You are on page 1of 20

REFERAT PROLAPSUS REKTUM

2.1 Definisi Prolaps rektum adalah keluarnya mukosa maupun seluruh tebal dinding rektum melewati anus. Apabila yang keluar tersebut terdiri dari semua lapisan dinding rektum, prolaps ini disebut prosidensia. 2.2 Anatomi Kanalis ani berasal dari invaginasi ektoderm, sedang rektum berasal dari entoderm. Karena perbedaan asal ini, maka terdapat perbedaan pula pada epitel pelapisnya, vaskularisasinya, inervasi, dan drainase limfatiknya. Lumen rektum dilapisi mukosa granduler usus sedangkan kanalis ani dilapisi epitel skuamosa stratifikatum lanjutan kulit luar. Daerah batas antara rektum dan kanalis ani disebut Anorectal Junction ditandai oleh linea pectinea/linea dentata yang terdiri dari sel-sel transisional. Dari linea ini ke arah rektum ada kolumna rektalis (Morgagni), dengan diantaranya terdapat sinus rektalis yang berakhir di kaudal sebagai vulva rektalis. Setinggi linea dentata ini ada crypta dan muara anal. Pada kanalis ani kira-kira 4 cm yang dibedakan menjadi anatomical anal canal mulai anal verge sampai ke linea dentata dan surgical anal canal untuk kepentingan klinis yang dimulai dari analverge samai cincin anorektal yang merupakan batas paling bawah dari otot puborektalis yang dapat diraba pada waktu pemeriksaan rektal touche. Dasar panggul dibentuk oleh otot levator ani yang dibentuk oleh otot-otot pubococcygeus, ileococygeus dan puborektalis. Otot-otot yang berfungsi mengatur mekanisme kontinensia adalah muskulus puborektalis, sfingter ani eksternus (otot lurik), dan sfingter ani internus (otot polos). Batas antara sfingter ani eksternus dan internus disebut garis Hilton. Otot yang memegang peranan

terpenting dalam mengatur kontinensia adalah otot-otot puborektalis. Bila m.puborektalis tersebut terputus, dapat mengakibatkan terjadinya inkontinensia.

Gambar 1. Anatomi Rektum Muskulus puborektalis yang merupakan bagian m.levator ani membentuk jerat yang melingkari rektum sehingga berfungsi sebagai penyangga. Rektum juga ditopang oleh fascia pelvis parietalis (fascia Waldeyer), ligamentum laterale kanan dan kiri yang ditembus oleh arteri atau vena hemorrhoidales media dan mesorektum.Ligamentum dan mesorektum memfiksasi rektum ke permukaan anterior sakrum. Batas-batas kanalis ani, ke kranial berbatasan dengan rektum disebut cincin anorektal, ke kaudal dengan permukaan kulit disebut garis anorektal, ke lateral dengan fossa ischiorectalis, ke posterior dengan os koksigeus, ke anterior pada laki-laki dengan sentral perineum, bulbus uretra dan batas posterior

diafragma urogenital (ligamentum triangulare). Sedang pada wanita korpus perineal, diafragma urogenitalis dan bagian paling bawah dari dinding vagina posterior. Cincin anorektal dibentuk oleh m.puborektalis yang merupakan bagian serabut m.levator ani mengelilingi bagian bawah anus bersama m.sfingter ani eksterna. Vaskularisasi kanal anal berasal dari arteri hemorrhoidalis superior cabang dari arteri mesenterika inferior, arteri hemorrhoidalis media cabang dari arteri iliaca eksterna, dan arteri hemorrhoidalis inferior cabang dari arteri pudenda. Aliran vena di atas anorektal junction melalui sistem porta sedangkan kanalis ani langsung ke vena cava inferior. Inervasi kanalis ani diatur oleh saraf somatik sehingga sangat sensitif terhadap rasa sakit, sedangkan rektum diatur oleh saraf simpatis dari pleksus mesenterika inferior dan nervus presakralis (hipogastrika) yang berasal dari L2,3,4 dan parasimpatis dari S2,3,4.

