You are on page 1of 51

REFERAT LUPUS ERITEMATOSUS, SKLERODERMA, LIKEN PLANUS

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Pembimbing : dr. Rizqa Haerani, Sp. KK

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2013

LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Referat ini diajukan oleh: Nama Program Studi Judul Persentasi : Danil Anugrah Jaya (2008730007) : Pendidikan Dokter : Lupus eritematosus, Skleroderma dan Liken planus : Oktober 2013

Telah diketahui kebenarannya dan disahkan oleh pembimbing sebagai bagian persyaratan yang diperlukan dalam menempuh masa kepaniteraan stase ilmu penyakit Kulit dan Kelamin, Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Pembimbing

dr. Rizqa Haerani, Sp. KK

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Referat ini yang berjudul: Lupus eritematosus, Skleroderma dan Liken planus Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan referat ini masih dari jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan referat ini. Akhirnya penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Jakarta, Oktober 2013

Penulis

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

ii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ i KATA PENGANTAR.................................................................................. ii DAFTAR ISI............................................................................................. iii PENDAHULUAN....................................................................................... 1 I. 1. Latar Belakang............................................................................ 1 I. 2. Tujuan Penulisan.........................................................................3 I. 3. Teknik Pengumpulan referensi.....................................................3 I. 4. Sistematika Penulisan..................................................................3 PEMBAHASAN......................................................................................... 4 II.1. LUPUS ERITEMATOSA...................................................................4 II. 1. 1. Definisi................................................................................. 4 II. 1. 2. Epidemiologi........................................................................4 II. 1. 3. Etiologi................................................................................. 4 II. 1. 4. Manifestasi Klinis..................................................................5 II. 1. 5. Klasifikasi............................................................................. 7 II.2. 1. SKLERODERMA LOKALISATA...................................................14 II. 2. 1. 1. Definisi...........................................................................14 II. 2. 1. 2. Etiologi dan Epidemiologi...............................................14 II. 2. 1. 3. Patogenesa....................................................................14 II. 2. 1. 4. Diagnosa........................................................................15 II. 2. 1. 5. Penatalaksanaan............................................................20 II.2. 2. SKLERODERMA SISTEMIK.......................................................21 II. 2. 2. 1. Definisi...........................................................................21 II. 2. 2. Etiologi dan Epidemiologi...................................................22 II. 2. 3. Patogenesa........................................................................22 II. 2. 4. Diagnosa............................................................................ 23 II. 2. 5. Penatalaksanaan................................................................28 Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat iii

II.3. LIKEN PLANUS............................................................................ 30 II. 3. 1. Definisi............................................................................... 30 II. 3. 2. Etiologi, Epidemiologi, Patogenesis....................................30 II. 3. 3. Diagnosis........................................................................... 32 II. 3. 4. Penatalaksanaan................................................................39 II. 3. 5. Prognosis............................................................................43 DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 44

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

iv

BAB I PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang Lupus eritematosus merupakan penyakit yang menyerang sistem konektif dan vaskular, dan mempunyai dua varian,yaitu : lupus eritematosus diskoid (L.E.D) dan lupus eritematosus sistemik (L.E.S). L.E.D bersifat kronik dan cenderung tidak berbahaya. Penyakit ini menyebabkan bercak di kulit berupa lesi yang eritematosa dan atrofik tanpa ulserasi. Sedangkan L.E.S merupakan penyakit yang bersifat akut dan berbahaya hingga bisa berakibat fatal. Hal ini disebabkan karena penyakit ini bersifat multisistemik serta menyerang jaringan konektif dan vaskular. Prevalensi bervariasi di tiap negara. Dapat mengenai semua lapisan masyarakat, 1-5 orang di antara 100.000 penduduk, bersifat genetik, dan dapat diturunkan. Wanita lebih sering 6-10 kali daripada pria, terutama pada usia 15-40 tahun. Bangsa Afrika dan Asia lebih rentan dibandingkan kulit putih. Penyakit ini merupakan penyakit sistem imunitas dimana jaringan dalam tubuh dianggap benda asing. Reaksi sistem imunitas bisa mengenai berbagai sistem organ tubuh seperti jaringan kulit, otot, tulang, ginjal, sistem saraf, sistem kardiovaskuler, paru-paru, lapisan pada paru-paru, hati, sistem pencernaan, mata, otak, maupun pembuluh darah dan sel-sel darah. Timbulnya penyakit ini karena diduga adanya faktor kepekaan dan faktor pencetus yaitu adanya infeksi, pemakaian obat-obatan, terkena paparan sinar matahari, pemakaian pil KB, dan stress. Pada dekade terakhir terlihat adanya kenaikan kasus untuk penyakit ini, untuk itulah perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus ini sehingga diagnosa lebih dini dan pengobatan yang lebih adekuat.

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

Scleroderma atau progresif sclerosis sistemik didiagnosa secara klinis oleh penebalan kulit, fenomena Raynaud dan keterlibatan organ viseral, dan serologi oleh autoantibodi subset yang berbeda. Ini yang membedakan penyakit ini termasuk tipe limited atau diffuse. Selain itu, bentuk yang berbeda dari scleroderma, disebut 'lokal' skleroderma, ditandai dengan penebalan kulit tanpa adanya keterlibatan visceral. Pengobatan Scleroderma di masa lalu sebagian besar berdasarkan gejala dan dengan immunosuppressives. Baru-baru ini, dengan wawasan baru, terapi obat ditargetkan pada mekanisme patogenesis fibrosis, vaskulopati dan autoimunitas yang sedang berevolusi. Beberapa terapi baru yaitu blocker reseptor endotelin, inhibitor phosphodiesterase, inhibitor tirosin kinase dan transplantasi sel induk autologus. Liken planus (LP) pertama kali dijelaskan oleh Erasmus Wilson pada tahun 1869. Liken planus diklasifikasikan sebagai penyakit papulosquamous, walaupun gejala menonjolnya adalah bersisik tetapi tidak sama dengan psoriasis dan penyakit kulit lainnya yang termasuk dalam kategori ini. Liken planus (leichen dalam bahasa Yunani berarti pohon lumut ; planus dalam bahasa Latin berarti datar) merupakan suatu kelainan yang unik, suatu penyakit inflamasi yang berefek ke kulit, membran mukosa, kuku, dan rambut. Lesi yang tampak pada lichen planus-like atau dermatitis lichenoid tampak seperti ketombe, beralur halus, kotoran yang kering dari tumbuh-tumbuhan simbiosis yang dikenal sebagai liken. Walaupun morfologi ini mungkin sulit untuk dibandingkan, liken planus merupakan suatu kesatuan yang khusus dengan bentuk papul lichenoid yang menunjukkan warna dan morfologi yang khusus, berkembang di lokasi yang khas, dan pola perkembangan karakteristik yang nyata. Liken planus memiliki karakteristrik tersendiri yaitu berupa papul flatmiring yang berwarna keunguan. Liken planus paling sering ditemukan pada ektremitas superior, kulit kepala, kuku, genitalia, dan membran mukosa. Liken planus merupakan penyakit kulit yang gatal, mukokutaneus yang mengalami erupsi dan anak-anak jarang mengalaminya daripada orang dewasa dengan histologi yang pasti. Sekurang-kurangnya 2-3 dengan kasus LP terjadi pada umur antara 30 dan 60. Walaupun tidak ada pengecualian untuk kelompok umur,

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

penyakit ini tidak biasa pada usia yang sangat muda dan sangat tua. Etiologi pasti LP masih belum diketahui, tetapi itu mungkin dihubungkan dengan penyakit sistemik lainnya seperti diabetes mellitus, penyakit kolagen, infeksi kuman virus dan stress emosional. I. 2. Tujuan Penulisan Dengan mengetahui gejala klinis dari lupus eritematosa, skofuloderma, dan lichen planus diharapkan dapat ditegakkan diagnosis sejak dini dengan penanganan yang tepat. I. 3. Teknik Pengumpulan referensi Dalam penyusunan referat ini, metode pengumpulan referensi yang digunakan adalah secara tidak langsung melalui kepustakaan yaitu buku-buku referensi dan pustaka elektronik yang berhubungan dengan judul dari referat ini. I. 4. Sistematika Penulisan Referat ini disusun secara sistematis mulai dari bab pendahuluan yang membahas latar belakang, ruang lingkup penulisan, tujuan penulisan, teknik pengumpulan referensi dan sistematika penulisan. Kemudian diikuti bab pembahasan yang akan menjelaskan tentang penyakit dari definisi hingga prognosis.

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

BAB II PEMBAHASAN
II.1. LUPUS ERITEMATOSA II. 1. 1. Definisi Sistemik lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit peradangan kronis yang memiliki manifestasi protean dan bisa timbul kapan saja. Hal ini ditandai dengan respon autoantibodi terhadap antigen nuklir dan sitoplasma. SLE dapat mempengaruhi sistem organ, tetapi terutama melibatkan kulit, sendi, ginjal, sel darah, dan sistem saraf. SLE merupakan penyakit autoimun multisistem yang serius yang berdasarkan policlonal imun sel B yang melibatkan jaringan konektif dan pembuluh darah. 1

II. 1. 2. Epidemiologi Pervalensi SLE sering terjadi pada usia dengan onset 30 tahun pada laki-laki. Prevalensi pada wanita tinggi pada usia 14 64 tahun. Pada wanita tua, SLE tinggi prevalensinya dikarenakan berhubungan rendahnya kadar estrogen. Onset rata-rata yang terjadi pada wanita yaitu usia 40 tahun. Laki-laki : perempuan yaitu 1 : 9. SLE lebih sering terjadi pada ras hitam. 1 II. 1. 3. Etiologi SLE merupakan penyakit autoimun. Ada banyak anggapan bahwa penyakit ini disebabkan oleh interaksi antara faktor-faktor genetik dan imunologik. Selain faktor genetik, ada faktor infeksi (virus) dan faktor hormonal.
[1].

