You are on page 1of 8

BAB 2 PEMBAHASAN

Dalam tindakannya trakeostomi dapat dibedakan menjadi beberapa kategori, hal ini dikarenakan, setiap pasien memerlukan suatu penanganan yang berbeda. Perbedaan ini dikarenakan oleh kondisi pasien itu sendiri. Apakah pasien tersebut harus disegerakan untuk melakukan trekeostomi atau tidak. Dibawah ini adalah pembagian trakeostomi menurut beberapa kategori yang dialami pasien. 2.1 Menurut Lama Penggunaannya 1. Tracheal stoma post laryngectomy: merupakan tracheostomy permanen. Tracheal cartilage diarahkan kepermukaan kulit, dilekatkan pada leher. Rigiditas cartilage mempertahankan stoma tetap terbuka sehingga tidak diperlukan tracheostomy tube (canule). 2. Tracheal stoma without laryngectomy: merupakan tracheostomy temporer. Trachea dan jalan nafas bagian atas masih intak tetapi terdapat obstruksi. Digunakan tracheostomy tube (canule) terbuat dari metal atau Non metal (terutama pada penderita yang sedang mendapat radiasi dan selama pelaksanaan MRI Scanning). 2.2 Menurut Letak Insisinya Trakeostomi dibedakan letak yang tinggi dan letak yang rendah dan batas letak ini adalah cincin trakea ke tiga. 1. Trakeostomi elektif : Insisi horisontal yaitu, insisi dibuat dengan scalpel tajam setinggi pertengahan antara tonjolan krikoid dan insisura suprasternalis. 2. Trakeostomi emergensi : Insisi vertikal yaitu insisi yang dilakukan tanpa perlu mengangkat jaringan kartilago. 2.3 Menurut Waktu Dilakukannya Tindakan Maka trakeostomi dibagi dalam: 1. Trakeostomi darurat : dilakukan segera dengan persiapan sarana sangat kurang 2. Trakeostomi berencana : persiapan sarana dan prasarana baik, sehingga pembedahan dapat dilakukan secara baik. 2.4 Menurut Kesulitan dan Kedaruratannya 1. Trakeotomi biasa Trakeotomi pada penderita yang tidak sesak dan trakea mudah dicari, indikasinya :
1

a. Tumor laring yang belum lanjut (pasien belum mersakan sesak), serta dilakukannya persiapan biopsi. b. Tumor pangkal lidahatau tonsil,pasien dipersiapkan untuk radiasi atau operasi (untuk pemberian anestesi). 2. Trakeotomi sulit Di sini trakea sulit teraba, dapat terjadi karena : a. Trakea letaknya dalam, ahli bedah sulit untuk mencapainya. Hal ini dikarenakan adanya tumor koli. b. Kepala pasien sulit untuk melakukan ekstensi karena adanya tumor koli. c. Adanya jaringan kelenjar tiroid besar di atas trakea. d. Ada pembuluh vena besar yang membendung. Hal ini disebabkan oleh tumor koli. e. Lubang operasi tidak konsisten berasda di garis tengah, karena asisten memegang hak (pengait) tidak di garis tengah secara konsisten. f. Insisi terlalu pendek, lapangan operasi sempit sehingga sulit untuk meraba trakea. g. Trakea terdorong ke lateral karena terdesak oleh tumor koli. h. Trakea tak teraba karena ada sikatrik bekas trakeotomi dahulu. 3. Trakeotomi darurat Darurat karena penderita sesak, atau bahkan mungkin sudah sianosis. Sesak dikarenakan lumen sudah menutup jalan napas lebih dari 90%. Pada trakeostomi darurat, dapat dilakukan dengan memotong kartilago krikoid dan cincin pertama bila tidak ada bahaya dini yang dikenali oleh ahli bedah. Tindakan ini juga dilanjutkan dengan suatu insisi pada cincin ketiga dan keempat 4. Trakeotomi darurat dan sulit Kombinasi ini bisa terjadi pada kondisi yang sangat membahayakan jiwa penderita. 2.5 Menurut Usia 1. Trakeostomi pada dewasa : Bila pembedahan tidak mendesak maka trakeostomi dilakukan di ruang operasi. Pada tahap operasi pasien sadar. Insisi yang dilakukan sebaiknya horizontal. 2. Trakeostomi pada anak : Dalam pelaksanaan trakeostomi pada anak dan bayi, maka semakin kecil pasien, semakin diperlukan pula suatu ventilasi terkontrol dengan masker atau tuba. Jika jalan napas terkontrol,

maka suatu insisi horizontal akan memuaskan secara kosmetik, sedangkan diseksi garis tengah secara teliti adalah penting oleh karena pembuluhpembuluh besar terletak berdekatan.

