You are on page 1of 8

Rinitis Difteri(1) Etiologi Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.

Gambaran klinis (anamnesis) Gejala rinitis difteri akut adalah demam, toksemia, limfadenitis, paralisis, sekret hidung bercampur darah, ditemukan pseudomembran putih yang mudah berdarah, terdapat krusta coklat di nares dan kavum nasi. Sedangkan rinitis difteri kronik gejalanya lebih ringan. Terapi Terapi rinitis difteri kronis adalah ADS (anti difteri serum), penisilin lokal dan intramuskuler.

Pengobatan Dan Penatalaksanaan. Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. Pengobatan umum Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. (3) B. Pengobatan Khusus 1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa meningkat sampai 30%. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian Difteria Hidung 20.000 Intramuscular Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena Difteria Faring 40.000 Intramuscular / Intravena Difteria Laring 40.000 Intramuscular / Intravena Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan

terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness) (1) 2. Antibiotik Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring. Dosis : Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-). Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari. Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam 4 dosis. Amoksisilin. Rifampisin. Klindamisin. Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi. (8) 3. Kortikosteroid Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.

Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari. C. Pengobatan Penyulit Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi. D. Pengobatan Karier Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/ edenoidektomi. (4) Pengobatan Terhadap Kontak Difteria Biakan (-) Uji Schick (-) Tindakan Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria (+) (-) Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu (+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI (-) (+) Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunisasi

Difteri Penyebab Gejala Corynebacterium difteria Demam, toksemia,

Sifilis T Pallidum Sama dgn rinitis akut lain.

TB M Tuberculosis Hidung tersumbat,

limfadenitis, paralisis Ingus bercampur darah Pseudomembran putih, krusta coklat di nares dan cavum nasi Terapi Isolasi ADS, penisilin (lokal/IM)

Bercak pada mukosa, gumma/ ulkus Sekret mukopurulen berbau + krusta, perforasi septum/ hidung pelana

Sekret mukopurulen, krusta BTA (+)

Penisilin, obat cuci hidung

Obat anti TB Obat cuci hidung

2.4. Diagnosis (anamnesis) Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita.(3) Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C diphtheriae dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo(marmot) dan in-vitro (tes Elek). (1) Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabuabuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila diangkat terjadi perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula. (4) 2.5. Diagnosis Banding Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues congenital). Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan oleh streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononucleosis infeksiosa, tonsillitis

membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi. Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat menyerupai infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda asing dalam laring. Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus. (1)

2.3.1.1. Difteri Hidung Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat. (4)

2.3. Manifestasi Klinis Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya dating untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria. (3)

C. a.

Tanda dan gejala Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derjat Celcius,

b. c. d. e. f.

Batuk dan pilek yang ringan. Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan Mual, muntah , sakit kepala. Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu abuan kotor. Kaku leher

E.

Penatalaksanaan

Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik. Pengobatan spesifik untuk difteri : 1. ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya

harus dilakukan uji kulit dan mata. a. TEST ADS

ADS 0,05 CC murni dioplos dengan aquades 1 CC. Diberikan 0,05 CC intracutan Tunggu 15 menit indurasi dengan garis tengah 1 cm (+) b. CARA PEMBERIAN

Test Positif BESREDKA Test Negatif secara DRIP/IV c. Drip/IV

200 CC cairan D5% 0,225 salin. Ditambah ADS sesuai kebutuhan. Diberikan selama 4 sampai 6 jam observasi gejala cardinal. B. Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas demam.

Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.

C.

Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat

membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.

F.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebakterium difteri (Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999). Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997). Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan di bawah membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood ( Rampengan, 1993 ). Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena hemolisis sel darah merah (Rampengan, 1993 ) Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan protein (Rampengan, 1993 ). Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin.

You might also like