Ada

beberapa faktor presipitasi SLE yaitu riwayat keluarga, paparan sinar matahari yang merupakan faktor presipitasi yang paling efektif. Sindrom SLE juga dapat diinduksi oleh obat-obatan ( hidralazin, anticonvulsan dan procainamide ) tetapi rash biasanya relatif tidak umum terjadi pada pasien SLE karena drug-induce. 1

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

II. 1. 4. Manifestasi Klinis Lesi muncul selama berminggu-minggu (akut), bulan (Kronis). Sinar matahari dapat menyebabkan eksaserbasi SLE (36%). ACLE biasanya dipicu oleh sinar matahari. Lesi ACLE ditandai dengan butterfly rush, eritematosa. Umumnya terjadi papul atau urtikaria pada wajah dan dorsum manus, pedis serta daerah leher. Papul dan plak bersisik biasanya terlihat pada SCLE serta plak diskoid terlihat pada CCLE Lesi pada rambut biasanya terjadi alopecia. Pada membran mukosa dapat timbul ulkus pada purpura lesi nekrotik pada palatum, mukosa bukal atau gusi. Pada lesi extracutaneous multisistem yaitu timbul arthralgia atau arthritis (80%), penyakit ginjal (50%), perikarditis (20%), pneumonitis (20%), gastrointestinal (karena arteritis dan peritonitis), hepatomegali (30%), miopati (30%), splenomegali (20%), limfadenopati (50%), neuropati perifer (14%), SSP. 1

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

Acute systemic lupus erythematosus Bright red, sharply defined erythema with slight edema and minimal scaling in a butterfly pattern on the face. This is the typical malar rash. Note also that the patient is female and young.

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

II. 1. 5. Klasifikasi II. 1. 5. 1. Acute Cutaneus LE

Acute SLE A. Red-to-violaceous, well-demarcated papules and plaques on the dorsa of the fingers and hands, characteristically sparing the skin overlying the joints. This is an important differential diagnostic sign when considering dermatomyositis, which characteristically involves the skin over the joints (compare with Fig. 14-17B). B. Palmar erythema mainly on the fingertips. This is pathognomonic.

II. 1. 5. 2.Subacute Cutaneus Lupus Erytematous (SCLE) SCLE biasanya terjadi pada anak-anak dan usia pertengahan. Wanita lebih sering terjadi daripada pria. Onset terjadi mendadak dengan lesi annular atau psoriasiform plak pada batang atas, lengan, dorsa dari tangan, biasanya terjadi setelah paparan sinar matahari. disertai dengan kelelahan ringan, malaise, arthralgia, demam yang tidak diketahui. Lesi pada kulit terdiri dari dua tipe yaitu psoriasiform papulosquamous yaitu dengan skuama halus lalu berkembang menjadi eritema, plak konfluen yang oval, arciform, atau polisiklik, seperti pada psoriasis. Tipe kedua, annular dengan regresi central dan sedikit scaling. Pada tipe ini biasanya terdapat telangiectasia, tetapi tidak ada penyumbatan folikular. Pada akhirnya terjadi sedikit atrofi (ada jaringan parut) dan hipopigmentasi. Distribusi biasanya pada bahu, permukaan ekstensor lengan, permukaan dorsal tangan, Vneck area dada bagian atas. 2

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

Subacute cutaneous lupus erythematosus. Widely scattered, erythematous-to-violaceous, scaling, well-demarcated plaques on the trunk, neck, and arms, mimicking the clinical appearance of psoriasis vulgaris

Pasien dengan SCLE biasanya memiliki kelainan pada hasil laboratorium termasuk anemia, leukopenia, limfopenia, hematuria, proteinuria. Temuan klinis dikonfirmasi oleh histologi dan immunopathology. 2 Terapi dari SCLE yaitu pengobatan secara topikal dan sistemik. Secara topikal dapat diberikan anti-inflamasi glukokortikoid dan topikal pimecrolimus dan tacrolimus. Pengobatan sistemik yaitu Thalidomide (100-300 mg / d) sangat efektif untuk lesi kulit tetapi tidak untuk keterlibatan sistemik. Hydroxychloroquine, 400 mg / d juga dapat diberikan untuk pengobatan sistemik. Jika dengan terapi ini lesi kulit tidak berkurang maka dapat ditambahkan hidroklorida quinacrine 100 mg / d, dapat ditambahkan. Jika warna kulit menjadi kuning yang disebabkan oleh quinacrine maka dapat diberikan -karoten, 60 mg tiga kali sehari. 2 II. 1. 5. 3.Chronic Cutaneus Lupus Erytematous (SCLE) Pada lesi kronik biasanya ditandai dengan infiltrat dan kemutian menjadi plak atrofi kemerahan ( diskoid ). Kelainan ini biasanya tidak disertai dengan gangguan sistemik. CCLE terjadi pada usia 20 -45 tahun serta lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki.2

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

Chronic cutaneous lupus erythematosus Well-demarcated, erythematous, hyperkeratotic plaques with atrophy, follicular plugging, and adherent scale on both cheeks. This is the classic presentation of chronic discoid LE.

Lesi primer LED adalah makula atau papul eritem asimetris tanpa gejala subjektif dengan sisik ringan hingga sedang. biasanya berukuran 1-2 cm. Seiring dengan perjalanan penyakit, sisik dapat menebal dan melengket, disertai hipopigmentasi di daerah inaktif (tengah) dan hiperpigmentasi di batas aktif. Jika mengenai daerah berambut seperti kulit kepala dan janggut, eskar dengan alopesia permanen dapat terjadi. Lesi LED seringkali tersebar mengikuti pajanan sinar matahari tetapi daerah yang tidak terpajan tetap dapat terkena lesi. 2

The center areas may appear lighter in color with a rim darker than the normal skin.

Setelah beberapa lama, lesi LED akan berubah menjadi pakat eritema berbatas tegas yang titutupi oleh sisik yang meluas hingga ke bukaan folikel rambut. Plak berbentuk bulat atau oval, annular atau polisiklik dengan batas yang irregular dan berkerut ditengah sehingga terlihat atrofi dan skar. Jika sisik yang

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

melekat dilepaskan, jarum-jarum keratotik yang mirip dengan paku karpet dapat terlihat di bagian bawah sisik (tanda paku karpet). Lesi meluas dengan eritem dan hiperpigmentasi di pinggir dengan eskar atrofi, telangiektasia dan hipopigmentasi di tengah. 2 Penyumbatan folikular dan folikel membesar dapat bertahan dalam lesi atrofi tapi akhirnya menghilang sehingga halus, bekas warna keputihan sebagian dikelilingi oleh inflamasi yang masih aktif. Bekas luka bisa terlihat hiperpigmentasi terutama pada orang dengan kulit cokelat atau hitam. Distribusi terutama pada wajah dan kulit kepala, dorsum dari lengan, tangan, jari, jari kaki. Pada membran mukosa biasanya terdapat hiperkeratosis, hypermelanotic, jaringan parut, eritema) dan atrofi eritematosa dengan atau tanpa ulserasi pada mukosa bukal, lidah, dan palatum. 2 Pada anamnesis, pasien mungkin mengeluh gatal ringan atau nyeri sesekali dalam lesi, tetapi kebanyakan pasien tanpa gejala. Sekitar 5% atau kurang pasien LED telah terlibat dalam kelainan sistemik. Arthralgia atau arthritis mungkin terjadi. Jadi, anamnesis harus difokus pada riwayat penyakit dan gejala LE yang berkaitan seperti fotosensitivitas, arthralgia atau arthritis, alopesia areata serta fenomena Raynaud, karditis serta gangguan neurologis. Untuk mendukung diagnosis klinis, pemeriksaan histologis serta imunohistokimia lesi kulit akan dilakukan.2 Lesi primer LED adalah papul eritematosa atau plak dengan gambaran sisik (lihat gambar di bawah). Semakin lama lesi semakin aktif, sisik semakin menebal dan terjadi perubahan pigmentasi dengan hipopigmentasi di daerah pusat lesi dan pada daerah perbatasan tidak aktif dan hiperpigmentasi. 2

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

10

Bekas luka kronis lesi LED

Lesi menyebar sentrifugal dan dapat bergabung. Dengan bertambahnya usia lesi, pelebaran bukan folikular terjadi dengan plug keratinous, disebut folikel patulous (lihat gambar di bawah). Resolusi lesi aktif mengakibatkan atrofi dan terjadinya jaringan parut. 2

folikel dengan sumbatan dalam konka[9]

Lesi awal mungkin sulit untuk dibedakan dengan lesi LEKS. Lesi LED seringkali tersebar menurut pajanan sinar matahari tetapi daerah yang tidak terkena sinar matahari dapat pula terkena. Kulit kepala seringkali terkena sehingga menghasilkan alopesia . 2

Jaringan parut meluas dengan alopesia[9]