Gambar 2. Prolaps Rektum3 2.3 Epidemiologi Insiden prolaps rektum pada pria lebih rendah daripada wanita dengan perbandingan 1: 6. Dimana kejadian pada wanita terdiri dari 80-90% dari total kasus. Berbeda dari wanita, kejadian prolaps rektum pada pria tidak meningkat seiring dengan usia dan tetap konstan sepanjang hidup.

Meskipun dapat terjadi pada segala usia, insiden puncak diamati pada usia dekade keempat dan ketujuh kehidupan. Pada anak-anak biasanya terjadi pada usia di bawah 3 tahun, dengan puncak insidens pada tahun pertama kehidupan. Pada populasi anak kejadian prolaps rektum merata antara laki-laki dan perempuan. 2.4 Etiologi Beberapa faktor yang diperkirakan berperan sebagai etiologi terjadinya prolaps rektum antara lain: 1. Peningkatan tekanan intra abdomen seperti yang terjadi pada kostipasi, diare, BPH, PPOK, pertusis; 2. Gangguan pada dasar pelvis; 3. Infeksi parasit seperti amubiasis, scistosomiasis; 4. Struktur anatomi, seperti kelemahan otot penyangga rektum, redundan rektosigmoid 5. Kelainan neurologis akibat trauma pelvis, sindrom cauda ekuina, tumor spinal, multipel sklerosis. 2.5 Patofisisologi Patofisiologi prolaps rektum tidak sepenuhnya dipahami. Namun terdapat 2 teori utama yang menjadi dasar mekanisme terjadinya prolaps rektum. Teori pertama mengatakan bahwa prolaps rektum merupakan pergeseran hernia akibat defek pada fasia panggul. Teori kedua menyatakan bahwa prolaps rektum dimulai sebagai intususepsi internal yang melingkar dari rektum mulai 6-8 cm proksimal ambang anal. Seiring dengan waktu peregangan ini berkembang menjadi prolaps dari seluruh tebal dinding rektum, meskipun tahap ini tidak selalu dilampaui oleh setiap pasien. Patofisiologi dan etiologi prolaps mukosa kemungkinan besar berbeda dengan prolaps seluruh tebal dinding rektum dan intususepsi internal. Prolaps mukosa terjadi ketika jaringan ikat pada mukosa dubur melonggar dan tertarik,

sehingga memungkinkan jaringan prolaps melalui anus. Hal ini sering terjadi sebagai kelanjutan dari penyakit hemoroid yang lama dan mengalami hal serupa. Seringkali, prolaps dimulai dengan prolaps internal dinding rektum anterior dan berkembang menjadi prolaps seluruh tebal dinding rektum. 2.6 Gejala dan tanda Pasien dengan prolaps rektum mengeluhkan adanya massa yang menonjol melalui anus. Awalnya, massa menonjol dari anus setelah buang air besar dan biasanya tertarik kembali ketika pasien berdiri. Seiring proses penyakit berlangsung, massa menonjol lebih sering, terutama ketika mengedan dan manuver Valsava seperti bersin atau batuk. Akhirnya, prolaps terjadi saat melakukan kegiatan rutin sehari-hari seperti berjalan dan dapat berkembang menjadi prolaps kontinu. Seiring perkembangan penyakit, rektum tidak lagi tertarik spontan, dan pasien mungkin harus secara manual mengembalikannya. Kondisi ini kemudian dapat berkembang ke titik di mana prolaps terjadi segera setelah dikembalikan ke posisinya dan prolaps kontinu. Terkadang rektum menjadi terjepit dan pasien tidak dapat mengembalikan rektum. Keluhan nyeri bervariasi. Sepuluh sampai 25% dari pasien juga mengalami prolaps rahim atau kandung kemih, dan 35% mungkin mengalami sistokel terkait. Konstipasi terjadi pada 15-65% kasus. Dapat juga terjadi perdarahan rektum. Selain massa menonjol dari anus, pasien sering melaporkan buang air besar yang tidak dapat ditahan (inkntinensia alvi) pada sekitar 28-88% pasien. Inkontinensia terjadi karena 2 alasan. Pertama, anus melebar dan membentang oleh rektum menonjol, mengganggu fungsi sfingter anal. Kedua, mukosa rektum yang berhubungan dengan lingkungan dan terus-menerus mengeluarkan lendir, sehingga membuat pasien merasa basah dan inkontinensia. Mengetahui riwayat inkontinensia, konstipasi, atau keduanya penting karena berperan dalam menentukan prosedur bedah yang tepat.

