You are on page 1of 9

DEMAM REUMATIK (Kompetensi 3A) Nama : Melly Afriyati NIM : 0907101010132

1.

Definisi Demam reumatik adalah suatu proses radang akut yang didahului oleh

infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus group A di tenggorokan dan mempunyai ciri khas yaitu cenderung kambuh (Harimurti, 2004). Penyakit ini merupakan penyakit inflamasi sistemik non supuratif yang digolongkan pada kelainan vascular kolagen atau kelainan jaringan ikat. Proses reumatik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan system saraf pusat (Leman, 2009). 2. Insidensi Demam reumatik terdapat di seluruh dunia. Meskipun individu-individu segala umur dapat diserang oleh demam reumatik akut, tetapi demam teumatik ini banyak terdapat pada anak-anak dan orang usia muda (5-15 tahun). ada dua hal terpenting dari segi epidemiologic pada demam reumatik akut ini yaitu kemiskinan dan kepadatan penduduk. Setelah perang dunia kedua dilaporkan bahwa di Amerika dan Eropa insiden demam reumatik menurun, tetapi demam reumatik masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang (Leman, 2009). Secara nasional mortalitas akibat demam reumatik dan penyakit jantung reumatik cukup tinggi dan ini merupakan penyebab kematian utama penyakit jantung sebelum usia 40 tahun (Harimurti, 2004). WHO memperkirakan jumlah kasus demam reumatik dan penyakit jantung reumatik 25-40% dari semua penderita penyakit jantung yang dirawat di Negara sedang berkembang (Harimurti, 2004). Taranta A dan Markowitz M (1984) melaporkan bahwa demam reumatik adalah penyebab utama terjadinya penyakit jantung untuk usia 5-30 tahun. Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik adalah penyebeb utama kematian penyakit jantung untuk usia di bawah 45 tahun,

dan juga dilaporkan 25-40% penyakit jantung disebabkan oleh PJR untuk semua umur (Leman, 2009). 3. Patogenesis Meskipun sampai sekarang ada hal-hal yang belum jelas, tetapi ada penelitian yang mendapatkan bahwa demam reumatik yang mengakibatkan PJR terjadi akibat sensitisasi dari antigen Streptokokus sesudah 1-4 minggu infeksi Streptokokus di faring. Lebih kurang 95% pasien menunjukkan peninggian titer antistreptoksin O (ASTO), antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan dua macam tes yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman SGA (Leman, 2009). Faktor-faktor diduga terjadinya komplikasi pasca Streptokokus ini kemungkinan utama adalah pertama Virulensi dan Antigenisitas Streptokokus, dan kedua besarnya respon imun dari host dan persistensi organisme yang menginfeksi faring. Risiko untuk kambuh sesudah pernah mendapat serangan Streptokokus adalah 50-60% (Leman, 2009). Penelitian-penelitian lain kebanyakan menyokong mekanisme autoimunitas atas dasar reaksi antigen antibody terhadap antigen Streptokokus. Salah satu antigen tersebut adalah protein-M Streptokokus. Pada serum pasien DR akut dapat ditemukan antibody dan antigen. Antibody yang terbentuk bukan bersifat kekebalan. Dan reaksi ini dapat ditemukan pada miokard, otot skelet dan sel otot polos. Dengan imunofloresensi dapat ditemukan imunoglobulinnya dan komplemen pada sarkolema miokard (Leman, 2009). 4. Gambaran Klinis DR/PJR merupakan kumpulan gejala terpisah-pisah dan kemudian menjadi suatu penyakit DR/PJR. Adapun gejala-gejala itu adalah: a. Artritis Artritis adalah gejala mayor yang sering ditemukan pada DR akut. Sendi yang dikenai berpindah-pindah tanpa cacat yang biasanya adalah sendi besar

seperti lutut, pergelangan kaki, paha, lengan, panggul, siku dan bahu. Munculnya tiba-tiba dengan rasa nyeri yang meningkat 12-24 jam yang diikuti dengan reaksi radang. Nyeri ini akan menghilang secara perlahan-lahan (Leman, 2009). Radang sendi ini jarang yang menetap lebih dari satu minggu sehingga terlihat sembuh sempurna. Proses migrasi arthritis ini membutuhkan waktu 3-6 minggu. Sendi-sendi kecil jari tangan dan kaki juga dapat dikenai. Pengobatan dengan aspirin dapat merupakan diagnosis terapeutik pada arthritis yang sangat bermanfaat. Bila tidak membaik dalam 24-72 jam, maka diagnosis akan diragukan (Leman, 2009). b. Karditis Manifestasi karditis bias berupa perikarditis, miokarditis, endokarditis atau ketiganya (pankarditis). Penampilan perikarditis adalah nyeri prekordinal dan auskultasi dapat terdengar friction rub. Miokarditis ditandai oleh adanya pembesaran jantung dan tanda-tanda payah jantung. Sedangkan endokarditis yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada daun katup