Pasien dengan LED sering dibagi menjadi 2 kelompok: lokal dan generalisata. LED lokal terjadi ketika hanya pada kepala dan leher, sedangkan LED generalisata terjadi ketika daerah lain. 2 Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk meneggakan diagnosa CCLE yaitu dermatopatologi yaitu terdapat hiperkeratosis, atrofi epiermis, folikuler, likenifikasi degenarasi dari sel basal, edema, dilatasi pembuluh darah kecil. Dapat juga dilakukan immunofluoresensi yaitu dengan LBT ( Lupus Band Test ). LBT positif pada 90% pasien dengan lesi yang aktif. LBT nampaknya lebih sering positif pada lesi yang lebih tua (>3 bulan). 2
Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat 11

Pemeriksaan direct immunofluorescence pada biopsy kulit lesi LED Pada CCLE, tes serologi dengan ANA menunjukkan titer yang rendah serta pada hasil laboratorium didapatkan leukopenia ( <4500/l). 2 Terapi pencegahan dengan sunscreen (SPF > 30) secara rutin. Triamcinolone acetonide intrelesi dapat diberikan 35 mg/mL untuk lesi yang kecil. Pasien juga dapat diberikan terapi glukokortikoid 2 kali sehari. Steroid dapat menurunkan efek atrofi, talangiektasis, striae dan purpura. Steroid intralesi dapat digunakan untuk lesi kronik dan lesi hiperkeratosis dengan mekanisme kerja atrofi kutaneus dan dispigmentasi. Oral steroid dapat diberikan untuk terapi kontrol tetapi tidak umum diberikan pada pasien DLE. Antimalaria bekerja sebagai immunomodulator. Antimalaria yang digunakan biasanya menggunakan 3 preparat yaitu clorokuin, hydroxychloroquin dan mepacrine. Lini pertama dapat diberikan hydroxychloroqine dengan dosis 200mg/hari untuk dewasa. Mekanisme kerjanya yaitu dengan menghambat kemotaksis dari eosinofil dan neutrofil serta merusak reaksi komplemen antigen antibodi. Jika tidak efektif, maka dapat ditambahkan dengan quinacrine 100 mg sebanyak 3 x sehari. Dapat juga diberikan Thalidomide 100300 mg/d atau juga dapat diganti dengan klorokuin. Umumnya hydroxyklorokuin dan mepacrine aman, ditoleransi dengan baik. Efek samping dari pemberian antimalaria ini yaitu gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah, gatal, eritema anular, hiperpigmentasi, gangguan hematologi seperti leukopenia dan trombositopenia. Efek samping dari klorokuin yang harus diperhatikan adalah efek samping pada okular. Jika terdapat hiperkeratosis retina maka dapat diberikan acitretin sistemik ( 0,5 mg/kgBB ).2

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

12

Terapi immunomodulator lain yang dapat diberikan yaitu metotrexate dengan cara menginhibisi reduktase dihidrofolat. Obat lain yang dapat diberikan yaitu thalidomide yang menekan produksi TNF- dengan dosis 100300mg/hari.Azatrioprine merupakan antagonis metabolisme purin dan menginhibisi sintesis DNA, RNA dan protein sehingga dapat menurunkan proliferasi sel imun sehingga dapat menurunkan aktivitas autoimun. 2 II. 1. 5. 4.Chronic Lupus Paniculitis Sinonimnya yaitu lupus eritematous

profundus.

Chronic

lupus

panniculuitis adalah bentuk CCLE di yang berbatas tegas pada nodul subkutan. menyebabkan atrofi subkutan dan jaringan parut akibat di daerah cekung. Bisa diikuti oleh timbulnya diskoid Nodul terlihat dengan perubahan epidermal atau perubahan warna; batas tegas, kadang-kadang terasa nyeri, eritem, atau lesi kecoklatan. Lesi dapat berkembang lebih dalam dan juga dapat memborok serta terjadi jaringan parut. Predileksinya yaitu di wajah, lengan atas, payudara, paha, dan bokong. 2 Pada pemeriksaan dermatopatologi didapatkan necrobiosis dengan deposito fibrinoid, limfositik padat dan vasculitis, kemudian terdapat hialinisasi dari lobulus lemak, fibrosis, mungkin ada deposito mucinous. .[9] Pengobatannya dapat diberikan antimalarials yaitu Thalidomide dan glukokortikoid sisstemic. 2

Lupus panniculitis Chronic panniculitis with atrophy of the subcutaneous tissue, resulting in large sunken areas of overlying skin, representing resolving lesions. Where erythema is still

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

13

visible, palpation reveals firm subcutaneous nodules and plaques. Also, some lesions reveal scarring in the center.

II.2. 1. SKLERODERMA LOKALISATA Skleroderma berasal dari kata skleros ( keras atau indurasi ) dan derma (kulit). Hippocrates adalah orang pertama yang mendeskripsikan kondisi ini sebagai penebalan kulit.3 II. 2. 1. 1. Definisi Skleroderma lokalisata disebut juga dengan morfea. Skleroderma lokalisata adalah bentuk skleroderma yang menyerang kulit secara lokal tanpa disertai kelainan sistemik dengan gejala khas bercak-bercak putih kekuningkuningan dan keras, seringkali mempunyai halo ungu di sekitarnya. Penyakit ini dimulai dengan stadium inisial yang inflamatorik, sklerodermatik.[1] Scleroderma lokalisata ditandai dengan deposisi kolagen terbatas pada kulit tetapi dapat juga melibatkan struktur yang lebih dalam. Namun, keterlibatan sistemik kurang. 4 II. 2. 1. 2. Etiologi dan Epidemiologi Insiden terjadinya yaitu diantara usia 20-50 tahun dengan perbandingan wanita lebih sering terkena 3 kali lipat dibandingkan laki-laki termasuk anakanak.4 Etiologi penyakit ini tidak diketahui, tetapi terdapat beberapa faktor familial. [1]. Selain faktor genetik, insiden morfea juga meningkat pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit autoimun. Morphea dapat disebabkan oleh post xirradiation untuk terapi kanker payudara. Selain itu juga, morfea dapat disebabkan oleh infeksi dari virus Epstein-Barr, varicella, hepatitis B. Dapat Juga disebabkan oleh drug induced seperti bisoprolol, bleomycin, D-penicillamine. Penyebab lain yaitu trauma lokal langsung atau karena injeksi vitamin K dan vitamin B-12. II. 2. 1. 3. Patogenesa Faktor yang berperan pada patogenesis morfea yaitu luka pada sel endotel, imunologik ( limfosit T ) dan aktivasi reaksi inflamasi serta disregulasi dari kemudian memasuki fase

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

14

produksi kolagen. Penyakit autoimun yang berhubungan dengan morfea yaitu vitiligo, diabetes tipe I dan tiroiditis autoimun.6 Adanya perlukaan pada sel endotel menyebabkan peningkatan molekul adesi ( sirkulasi intercelules T-helper, adesi vaskuler molekul 1, dan E-selectin dan fibrogenic Th2 sitokin seperti IL-4, IL-6 dan transforming growth faktor- (TGF-). TGF- dapat meningkatkan proliferasi fibroblast dan menginduksi sintesis dari kolagen serta faktor pertumbuhan jaringan konektif. TGF- juga dapat menurunkan produksi protease serta kerusakan inhibisi kolagen. Perlukaan pada sel endotel juga menyebabkan peningkatan kolagen serta deposit matriks ekstraseluler. 5,6

II. 2. 1. 4. Diagnosa Biasanya gejala klinis pada morfea tidak diketahui, tidak ada Fenomena Raynaud. Morfea linear dapat mengakibatkan wajah besar atau ekstremitas asimetri, kontraktur fleksi, dan cacat.[5] Lesi dikulit berupa plak, sirkumskripta, indurasi, keras, diameter 2-15 cm, berbentuk bulat atau oval. Awalnya berwarna keunguan. Permukaan kulit menjadi lembut dan mengkilap setelah berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Mungkin disertai dengan hiper-dan hipopigmentasi di daerah sklerotik. Lesi jarang menjadi atrofi dan hiperpigmentasi tanpa melalui tahap sklerotik (atrophoderma dari Pasini dan Pierini).5 Distribusinya yaitu sirkumskripta biasanya pada batang tubuh, tungkai, wajah, alat kelamin; jarang pada aksila, perineum dan areola. Generalisata awalnya pada batang tubuh ( ekstremitas atas, payudara, perut) serta paha. Linear biasanya pada ekstremitas atau frontoparietal-kulit kepala dan wajah; di sini mungkin menyerupai bekas luka (en coup de sabre). Macular biasanya kecil (<3 mm) konfluens, klinis tidak dapat dibedakan lichen sclerosus et atrophicus. Lesi atrofi yaitu Atrophoderma dari Pasini dan Pierini. 5 Manifestasi extracutaneous terdapat pada 20% pasien. Manifestasinya berupa malaise, kelelahan, mialgia, dan arthralgia. Arthralgia biasanya terlokalisasi pada ekstremitas yang terkena. Lesi linier dan mendalam juga dapat dikaitkan dengan arthritis, sindrom carpal tunnel, dan neuropati perifer lainnya.
Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat 15