2.7 Pemeriksaan fisik Tanda-tanda fisik dari prolaps rektum adalah sebagai berikut: Penonjolan mukosa rektum Penebalan konsentris cincin mukosa Terlihat adanya sulkus antara lubang anus dan rektum Ulkus rektum soliter (10-25%) Penurunan tonus sfingter anal Prolaps rektum adalah diagnosis klinis dan harus ditegakkan saat pasien datang berobat. Pasien diminta untuk duduk di toilet ataupun berbaring miring dan mengedan, lalu periksa adanya prolaps rektum. Jika tidak prolaps hanya dengan mengedan, pemberian enema fosfat biasanya menimbulkan prolaps. Pada anak-anak, gliserin supositoria dapat digunakan sebagai pengganti. Massa yang menonjol harus menunjukkan cincin konsentris dari mukosa. Dalam kasus prolaps kecil, kadang-kadang sulit untuk membedakan antara prolaps mukosa dan prolaps seluruh tebal mukosa. Prolaps mukosa biasanya menunjukkan lipatan radial bukan berupa cincin konsentris. Jika keduanya tidak dapat dibedakan secara klinis, pemeriksaan dapat dibantu dengan defecogram dalam membedakan ini 2 kondisi. Defecogram adalah tidak diperlukan pada prolaps rektum yang jelas. 2.8 Pemeriksaan penunjang Laboratorium Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan prolaps rektum bersifat tidak spesifik dan bermanfaat jika pasien memiliki preferensi usia dan komorbiditas. Tidak ada pemeriksaan lab khusus yang membantu dalam evaluasi prolaps rektum itu sendiri. Pertimbangkan pemeriksaan feses dan kultur agen infeksius, khususnya pada pasien anak. Pemeriksaan imaging 1. Barium Enema dan Kolonoskopi

Sebelum memulai pengobatan bedah prolaps rektum, penting untuk mengevaluasi seluruh usus besar untuk mengecualikan setiap lesi kolon lainnya yang harus ditangani secara simultan. Kehadiran lesi tersebut dapat mempengaruhi pilihan prosedur yang akan dilakukan. Evaluasi usus besar dapat dicapai dengan cara kolonoskopi atau enema barium. Barium enema adalah indikator yang lebih baik dari redundansi dari usus besar. 2. Video Defekografi Defecography Video digunakan untuk membantu prolaps dokumen internal atau untuk membedakan prolaps rektum dari prolaps mukosa jika tidak jelas secara klinis. Hal ini tidak diperlukan untuk prolaps fullthickness dubur secara klinis didiagnosis. Defecography dapat mengungkapkan intususepsi dari usus proksimal atau obstruksi panggul. Radiopak materi (biasanya pasta barium) yang ditanamkan ke dalam rektum, dan pasien diminta untuk buang air besar di toilet radiolusen. Spot film dan rekaman video yang dibuat dan dapat digunakan untuk menentukan apakah intussuscepts rektum pada buang air besar. 3. Rigid Proctosigmoidoscopy Proctosigmoidoscopy kaku harus dilakukan untuk menilai rektum untuk lesi tambahan, terutama ulkus rektal soliter. Borok hadir di sekitar 1025% dari pasien dengan prolaps baik internal maupun full-thickness. Jika ulserasi hadir, daerah muncul sebagai ulkus tunggal atau sebagai borok beberapa di dinding rektum anterior. Tepi sering menumpuk, dan daerah dapat berdarah. Biopsi harus dilakukan untuk memastikan diagnosis dan untuk mengecualikan patologi lainnya. Ulkus rektal soliter biasanya dapat diidentifikasi oleh ahli patologi yang berpengalaman. Rektum prolaps mungkin ulserasi mukosa tetapi sebaliknya histologis normal.