menyebabkan terdengarnya bising yang berubah-ubah. Ini menandakan bahwa kelainan yang ditimbulkan pada katup belum menetap. Bila bising menetap, maka berarti sudah terjadi gejala sisa pada katup (Harimurti, 2004). Bising yang umumnya terdengar adalah bising sistolik di daerah apeks yang menunjukkan adanya regurgitasi mitral. Karakteristik bising sistolik ini adalah high pitch dan blowing. Bising mid-diastolik di apeks juga sering menyertai bising sistolik, dan dikenal sebagai bisisng Carey Coombs. Bising ini terjadi akibat stenosis mitral yang relative karena adanya dilatasi ventrikel kiri dan peningkatan pengisian ventrikel kiri pada fase diastolik (Harimurti, 2004). c. Chorea Chorea ini didapatkan 10% dari DR yang dapat merupakan manifestasi klinis sendiri atau bersamaan dengan kardiris. Masa laten infeksi SGA dengan chorea cukup lama yaitu 2-6 bulan atau lebih. Lebih sering dikenai pada perempuan pada umur 8-12 tahun dan gejala ini muncul selama 3-4 bulan.

Pasien dengan korea datang dengan gerakan yang tidak disengaja dan tidak bertujuan, inkoordinasi muskular, serta emosi yang labil. Manifestasi ini lebih nyata apabila pasien dalam keadaan stres. Gerakan abnormal ini dapat ditekan sementara atau sebagian oleh pasien dan menghilang pada saat tidur. Semua otot terkena, tetapi yang mencolok adalah otot wajah dan ekstremitas. Pasien tampak gugup dan menyeringai. Lidah dapat terjulur keluar dan masuk mulut dengan cepat dan menyerupai kantong cacing. Pasien korea biasanya tidak dapat mempertahankan kestabilan tonus dalam waktu yang pendek (Sastroasmoro dan Madiyono, 1994). Biasanya pasien berbicara tertahan-tahan dan meledak-ledak. Ekstensi lengan diatas kepala menyebabkan pronasi satu atau kedua tangan (tanda pronator). Kontraksi otot tangan yang tidak teratur tampak jelas bila pasien menggenggam jari pemeriksa (pegangan pemerah susu). Apabila tangan diekstensikan ke depan, maka jari-jari berada dalam keadaan hiperekstensi (tanda sendok atau pinggan). Koordinasi otot halus sukar. Tulisan tangannya buruk, yang ditandai oleh coretan ke atas yang tidak mantap (Behrman, 1999). Bila disuruh membuka dan menutup kancing baju, pasien menunjukkan inkoordinasi yang jelas, dan ia menjadi mudah kecewa. Kelabilan emosinya khas, pasien sangat mudah menangis, dan menunjukkan reaksi yang tidak sesuai (Sastroasmoro dan Madiyono, 1994). d. Eritema Marginatum Eritema marginatum merupakan khas untuk demam reumatik dan jarang ditemukan pada penyakit lain. Karena khasnya, ia termasuk dalam manifestasi mayor. Data kepustakaan menunjukkan bahwa eritema marginatum ini hanya terjadi pada lebih-kurang 5% pasien. Pada literatur lain menyebutkan eritema ini ditemukan pada kurang dari 10% kasus. Ruam ini tidak gatal, maskular, dengan tepi eritema yang menjalar dari bagian satu ke bagian lain mengelilingi kulit yang tampak normal. Lesi ini berdiameter sekitar 2,5 cm, tersering pada batang tubuh dan tungkai proksimal, dan tidak melibatkan wajah (Behrman, 1999). Pemasangan handuk hangat atau mandi air hangat dapat memperjelas ruam. Eritema sukar ditemukan pada pasien berkulit gelap. Ia biasanya timbul pada