Keluhan lain yaitu disfagia (dismotilitas esofagus atau refluks), dyspnea, dan keluhan pembuluh darah. Manifestasi neurologis, umumnya pada pasien dengan en coup de sabre atau atrofi hemifacial progresif, termasuk kejang (biasanya kompleks parsial), sakit kepala, kelumpuhan saraf kranial, neuralgia trigeminal, hemiparesis / kelemahan otot, nyeri mata, dan perubahan visual sekunder untuk keterlibatan sistem saraf pusat yang mendasarinya.[6]. Gejala klinis pada rambut dan kuku yaitu terdapat alopecia dengan plak kulit kepala. Terutama dengan morfea linier di kepala.5 Klasifikasi skleroderma lokalisata terbagi 5, yaitu: o Morfea soliter (morfea en plaque) Lesi terdiri atas bercak sklerotik yang numuler. Bercak biasanya berbentuk bulat, berbatas jelas, dan berkilat seperti lilin. Warna bercak merah kebiru-biruan, kadang-kadang seperti gading dengan halo ungu (violaceus ilia ring). Hal tersebut berarti lesi masih inflamatorik (aktif). Bagian tengan bercak berawarna putih kekuningan seperti gading. Didalam lesi rambut berkurang, begitu juga respon keringat menurun. Bercak atau plak tersebut keras dan berindurasi, tetapi tidak melekat erat pada jaringan di bawahnya.
Inflammatory plaque-type morphea on the abdomen, characterized by induration, erythema, and a surrounding lilac ring.

o Morfea gutata Bentuk ini sangat jarang. Lesi terdiri atas bercak kecil dan bulat yang atrofik. disekitarnya terdapat ungu kebiru-biruan. Beberapa lesi berkelompok, lokalisasi biasanya di dada atau di leher. o Skleroderma linear (Skleroderma en coup de sabre)

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

16

Lesi soliter dan unilateral. Biasanya lesi di kepala, dahi atau ekstrimitas. Pada lesi terdapat atrofi dan depresi. Berbeda dengan morfea biasa, yang terletak di seuperfisial, maka skleroderma linear menyerang laisan-lapisan kulit dalam, lemak subkutaneus, otot, tulang dan otak. Bila penyakit mulai pada usia dekade pertama atau kedua, maka seringkali disertai deformitas. Yang dapat dijumpai ialah hemi-atrofi dari sebuah ekstrimitas atau wajah, kontraktur di wajah, atau anomali kolumna vertebrata. Jika lesi terlalu lama maka dapat menyebabkan atrofi atau sklerotik. 6 Morfea linear frontoparietal disebut juga dengan en coup de sabre yang ditandai dengan lesi linear, depresi atrofi pada frontoparietal yaitu wajah dan kulit kepala. Morfea linear frontoparietal dapat menyebabkan kelainan pada ocular serta central nervus system. Gejala pada kulit kepala biasanya ditandai dengan alopesia.6

A hyperpigmented band of linear morphe involving the left part of the trunk and thigh

Linear atrophic depression of an en coup de sabre lesion on the right side of the forehead and the frontal part of the scalp.

o Morfea segmental Bila berada di satu atau lebih ekstrimitas. Disamping ada indurasi, ada atrofi pada lemak subkutis dan otot. Akibatnya ialah kontraktur otot dan tendon, serta ankilosis pada sendi tangan dan kaki. o Morfea generalisata

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

17

Bentuk tersebut merupakan kombinasi empat bentuk diatas. Morfea tersebar luas dan disertai atrofi otot-otot, sehingga timbul disabilitas. Lokasi terutama di badan bagian atas, abdomen, bokong, dan tungkai. Diagnosa Pemeriksaan fisik lengkap dianjurkan, termasuk mukosa genital dan oral. Pada anak-anak, lesi tersebut dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan, dan atrofi otot anggota tubuh yang terkena. 6 Morfea sekitar sendi dan linier morfea dapat menyebabkan kontraktur fleksi. Linear morfea kepala dapat menimbulkan atrofi okular dan atrofi tulang. 5 Kelemahan otot dapat terjadi pada pasien dengan kelainan sistem saraf pusat yang berhubungan dengan morfea linier kraniofasial. Manifestasi okular yang paling umum di en coup de sabre varian dari morfea yaitu termasuk ptosis, ectropion, disfungsi otot ekstraokular, uveitis anterior, episkleritis, glaukoma, xerophthalmia, dan keratitis. Penemuan oral pada pasien dengan morfea kraniofasial meliputi maloklusi, dan asimetri lidah. 6 Tes laboratorium memiliki peran yang terbatas dalam evaluasi pasien dengan morfea. Penelitian berikut dapat dipertimbangkan atas dasar kasus per kasus (misalnya, untuk memantau aktivitas penyakit) tetapi umumnya tidak diperlukan. Pada pemeriksaan laboratorium, CBC normal, sedimen eritrosit normal, reumatoid factor positif pada 15-60%, antinuclerar antibodi positif pada 20-80%. Temuan histologis morfea dan sistemik sclerosis serupa, dengan proses dasar penebalan dan homogenisasi bundel kolagen. Proses sklerotik di morfea berpusat di bawah dermis retikular, sedangkan varian lainnya yang ditandai dengan penggantian lemak subkutan dan jaringan di bawahnya dengan kolagen.

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

18

Histopathology of mature scleroderma; full-thickness sclerosis of the dermis. Photomicrograph courtesy of Dirk Elston, MD.

Epidermis biasanya normal, tapi rete ridges dapat menjadi rata. Pada tahap awal inflamasi, perivaskular dan terdapat infiltrat interstitial dari campuran limfosit dengan sel plasma dan eosinofil dalam dermis retikuler dan / atau trabekula fibrosa jaringan subkutan. Dinding pembuluh darah menunjukkan pembengkakan endotel dan edema, dan penebalan yang sudah ada sebelumnya dan pengendapan halus.6 Dermis terlihat edematous dengan homogen dan eosinophilic kolagen. Sedikit infiltrat, perivaskular atau difus; limfosit, sel plasma, makrofag. Kemudian, dermis menebal dengan beberapa fibroblast dan kolagen padat, inflamasi infiltrat di dermal- junction subkutis. Lesi Pansclerotic menunjukkan fibrosis dan hilangnya jaringan subkutan, dengan fibrosis pada fasia.5 Pada tahap sklerotik, infiltrasi inflamasi biasanya menghilang. Bundel kolagen dalam dermis retikuler dan subkutis menjadi tebal dan hyalinized. Atrofi kelenjar ekrin tampaknya terperangkap di tengah dermis menebal sebagai lemak subkutan yang digantikan oleh kolagen. Tergantung pada subtipe, proses sclerosis dapat meluas ke fasia dan bahkan otot yang mendasari, sebaliknya, bundel kolagen menebal dibatasi untuk dermis morphea dangkal.6 Radiografi mungkin dapat membantu dalam kasus linear (termasuk en coup de sabre) di duga karena keterlibatan tulang yang mendasari penyakit ini. Hal ini juga dapat digunakan untuk memantau pasien anak-anak yang berpotensi cacat pertumbuhan dengan MRI otak dan tengkorak pada pasien dengan en coup de sabre dan sindrom Parry-Romberg yang dapat mengungkapkan kelainan seperti
Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat 19

atrofi

kortikal,

kalsifikasi

subkortikal,

dilatasi

ventrikel,

peningkatan

leptomeningeal, anomali pembuluh darah intrakranial, dan atrofi tengkorak, bahkan dalam adanya gejala neurologis. Temuan khas termasuk edema difus jaringan subkutan dengan penebalan, peningkatan intensitas sinyal pada gambar T2.

II. 2. 1. 5. Penatalaksanaan Secara umum, terapi yang bertujuan mengurangi aktivitas inflamasi pada awal penyakit yang lebih sukses dari upaya untuk mengurangi sclerosis. Fototerapi merupakan modalitas lain yang penting.[6] Tidak ada pengobatan yang efektif untuk morfea, namun beberapa laporan pengobatan adalah sebagai berikut. Fototerapi dengan UVA-1 (340-400 nm). Dalam beberapa pengalaman, pengobatan ini tidak mudah karena iradiasi berkepanjangan dan hiperpigmentasi dapat terjadi pada daerah yang diradiasi.5 Kortikosteroid Agen ini mengurangi inflamasi dan menekan sintesis kolagen. Contohnya yaitu Triamcinolone acetonide (Aristocort, Kenalog), Clobetasol propionat 0,05% krim atau salep (Temovate). Dapat juga diberikan kortikosteroid topikal yaitu prednisone (Deltasone, Orasone). Terapi kortikosteroid sistemik (sering digunakan dalam kombinasi dengan MTX) yang sesuai untuk pasien dengan penyakit inflamasi aktif.6 Analog vitamin D Agen ini menghambat aktivitas fibroblast dan produksi TGF-beta dan memiliki efek anti-inflamasi. Contohnya yaitu salep Calcipotriene 0,005% (Dovonex).6 Antirematik Agen-agen ini dapat mengurangi peradangan yang terkait dengan morfea.

