di Aceh setelah melewati bentang perjalanan sejarah yang panjang,
termasuk akibat bencana tersebut.
Kebudayaan di mata banyak kalangan, terutama di mata mereka yang
berkesempatan ambil peran dalam kerja-kerja perbaikan Aceh, tidak dilihat sebagai
pokok penting dalam agenda “rehab-ulang” dalam konsepsi kebudayaan yang luas.
Kebudayaan Aceh merupakan bagian dari hubungan nasional yang dimiliki nilai
khas, terutama ketika dilihat dari segi ruhnya yang Islami. Akan tetapi dalam
dinamika proses pewarisan tersebut beberapa unsur budaya luhur ikut memudar atau
bahkan menghilang seiring semakin menguatnya pengaruh globalisasi yang
membayangi masyarakat Aceh.
Setiap kebudayaan masyarakat bangsa di mana pun di dunia selalu mengalami
pasang surut, hal ini dapat sebabkan oleh banyak faktor dalam masyarakat:
disebabkan faktor politik yang tidak menentu, perebutan kekuasaan, atau konflik
sosial lainnya. Demikian pula halnya dengan kebudayaan Aceh.
Identitas Aceh mencakup: Islam, adat, bahasa Aceh, Serambi Mekkah, Dayah,
Pendidikan, tari, peusijuek (menepungtawari), peunujoeh (tujuh hari setelah

43
Kebudayaan Aceh

kematian), hiem (teka-teki), pakaian adat, rumah Aceh, rapai, seudati, panton
seumapa, perlawanan, keras kepala, dan Saman.
Kenyataan ini, menggambarkan bahwa ternyata, pemahaman orang Aceh terhadap
identitas menjadi berbeda-beda. Padahal untuk penyebutan terhadap identitas Aceh,
dominan disebut dalam masyarakat. Hal ini mengkonkretkan tiga identitas: fanatik
terhadap Islam, bahasa Aceh, dan terbuka terhadap tamu.
Penggunaan bahasa Aceh dalam masyarakat sangat kurang dipergunakan mengingat,
bahwa masyarakat yang hidup di Banda Aceh sudah cenderung heterogen –tidak lagi
homogen.
Sebagian masyarakat merasa sangat nyaman dalam menggunakan bahasa
Indonesia. Bahasa Indonesia dipandang lebih komunikatif bila dibandingkan dengan
bahasa Aceh. Mereka umumnya susah memahami bila menggunakan bahasa Aceh
untuk menyampaikan sesuatu kepada anak-anak dan keluarga mereka.
Kondisi ini, tentu harus menjadi “lampu kuning” di masa depan. Bagaimana pun,
bahasa Aceh harus dibumikan di bumi Aceh sendiri. Namun, hendaknya dapat
menjadi catatan bagi pengembangan bahasa Aceh di masa depan.
Sementara tingkat keterbukaan masyarakat Aceh terhadap tamu sudah banyak
yang berubah. Hal ini kian marak ditemukan pascatsunami di mana hidup tanpa
kepastian sudah menjadi gejala baru dala kehidupan masyarakat kita.
Titik-titik kritis yang didapat dalam kenyataan adalah sebagai berikut:
Titik kritis pertama adalah ketika sebagian orang Aceh seperti tidak melihat ada
sesuatu yang kritis sejak dari pemahaman kebudayaannya. Identitas yang berupa
“Citra diri” dan “harga diri”, sebenarnya adalah cermin, dan bukan sebagai keegoan.
Masalah ada di dalam diri, juga ada di luar diri. Kenyataan bisa diukur, dengan
sejauhmana “luar” mau menghargai kebudayaan lokal sebagaimana semua lembaga
dunia menyepakati pentignya Code of Conduct dalam memberikan bantuan untuk
daerah-daerah yang mengalami bencana seperti Aceh. Ini adalah kenyataan yang juga
berpengaruh sejauhmana mengentalnya titik kritis kebudayaan melalui identitas lokal
di Aceh.
Titik kritis kedua adalah pemahaman terhadap agama –khususnya dengan apa
yang disebut sebagai Fanatik terhadap agama. Dengan kata lain, masih terbuka
peluang untuk dipertanyakan bahwa bagaimana pemahaman orang Aceh terhadap
agama hingga melahirkan fanatik seperti yang terlihat sekarang ini. Juga semakin
mengemuka kecenderungan seolah-olah bentuk pemahaman orang Aceh terhadap

