You are on page 1of 12

MENGENAL TEORI KONSTRUKTIVISME oleh : Ahmad Faqih

Jan 2, '08 3:22 AM untuk

Pengantar Lebih dua dasa warsa terakhir ini, dunia pendidikan mendapat sumbangan pemikiran dari teori konstruktivisme sehingga banyak negara mengadakan perubahan-perubahan secara mendasar terhadap sistem dan praktik pendidikan mereka, bahkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pun tak luput dari pengaruh teori ini. Paul Suparno dalam Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan mencoba mengurai implikasi filsafat konstruktivisme dalam praktik pendidikan. Berikut ini adalah intisari buku tersebut, sekiranya bisa bermanfaat bagi para pendidik dan orangtua. Apakah itu? Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri (Von Glaserfeld). Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut. Jika behaviorisme menekankan ketrampilan atau tingkah laku sebagai tujuan pendidikan, sedangkan maturasionisme menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan usia, sementara konstruktivisme menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat siswa. Jika seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya, meskipun usianya tua tetap tidak akan berkembang pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu keaktivan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya. Jean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme, sedangkan teori pengetahuannya dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Sama halnya dengan setiap organisme harus beradaptasi secara fisik dengan lingkungan untuk dapat bertahan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secaca kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan cara itu, pengetahuan seseorang terbentuk dan selalu berkembang. Proses tersebut meliputi: 1. Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan rangsangan yang datang, dan terus berkembang.

2. Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya menambah atau merinci. 3. Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak cocok lagi. 4. Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.

Bermakna dan Menghafal Menurut Ausubel, ada dua macam proses belajar yakni belajar bermakna dan belajar menghafal. Belajar bermakna berarti informasi baru diasimilasikan dalam struktur pengertian lamanya. Belajar menghafal hanya perlu bila pembelajar mendapatkan fenomena atau informasi yang sama sekali baru dan belum ada hubungannya dalam struktur pengertian lamanya. Dengan cara demikian, pengetahuan pembelajar selalu diperbarui dan dikonstruksikan terus-menerus. Jelaslah bahwa teori belajar bermakna Ausubel bersifat konstruktif karena menekankan proses asimilasi dan asosiasi fenomena, pengalaman, dan fakta baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dimiliki siswa sebelumnya. Berlandaskan teori Piaget dan dipengaruhi filsafat sainsnya Toulmin yang mengatakan bahwa bagian terpenting dari pemahaman manusia adalah perkembangan konsep secara evolutif, dengan terus manusia berani mengubah ide-idenya, Posner dkk lantas mengembangkan teori belajar yang dikenal dengan teori perubahan konsep. Tahap pertama dalam perubahan konsep disebut asimilasi, yakni siswa menggunakan konsep yang sudah dimilikinya untuk menghadapi fenomena baru. Namun demikian, suatu ketika siswa dihadapkan fenomena baru yang tak bisa dipecahkan dengan pengetahuan lamanya, maka ia harus membuat perubahan konsep secara radikal, inilah yang disebut tahap akomodasi.

Tugas pendidikan adalah bagaimana dua tahap tersebut bisa terus berlangsung dengan terus memberi tantangan sehingga ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Praktik pendidikan yang bersifat hafalan seperti yang selama ini berlangsung jelas sudah tidak memadai lagi, bahkan bertentangan dengan hakikat pengetahuan dan proses belajar itu sendiri. Perubahan Dalam Pembelajaran Lahirnya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) telah mengubah paradigma baru dalam proses pembelajaran. Guru di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, tetapi merupakan bagian integral dalam sistem pembelajaran. Tuntutan terhadap pelayanan pembelajaran saat ini, banyak disebabkan oleh perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karenanya, konsep pembelajaran saat ini pun berubah dari guru mengajar menjadi siswa belajar. Asumsi pergeseran itu, bertitik tolak pada siswa yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan dirinya dalam memperkaya ilmu pengetahuan, sikap, dan keterampilan berdasarkan kompetensi yang ada pada kurikulum.