Tes lainnya Anal-rektal manometri kadang-kadang digunakan untuk mengevaluasi otot sfingter anal. Di hampir semua pasien, hasil menunjukkan penurunan tekanan beristirahat di sfingter internal dan tidak adanya refleks penghambatan anorektal. Arti penting dari hasil ini tidak jelas, dan kebanyakan ahli bedah tidak menggunakan tes ini. Penelitian penanda Sitz kadang-kadang digunakan untuk mengukur perjalanan kolon pada pasien dengan konstipasi dan prolaps rektum untuk membantu menentukan kebutuhan untuk reseksi kolon. 2.9 Penatalaksanaan 2.9.1 Medikamentosa Meskipun tidak ada pengobatan medikamentosa untuk prolaps rektum, prolaps internal dapat diterapi terlebih dahulu dengan agen bulking, pelunak tinja, dan supositoria atau enema. 2.9.2 Non-medikamentosa Pada permulaan, saat prolaps masih kecil, penderita diberi diet berserat untuk memperlancar defekasi. Kadang dianjurkan latihan otot dasar panggul. Pasien diinstruksikan untuk merangsang buang air besar di pagi hari dan menghindari dorongan untuk buang air saat sisa hari karena rasa penuh yang mereka rasakan sebenarnya adalah intususepsi rektum proksimal ke arah distal rektum. Dengan waktu, dorongan untuk buang air besar akan berkurang begitu juga dengan intususepsi. 2.9.3 Pembedahan Bila prolaps semakin besar dan makin sukar untuk melakukan reposisi, akibat adanya udem, sehinga makin besar dan sama sekali tidak dapat dimasukkan lagi karena rangsangan dan bendungan mukus serta keluarnya

darah. Dimana sfingter ani menjadi longgar dan hipotonik sehingga terjadi inkontinensia alvi, penanganan prolaps rektum dilakukan melalui pembedahan. Kontraindikasi terhadap koreksi bedah prolaps rektum didasarkan pada komorbiditas pasien dan kemampuannya untuk mentoleransi pembedahan. Terdapat dua jenis operasi untuk prolaps rektum: abdominal dan perineum. Prosedur abdominal memiliki tingkat kekambuhan lebih rendah dan menjaga kapasitas penyimpanan rektum tetapi mempunyai risiko lebih dan memiliki insiden konstipasi yang lebih tinggi pasca operasi. Prosedur perineum tidak berisiko terjadinya anastomosis namun mengurangi rektum, sehingga kapasitas penyimpanan rektum, namun memiliki angka kekambuhan lebih tinggi. Prosedur abdominal umumnya lebih disukai dalam pasien aktif yang berisiko rendah yaitu usia di bawah 50 dan pada mereka yang memerlukan prosedur abdomial lain secara bersamaan. Pembedahan mana yang terbaik masih menjadi kontroversi karena masingmasing memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pendekatan laparoskopi untuk memperbaiki prolaps rektum telah menjadi semakin populer. Pendekatan ini telah mengintensifkan kontroversi karena terdapat penurunan angka morbiditas dari untuk prolaps rektum pada kandidat yang tepat. Hasil jangka panjang dari pendekatan laparoskopi masih diteliti. Inkarserasi prolaps rektum jarang terjadi. Terlepas dari jenis prosedur yang direncanakan, persiapan usus penuh mekanik dan antibiotik harus dilakukan sebelum operasi. Antibiotik intravena (IV) harus selalu diberikan sebelum operasi jika suatu bahan asing akan ditanamkan, administrasi pascaoperasi antibiotik juga dapat dipertimbangkan. 2.9.3.1 Prosedur Bedah Abdominal Sebagaimana telah disebutkan di atas, perbaikan abdominal biasanya dilakukan pada pasien yang lebih muda, sehat dengan yang harapan hidup lebih panjang. Untuk pasien ini, prosedur dengan tingkat kekambuhan lebih rendah namun dengan morbiditas yang lebih tinggi. Prosedur abdominal pada pasien dengan intususepsi parah atau prolaps rektum dengan fungsi sfingter normal berupa reseksi sigmoid dengan atau