Client must have adequate hearing, or esophageal speech will be difficult because they will use their mouth to shape the words as they hear them. Hearingimpaired clients may require hearing aids. Some clients have intestinal bloating as a result of swallowing air for esophageal speech. Antacids may help to repduce bloating sensations. Esophageal speech also helps to strengthen the respiratory and abdominal muscles, which aids in clearing secretions and in breathing. Pasien harus mempunyai pendengaran yang adekuat, atau pergerakan esofagus akan sulit dilakukan karena pasien akan menggunakan mulutnya untuk membentuk kata seperti mereka dengar. Kerusakan pendengaran pada pasien memerlukan pendengaran utama. Beberapa pasien mengalami penggelembungan usus akibat penelanan udara pada pergerakan esophagus. Antacids dalam membantu untuk mengurangi penggelembungan tersebut. Pergerakan esofagus juga membantu menguatkan otot system respirasi dan otot perut yang mengutamakan pembersihan secret dan pernapasan.

2.6 Mechanical Devices The client who cannot attain esophageal speech can use mechanical devices called electrolarynges. Most are battery-powered devices placed against the side of the neck or cheek. The air inside the mouth and throat is vibrated, and the client moves his or her lips and tongue as usual. Another external device (Cooper-Rand), also battery powered, consists of a plastic tube that is placed in the clients mouth and vibrates during speech. The quality of speech generated with these devices is robot-like and does not sound natural.

Pasien yang tidak bisa menggerakkan esofagusnya dapat menggunakan peralatan mekanik yang disebut elektrolaring. Most are battery powered deviced di tempatkan dengan berlawanan sisi pada leher. Udara yang terdapat di dalam mulut dan tenggorokan bergetar, dan pasien dapat menggerakkan bibir dan lidahnya seperti biasa. Perangkat eksternal yang lainnya (Cooper - Ramd) juga memakai baterai yang terbuat dari sebuah pipa plastik yang di tempatkan di mulut pasien dan bergetar selama pasien berbicara. Kualitas suara pasien terdengar seperti suara robot dan suaranya tidak terdengar normal. 2.7 Tracheoesophogeal Fistula A Tracheoesophogeal fistula (TEF) may be used if esophageal speech is ineffective and if the client meets strict criteria. A surgical fistula is created between the trachea and the esophagus either at the time of the laryngectomy or later. The surgeon places a catheter into the laryngectomy stoma and surgically creates a fistula into the esophagus. The catheter is usually sutured to the neck to prevent accidental dislodgment. After the fistula heals, a silicone prosthesis (e. g.., The Blom-singer prosthesis) is inserted in places of the catheter . The client covers the stoma and the opening of the prosthesis with a finger or opens and closes the opening with a special valve to divert air from the lungs, through the trachea into the esophagus, and out of the mouth. Lip and tongue movement, not the prosthesis itself, produces speech.

Sebuah tracheoesophageal fistula (TEF) dapat digunakan jika pergerakan esofagus tidak efektif. Sebuah surgical fistula di buat untuk di letakkan antara trakea dan esofagus pada saat laryngectomy. Ahli bedah menempatkan sebuah kateter pada laryngectomy dan ahli bedah menempatkan fistula pada esofagus. Kateter biasanya dipasang dengan di jahitkan di leher untuk mencegah lepasnya kateter tersebut. Setelah fistula sembuh a silicone prosthesis disisipkan pada kateter tadi. Pasien melindungi stoma dan bagian yang terbuka dari prosthesis dengan sebuah jari atau dengan sebuah katup special untuk mengalihkan udara dari paru paru melewati trakea, ke dalam esofagus dan keluar dari mulut bibir dan lidah bergerak, bukan prosthesis itu sendiri dan memproduksi kemampuan untuk bicara.

BAB 3 PENUTUP

Menurut lama penggunaannya, trakeostomi dibagi menjadi penggunaan permanen dan penggunaan sementara, sedangkan menurut letak insisinya, trakeostomi dibedakan letak yang tinggi dan letak yang rendah dan batas letak ini adalah cincin trakea ke tiga. Jika dibagi menurut waktu dilakukannya tindakan, maka trakeostomi dibagi dalam trakeostomi darurat dan segera dengan persiapan sarana sangat kurang dan trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara baik.

DAFTAR PUSTAKA

Boies.1994.Buku Ajar Penyakit THT.Jakarta:EGC Ignatavicius.1991.Medical Surgical Nursing Critical Thinking for Collaborative Care.United States of America

You might also like