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

20

- Methotrexate (Rheumatrex, Trexall). Antimetabolit yang menghambat reduktase dihydrofolate, sehingga menghambat sintesis DNA dan RNA dalam limfosit dan sel kekebalan lainnya. Ini dan mekanisme lain menyebabkan efek antiinflamasi, yang tercermin dalam penurunan tingkat sirkulasi sitokin seperti IL-2, IL-6, dan IL-8 pada pasien morfea.6 Imunosupresan Contohnya yaitu salep Tacrolimus 0,1%. Mekanismenya yaitu mengurangi gatal dan inflamasi dengan menekan pelepasan sitokin dari sel T. Juga menghambat transkripsi gen yang mengkode IL-3, IL-4, IL-5, GM-CSF, dan TNF-alpha, yang semuanya terlibat dalam tahap awal aktivasi T-sel. Selain itu, dapat menghambat pelepasan mediator pre-formed dari sel mast kulit dan basofil, dan menurunkan regulasi ekspresi pada sel Langerhans FCeRI. Tersedia sebagai salep dalam konsentrasi 0,03 dan 0,1%. Terindikasi hanya setelah pilihan pengobatan lain telah gagal.6 Mycophenolate. Menghambat inosin monofosfat dehidrogenase (IMPDH) dan menekan sintesis purin oleh limfosit, sehingga menghambat proliferasi. Menghambat produksi antibodi. Formulasi baru yaitu asam mycophenolic (MPA, Myfortic).6

II.2. 2. SKLERODERMA SISTEMIK II. 2. 2. 1. Definisi Sclerosis sistemik adalah penyakit sistemik yang mempengaruhi banyak sistem organ. Hal ini paling jelas di kulit, namun, saluran pencernaan, saluran pernapasan, ginjal, jantung, dan sistem genitourinari, dan banyak struktur vaskular juga sering terlibat. Istilah sclerosis sistemik digunakan untuk menggambarkan penyakit sistemik yang ditandai dengan indurasi kulit dan penebalan disertai dengan berbagai derajat fibrosis jaringan dan infiltrasi inflamasi kronis pada berbagai

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

21

organ visceral, vasculopathy fibroproliferative yang menonjol, kelebihan deposit kolagen dan komponen matriks eztraseluler serta perubahan kekebalan tubuh humoral dan seluler.5

II. 2. 2. Etiologi dan Epidemiologi Onset terjadinya skleroderma terjadi pada usia 30-50 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria dengan perbandingan 4:1.[7]. Insiden juga meningkat pada ras hitam daripada ras putih . Wanita ras hitam mempunyai risiko 10 x daripada ras putih. Faktor-faktor lingkungan (misalnya, pemicu atau akselerator) juga diduga berpengaruh pada pengembangan sclerosis sistemik meliputi:[4] Paparan Silika Paparan Solvent (vinil klorida, trichloroethylene, epoxy resin, benzena, karbon tetraklorida) Paparan radiasi atau radioterapi Obat: Bleomycin dan pentazocine juga mungkin terlibat dalam perkembangan gangguan sclerosis sistemik

II. 2. 3. Patogenesa Penyebab sistemik skleroderma tidak diketahui. Kemungkinan utama yaitu karena luka pada endotel sel dalam pembuluh darah. Awalnya terjadi edema pada organ target diikuti oleh fibrosis ; jumlah kapiler kulit berkurang dan sisanya melebar serta menjadi banyak sehingga terlihat seperti telangiectasia. Fibrosis terjadi karena kelebihan produksi kolagen oleh fibroblast.6 Gejala dari inflamasi dan fibrosis jaringan yang progresif dan oklusi microvasculature oleh produksi berlebihan dan deposisi kolagen jenis I dan III. Tingkat makromolekul lainnya (misalnya, glukosaminoglikan, tenascin, fibronektin) ditemukan pada jaringan ikat juga meningkat. Perubahan vaskular menunjukkan kecenderungan untuk arteri kecil dan arteriol. Disfungsi vaskular adalah salah satu perubahan paling awal dari sclerosis sistemik dan dapat

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

22

mewakili kejadian awal dalam patogenesis terjadinya sclerosis sistemik. Perubahan berat pada pembuluh darah kecil pada kulit dan organ internal, termasuk fibrosis dan infiltrasi sel perivaskular dengan sel T aktif, hampir selalu ada pada sclerosis sistemik.4 Perubahan pigmen kulit diantaranya hiperpigmentasi atau hipopigmentasi, atau kulit kecokelatan yang bertahan lama setelah paparan sinar matahari. Disertai juga dengan telangiectasias yaitu pembuluh melebar terletak tepat di bawah dermis pada area kulit, yang paling jelas di wajah (perioral area), tangan, dan dada anterior. Kulit tangan mungkin bengkak. Pada tahap sklerotik, kulit tampak mengkilap, keringat menurun. Proses penebalan biasanya dimulai distal pada jari. Struktur seperti lipatan kulit dan vena dorsal mulai memudar. Calcinosis dapat berkembang pada jari tangan dan kaki, biasanya sisi ekstensor dari lengan bawah dan daerah prepatellar.4

II. 2. 4. Diagnosa Klasifikasi Sistemik scleroderma dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu limited systemic scleroderma (lSSc) dan diffuse systemic scleroderma (DSSC). Pasien lSSc terdiri dari 60%, pasien biasanya perempuan; lebih tua dibandingkan dengan DSSC, dan memiliki Raynaud dengan keterlibatan kulit terbatas pada tangan, kaki, wajah, dan lengan (acrosclerosis) dan tingginya insiden antibodi anticentromeric. lSSc termasuk sindrom CREST, dan keterlibatan sistemik mungkin tidak muncul selama bertahun-tahun, pasien biasanya meninggal karena penyebab lain. Pasien DSSC memiliki onset yang relatif cepat dan menyebar, tidak hanya pada tangan dan kaki tetapi juga pada batang tubuh dan wajah, sinovitis, tendosynovitis.[7]. Kerusakan sel endothelial pusat menyebabkan peradangan dan fibrosis. sel T mungkin terlibat yang menunjukkan imunofluoresensi imunoglobulin dan komplemen pada dermo-epidermal.4 Gejala Klinis Gejala klinis yang dapat terlihat yaitu fenomena Raynaud dengan nyeri serta rasa dingin pada digiti. Nyeri/kekauan jari, lutut, poliartritis, rasa panas dalam perut, disfagia khususnya karena makanan padat, konstipasi, diare, perut kembung, malabsorpsi, BB menurun, sesak saat beraktivitas serta batuk kering.

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

23

Lesi kulit pada tangan atau kaki awalnya terdapat Fenomena Raynaud dengan perubahan triphasic warna, yaitu, pucat, sianosis, rubor. Sclerosis terjadi dalam beberapa bulan tahun, terdapat edema nonpitting pada tangan / kaki, ulserasi di ujung jari ("rat bite nekrosis"). Pada tahap akhir, sclerodactyly dengan jari yang runcing (madonna jari) dengan kulit yang mengkilap dan keras, yang terikat erat ke bawah dan tidak terdapat lipatan atau kerutan; krepitasi sendi, kontraktur fleksi; periungual telangiectasia, kuku tumbuh seperti cakar pada distal falang. Resorpsi tulang dan ulserasi menyebabkan hilangnya bagian distal dari falang. Sclerosis pada proksimal terdapat hilangnya kelenjar keringat dengan anhidrosis dan penipisan rambut di ekstremitas distal.7 Lesi pada wajah awalnya terlihat edema periorbital kemudian akhirnya edema dan fibrosis yang menyebabkan hilangnya garis wajah yang normal, masklike (pasien tampak lebih muda dari mereka), bibir tipis, microstomia, kerutan pada radial perioral, seperti paruh hidung mancung, telangiectasia dan hiperpigmentasi yang menyebar.7 Lesi pada batang tubuh yaitu terdapat pada dada dan proksimal atas serta ekstremitas bawah yang terlibat lebih awal. Kulit menjadi tegang, kaku, dan tidak dapat dilipat. Penurunan gerakan dinding dada dan mobilitas sendi. Perubahan lain yang terjadi yaitu pengapuran pada ujung jari atau di atas tonjolan tulang atau situs sclerodermatous, mungkin memborok. Dapat juga terjadi perubahan warna yaitu hiperpigmentasi yang mungkin digeneralisasi dan pada mungkin ekstremitas. 7

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

24

Pada membran mukosa dapat terjadi sklerotik pada ligamentum sublingaul. Distribusi lesi yaitu awalnya, ISSc terdapat pada jari, tangan dan wajah. Tetapi akhirnya, dapat juga terjadi pada ekstremitas atas dan bawah bagian distal serta pada batang tubuh. Pada dSSc, sklerotik terdapat pada batang tubuh dan ekstremitas. Gejala CREST terdiri dari calsinosis cutis + fenomena Raynaud + disfungsi esofageal + sklerodaktili + talangiektasis khususnya pada wajah, batang tubuh bagian atas dan tangan traktus GI. 7

Diagnosa American College of Rheumatology kriteria (ACR) merupakan klasifikasi dari sclerosis sistemik yaitu jika terdiri dari satu kriteria utama atau dua kriteria minor sebagai berikut:4 Kriteria major: proksimal scleroderma ditandai dengan penebalan yang simetris, kencang, dan indurasi dari kulit jari tangan dan kulit yang proksimal dari sendi metacarpophalangeal atau metatarsophalangeal.

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

25

Tightening of the skin in the face, with a characteristic beaklike facies and paucity of wrinkles

Sclerodactyly with digital ulceration, loss of skin creases, joint contractures, and sparse hair

Kriteria minor o Sklerodaktil: Perubahan kulit seperti tersebut diatas, tetapi hanya terbatas pada jari. o Pencengkungan jari atau hilangnya substansi jari. Daerah yang mencekung pada ujung jari atau hilangnya substansi jaringan jari terjadi akibat iskemia. o Fibrosis basal dikedua paru. Gambaran linier atau lineonodular yang reticular terutama di bagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto dada standar. Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah. Kelainan ini bukan merupakan kelainan primer paru.