Pembelajaran sebagai hasil usaha siswa dan pola pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah merupakan suatu skema, yaitu aktivitas mental yang digunakan siswa sebagai bahan mentah bagi proses perenungan dan pengabstrakan. Setiap siswa, sebenarnya telah mempunyai satu aset ide dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif. Untuk membina siswa dalam menemukan pengetahuan baru, guru sebaiknya memerhatikan struktur kognitif yang ada pada mereka. Pada proses belajar mengajar, guru tidak lagi hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi siswa sendiri yang harus membangun pengetahuannya (knowledge is constructed by human). Mengapa? Karena pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap diterima dan diingat siswa. Siswa harus mengonstruksi pengetahuannya sendiri dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memunculkan ide-ide baru, memecahkan masalah, dan menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya. Dalam ide-ide konstruktif, biarkan siswa mengonstruksi sendiri pengetahuannya. Hal ini sejalan dengan esensi konstruktivisme bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Melihat konsep dasar tersebut, pembelajaran saat ini setidaknya menggeser paradigma dari pembelajaran yang berdasar kacamata guru menjadi pembelajaran yang berdasarkan kacamata siswa. Artinya, saat ini bukan bagaimana guru mengajar, tetapi bagaimana agar siswa dapat belajar. Pengertian belajar, menurut konstruktivisme, adalah perubahan proses mengonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman nyata yang dialami siswa sebagai hasil interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Pengetahuan yang mereka peroleh sebagai hasil interpretasi pengalaman yang disusun dalam pikirannya. Secara psikologis, tugas dan wewenang guru adalah mengetahui karakteristik siswa, memotivasi belajar, menyajikan bahan ajar, memilih metode belajar, dan mengatur kelas. Caranya? Biarkan mereka belajar sebagai proses mengonstruksi pengetahuan dan guru sebagai fasilitator dalam menerapkan kondisi yang kolaboratif. Siswa belajar dalam kelompok dan siswa tidak hanya belajar dari dirinya sendiri, tetapi belajar pula dari orang lain. Masalahnya sekarang, bagaimana penerapan konstruktivisme dalam pembelajaran di kelas. Guru akan banyak dituntut untuk mengubah pembelajaran yang menekankan pada kemampuan siswa berdasarkan pengalaman nyata. Model itu diharapkan mampu meminimalkan image bahwa siswa belajar hanya duduk, dengar, dan catat. Oleh karena itu, pelaksanaan pembelajaran di kelas dapat dilakukan sebagai berikut: Pertama, tetapkan topik yang akan dibahas. Temukan ide, opini dan perhatian siswa melalui wawancara, survei, atau interaktif pertanyaan siswa. Kedua, respons terhadap interaksi, dengan pikiran siswa melalui pembentukan jembatan yang dilengkapi tahapan bagi siswa untuk mengkonstruksi ide baru. Ketiga, tarik pikiran siswa dengan mendorong kreativitas melalui aktivitas yang mampu mendorong siswa untuk belajar mengambil risiko. Keempat, melakukan refleksi atau evaluasi diri. Setelah itu, taksirlah kemajuan belajar siswa melalui perubahan ide atau peningkatan hasil tes. Kemudian, aturlah diskusi kelompok dan berikan kebebasan kepada setiap siswa untuk membahas permasalahan utama. Berikan pula kesempatan untuk memaparkan hasil belajar kepada siswa lain melalui presentasi. Tugas kita (guru), mengevaluasi proses dan hasil belajar

siswa. Di sinilah peran guru sebagai fasilitator dan mediator dapat berfungsi. Selamat mencoba. tetap semangat!!
http://ahmadfaqih.multiply.com/journal/item/1/MENGENAL_TEORI_KONSTRUKTIVISME

