You are on page 1of 5

Ada Apa Sebenarnya dengan Mesir?

(Sebuah Telaah Singkat & Runtut sejak Pra-kejatuhan Mubarak)


OPINI | 07 July 2013 | 19:54 Dibaca: 368 Komentar: 4 0

Ada Apa Sebenarnya dengan Mesir? (Sebuah telaah singkat & runtut sejak pra kejatuhan Mubarak) Mesir, sebuah negeri dengan peradaban yang sangat kuno dan terkenal itu baru pertama kali menyelenggarakan pemilu secara demokratis, namun tak mampu mempertahankan presiden terpilih dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun. Mursi, Presiden terpilih dari Ikhwanul Muslimin mengalahkan pesaingnya, Ahmad Shafiq dari kelompok Liberal Sekuler dengan selisih suara kurang dari 4%. Mursi resmi menggantikan Mubarak, mewakili Ikhwanul Muslimin di Mesir yang telah mengalami duka dan perjuangan panjang selama 30 tahun. Sejenak kita lambungkan ke belakang sejarah Mesir, Ikhwanul Muslimin (IM) didirikan oleh Hassan al-Banna di kota Ismailiyah pada tahun 1928 dengan menggotong sistem khilafah serta menentang keberadaan Israel. Presiden Mesir waktu itu, Anwar Sadat adalah salah satu tokoh yang paling dibenci IM karena menyelenggarakan perjanjian damai dengan Israel, perjanjian Camp David, pada tahun 1979 yang ditengahi oleh Amerika Serikat. Hingga seorang Letnan anggota IM berhasil menembak mati Anwar Sadat sewaktu parade militer di tahun 80an, lantas seolah dibungkam, sang Letnan dihukum mati tak lama setelah itu. Sepeninggal Anwar, Husni Mubarak dilantik menjadi presiden, yang di masanya ini melakukan pemberangusan organisasi IM dengan menangkap dan menahan (dikabarkan juga membunuh) tokoh-tokoh IM untuk selanjutnya melarang organisasi IM di Mesir. Rupanya dalam rentang 30 tahun berkuasa, Mubarak seolah mabuk kepayang, tidak mau turun dari presiden dengan menetapkan kebijakan-kebijakan diktator. Media Barat jelas menyamakan era Mubarak di Mesir adalah mirip era pak Harto di Indonesia. Mubarak digambarkan sebagai presiden tua yang dungu karena tidak mau mendengar seruan dan masukan rakyat, lantas dengannya memutuskan segala sesuatunya secara diktator serta mengangkangi legislatif dan lembaga hukum. Arab Spring mengakhiri era Mubarak dengan dukungan tokoh-tokoh Barat dan juga eksekutif google, Wael Ghonim, untuk menggerakkan rakyat menuntut penurunan Mubarak. Mubarak pun legowo untuk turun dari presiden dan menyerahkan kepemimpinannya kepada militer sampai pemilu berikutnya. Pada moment turunnya Mubarak ini, beragam pendapat muncul dari luar negeri ataupun dalam negeri Mesir, seperti Iran dan Tunisia yang bersuka cita. Israel jelas mengkhawatirkan hubungan damai antar keduanya, dan kawatir bila pemimpin berikutnya berasal dari IM yang selama ini mendukung Hamas di Palestina. Inggris dan Amerika menyatakan dukungan kepada pemimpin yang akan berkuasa sebagai sahabat. ElBaradei, tokoh oposisi yang selama ini terkenal, jelas menyampaikan rasa syukurnya.

Dewan militer yang ditunjuk pada masa transisi ini menjanjikan supremasi sipil bagi Mesir, jendral Tantawi menjadi pemimpinnya. Pernyataan awal Tantawi adalah Mesir akan menghormati perjanjian yang telah dibuat dengan pihak luar, sepertinya ini memberikan garansi kepada Israel tentang hubungan damai Mesir-Israel.

Dewan Militer menepati janjinya dengan menyelenggarakan pemilu raya di Mesir dengan 4 (empat) kandidat Presiden, yaitu Ahmad Shafiq (yang akan berduel di final dengan Mursi) seorang loyalis Mubarak, Amr Moussa, Mursi (pemimpin partai bentukan IM), dan Aboul Fotouh dari calon independen kelompok muslim. Sebetulnya, sebelum pemilu ini Mubarak juga pernah melakukan pemilu dengan peraturan banyak calon presiden, namun khas seorang diktator, Mubarak melakukan revisi peraturan di tengah jalan hingga dirinya menjadi calon tunggal untuk terpilih kembali jadi presiden. Pemilu paska Mubarak ini memiliki juga empat blok persaingan, yaitu:

- blok Liberal (kiri tengah), partai sosial berkebebasan yang mengusung ideologi liberal dan sekuler di Mesir - blok aliansi Islam, dipimpin oleh partai Nour Salafi mengusung ideologi Salafi, di dalamnya juga terdapat sayap politik Jamaaah Islamiyah (JI), dan blok ini dengan dipimpin oleh Emad Abdul Ghofur (pemimpin partai Nour Salafi). Pemimpin Salafi ini membantah bahwa blok Aliansi Islam ini bertujuan menjadi pesaing IM atau yang muncul dengan blok Aliansi Demokrat. Kelompok ini akan mendorong pelaksanaan syariah hukum Islam secara mutlak di Mesir. - blok Revolusi Berlanjut, beranggotakan mayoritas kelompok pemuda yang mengorganisir masyarakat untuk turun ke jalan dalam menurunkan Mubarak - blok Ikhwanul Muslimin yang dinamakan blok Aliansi Demokrat dengan mengusung kampanye utamanya adalah khilafah dan slogan Islam adalah solusi. Hal ini menjadi salah satu titik keberatan banyak tokoh Mesir, karena konstitusi melarang politik berbasis agama.
Dalam dua kali putaran, Mursi menang mutlak dan lantas dilantik menjadi presiden. Dalam pemilu ini, banyak tokoh Mesir mencurigai kongkalikong antara Dewan Militer dan IM sehingga menyebabkan Mursi menang mutlak. Namun, di awal pemerintahannya Mursi setelah mengangkat Tantawi, ketua Dewan Militer, mengalami pertikaian dan lantas mengganti Tantawi dengan Al Sisi, seorang jenderal cemerlang lulusan Akademi Perang Amerika. Sepertinya ada kepercayaan sesama lulusan Amerika untuk mengelola bersama Mesir yang baru tumbuh paska era Mubarak.

Menarik pula menyimak profil Mursi, dia adalah akademisi lulusan Amerika Serikat yang dilahirkan di provinsi Syarqiyah, Mesir pada 20 Agustus 1951. Mursi adalah doktor bidang teknik material jebolan University of Southern California pada 1982 itu telah merasakan pengalaman perjuangan sebagai tokoh IM di Mesir. Mursi sempat menjadi anggota DPR di era Mubarak dan menjadi juru bicara IM di legislatif, namun sampai dengan saat ini anakanak Mursi masih berkewarganegaraan Amerika. Begitu juga profil Al Sisi menarik untuk diketahui, dia lahir di Kairo pada 1954, seorang lulusan akademi militer 1977 dan meneruskan pendidikan militer di Inggris pada 1992, dan meraih gelar master dari akademi perang di Pennslvania (Amerika) pada 2006. Karir Al Sisi terus menanjak naik di era Mubarak mulai dari atase militer, kepala Staf Komando Militer, dan Kepala Intelijen Militer sewaktu Dewan Militer mengambil alih kepemimpinan Mubarak. Jenderal muslim yang relijius ini menjabat Panglima Angkatan Darat dan ketua Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata Mesir, seorang pengagum Presiden Nassir yang beraliran nasionalis. Rakyat Mesir sepertinya sudah tidak sabar semenjak era Mubarak, maka janji-janji Mursi pun dimonitor secara ketat oleh perwakilan Mesir, yang mana lima janji pentingnya antara lain keamanan, pangan, lalu lintas, bahan bakar, serta kebersihan. Heran juga saya, mengapa janji seperti lalu lintas dan kebersihan menjadi point-point penting janji Mursi. Janji-janji itu bahkan didokumentasikan, dinilai, dan dapat diketahui progresnya secara langsung oleh masyarakat Mesir. Kemenangan Mursi ini jelas membuat takut Israel, karena sebagai tokoh IM, Mursi mendukung perjuangan Hamas melawan Israel di Palestina dengan memasok bantuan setelah membuka lebar perbatasan (di era Mubarak sangat dibatasi, bahkan ditutup). Media Israel jelas menyampaikan kekhawatiran dan ketakutan atas terpilihnya Mursi sebagai presiden Mesir, salah satunya adanya kemungkinan pembatalan perjanjian damai Camp David antara Mesir dan Israel. Di dalam Mesir sendiri, sebelum pemilu yang dimenangkan oleh Mursi tersebut diadakan, sebetulnya Militer di bawah Tantawi telah merombak negara dengan membubarkan parlemen dan konstitusi, sehingga membuat Mursi menjadi presiden tanpa parlemen dan konstitusi yang menjamin wewenang kekuasaan dan tugasnya sebagai presiden. Sementara Dewan Pertahanan Nasional tetap sebagai pemegang kebijakan legislatif penuh, memiliki kemampuan merancang konstitusi, dan keamanan nasional Mesir dengan jenderal-jenderal yang berada dalam pengaruh Tantawi, termasuk Al Sisi. Mursi, sebagai presiden dari IM yang mendorong khilafah Islam, sepertinya menjadi anak yang tidak diinginkan oleh Mesir yang sekuler. Parahnya, Mursi pun menunjukkan tanda-tanda memperkuat ketidak-diinginkannya oleh ibunya tersebut. Beberapa kejadian khas ideologi IM ditunjukkan ke publik Mesir yang memperkeruh pandangan masyarakat Mesir, seperti pelemahan Al Azhar sebagai dewan fatwa Islam tertinggi di Mesir, pengkuatan kelompok IM dengan menarik tokoh-tokoh IM menjadi pemegang kekuasaan seperti kepala departemen dan gubernur (tercatat Mursi mengangkat 6 gubernur baru yang semuanya dari kelompok IM), pengkuatan dukungan ke Hamas untuk melawan Israel, serta menyetujui dorongan jihad kepada rakyat Mesir untuk berperang di Syuriah menjatuhkan Bashar.