tanpa rectopexy dan rectopexy saja. Kedua operasi, baik rectopexy atau reseksi membutuhkan mobilisasi lengkap dari seluruh rektum ke lantai panggul untuk menghindari intususepsi distal. Rectopexy bertujuan untuk mengamankan rektum ke cekungan sakral. Ini dapat dilakukan dengan jahitan atau bahan prostetik seperti polypropylene mesh (Marlex), Gore-tex, atau asam polyglycolic atau mesh polyglactin (Dexon atau Vicryl). Banyak penelitian telah menunjukkan tingkat komplikasi yang lebih tinggi dengan bahan prostetik, tingkat kontinensia lebih rendah, dan tidak ada perbedaan dalam angka kekambuhan, menjadikan suture rectopexy lebih dianjurkan. Suture rectopexy dilakukan dengan jahitan tak diserap, menempelkan rektum ke cekungan sakral. Jahitan ditempatkan melalui ligamen lateral atau melalui propria muskularis dari rektum. Prosedur bedah rectopexy laparoskopi bedah telah dikembangkan dan memiliki hasil sebaik prosedur abdominal terbuka dan berhubungan dengan lama waktu rawat inap lebih pendek dan kenyamanan pasien yang lebih besar. Anterior reseksi Pasien dengan prolaps rektum dan konstipasi sering memiliki usus berlebihan, dan beberapa ahli bedah percaya bahwa melalui reseksi ini konstipasi membaik dan mengurangi kambuhnya prolaps rektum. Dalam reseksi anterior untuk prolaps rektum, rektum yang dimobilisasi untuk tingkat ligamen lateral, dan usus berlebihan (sigmoid) direseksi. Usus besar kiri kemudian dibuatkan anastomosis ke atas rektum. Anastomosis ini dilakukan tanpa kelemahan pada kolon sehingga rektum tetap pada posisinya dan tidak terjadi prolaps lagi. Saat ini, ahli bedah kolorektal sedikit melakukan prosedur ini, karena tidak berpikir untuk mengatasi kelainan anatomi seperti fiksasi rektum yang lemah. Marlex rectopexy Dalam rectopexy Marlex atau disebut juga prosedur Ripstein, seluruh bagian rektum dimobilisasi ke tulang ekor posterior, bagian lateral ligamen lateralis, dan bagian anterior dari cul-de-sac anterior. Bahan yang tak

10

terserap, seperti Marlex mesh atau spons Ivalon, difiksasi pada fasia presakral. Rektum kemudian ditempatkan dalam keadaan tegang, dan material sebagian melilit rektum untuk tetap dalam posisinya. Untuk mencegah obstruksi melingkar, dinding anterior rektum tidak tercakup dengan spons atau mesh. Refleksi peritoneal kemudian tertutup untuk menutupi benda asing. Mesh Marlex atau spons menyebabkan reaksi inflamasi yang intens terbentuk jaringan parut dan memfiksasi rektum pada posisinya. Prosedur ini tidak boleh dilakukan pada pasien yang memiliki konstipasi signifikan atau kolon sigmoid yang sangat berlebihan, karena gejala cenderung memburuk. Jika rektum yang sengaja masuk selama mobilisasi, bahan asing tidak boleh ditanamkan, karena risiko infeksi. Sementara laju erosi Marlex ke dalam rektum rendah, manajemen sangat sulit, dan, untuk alasan ini, banyak ahli bedah lebih memilih reseksi dengan suture rectopexy untuk fiksasi Marlex.

Gambar 3. Marlex Rectopexy Suture rectopexy

11

Suture rectopexy pada dasarnya sama dengan Marlex rectopexy, kecuali bahwa rektum difiksasi ke fasia presakral dengan bahan jahitan bukan dengan mesh atau spons Ivalon. Reseksi rectopexy Sebuah reseksi dengan rectopexy disebut juga prosedur FrykmanGoldberg merupakan kombinasi dari reseksi anterior dan rectopexy Marlex, yang merupakan pilihan yang baik bagi pasien dengan konstipasi yang signifikan. Rektum benar-benar dimobilisasi ke tulang ekor posterior, pada ligamen lateral yang lateral, dan ke cul-de-sac anterior.

Gambar 4. Fiksasi Mesh pada Promontorium Sakrum. Kolon sigmoid yang berlebihan kemudian direseksi, dan usus sisanya dibuatkan anastomosis ke atas rektum. Ligamen lateral (atau fasia rektum) kemudian dijahit ke fasia presakral dengan rektum dibuat menjadi tegang, yang menjaga rektum pada posisinya dan mencegah kembalinya prolaps rektum. Rectopexy ini dicapai dengan jahitan bukan mesh nonabsorbable karena usus dibuka untuk anastomosis dan mesh dapat menjadi terkontaminasi.