Pada pemeriksaan secara umum didapatkan beberapa kelainan yaitu disfagia, konstipasi, diare, malabropsi, fibrosis paru, penurunan fungsi paruparu, restriksi dinding dada, gagal jantung, perikarditis, uremia, carpal tunnel syndrome serta kelemahan otot.[7]. Pada pemeriksaan fisik, terdapat perubahan pigmentasi kulit termasuk salt and paper appearance dengan area hiperpigmentasi, talangiektasis pada dermis, edema dan dapat menjadi sklerotik. Pada fase sklerotik, kulit terlihat mengkilat dengan karakteristik rambut kulit hilang, penurunan keringat dan penebalan yang dimulai pada jari distal. Terdapat juga

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

26

indurasi kulit serta calsinosis yang berkembang pada jari dan ektremitas ekstensor. Edema timbul akibat dari deposit glikosaminogen hidrofilik pada dermis yang disebabkan perubahan pada pembuluh darah, inflamasi dan perubahan hidrostatik. Terdapat fenomena Raynoud yang ditandai dengan perubahan warna yaitu putih, biru dan merah yang disertai nyeri. Hal ini dapat di picu oleh faktor merokok, cuaca dingin serta stress emosional. Pada pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan pemeriksaan

dermatopatologi dengan karakteristik awalnya infiltrat seluler disekitar pembuluh darah dermal dan interfase subkutaneus dermal kemudian terdapat homogenisasi serat kolagen, obliterasi serta penurunan jarak antarserat, penebalan dermis dengan pergantian total subkutaneus oleh kolagen hyalin. Terdapat juga penebalan atau hyalinisasi dari dinding pembuluh darah. Pasien skleroderma sklerotik juga dapat dilakukan pemeriksaan imunologi karena patogenesisnya berdasarkan sistem imun. Antibodi antinuklear positif pada 90-95% pasien skleroderma sklerotik. dSSc dapat dilakukan tes ANA. Pada dilatasi pemeriksaan darah histopatologi besar. Pada pada kuku

didapatkan kapiler lebih sedikit dari normal dan terdapat pembuluh pemeriksaan histopatologi lainnya didapatkan fibrosis yang meningkat di kulit dan organ lainnya. Kulit dan paru-paru terlihat infiltrasi limfosit-T. Vaskulopati fibroproliferatif berat yang mempengaruhi arteri kecil dan arteriol. Mikrotrombi platelet juga dapat ditemukan pada lumen pembuluh darah.
Fingernail capillary bed demonstrating capillary dropout with large dilated vessels.

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

27

Lung biopsy demonstrating severe interstitial fibrosis and medial fibrosis and smooth muscle hyperplasia of a pulmonary arteriole compatible with pulmonary hypertension

Lung biopsy demonstrating expansion of the interstitium of the lung by fibrous tissue along with chronic inflammatory cells.

II. 2. 5. Penatalaksanaan Tujuan terapi dari sklerotik sistemik adalah untuk menurunkan morbiditas dan mencegah komplikasi. Obat utama yang diberikan yaitu dengan tujuan menginhibisi fibrosis jaringan lunak dan vaskular sertaalterasi sistem imun. Penebalan kulit dapat diterapi dengan obat ezperimental atau intervensi ( D-penicillamine, interferon-gamma, mycophenolate mofetil, cyclophosphamide, photopheresis, allogeneic bone marrow transplantation ). Interferon-gamma terbukti efektif tetapi penggunaannya terbatas karena dapat mengaktifkan reaksi inflamasi dan sel endotelial. 3 Pruritus dapat di terapi dengan moisturizers, histamine 1 (H1) and histamine 2 (H2) blockers, tricyclic antidepressants, and trazodone. Raynaud phenomenon dapat diterapi dengan calcium channel blockers (to E1, tolerance), prazosin, prostaglandin derivatives seperti prostaglandin

dipyridamole, aspirin, and nitrat topikal. Pada kasus yang berat, pasien dianjurkan untuk dilakukan simpatectomi cervikal atau obedah simpatectomi digital. Endothelin receptor antagonist dapat digunakan untuk digital ulcers. Sildenafil efektif untuk terapi pasien dengan Raynaud phenomenon hipertensi pulmonal. Gejala GI diterapi dengan antasida, H2 blockers,PPI, prokinetic agents dan laxative. Fibrosis alveolitis pulmo diterapi dengan cyclophosphamide. Pada pasien hipertensi pulmo perlu diberikan suplemental oksigen. 3 Agen obat terbaru untuk pengobatan hipertensi pulmonal yaitu antagonis reseptop endothelin seperti sitaxsentan and ambrisentan; derivat prostaglandin seperti epoprostenol, treprostinil, beraprost, and iloprost; and phosphodiesterase type 5 (PDE-5) inhibitor seperti sildenafil and tadalafil. Myositis diterapi dengan

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

28

steroids (first choice), methotrexate, and azathioprine. Dosis prednisone 40 mg/hari. Artralgia diterpai dengan acetaminophen and nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs). 3 Digital sympathectomy dilakukan pada pasien Raynaud phenomenon yang berat. Debridemen atau amputasi dilakukan jika pasien sudah mengalami ulser yang berat sehingga menyebabkan iskemik yang berat atau infeksi digital. Bedah tangan dilakukan jika terdapat kontraktur fleksi. Glucocorticosteroids. pneumonitis ). Perdnison Immunosuppressant untuk terapi gangguan imun. Inflamasi menurun oleh dikarenakan peningkatan permeabilitas kapiler dan penekanan aktivitas PMN. Metabolisme prednisone menurun pada pasien gangguan liver. Immunosuppressive agents. Digunakan untuk menginhibisi reaksi imun.

Digunakan

untuk

terapi

kompliaksi

myositis,

Azathioprine (Imuran) Antagonizes metabolisme purin dan menginhibisi sintesis DNA, RNA, and proteins. Menurunkan proliferasi sel imun menyebabkan aktivitas autoimun menurun.

Methotrexate (Folex PFS, Rheumatrex)

Antimetabolit yang menginhibisi sintesis DNA dan reproduksi sel maligna juga menekan sistem imun.
Cyclophosphamide (Cytoxan, Neosar)

Chelating agents.
Penicillamine (Cuprimine, Depen)

Menghambat maturitas dari kolagen sehingga menyebabkan degradasi proteolitik.

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

29

Endothelin receptor antagonist. Mengikat reseptor endotelin pada endotelium dan vaskular otot polos sehingga menyebabkan vasodilatasi.
Bosentan (Tracleer)

Antagonis reseptor endotelin untuk terapi hipertensi arteri pulmo Menurunkan resistensi vaskular sistemik dan meningkatkan kardiac output tanpa meningkatkan heart rate.

Ambrisentan (Letairis) Menghambat konstriksi pembuluh darah dan elevasi tekanan darah.

II.3. LIKEN PLANUS II. 3. 1. Definisi Liken planus ditandai timbulnya papul-papul yang mempunyai warna dan konfigurasi yang khas. Papul-papul berwarna merah biru, berskuama, dan berbentuk siku-siku. Lokasinya di ekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Sangat gatal, umumnya membaik dalam waktu 1-2 tahun. 7

II. 3. 2. Etiologi, Epidemiologi, Patogenesis Hal ini terbukti bahwa mekanisme imunologi spesifik mengontrol perkembangan liken planus. Pathogenesis lichen planus terjadi akibat perubahan sel T yang dimediasi oleh mekanisme proinfamasi dan counterregulatory (T-sel perubahan patologis dimediasi melibatkan mekanisme proinflamasi dan counterregulatory berfungsi dalam patogenesis lichen planus). Tidak ada perubahan yang konsisten dalam immunoglobulin (Ig) yang terlihat dalam liken planus, dan kekebalan humoral yang paling mungkin adalah respon sekunder imunopatogenesis.8 Imunitas seluler, di sisi lain, memainkan peran utama dalam memicu ekspresi klinis penyakit. Kedua CD4 + dan CD8 + sel T ditemukan dalam kulit lesi dari liken planus. Perkembangan penyakit dapat menyebabkan akumulasi

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

30

preferensial CD8 + sel. Mayoritas limfosit dalam infiltrat liken planus adalah CD8 + dan CD45RO (memori) sel positif dan mengekspresikan alfa-beta reseptor sel T (TCR), dan pada minoritas, reseptor gamma-delta. Sel-sel ini biasanya tidak ditemukan pada kulit yang sehat. Sel-sel ini dianggap bertanggung jawab untuk pengembangan perubahan yang paling karakteristik yang diamati dalam reaksi lichenoid, yaitu apoptosis. Proses inflamasi yang mengarah ke apoptosis adalah kompleks dan tidak sepenuhnya dipahami. Interaksi epitel-limfosit dapat dibagi menjadi tiga tahap utama: pengenalan antigen, aktivasi limfosit, dan apoptosis keratinosit. 8 Distribusi LP ditemukan di seluruh dunia dengan predisposisi tidak berdasarkan ras walaupun variasinya sering terjadi. Kira-kira sebagian pasien dengan lesi pada kulit memiliki lesi oral yaitu sekitar 25 %. Liken planus tidak memiliki predisposisi yang kuat untuk setiap jenis kelamin. Beberapa penulis menemukan 60% kasus LP pada wanita. Ini berarti wanita lebih banyak daripada pria dengan ratio 2:3 dan predominan terjadi pada orang dewasa di usia lebih dari 40 tahun. Pada daerah tropis dan subtropis kelompok umur muda juga menderita LP. Prevalensi oral liken planus sekitar 1-2% dan lebih sering pada perempuan dengan usia > 40 tahun. Di Jepang prevalensinya sekitar 0,5%, 1,9% di Swedia, 2,6% di India, dan 0,38% di Malaysia.8 Peningkatan produksi sitokin TH1 merupakan kunci dan penanda awal terjadinya LP, yang diinduksi secara genetik, dan adanya polimorfisme genetik dari sitokin yang terlihat mendominasi, baik pada lesi yang berkembang hanya pada mulut (diasosiasikan dengan interferon-gamma (IFN-)) atau pada mulut dan kulit (diasosiasikan dengan tumor nekrosis faktor-alpha(TNF-)). Sel T yang teraktivasi kemudian akan tertarik dan bermigrasi melalui epitelium mulut, lebih jauh akan tertarik oleh adhesi molekul interseluler (ICAM-1 dan VCAM), regulasi ke atas dari protein matriks ekstraseluler membran dasar epitelial, termasuk kolagen tipe IV dan VII, laminin dan integrin, dan kemungkinan oleh jalur sinyal CXCR3 dan CCR5. 9 Sitokin disekresi oleh keratinosit misalnya TNF- dan interleukin (IL)-1, IL-8, IL-10, dan IL-12 yang juga kemotaktik untuk limfosit. Sel T kemudian akan berikatan pada keratinosit dan IFN-, dan regulasi berkelanjutan