TEORI BEHAVIORISME
TEORI BEHAVIORISME PRINSIP PRINSIP TEORI BEHAVIORISME 1. Obyek psikologi adalah tingkah laku 2. semua bentuk tingkah laku di kembalikan pada reflek 3. mementingkan pembentukan kebiasaan ADA DUA ALIRAN BESAR DALAM TEORI BEHAVIORISME 1. reflek bersarat dari rusia di antaranya PAVLOV dkk 2. behaviorisme dari amerika di antaranya THORNDIKE dkk A .Teori Belajar Behaviouristik Pengertian Adalah teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberirespon terhadap lingkungan.Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Kerangka Berfikir Teori Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan,mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahllaku adalah hasil belajar. Tokoh-tokoh Edward Lee Thorndike (1874-(((1874-1949) Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi anatara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut teori connectionism. Eksperimen yang dilakukan adalah dengan kucing yang dimasukkan pada sangkar tertutup yang apabila pintunya dapat dibuka secara otomatis bila knop di dalam sangkar disentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori Trial dan Error. Ciri-ciri belajar dengan Trial dan Error Yaitu : adanya aktivitas, ada berbagai respon terhadap berbagai situasi, adal eliminasai terhadap berbagai respon yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan. Thorndike menemukan hukum-hukum. 1 Hukum kesiapan (Law of Readiness)

Jika suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus maka pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosaiasi cenderung diperkuat. 2 Hukum latihan Semakin sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin kuat. 3 Hukum akibat Hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibat menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibanya tidak memuaskan. Ivan Petrovich Pavlo (1849-1936) dan Watson Pavlo mengadakan percobaan laboratories terhadap anjing. Dalam percobaan ini anjing di beri stimulus bersarat sehingga terjadi reaksi bersarat pada anjing. Contoh situasi percobaan tersebut pada manusia adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu tanpa disadari menyebabkan proses penandaan sesuatu terhadap bunyi-bunyian yang berbeda dari pedagang makan, bel masuk, dan antri di bank. Dari contoh tersebut diterapkan strategi Pavlo ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan. Sementara individu tidak sadar dikendalikan oleh stimulus dari luar. Belajar menurut teori ini adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang menimbulkan reaksi.Yang terpenting dalam belajar menurut teori ini adalah adanya latihan dan pengulangan. Kelemahan teori ini adalah belajar hanyalah terjadi secara otomatis keaktifan dan penentuan pribadi dihiraukan. Carlk L. Hull Reinforcement adalah faktor penting dalam belajar yang harus ada. Namun fungsi reinforcement bagi Hull lebih sebagai drive reduction daripada satisfied factor. Dalam mempelajari hubungan S-R yang diperlu dikaji adalah peranan dari intervening variable (atau yang juga dikenal sebagai unsur O (organisma). Faktor O adalah kondisi internal dan sesuatu yang disimpulkan (inferred), efeknya dapat dilihat pada faktor R yang berupa output. Skinner (1904-1990) Skinner menganggap reward dan rierforcement merupakan factor penting dalan belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal mengontrol tingkah laku. Pda teori ini guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. Operant conditing menjamin respon terhadap stimuli.Bila tidak menunjukkan stimuli maka guru tidak dapat membimbing siswa untuk mengarahkan tingkah lakunya. Guru memiliki peran dalam mengontrol dan mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga tercapai tujuan yang diinginkan Skinner membagi menjadi 2 jenis respon. 1. Responden Respon yang terjadi karena stimulus khusus misalnya Pavlo. 2. Operans Respon yang terjadi karena situasi random. Operans conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operans yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan. Prinsip belajar Skinners adalah :

1. Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan jika benar diberi penguat. 2. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul. 3. Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman. 4. Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer. 5. dalam pembelajaran digunakan shapping Robert Gagne (1916-2002) Teori gagne banyak dipakai untuk mendisain Software instructional (Program berupa Drill Tutorial). Kontribusi terbesar dari teori instructional Gagne adalah 9 kondisi instructional: 1. Gaining attention = mendapatkan perhatian 2. intorm learner of objectives = menginformasikan siswa mengenai tujuan yang akan dicapai 3. stimulate recall of prerequisite learning = stimulasi kemampuan dasar siswa untuk persiapan belajar. 4. Present new material = penyajian materi baru 5. Provide guidance = menyediakan pembimbingan 6. Elicit performance = memunculkan tindakan 7. Provide feedback about correctness = siap memberi umpan balik langsung terhadap hasil yang baik 8. Assess performance = Menilai hasil belajar yang ditunjukkan 9. Enhance retention and recall = meningkatkan proses penyimpanan memori dan mengingat. Gagne disebut sebagai modern noebehaviouristik mendorong guru untuk merencanakan pembelajaran agar suasana dan gaya belajar dapat dimodifikasi. Albert Bandura (1925-sekarang) Teori belajar Bandura adalah teori belajar social atau kognitif social serta efikasi diri yang menunjukkan pentingnya proses mengamati dan meniru perilaku, sikap dan emosi orang lain. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi tingkah laku timbale balik yang berkesinambungan antara kognitine perilaku dan pengaruh lingkungan. Factor-faktor yang berproses dalam observasi adalah perhatian, mengingat, produksi motorik, motivasi. Aplikasi teori behaviouristik terhadap pembelajaran siswa Guru yang menggunakan paradigma behaviourisme akan menyusun bahan pelajaran yang sudah siap sehingga tujuan npembelajaran yang dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak hanya memberi ceramah tetapi juga contoh-contoh. Bahan pelajaran disusun hierarki dari yang sederhana sampai yang kompleks. Hasil dari pembelajaran dapat diukur dan diamati, kesalahan dapat diperbaiki. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan Kekurangan dan kelebihan Metode ini sangat cocok untuk pemerolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsure kecepatan spontanitas kelenturan daya tahan dsb. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan peran orang tua. Kekurangan metode ini adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru bersifat mekanistis dan hanya berorientasi pada hasil. Murid dipandang pasif, murid hanya mendengarkan,

menghafal penjelasan guru sehingga guru sebagai sentral dan bersifat otoriter
//apadefinisinya.blogspot.com/2008/05/teori-behaviorisme.html

Clinical Reasoning dan Berpikir Kritis


Selasa, 26 Agustus 2008 12:55

Kemampuan Berpikir Kritis sebagai Jalan Mencapai Kompetensi Clinical Reasoning pada Pendidikan Kedokteran
Sudaryanto Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Pendahuluan Clinical reasoning merupakan proses berpikir untuk memberi makna dari suatu temuan klinik (Higgs J., Jones M.,1995; University of Washington, 2005). Setiap tindakan yang dilakukan seorang dokter seperti menentukan diagnosis, pilihan terapi, atau membuat prognosis merupakan hasil dari proses pemahaman terhadap fenomena masalah kesehatan. Dalam proses pemahaman yang terjadi pada manusia, bagian vital yang diperlukan adalah cara berpikir logis dan berpikir kritis (Jenicek M., 2006). Hal ini disebabkan banyaknya faktor yang harus menjadi pertimbangan seorang dokter sebelum membuat suatu keputusan klinik. Metode yang digunakan dalam clinical reasoning antara lain hipotetico-deductive, algoritma, pattern recognition serta gejala dan tanda patognomonis. Pada prakteknya proses berpikir heuristic lebih sering digunakan oleh karena pertimbangan efektivitas biaya dan waktu. Kelemahan dari proses berpikir heuristic adalah adanya kemungkinan terjadinya bias kognitif yang dapat mempengaruhi kesimpulan yang dihasilkan (Round A., 2000; Kee F, Bickle I., 2004). Proses berpikir seperti itu memerlukan pemahaman yang mendalam dari pengetahuan dan pengalaman terhadap masalah klinik. Berpikir kritis menjadi strategi yang diperlukan dalam penyimpangan proses berpikir. clinical reasoning untuk menghindari