Puncaknya, terjadi kericuhan rakyat Mesir dengan demo besar-besaran beberapa hari, sehingga memaksa Dewan Militer Mesir mengakhiri pemerintahan Mursi, Al Sisi sebagai tokoh utama menjatuhkan Mursi. Sebuah tragedi memang, Al Sisi adalah tokoh militer yang juga dipilih oleh Mursi menggantikan Tantawi sebagai Menteri Pertahanan. Rupanya logika Militer yang masih memiliki hak penuh legislatif dan keamanan nasional melihat potensi benturan antar masyarakat, sehingga memilih memaksa mundur Mursi. Sepertinya Militer mempertimbangkan bahwa IM bergerak dalam pemerintahan seorang diri dengan tidak melibatkan aktif blok-blok pesaingnya di pemilu sebelumnya, tercatat pula beberapa menteri mengundurkan diri yang semakin memperkuat kesendirian blok IM di pemerintahan Mesir. Tercatat dari harian di Amerika bahwa beberapa hari menjelang kejatuhan Mursi, Al Sisi telah melakukan pembicaraan khusus dengan menteri Pertahanan Amerika Serikat, sepertinya kejatuhan Mursi ini telah memiliki konfirmasi dari Amerika, sebagai sekutu Mesir selama ini. Dewan Militer menyerahkan tampuk presiden sementara kepada Adly Mansur dan AlBaradei sebagai Perdana Menteri untuk menyusun pemilu berikutnya. Sebagaimana diketahui Adly adalah ketua Mahkamah Konstitusi yang juga dipilih oleh Mursi, sedangkan AlBaradei adalah tokoh oposisi di era Mubarak dan juga tokoh anti Mursi yang banyak mendorong militer mengakhiri era Mursi. Adly diberikan mandat untuk berkonsentrasi pada kegiatan pemulihan ekonomi yang dinilai tidak ada perkembangan signifikan di era Mursi. Sebelumnya, menarik pula disimak profil Al Baradei, dia adalah tokoh Liberal yang juga penentang Mubarak serta digadang-gadang oleh Barat sebagai pengganti Mubarak. Keputusan penunjukkan Al Baradei tentu menuai protes dari blok Salafi, karena tidak menginginkan tokoh Liberal memimpin Mesir. Bila keberatan kelompok Salafi terhadap Baradei tidak dapat dikompensasikan, maka kekuatan pro dan kontra paska Mursi akan semakin menguat dan mengerucut sesuai blok pada kompetisi pemilu. Beberapa alasan dari Dewan Militer dalam menjatuhkan Mursi adalah tingkat ekonomi yang tidak ada perbaikan, menilai Mursi terlalu ekslusif dan sektarian dengan banyak mengambil keuntungan hanya untuk IM ketimbang seluruh rakyat Mesir, Mursi pernah menetapkan dekrit bahwa dirinya sebagai kebal hukum meski sudah dicabut kembali, mendirikan aturan syariah Islam, serta membahayakan rakyat dan negara Mesir dengan perpecahan ideologi, dan juga tidak ketinggalan seruan perangnya ke Syuriah. Kita lihat respon dari para pemimpin negara-negara atas kejatuhan Mursi, antara lain negaranegara Arab di Teluk menyambut baik penggulingan Mursi dikarenakan di negara-negara Arab telah tumbuh keberanian kubu Islam di dalam negeri masing-masing negara untuk memberontak ke pemerintah yang sah, hanya Qatar yang menolak penjatuhan Mursi, Arab Saudi menyampaikan ucapan selamat atas penggulingan Mursi, Hamas berharap dukungan Mesir tidak berkurang. Amerika sebagai sekutu Mesir dan selama ini dikenal dengan pernyataan bahwa Mesir adalah sekutu Amerika yang dapat menjadi pemimpin suara di wilayah negara seputar Mesir, menyatakan keprihatinannya (sebuah sikap gamang). Amerika patut juga khawatir apabila pemerintahan yang baru ini membatalkan perjanjian pinjaman dana Amerika untuk membiayai persenjataan Mesir senilai Rp. 12,9 triliun yang baru diperbarui oleh Mursi pada Mei lalu.