stadium awal penyakit, kadang menetap atau kembali lagi, bahkan setelah semua manifestasi klinis lain hilang. Eritema biasanya hanya ditemukan pada pasien dengan karditis, seperti halnya nodul subkutan. Menurut literatur lain, eritema ini sering ditemukan pada wanita dengan karditis kronis (Sastroasmoro dan Madiyono, 1994). e. Nodul Subkutaneus Nodul subkutan ini terlihat sebagai tonjolan-tonjolan yang keras di bawah kulit tanpa perubahan warna atau rasa nyeri. Besarnya kira-kira 0,5-2cm dan bundar (Leman, 2009). Biasanya timbul pada minggu pertama serangan dan menghilang setelah 1-2 minggu. Ini jarang ditemukan pada orang dewasa (Harimurti, 2004). 5. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan adanya infeksi kuman Streptokokus Grup A sangat membantu diagnosis DR yaitu: Pada saat sebelum ditemukan infeksi SGA Pada saat ditemukan atau menetapnya proses infeksi SGA Untuk menetapkan ada atau pernah adanya infeksi kuman SGA ini dapat dideteksi: Dengan hapusan tenggorok pada saat akut. Biasanya kultur SGA negative pada fase akut itu. Bila positif, inipun belum pasti membantu diagnosis sebab kemungkinan akibat kekambuhan dari kuman SGA itu atau infeksi Streptokokus dengan strain yang lain. Tetapi antibody Streptokokus lebih menjelaskan adanya infeksi Streptokokus dengan adanya kenaikan titer ASTO dan anti DNA-se. Terbentuknya antibodyantibodi ini sangat dipengaruhi oleh umur dan lingkungan. Titer ASTO positif bila besarnya 210 Todd pada orang dewasa dan 320 Todd pada anak-anak, sedangkan titer pada DNA-se B 120 Todd untuk orang dewasa dan 240 Todd untuk anak-anak. Dan antibody ini dapat terdeteksi pada minggu kedua sampai minggu ketiga setelah fase akut DR atau 4-5 minggu setelah infeksi kuman

SGA di tenggorokan. Untuk inilah pencegahan sekunder dilakukan tiap 3-5 minggu. Pada fase akut ditemukan lekositosis, laju endap darah yang meningkat, protein C-reactive, mukoprotein serum. Laju endap darah dan protein C-reactive yang tersering diperiksa dan selalu meningkat atau positif pada fase akut dan tidak dipengaruhi oleh obat-obat antireumatik. Anemia yang ringan sering ditemukan adalah anemia normositer normokrom karena infeksi kronis DR. dengan kortikosteroid anemia dapat diperbaiki. Tidak ada pola yang khas dari EKG pada DR dengan karditis. Adanya bising sistolik dapat dibantu dengan kelainan EKG berupa interval PR yang memanjang atau perubahan pattern ST-T yang tidak spesifik (Leman, 2009).

6.

Diagnosis Diagnosis DR akut didasarkan pada manifestasi klinis, bukan hanya pada

symptom, gejala atau kelainan laboratorium patognomonis. Pada tahun 1944 Jones menetapkan criteria diagnosis atas dasar beberapa sifat dan gejala saja. Setelah itu criteria ini dimodifikasi pada tahun 1955 dan selanjutnya direvisi 1965, 1984 dan terakhir 1992 oleh AHA. Gejala Major Poliartritis Karditis Chorea Nodul subkutaneus Eritema marginatum Sumber: (Leman, 2009) Ditambah: bukti-bukti adanya suatu infeksi Streptokokus sebelumnya yaitu hapusan tenggorok yang positif atau kenaikan titer tes serologi ASTO dan anti DNA-se B. terutama pada anak/dewasa muda aloanamnesa pada orang tua dan keluarga sangat diperlukan. Bila terdapat adanya infeksi Streptokokus sebelumnya maka diagnosis DR/PJR didasarkan atas adanya: Gejala minor Klinis: suhu tinggi Sakit sendi (atralgia) Riwayat pernah menderita DR/PJR Lab: Reaksi fase akut

1. Dua gejala mayor atau 2. Satu gejala mayor dengan dua gejala minor Sedangkan penyediaan fasilitas pemeriksaan kuman Streptokokus belum meluas maka manifestasi klinis diatas harus dijadikan pegangan diagnosis suatu DR/PJR. Tentu perlu dibedakan dengan gejala-gejala penyakit-penyakit lain seperti rematoid arthritis, pegal-pegal kaki infeksi virus, kelainan jantung bawaan dan lain-lain (Leman, 2009). 7. Differential Diagnose Tidak ada satupun gejala klinis maupun kelainan laboratorium yang khas untuk demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Banyak penyakit lain yang mungkin memberi gejala yang sama atau hampir sama dengan demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Yang perlu diperhatikan ialah infeksi piogen pada sendi yang sering disertai demam serta reaksi fase akut. Bila terdapat kenaikan yang bermakna titer ASTO akibat infeksi Streptococcus sebelumnya (yang sebenarnya tidak menyebabkan demam reumatik), maka seolah-olah kriteria Jones sudah terpenuhi. Evaluasi terhadap riwayat infeksi Streptococcus serta pemeriksaan yang teliti terhadap kelainan sendinya harus dilakukan dengan cermat agar tidak terjadi diagnosis berlebihan (Leman, 2009). Reumatoid artritis serta lupus eritrmatosus sistemik juga dapat memberi gejala yang mirip dengan demam reumatik. Diagnosis banding lainnya ialah purpura Henoch-Schoenlein, reaksi serum, hemoglobinopati, anemia sel sabit, artritis pasca infeksi, artritis septik, leukimia dan endokarditis bakterialis sub akut (Leman, 2009). 8. Penatalaksanaan Penatalaksanaan demam reumatik meliputi: (1) tirah baring di rumah sakit, (2) iradikasi kuman streptokokus, (3) pemberian obat-obat antiradang, (4) pengobatan korea, (5) penanganan komplikasi seperti gagal jantung, endokarditis bakteri atau tromboemboli, serta (6) pemberian diet bergizi tinggi mengandung cukup vitamin (Arvin, 2000).