Tulisan ini bertujuan memberikan pembahasan kritis tentang masalah clinical reasoning dilihat dari konteks berpikir kritis dan cara reasoning yang umum dilakukan. Dengan adanya pemahaman tentang pentingnya berpikir kritis pada clinical reasoning, dapat dijadikan landasan pentingnya pengajaran dengan menekankan pencapaian berpikir kritis pada pendidikan kedokteran. Format tulisan terdiri dari berpikir kritis, proses reasoning yang umum dan perbedaannya dengan clinical reasoning, hubungan antara reasoning, clinical reasoning, dan berpikir kritis. Berpikir kritis pada pendidikan tinggi Pengertian tentang berpikir kritis secara rinci disampaikan oleh Michael Scriven dan Richard Paul: Critical thinking is the intellectually disciplined process of actively and skillfully conceptualizing, applying, synthesizing, and/or evaluating information gathered from, or generated by, observation, experience, reflection, reasoning, or communication as a guide to belief and action. In its exemplary form, it is based on universal intellectual values that trancend subject matter divisions: clarity, accuracy, precision, consistancy, relevance, sound evidence, good reasons, depth, breadth, and fairness. It entails the examination of those structures or elements of thought implicit in all reasoning: purpose, problem, or questionate-issue, assumptions, concepts, empirical grounding; reasoning leading to conclusions, implication and consequences, objection from alternative viewpoints, and frame of reference (Jenicek M., 2006). Pengertian di atas menunjukkan bahwa berpikir kritis dapat diartikan sebagai proses juga sebagai suatu kemampuan. Proses dan kemampuan tersebut digunakan untuk memahami konsep, menerapkan, mensintesis dan mengevaluasi informasi yang didapat atau informasi yang dihasilkan. Tidak semua informasi yang diterima dapat dijadikan pengetahuan yang diyakini kebenarannya untuk dijadikan panduan dalam tindakan. Demikian halnya dengan informasi yang dihasilkan tidak selalu merupakan informasi yang benar. Informasi tersebut perlu dilakukan pengkajian melalui berbagai kriteria seperti kejelasan, ketelitian, ketepatan, reliabilitas, kemamputerapan, bukti-bukti lain yang mendukung, argumentasi yang digunakan dalam menyusun kesimpulan, kedalaman, keluasan, serta dipertimbangkan kewajarannya. Proses berpikir untuk menilai informasi tersebut dilakukan secara sistematis dengan menggunakan kriteria tersebut pada setiap bagian informasi seperti tujuannya, permasalahan atau pokok persoalan yang ingin dicarikan jalan keluarnya, asumsi dan konsep yang digunakan, dasar-dasar

empiris, dampak atau akibat yang dapat ditimbulkan, alternatif lain yang dapat digunakan. Keputusan atau kesimpulan yang dilakukan dengan berpikir kritis merupakan informasi terbaik yang telah melalui pengkajian dari berbagai sumber informasi termasuk mengkaji kesimpulan yang dihasilkan dengan memberikan bukti-bukti yang mendukung. Berpikir kritis telah menjadi salah satu kompetensi dari tujuan pendidikan perguruan tinggi di banyak negara. Pendidikan tinggi di Amerika menjadikan berpikir kritis sebagai salah satu sasaran yang ingin dicapai dan dimuat dalam Goals 2000: Educate America Act of 1990. (Duldt-Battey BW. , 1997; Phillips V., Bond C., 2004). Selama menempuh pendidikan, berpikir kritis dapat membantu siswa dalam meningkatkan pemahaman materi yang dipelajari dengan mengevaluasi secara kritis argumen pada buku teks, journal, teman diskusi, termasuk argumentasi dosen dalam kuliah (Bassham G., et al., 2005). Jadi berpikir kritis dalam pendidikan tinggi merupakan kompetensi yang akan dicapai serta alat yang diperlukan dalam mengkonstruksi pengetahuan. Reasoning dan Clinical Reasoning Reasoning merupakan kegiatan berpikir untuk menghasilkan suatu kesimpulan. Kesimpulan merupakan hasil suatu pemahaman yang didapatkan melalui persepsi seseorang terhadap suatu fenomena dan proses berpikir. Dalam proses berpikir tersebut seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor subyektif yaitu pertimbangan-pertmbangan yang menguntungkan dirinya, serta faktor obyektif yaitu nilai-nalai yang berlaku secara umum. Hal ini menyebabkan pemahaman manusia terhadap fenomena yang sama dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Kesimpulan yang berbeda dapat memberi dampak pada keputusan jenis tindakan yang berbeda (Jenicek M., 2006). Ada 2 metode yang digunakan agar suatu kesimpulan dapat diterima dengan akal sehat yaitu logika deduktif dan induktif. Kedua metode tersebut sering digunakan pada proses reasoning pada penelitian ilmiah untuk mendapatkan kesimpulan yang akurat dan relatif terbebas dari bias. Logika deduktif merupakan kesimpulan yang mengacu pada pendapat yang sifatnya umum ke khusus. Proses ini dimulai dari adanya hipotesis sebelumnya dan menganalisis atau membuktikan kesesuaian fenomena dengan hipotesis tersebut. Logika induktif adalah kesimpulan yang mengacu pada pendapat yang sifatnya khusus ke umum. Kesimpulan dibuat dari proses menggali data atau informasi yang akan dianalisis menjadi hipotesis (Higgs J, Jones M. 1995; Jenicek M., 2006). Kedua metode ini