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

31

dari p53, matriks metalloproteinase 1 (MMP1) dan MMP3 memicu proses kematian sel (apoptosis), yang akan menghancurkan sel basal epitelial. Perjalanan kronis dari OLP merupakan hasil dari aktivasi faktor nuklear mediator inflamasi kappa B (NF-B), dan inhibisi dari jalur pengontrol faktor pertumbuhan transformasi (TGF-beta/smad) yang menyebabkan hiperproliferasi keratinosit yang memicu timbulnya lesi putih.9 II. 3. 3. Diagnosis Gejala Klinis Gejala yang timbul pada penderita liken planus umumnya berupa rasa gatal, biasanya setelah satu atau beberapa minggu sejak kelainan pertama timbul diikuti oleh penyebaran lesi. Tempat predileksi kelainan pertama ialah pada ekstremitas, dapat di ekstremitas bawah, tetapi yang lebih sering di bagian fleksor pergelangan tangan atau lengan bawah, distribusinya simetrik. Terdapat fenomena Kobner (isomorfik), pada selaput lendir dapat terbentuk kelainan tetapi tidak menimbulkan keluhan. Kelainan yang khas terdiri atas papul yang polygonal, datar dan berkilat, kadang-kadang ada cekungan di sentral (delle). Garis-garis anyaman berwarna putih (strie Wickham) dapat dilihat pada permukaan papul. Variasi bentuk dapat terjadi pada liken planus, dapat terjadi konfigurasi anular yang tebentuk karena papul-papul membentuk lingkaran, atau karena menghilang di sentral dan perluasan ke perifer. Konfigurasi ini sering terlihat pada glans enis. Dapat pula berkonfigurasi linear atau zosteroformis. Kelainan di mukosa sangat patognomonik, letaknya di bukal, lidah, bibir, dan seluruh saluran gastrointestinal. Pada vagina dan vesika urinaria terdapat gambaran retikular seperti jala yang terdiri atas garis-garis puth atau strie abu-abu. Kelainan mukosa terdapat pada 2/3 penderita liken planus. Pada alat kelamin, 25% pria menunjukkan kelainan pada penis terdiri atas papul anular atau strie yang putih, kelainan pada kuku sebanyak 10%. Pada kulit kepala, papul yan folikular dapat menimbulkan alopesia bersikatriks.

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

32

Pada lesi intraoral dapat timbul keluhan rasa tidak nyaman sampai nyeri atau terbakar ketika makan makanan pedas. Lesi-lesi oral pada liken planus memiliki 2 tipe : 1. Tipe non erosif

a. Striae Lesi berupa banyak garis-garis atau papula-papula putih halus yang tersusun dalam suatu jaringan mirip jala. b. Atrofik Akibat dari atrofi epitel dan terutama tampak sebagai bercak-bercak mukosa yang merah, tanpa ulserasi. Tipe striae seringkali dijumpai di tepi lesinya. 2. a. Plak Lesi berupa bercak putih padat yang mempunyai permukaan yang licin, sedikit tidak teratur, dan asimetris. Lesi tersebut umumnya dijumpai pada mukosa pipi dan lidah. Pasien tidak akan menyadari adanya lesi ini. b. Erosif Bila permukaan epitel sama sekali hilang dan mengakibatkan ulserasi. Mukosa pipi dan lidah adalah daerah yang umum terkena. Pada awalnya timbul vesikel atau bulla, yang akhirnya tererosi dan menjadi ulserasi. Lesi-lesi yang matang mempunyai tepi-tepi merah tak teratur, pseudomembran sentral nekrotik yang kekuning-kuningan dan bercak putih melingkar yang sering terdapat di perifernya. Keadaan ini sangat sakit dan dapat terjadi cepat sekali. Pada umumnya banyak variasi secara klinik penyakit liken planus yang dikategorikan menurut : (1) bentuk lesi, (2) lokasi. 1. a. Bentuk Lesi Bentuk Anuler. Tipe erosif

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

33

Bentuk lesi ini terdapat di punggung dan lebih sering ditemukan di penis serta skrotum. Kira-kira ditemukan pada 10% penderita LP. Umumnya papula membentuk gambaran cincin. Bentuk lain dari anuler liken planus terjadi ketika lesi membesar dengan diameter 2 sampai 3 cm dan mengalami hiperpigmentasi. b. Erosi dan Ulserasi.

Bentuk ini menunjukkan lesi-lesi yang erosif, yang kemudian menjadi ulkus pada selaput lendir yang telah terkena LP.

c.

Atropik.

Bentuk ini jarang terdapat, tetapi pernah dilaporkan bersama dengan bentuk folikuler, vesikulo bulosa, atau hipertrofik. d. Liken Planus Guttate.

Variasi ini merupakan bentuk akut dari LP yang paling sering ditemukan. Terdiri dari papul yang distribusinya luas pada LP. Papul merupakan ciri utama dari LP dengan distribusi yang khas sehingga variasi ini berbeda dengan yang lainnya. e. Liken Planus Folikular (Liken Plano-pilaris).

Lesi folikuler merupakan bagian dari liken planus tipikal, tetapi kadang-kadang menonjol dan sulit untuk didiganosis. Sementara mayoritas, papulnya datar, lesinya berkelompok seperti duri dan berkembang disekitar folikel rambut (liken plano-pilaris). Lesi folikuler terdapat di kulit kepala yang bersisik dan

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

34

terlihat

seperti

bekas

luka

pada

alopesia.

f.

Liken planus pigmentosus.

Merupakan pigmen kronik yang difus atau retikulasi hiperpigmen dengan makula yang berwarna coklat tua pada daerah yang sering terkena paparan sinar matahari seperti wajah, leher dan daerah lipatan lainnya. g. Liken planus vesiko-bullosa.

Vesikel dan bula pada LP pasti ada, akan tetapi kadang-kadang menonjol secara bersamaan sehingga sulit untuk didiagnosis. Liken planus bullosa merupakan variasi yang jarang sehingga berkembang menjadi lesi berupa vesikel dan bula pada penyakit liken planus.

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

35

h.

Liken planus aktinik.

Nama lain variasi ini adalah liken planus subtropik, liken planus tropik, erupsi likenoid aktinik, liken planus aktinikus, liken planus anuler atropi, dan likenoid melanodermatosis. 2. a. Lokasi variasi Liken planus pada kulit kepala.

Secara klinik maupun histologi liken planopilaris atau liken planus folikuler menyerang kulit kepala. Pada kulit kepala secara tipikal terlihat seperti gabungan papul keratotik yang folikuler b. Liken planus pada Kuku.

Permukaan kuku yang menipis merupakan karakteristik dari kuku yanabnormal, ridging longitudinal dan adanya retakan/celah. Dasar kuku mengalami perubahan, akan tetapi non spesifik seperti kuning karena adanya kerusakan pada warna kuku, onikolisis dan hiperkeratosis subungual. c. Liken planus pada telapak tangan dan tumit.

Karakteristik bentuk lesi LP yang terdapat pada telapak tangan dan tumit serta adanya lesi perubahan warna di tempat lain. Bentuknya terdiri dari papul atau nodul dan lebih aktif di bagian pinggir daripada di tengah. d. Liken planus pada mukosa.

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

36

Liken planus menyerang selaput di mulut, vagina, esofagus, konjunktiva, uretra, hidung dan larings. Ciri utamanya adalah eritem dan erosi pada lidah ; kadangkadang ada plak putih dengan rasa nyeri dan tidak nyaman. Deskuamasi dan erosi pada vulva dan vagina disertai dengan rasa nyeri terbakar, dispareunia.

V. A.

PEMERIKSAAN PENUNJANG TES LABORATORIUM Belum ada analisis pemeriksaan yang spesifik untuk melihat liken planus.

Jumlah limfosit dan sel darah putih menurun. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari aktivitas sitokin di jaringan kulit. Kasus ini dikatakan positif jika kulit sensitif dari bahan merkuri dan emas. Histopatologi Papul menunjukkan penebalan lapisan granuloma, degenerasi membran basalis dan sel basal. Terdapat pula infiltrat seperti pita terdiri atas limfosit dan histiosit pada dermis bagian atas. Infiltrat tersebut padat dan mempunyai batas bawah yang tajam. Pelepasan epidermal kadang-kadang terlihat dan bila bertambah akan terbentuk bula subepidermal. Strie Wickham mungkin ada hubungan dengan bertambahnya aktivitas fokal liken planus bukan akibat penebalan lapisan granular. IgM dan fibrin terdapat pada dermis papilar pada lesi yang aktif.