Tirah Baring Semua penderita demam reumatik harus tinggal di rumah sakit. Penderita dengan artritis atau karditis ringan tanpa mengalami gagal jantung tidak perlu menjalani tirah baring secara ketat. Akan tetapi, apabila terdapat karditis yang berat dengan gagal jantung, penderita harus tirah baring total paling tidak selama pengobatan kortikosteroid. Lama tirah baring yang diperlukan sekitar 6-8 minggu, yang paling menentukan lamanya tirah baring dan jenis aktivitas yang boleh dilakukan adalah penilaian klinik dokter yang merawat. Sebagai pedoman, tirah baring sebaiknya tetap diberlakukan sampai semua tanda demam reumatik akut telah mereda, suhu kembali normal saat tirah baring tanpa pemberian obat antipiretik, denyut nadi kembali normal dalam keadaan istirahat, dan pulihnya fungsi jantung secara optimal (Arvin, 2000). Eradikasi Kuman Streptokokus Eradikasi harus secepatnya dilakukan segera setelah diagnosis demam reumatik dapat ditegakkan. Obat pilihan pertama adalah penisilin G benzatin karena dapat diberikan dalam dosis tunggal, sebesar 600.000 unit untuk anak di bawah 30 kg dan 1 ,2 juta unit untuk penderita di atas 30 kg (Arvin, 2000). Obat Antiradang Salisilat memiliki efek dramatis dalam meredakan artritis dan demam. Obat ini dapat digunakan untuk memperkuat diagnosis karena artritis demam reumatik memberikan respon yang cepat terhadap pemberian salisi1at. Natrium salisilat diberikan dengan dosis 100-120 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis terbagi selama 2-4 minggu, kemudian diturunkan menjadi 75 mg/kg/hari selama 4-6 minggu. Aspirin dapat dipakai untuk mengganti salisilat dengan dosis 100 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis terbagi selama seminggu, untuk kemudian diturunkan menjadi separuhnya. Prednison dapat diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis terbagi

selama 2 minggu, kemudian diturunkan menjadi 1 mg/kg/hari selama minggu ke 3 dan 4 (Arvin, 2000).

9.

Komplikasi Menurut (Arvin, 2000), komplikasi utama demam rematik akut adalah

perkembangan penyakit katup jantung rematik. Tidak ada manifestasi lain yang mengakibatkan penyakit kronis. Katup mitral paling sering terlibat, tetapi katup aorta dan trikuspidal juga dapat terkena. Biasanya, katup trikuspidal menjadi terlibat hanya pada penderita yang menderita penyakit katup mitral dan aorta yang berarti yang menyebabkan hipertensi pulmonal (Behrman, 1999). 10. Prognosis DR tidak akan kambuh bila infeksi Streptokokus diatasi. Prognosis sangat baik bila karditis sembuh pada saat permulaan serangan akut DR. selama lima tahun pertama perjalanan penyakit DR dan PJR tidak membaik bila bising organik katup tidak menghilang. Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat, dan ternyata DR akut dengan Payah jantung akan sembuh 30% pada 5 tahun pertama dan 40% setelah 10 tahun. dari sata penyembuhan ini akan bertambah bila pengobatan pencegahan sekunder dilakukan secara baik (Leman, 2009). 11. Daftar Pustaka

Arvin , Behrman Klirgman. 2000. Ilmu Kesehatan Anak.. Jakarta : EGC. Behrman, R.E. 1999. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak vol. 2 Ed. 15. Jakarta: EGC. Harimurti, Ganesja M. 2004. Demam Reumatik dalam Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Leman, Saharman. 2009. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Bawaan dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV. Jakarta: Interna Publishing. Sastroasmoro S, Madiyono B. 1994. Buku Ajar Kardiologi Anak. Binarupa Aksara. Jakarta.

You might also like