Di internal Mesir, banyak rakyat yang berdemo menyatakan sebagai revolusi baru, dan sebagaimana di era Mubarak, Militer dianggap sebagai saudara dekat rakyat. Revolusi kali ini mengacu kepada ideologi negara yang mana di era Mursi tumbuh meruncing semakin tajam, IM memaksa penerapan ajaran Islam secara ketat dan menjadikannya sebagai dasar negara, mengkonsolidasikan negara muslim dalam satu komando (khilafah), serta melawan imperialisme Barat. Sementara rakyat Mesir tidak menginginkan itu, kelompok selain IM seperti kelompok sosialis, liberal, nasionalis, dan non muslim menghendaki penekanan kepada sekularisme atau pemisahan urusan agama dengan negara, perlindungan terhadap minoritas dan penegakkan hukum.

Kesimpulan dari penulis adalah bahwa saat ini Mesir berada di persimpangan penunaian janji pemimpin Mesir kepada Barat sebagai balas janji penjatuhan Mubarak dan tentunya tetap menjaga hubungan baik serta damai dengan Israel. Rupanya Mursi, meski sudah menunaikan janji bantuan (hutang) ke Amerika namun tetap memiliki niatan untuk memusuhi Israel dengan pembukaan perbatasan ke Gaza serta bantuan ke Hamas. Perlu diingat pula bahwa penggantian Mursi dengan orang-orang yang dekat dengan Mursi, seperti Adly dan Al Sisi, jelas sebagai upaya memastikan agenda Mesir (baik hubungan internal maupun eksternal) paska Mubarak dapat berjalan baik. Menurut penulis, paska pemilu berikutnya, bila Mesir tidak berada di bawah kepemimpinan IM, maka bisa jadi Mesir akan tumbuh dengan pemerintahan yang stabil meski dengan dukungan Barat tentunya dengan imbal balik yang setimpal dengan dukungan tersebut. Di sisi lain, perlu memperhatikan pula bagaimana presiden terpilih menjalin hubungan baik dengan blok-blok peserta pemilu, mengingat blok Salafi sebagai salah satu pemilik kekuatan di Mesir menolak penunjukkan Baradei sebagai Perdana Menteri. Sepertinya masih jauh mengambil kesimpulan yang tepat terhadap Mesir ini, biarkan waktu yang berbicara, apalagi semenjak paska penurunan Mursi dan Mursi tidak setuju untuk turun. Ketidaksetujuan Mursi ini jelas akan memicu kericuhan dan pergolakan tersendiri di Mesir sehingga berpotensi membawa Mesir pada kondisi perang saudara seperti Syuriah. Semoga Mesir segera menjadi negeri yang pulih kepada ketentraman dan kestabilan. Dalam kondisi seperti ini, saya benar-benar teringat pernyataan Gus Dur manakala memutuskan lengser dari presiden, padahal pasukan berani mati dan kalangan nahdliyin siap mem-back-up melawan para pelaku bughot (pemberontak). Gus Dur dengan tenang dan menenangkan para pendukungnya untuk kembali ke daerah masing-masing dengan komentar yang kesohor itu, tak ada jabatan di dunia ini yang patut dipertahankan dengan pertumpahan darah. Sebagai warga negara Indonesia, sudah selayaknya kita bersyukur memiliki pemimpin seperti Gus Dur, oleh karenanya mari kita sampaikan Al fatihah kepada beliau. Bersyukur pula kita perlu lakukan mengingat di Indonesia ini memiliki organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang besar namun tidak menghegemoni untuk bernafsu berkuasa, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, seolah menjadi benteng kebersatuan negara kita. Tentunya semangat para pendiri negara dan juga tokoh-tokoh ormas tersebut layak kita teladani dan teruskan demi pencapaian negara #IndonesiaMercusuarDunia.

You might also like