44
Kebudayaan Aceh

agama harus sesuai dengan bentuk pemahaman orang non-Aceh terhadap agama.
Padahal orang Aceh –sebagai orang daerah manapun di dunia—memiliki karakteristik
tersendiri bagaimana pemahaman itu, yang didapat dari proses hidup dan
berkehidupan.
Titik kritis ketiga adalah tentang kenyataan seolah-olah bahasa Aceh tidak lagi
dipandang sebagai cermin diri dalam makna yang luas. Penggunaan bahasa telah
dipandang sebagai alat komunikasi semata, tanpa melihat bahwa bahasa juga adalah
kekayaan kebudayaan yang bisa mencerminkan kondisi dan perkembangan bagi
penuturnya.
Titik kritis yang keempat adalah terdapat perbedaan antara konsep terbuka
terhadap tamu yang selama ini dipahami dengan kenyataan terbuka terhadap tamu itu
sendiri. Ada gejala bahwa masyarakat Aceh cenderung menjadi masyarakat tertutup.
Adanya perbedaan pemahaman ini, berimplikasi kepada sejauhmana tingkat
kolektivitas maupun individualitas orang Aceh. Bisa dikatakan bahwa semakin
tertutup suatu masyarakat maka kecenderungan meningginya eksistensi individualitas
dalam masyarakat itu. Kenyataan ini juga bisa diukur dengan tingkat solidaritas social
dalam masyarakat Aceh. Diakui atau tidak, solidaritas social di Aceh sedang
mengalami masalah. Proses penyelesaian masalah terhadap sesama terhadap semua
persoalan yang hadir sesudah tsunami, dapat menjadi misal dari kenyataan ini.
Semua yang dipaparkan di atas, memperlihatkan kecenderungan sebagai berikut:
Kecenderungan pertama, dalam konteks kebudayaan di Aceh, masyarakat Aceh ke
depan semakin terbuai dengan kenyataan masa lalu, sementara alpa untuk
mempersiapkan segala hal untuk menyambut masa depan yang pastinya belum
diketahui bagaimana perkembangannya. Keterbuaian terhadap masa lalu serta lupa
mempersiapkan masa depan (sengaja atau tidak), telah menyebabkan masyarakat
Aceh terjebak dalam anomali-anomali.
Kecenderungan ini, makin mempersurut kemungkinan berkembangnya wajah
cerah kebudayaan di masa depan. Interaksi sumbat, maka individualitas makin
mengental ketimbang kolektivitas. Kecenderungan ini sudah berlangsung di Banda
Aceh. Jadi kondisi ini diperparah lagi dengan berbagai interaksi dengan berbagai
budaya yang individual, maka masa depan, orang akan mengurangi tingkat
kertegantungannya dari orang lain –dalam segala hal.
Sementara dalam konteks hubungan lokal, nasional dan global, salah satu masalah
yang timbul adalah penggunaan kerangka “pasti” dalam berbagai penyelesaian

45
Kebudayaan Aceh

masalah. Dalam konteks Aceh, logika yang bertumpu pada sejauhmana ketersediaan
uang/modal dan seberapa besar untung yang diperoleh, makin memupuk fenomena
tentang kecenderungan pergeseran dari kolektivitas kepada individualitas, dari motif
sosial atau setengah sosial menjadi ekononomi, dari kemapanan nilai menjadi
ketidakmapanan nilai. Konsekuensi dari kecenderungan ini adalah tumbuh suburnya
sikap dan potret di Aceh sebagai cermin dari fenomena budaya global.
Semoga segala promblematika yang terjadi di Aceh dapat segera teratasi.
Bersama, kita membangun masa depan yang lebih baik bagi Aceh.

46

You might also like