Strategi reasoning yang umumnya digunakan untuk penelitian-penelitian ilmiah tersebut pada awalnya dianggap sama untuk semua proses dalam membuat kesimpulan termasuk pada clinical reasoning. Strategi clinical reasoning menggunakan logika induktif dan deduktif untuk membuat kesimpulan dikenal sebagai metode hipotetico-deductive (metode analitik). Strategi reasoning dimana data atau informasi yang diperoleh dari pasien digeneralisasikan menjadi hipotesis sebagai diagnosis banding. Hipotesis atau diagnosis banding yang dihasilkan digunakan sebagai dasar untuk menentukan data yang masih diperlukan untuk membedakan berbagai kemungkinan penyakit dalam hipotesisnya. Data yang dikumpulkan akan diintepretasikan untuk menetapkan diagnosis pasti (Norman G., 2005). Perbedaan proses clinical reasoning pada expert dan novice menunjukkan bahwa seorang expert tidak menggunakan metode reasoning yang umum yaitu logika induktif-deduktif. Seorang expert cenderung menggunakan jalan pintas (heuristic) sebagai srategi clinical reasoning seperti pattern recognition atau gejala-tanda klinis yang patognomonis. Strategi tersebut beresiko terjadinya bias kognitif, meskipun hasil diagnosis yang dilakukan expert menunjukkan keakuratan dan kecepatan yang lebih baik dibandingkan novice. Hal ini membuktikan bahwa clinical reasoning yang dilakukan oleh expert tidak tergantung pada proses reasoning yang dilakukan melainkan pada pemahaman terhadap materi pengetahuan (content specificity) dan cara yang digunakan untuk mengorganisasikan pengetahuan (Norman G., 2005). Seorang expert mengorganisasikan pengetahuan melalui tiga fase yaitu

Fase pertama adalah akumulasi pengetahuan dasar tentang penyakit seperti patofisiologi dan patogenesis.

Fase kedua adalah proses penggabungan pengetahuan dasar dengan kasus nyata melalui pengalaman menangani pasien yang disebut dengan illness script.

Fase ketiga adalah proses menggunakan script yang sesuai untuk menangani kasus baru. Pengetahuan dasar hanya digunakan ketika seorang dokter memerlukannya, misalnya ketika menghadapi kasus yang sulit. Pengalaman klinik akan menambah script-script yang dapat digunakan secara instan untuk menyelesaikan kasus yang sama.