12

Gambar 5. Fiksasi Mesh pada Dinding Rektal. 2.9.3.2 Prosedur Bedah Perineum Prosedur perineum memiliki tingkat kekambuhan lebih tinggi tetapi morbiditas yang lebih rendah dan sering dilakukan pada orang tua atau pada pasien dengan kontraindikasi anestesi umum. Anal Encirclement Pada prosedur anal encirclement, sebuah band nonabsorbable ditempatkan subkutan di sekitar anus. Tujuan dari prosedur ini adalah untuk menjaga rektum dari prolaps dengan membatasi ukuran lumen anus. Meskipun prosedur awalnya menggunakan kabel, sekarang dipergunakan bahan lain seperti, Silastic Tube dan bahan jahit tak terserap sebagai gantinya. Anal encirclement efektif dalam mencegah mekanis rektum dari prolaps, tetapi tidak mengobati gangguan yang mendasarinya. Komplikasi dari prosedur ini meliputi obstruksi dengan impaksi tinja dan erosi dari kawat dengan infeksi. Anal encirclement tidak lagi umum dilakukan, biasanya hanya disediakan untuk pasien yang paling lemah dan untuk pasien dengan risiko bedah tertinggi, di antaranya dengan tujuan paliatif. Anal encirclement membawa risiko impaksi tinja yang sangat tinggi.

13

Reseksi Delorme Dalam reseksi Delorme mukosa, sayatan melingkar dibuat melalui mukosa prolaps rektum dekat garis dentate, dengan elektrokauter tersebut, mukosa tersebut dilucuti dari anus ke puncak prolaps dan dipotong. Otot prolaps gundul kemudian lipit dengan jahitan dan reefed up seperti akordion, dan ujung-ujungnya transeksi dari mukosa dijahit bersama-sama. Prosedur ini sering digunakan untuk prolapses kecil tetapi juga dapat digunakan untuk yang besar.

Gambar 6. Prosedur Delorme.3 Altemeier Perineum Rectosigmoidectomy Dalam prosedur rectosigmoidectomy Altemeier perineal, sayatan tebal penuh melingkar dibuat dalam rektum prolaps sekitar 1-2 cm dari garis dentate. Mesenterium usus prolaps diligasi sedikit demi sedikit sampai tidak ada usus berlebihan lagi yang dapat ditarik ke bawah. Usus transeksi dan baik dijahit tangan ke lubang anus distal atau dijepit dengan stapler melingkar. Sebelum anastomosis, beberapa ahli bedah uji coba penerapan otot levator ani anterior, yang dapat membantu meningkatkan kontinensia.

14

Gambar 7. Prosedur Alteimer. Reseksi Stapled Perineum Prolaps Prosedur ini dilakukan dengan menarik keluar prolaps sepenuhnya pada pukul 3 dan 9, dalam posisi litotomi, memotong dengan arah aksial terbuka dengan stapler linear. Reseksi dilakukan dengan stapler Transtar Contour melengkung.

15

Gambar 8. Reseksi Stapled Perineum Prolaps. Setelah prosedur abdominal untuk prolaps rektum, pasien biasanya mengalami nyeri dan ileus insisional. Cairan IV dipertahankan sampai cairan yang dimulai dengan kembalinya fungsi usus atau sebelumnya, tergantung pada apakah suatu anastomosis telah dilakukan. Sebagai meningkatkan fungsi usus, diet dapat maju. Pasien dengan anastomosis yang diselenggarakan pada diet rendah serat selama 2-3 minggu dan kemudian mulai pada suplemen serat untuk membantu mencegah kembalinya konstipasi dan mengejan. Pasien tanpa anastomosis yang dapat dimulai pada diet tinggi serat cepat. Sebuah kateter Foley ditempatkan perioperatif dan dibiarkan di tempat selama beberapa hari karena diseksi rektum dapat menghambat fungsi kandung kemih. Lama waktu rawat inap di rumah sakit rata-rata 3-7 hari dan biasanya tergantung pada kembalinya fungsi usus dan pengendalian rasa sakit insisional. Pasien yang telah menjalani prosedur perineum melakukannya dengan baik pasca operasi, dengan rasa sakit yang minimal dan tinggal di rumah sakit singkat. Awalnya, mereka menerima apa-apa melalui mulut selama kurang lebih 12-24 jam. Setelah periode ini, cairan yang dilembagakan, dan pasien