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

37

H ip erk era tos istip ik al d a n h ip erg ra n u los is Pem eriksaan Im unofluoresen direct. Gam bar A. IgM positif di epidermalderm al junction Gam bar B. Fibirin di epidermalderm al junction

Diagnosis Diagnosis liken planus berdasarkan gejala klinis dan variasinya yang khas dibantu dengan pemeriksaan histopatologi. Lichen planus-like eruption tidak dapat dibedakan secara klinis dan histopatologik dari liken planus. Oleh karena itu, harus di singkirkan riwayat kontak dengan bahanbahan yang dapat menyebabkan Lichen planus-like eruption.8

Diagnosis Banding Selain adanya inflamasi yang termasuk diagnosis banding adalah lupus erithematosus (LE), liken nitidus, liken striatus, liken sklerosus, pitiriasis rosea,eriteme diskromikum perstans (dermatosis ashy), psoriasis, erupsi likenoid bentuk anuler, GVHD likenoid dan sifilis II. Pasien dengan pemphigus paraneoplastik memiliki ciri-ciri klinik yang sama dengan erupsi likenoid mukokutaneus. 8 Ketika LP menyerang mukosa vulva, lesi ini secara klinik maupun histologi akan sulit dibedakan dari penyakit inflamasi lainnya, terutama liken sklerosus. Untuk menegakkan diagnosis harus melakukan biospi, karena sulit untuk membedakannya dengan penyakit liken planus dilihat dari variasi yang ada.

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

38

II. 3. 4. Penatalaksanaan Liken planus oral Penatalaksanaan umum Untuk liken planus oral, langkah yang baik ialah menjaga kebersihan mulut. Rutin memeriksakan gigi dan mulut 6 bulan sekali. Dokter gigi juga berperan penting dalam menjaga kebersihan mulut dan gigi pasiennya dengan cara menjaga kesterilan alat-alat yang digunakan dalam memberikan pelayanan. 8 Steroid Topikal Steroid topikal adalah terapi lini pertama dalam terapi liken planus oral. Glukokortikoid topikal memperlihatkan efektifitasnya terhadap liken planus. Contoh glukokortikoid topikal memberikan hasil yang baik dalam penatalaksanaan liken planus ialah 0,1% fluocinolone acetonide dan 0,05% clobetasol propionate. Aplikasinya diberikan 4-6 kali dalam sehari. Jika terjadi kandidiasis oral dalam penatalaksanaan dengan menggunakan steroid. Maka diberikan obat kumur chlorhexidine glukonat dan antikandida topikal selama terapi. 8 Anastesi topikal juga dapat diberikan pada pasien dengan kesulitan makan dan menelan. 7, 8 Glukokortikoid dapat juga diberikan dengan cara injeksi intralesi. Yang sering digunakan adalah triamcinolone acetonide 40 mg/mL atau konsentrasi yang lebih rendah jika efektif dan aman.

Glukokortikoid sistemik Glukokortikoid sistemik efektif pada penatalaksanaan liken planus oral dan vulvovaginal erosi. Glukokortikoid sistemik dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan glukokortikoid topikal.

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

39

Dosis yang diberikan dari 30-80 mg/hari, diturunkan secara perlahan sampai 3-6 minggu. 7 Golongan Retinoid Asam retinoid topikal telah menunjukkan efektivitas dalam terapi liken planus oral erosif. Isotretinoin gel juga efektif, untuk liken planus non-erosif. Perbaikan telah nampak setelah pemberian selama 2 bulan. Tetapi rekuren sering terjadi setelah penghentian terapi. Retinoid sering dikombinasikan dengan glukokortikoid. 7 Etretinate oral diberikan dengan dosis 75 mg/hari (0,6-1,0 mg/kg BB/hari) dalam penatalaksanaan pasien liken planus oral erosif. Dalam penggunaan acitretin dengan dosis 30 mg/hari, mengalami perbaikan dalam 8 minggu. 7 Siklosporine, Tacrolimus dan Pimecrolimus Aplikasi penggunaan siklosporin dosis 100 mg/mL, 5 mL tiga kali/hari untuk liken planus oral efektif dan aman. Siklosporine oral dangan dosis 3-10 mg/kg BB/hari untuk liken planus oral yang berat. Alternatif panatalaksanaan topikal ialah agen imunosupresif, misalnya tacrolimus dan pimecrolimus. Penatalaksanaan Liken Planus Oral Topikal Lini pertama n Steroid intralesi 2x/hari Tretinoi 2x/hari n gel Steroid 4-6x/hari topikal Lidokai PM 5-40mg/mL tin Isotret inoin nat Alternatif Sistemik Steroi 30-80mg/hari d sistemik Etreti 75 mg/hari 30mg/hari Acitre 20-40 mg/hari

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

40

Isotreti noin gel

Lini kedua

orin

Siklosp 2-4x/hari kumur mulut

Fotok emoterapi Fotodi namik n

Siklos 3-10mg/kg porin vulvin Hidro 50-200mg/hr xikloroqui variasi taldo mide BB/hari Griseo200-400mg/hr

Liken planus kutaneus Glukokortikoid topikal Banyak pilihan terapi glukokortikoid topikal dan sistemik untuk penatalaksanaan liken planus kutaneus, dan dalam menentukan pilihan harus memperhatikan faktor simptomatologi, lamanya dan respon terhadap penatalaksanaan. Triamcinolone acetonide (5-10 mg/mL) efektif dalam

penatalaksanaan liken planus oral dan kutaneus. Sedangkan liken planus kuku diberikan setiap 4 minggu, selama 3-4 bulan. Untuk liken planus hipertrofik diberikan konsentrasi yang tinggi (10-20 mg/mL).

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

41

Glukokortikoid sistemik Glukokortikoid sistemik sering bermanfaat dan efektif dalam dosis yang lebih besar dari 20 mg/hari (dosisnya 30-80 mg prednisone) selama 4-6 minggu, kemudian diturunkan perlahan-lahan 4-6 minggu. Liken planopilaris diterapi dengan glukokortikoid topikal poten dikombinasi dengan glukokortikoid oral, 30-40 mg/hari selama 3 bulan. 7 Golongan Retinoid Remisi dan tanda-tanda perbaikan terlihat setelah terapi dengan acitretin 30mg/hari selama 8 minggu. Tretinoin oral digunakan dengan dosis 10-30 mg/hari dengan perbaikan dan efek samping yang ringan. Etretinate dosis rendah (10-20 mg/hari) memberikan perbaikan pada liken planus kutaneus, oral dan kuku selama 4-6 bulan. 7 Fotokemoterapi Psoralen dan PUVA selalu berhasil dalam penatalaksanaan liken planus kutaneus general. Agen Imunosupresif Siklosporine sistemik berhasil dalam penatalaksanaan liken planus rekalsitran dengan dosis 3-10 mg/kg BB/hari. Gatal selalu menghilang setelah 1-2 minggu. Kemerahan menghilang setelah 4-6 minggu. 7 Penatalaksanaan Liken Planus Kulit Topikal Lini pertama Steroid topikal Steroid intralesi s pimecroli Tacolimu oin
42

Physical en Sinar UVA n Psoral

Sistemik Steroid sistemik Etretinat 10-75 mg/hari Acitreti Isotretin 30mg/hari 20-40 mg/hari 30-80mg/hari

1-2x/hari 5-20mg/mL Variasi variasi

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

mus

Lini kedua

orin

Siklosp

3-10mg/kg BB/hari 200mg/hr 50-200mg/hr

Dapson Hidroxi kloroquin

II. 3. 5. Prognosis Penyakit ini dapat sembuh sendiri. Prognosisnya bergantung pada luasnya dan bentuknya, yang mempengaruhi waktu penyembuhan cepat atau lambat. Hasil pengamatan Tompkins menunjukkan bahwa kelainan kulit saja sembuh dalam 11 bulan, bila kulit dan selaput lender 17 bulan, selaput lender mulut saja 4 tahun, dan lesi yang hipertrofik 8 tahun 7 bulan. Kekambuhan yang terjadi sejumlah 1220%.7

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

43

DAFTAR PUSTAKA
1. Cotsner, M.I., Sontheimer R.D. Lupus erythematosus. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks dermatology in general medicine. 6th ed. New York: Mc Graw-Hill. 2. Systemic Lupus Erithematous diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview 3. Dhanita Khanna, MD. Diagnosis and Treatment of Systemic and Localized Scleroderma. Available from : http://www.medscape.org/viewarticle/743883 4. Vincent F, Christina EK. Morphea. In: Klause W, Lowell AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JS, editor. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine.6 th Ed. New York: Mc Graw Hill Medical. p.136-138 5. Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Wolff KK, Freedberg IM and Austen KF ( eds ). 2008. Dermatology in General Medicine, 7th edition. New York: McGraw Hill-Inc. 6. Wolff Klaus, Johnson Allen Richard. 2009. Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 6th edition. New York: McGraw Hill-Inc. 7. Sato MN. Evaluation of phenotypic and functional profile of myeloid and plasmocytoid dendritic cells and TCD4+ and TCD8+ cells in lichen planus. Accessed at June 20th 2013 8. Pittelkow MR, Daoud MS. Lichen planus. In: Wolff GK, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, eds. Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill, 2008:244-55.

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

44

9.

Graham-Brown R, Bourke J. Bacterial Infection. In : Mosbys Color Atlas and Text of Dermatology. 2th Edition. UK : Elsevier Limited, 2007.

Danil Anugrah Jaya (2008730007) Referat

45

You might also like