Meskipun proses tersebut sesuai dengan kurikulum tradisional tetapi tidak adanya integrasi dari ketiga fase tersebut menyebabkan seorang expert mengetahui basic science tetapi sulit untuk menjelaskan

mekanismenya. Hal ini dapat terjadi oleh karena pengetahuan dasar yang tidak diintegrasikan dalam jangka waktu yang lama mengalami enkapsulasi (Schmidt H G, Boshuizen H., 1993; Norman G., 2005). Teori script menyatakan bahwa hipotesis yang dihasilkan pada proses clinical reasoning merupakan proses aktivasi script, sedangkan testing hipotesis merupakan pemrosesan dari script. Clinical reasoning merupakan proses untuk menemukan, menentukan, dan melihat kembali kebenaran dari script yang sudah dimiliki. Proses tersebut merupakan gabungan antara metode analitik-non analitik yang dapat menghasilkan diagnosis lebih baik dibandingkan dengan metode analitik saja. (Schmidt H G, Boshuizen H., 1993; Eva K.W., 2004). Hubungan reasoning, clinical reasoning dan berpikir kritis

Pada banyak kondisi klinik, seorang dokter dituntut untuk membuat keputusan secara cepat dan akurat. Strategi reasoning menggunakan metode yang umum dilakukan dalam penelitian ilmiah seperti hipothetico-deductif memerlukan waktu yang lama. Dalam praktek seorang dokter cenderung menggunakan strategi non-analitik dalam clinical reasoning. Strategi non analitik yang digunakan oleh dokter dalam clinical reasoning memungkinkan terjadinya bias kognitif. Cara mengurangi terjadinya bias kognitif adalah dengan mengevaluasi kesimpulan untuk memberikan argumentasi berdasarkan buktibukti yang sesuai. Proses tersebut merupakan kemampuan berpikir kritis. Strategi clinical reasoning juga memerlukan pemahaman terhadap materi pengetahuan kedokteran, cara pengorganisasian pengetahuan, serta pengalaman menggunakan pengetahuan. Proses membangun informasi merupakan proses aktif menggunakan informasi dan mengevaluasi hasil kesimpulan yang dibuat terhadap permasalahan yang dihadapi. Proses tersebut memerlukan berbagai macam ketrampilan seperti:

Ketrampilan interpretasi untuk memahami argumentasi dan pendapat orang lain Ketrampilan untuk mengevaluasi secara kritis argumentasi dan pendapat Ketrampilan untuk mengembangkan dan mempertahankan argumentasi yang dibuat dengan landasan yang kuat.

Jadi clinical reasoning merupakan kemampuan utama yag harus dimiliki seorang dokter yang memerlukan kemampuan berpikir kritis baik dalam proses mengkonstruksi pengetahuan maupun maupun proses pengambilan keputusan terhadap pasien. Dalam pendidikan kedokteran berpikir kritis menjadi alat untuk memperoleh pemahaman materi pengetahuan serta kompetensi yang dikembangkan agar lulusannya dapat bekerja dengan baik. Kesimpulan Clinical reasoning merupakan salah satu kompetensi utama pendidikan dokter. Selama proses pendidikan, strategi hipothetico-deductif sudah lama digunakan agar mahasiswa mengetahui alur berpikir dalam proses pengmbilan keputusan klinik. Pada praktek strategi tersebut jarang dilakukan kecuali pada kasus-kasus sulit atau jarang ditemui. Penelitian tentang pentingnya pemahaman materi pengetahuan dan cara pengorganisasian pengetahuan memerlukan kemampuan berpikir kritis untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan sebagai landasan ketika seseorang menjalani profesinya. Proses akumulasi pengetahuan menjadi illness script seharusnya dilakukan sejak mahasiswa mengkonstruksi pengetahuan kedokteran. Pendidikan kedokteran perlu menyadari bahwa pemahaman pengetahuan yang sebatas menghapalkan fakta, memberikan ketrampilan memecahkan masalah menggunakan sudut pandang yang terbatas sudah saatnya ditinjau ulang. Strategi pengajaran seharusnya menggunakan metode yang memberi kesempatas siswa memahami secara utuh tentang materi pengetahuan menggunakan pendekatan berpikir kritis. Dengan meningkatkan kemampuan berpikir kritis selama belajar di fakultas kedokteran berarti pendidikan kedokteran telah berperan dalam memberikan jaminan pelayanan kesehatan terhadap pasien, serta memberikan jaminan kepada lulusannya agar terhindar dari kesalahan akibat adanya penyimpangan dalam proses berpikir

You might also like