16

dengan cepat maju ke diet biasa. Fungsi usus kembali dengan cepat karena tidak ada sayatan abdominal, dan pasien sering dapat habis 24-72 jam setelah prosedur. 2.10 Komplikasi Komplikasi serius setelah operasi prolaps rektum meliputi infeksi, perdarahan, perlukaan usus, kebocoran anastomosis, perubahan fungsi kandung kemih dan seksual, dan konstipasi. Frekuensi komplikasi ini berkaitan dengan jenis prosedur. 2.10.1 Infeksi Sumber yang paling umum dari infeksi pada prosedur pembedahan per abdomen adalah organisme kulit pada luka. Jika bahan asing telah ditanamkan, infeksi dapat terjadi, paling sering disebabkan organisme kulit, dan jika memungkinkan bahan asing harus disingkirkan. Adanya fibrosis dapat membuat penyingkiran bahan prostetik terlalu berbahaya, dalam kasus seperti ini digunakan terapi antibiotik jangka panjang. Infeksi setelah prosedur perineum jarang terjadi, biasanya sebagai akibat pemisahan di anastomosis perineum. 2.10.2 Pendarahan Perdarahan paling sering terjadi dalam 2 situasi. Situasi pertama melibatkan robeknya pembuluh darah presakrum selama prosedur per abdomen, ketika rektum langsung ditempelkan ke fasia presakrum. Hal ini dapat menyebabkan hematoma presakrum atau perdarahan hebat. Pendarahan seperti ini bisa sulit untuk dikendalikan karena pembuluh darah keluar langsung dari tulang. Manuver awal dengan tekanan langsung ke area perdarahan selama 1015 menit. Jika ini gagal untuk mengontrol perdarahan, pines titanium dapat ditempatkan ke dalam tulang untuk menghambat perdarahan. Pemotongan di ruang presakrum sering meningkatkan perdarahan dan harus dihindari. Situasi umum kedua untuk perdarahan terjadi selama penipisan mukosa pada prosedur Delorme atau dari pemisahan luka pasca operasi.

17

2.10.3 Perlukaan Usus Perlukaan usus dapat terjadi selama mobilisasi rektum. Jika diketahui, luka tersebut biasanya dapat diobati tanpa memerlukan diversi usus. Jika usus terluka, tidak diperkenankan melakukan pemasangan material asing. Adanya perlukaan yang tidak diketahui dapat menyebabkan pembentukan abses dan sepsis panggul. Perlukaan usus yang tidak diketahui mungkin terjadi saat prosedur laparoskopi oleh beberapa mekanisme, dan jika tidak terdeteksi dengan cepat akan menghambat perbaikan kondisi pasien, dan dapat menyebabkan sepsis dan kematian. 2.10.4 Kebocoran Anastomosis Semua prosedur yang melibatkan suatu anastomosis membawa risiko kebocoran anastomosis. Prosedur per abdomen dengan penyulit kebocoran mungkin tidak memerlukan eksplorasi ulang jika kebocoran kecil dan berisi, dan pasien stabil. Timbunan kebocoran dapat ditangani dengan drainase perkutan, dan kebocoran ini sering membaik dengan perawatan suportif. Jika kondisi pasien tidak membaik, perlu dilakukakan washout abdomen dengan pengalihan tinja proksimal. Jika kebocoran yang besar dan tidak berisi, atau jika pasien tidak stabil, diindikasikan reeksplorasi darurat. Sepsis panggul membuat diseksi lebih lanjut dalam panggul menantang serta berbahaya bagi pasien, dan washout dengan pengalihan proksimal adalah prosedur pilihan. Kebocoran anastomotik juga dapat terjadi setelah rekctosigmoidektomy perineum. Jika kebocoran terjadi setelah prosedur ini, infeksi lokal dan sepsis panggul jarang terjadi. 2.10.5 Penurunan Fungsi Kandung Kemih dan Seksual Perubahan fungsi kandung kemih dan fungsi seksual merupakan komplikasi yang jarang terjadi dalam prosedur per abdomen jika dilakukan dengan benar. Saraf simpatik dan parasimpatis panggul berjalan di sepanjang rektum, jika pembedahan tidak dilakukan pada bidang yang tepat, cedera dapat terjadi, menyebabkan disfungsi kandung kemih, impotensi, atau ejakulasi

18

retrograde. Ini merupakan pertimbangan penting dalam pemilihan prosedur perbaikan, terutama pada pria, meskipun risiko cedera kurang dari 1-2%. 2.10.6 Konstipasi Prosedur dan perineum reseksi anterior memiliki risiko rendah obstruksi outlet. Secara historis, prosedur per abdomen dimana penempelan rektum pada sakrum menyebabkan tingginya tingkat obstruksi saat rektum dibungkus mengelilinginya, seringkali mengharuskan pelepasan fiksasi untuk mengobatinya, karena alasan ini, bila dilakukan pembungkusan, hanya dilakukan pada sposterior dan sebagian di sisi rektum. 2.11 Prognosis Prognosis umumnya baik dengan pengobatan yang tepat. Resolusi spontan biasanya terjadi pada anak-anak. Dari pasien-pasien dengan prolaps rektum yang berusia 9 bulan sampai 3 tahun, 90% hanya memerlukan pengobatan konservatif. Kontinensia biasanya buruk pada awalnya setelah perawatan bedah, tetapi pada kebanyakan pasien membaik dari waktu ke waktu, namun, tingkat perbaikan tidak dapat diprediksi. Prolaps rectum yang tidak diobati dapat menyebabkan inkarserasi dan strangulasi, namun jarang. Yang lebih umum terjadi ialah perdarahan rektum (biasanya minor), ulserasi, dan inkontinensia. Mortalitas pasca operasi rendah, namun tingkat kekambuhan bisa setinggi 15%, terlepas dari prosedur operasi yang dilakukan. Komplikasi pasca operasi paling umum melibatkan perdarahan dan kebocoran di anastomosis. Komplikasi lainnya termasuk ulserasi mukosa dan nekrosis dinding rektum. Komplikasi operasi lebih tinggi untuk operasi per abdominal, dengan tingkat kekambuhan yang lebih rendah, sebaliknya untuk operasi perineum, yang memiliki tingkat komplikasi yang lebih rendah, tetapi kekambuhan lebih tinggi. Tingkat kekambuhan untuk reseksi anterior tanpa fiksasi sakrum adalah sekitar 7-9%, dengan tingkat morbiditas dari 15-29%. Tingkat kekambuhan ini lebih tinggi daripada prosedur per abdominal lainnya.

19

Tingkat kekambuhan untuk Marlex rectopexy berkisar antara 2% sampai 10%, dengan tingkat morbiditas 3-29%. Kontinensia meningkat dalam 50-70% dari pasien. Kontipasi, tidak membaik dan bisa memburuk setelah operasi ini. Hasil rectopexy jahitan sebanding. Tingkat kekambuhan untuk reseksi dan rectopexy adalah 3-4%, dengan beberapa studi melaporkan tingkat kekambuhan 0%. Morbiditas berkisar antara 4% sampai 23%. Karena usus berlebihan juga direseksi, konstipasi membaik pada 60-80% pasien, dan kontinensia membaik pada 35-60%. Tingkat kekambuhan untuk reseksi lengan Delorme mukosa berkisar antara 5% sampai 26%, dengan morbiditas variabel yang biasanya berkaitan dengan komorbiditas yang mendasari pasien. Inkontinensia alvi dan konstipasi membaik sekitar 50% dari pasien. Tingkat kekambuhan untuk rektosigmoidektomy Altemeier perineum berkisar antara 0% sampai 50%, dengan rata-rata sekitar 10%. Kontinensia dapat diperbaiki jika lipatan levator ditambahkan ke prosedur. Pemulihan kontinensia dengan prosedur ini tidak dapat diprediksi.

20

You might also like