You are on page 1of 26

BAB I PENDAHULUAN

I.1

Latar Belakang Virus penyebab AIDS, dapat menular dari ibu yang terinfeksi

HIV ke bayinya. Tanpa upaya pencegahan, kurang-lebih 30 % bayi dari ibu yang terinfeksi HIV menjadi tertular juga. Ibu dengan viral load tinggi lebih mungkin menularkan HIV kepada bayinya. Namun tidak ada jumlah viral load yang cukup rendah untuk dianggap "aman".
1

Penularan HIV dari ibu kepada janin yang dikandungnya disebut transmisi vertical. Tetapi ibu hamil dengan HIV, tidak 100% menularkan virus pada bayi yang dikandungnya. Karena itu, akibatnya ibu tidak berpikir untuk segera mengakhiri kehamilan. Yang paling penting, ibu harus memperhatikan makanan dan teratur memeriksakan kehamilan. Kemungkinan kena infeksi lain pun harus dihindari. Sebab daya tahan tubuh ibu yang menderita HIV sangat rendah. Bila terkena infeksi, misalnya flu, bisa lebih parah dari flu biasa. Banyak-banyak istirahat, dan jauhi penularan penyakit yang ada disekitarnya.2 Proses penularan HIV sudah berlangsung sejak bayi dalam kandungan, yakni melalui Plasenta. Namun,resiko terbesar penularan,terjadi saat persalinan dan sesudah persalinan. Ini karena virus barkembang subur di daerah Vagina. Saat persalinan bayi mengalami kontak erat dengan vagina sebagai jalur lahir. Darah yang dikeluarkan saat persalinan pun akan mengenai tubuh bayi. Jika ada luka pada bayi, virus dari darah ibu bisa masuk melalui luka. Karena ini biasanya para dokter mengupayakan tidak melakukan tindakan persalinan dengan alat-alat bantu karena bisa melukai bayi. Sesudah persalinan pun bayi masih bisa tertular HIV, melalui ASI. Untuk itu ibu pengidap HIV tidak disarankan memberi

ASI. Dalam kondisi sekarang,hal itu sulit dilakukan, karena harga susu formula sangat mahal. Belum lagi rendahnya pemahaman tentang terkena kebersihan diare. saat memberikan beberapa susu formula. Tanpa bayi memperhatikan kebersihan air, dari botol susu, bayi sangat rentan Bahkan kasus menunjukkan, meninggal bukan karena virus, tapi karena diare. Karena itulah WHO, badan kesehatan PBB, mengajurkan ASI tetap diberikan. Tapi jangan diselang-selingi dengan susu formula. Karena kalau bayi tidak cocok, bisa terjadi luka pada usus. Akibatnya virus dalam ASI bisa masuk melalui luka tersebut. Lalu, bagaimana dengan resiko tertular HIV melalui ASI?. Sejak lahir bayi sudah harus diberi pengobatan. Yaitu dengan Zidovudine, sejenis sirup antiretroviral sesuai petunjuk dokter.2 Tidak mudah memastikan bayi yang lahir terinfeksi HIV atau tidak. Baru bisa diketahui sesudah anak berusia 18 bulan. Apalagi, tidak ada tanda-tanda fisik yang tampak. Bayi bisa saja berkembang normal, gemuk dan menggemaskan. Selain itu, tidak ada perlakuan khusus untuk bayi yang lahir dari ibu pengidap HIV. Namun, perawatan penunjang harus tetap dilakukan. Nutrisi yang cukup dan seimbang serta imunisasi yang lengkap harus pula diberikan, layaknya pada bayi normal. Tapi bila bayi sudah menunjukkan penurunan daya tahan tubuh , imunisasi dengan vaksin hidup seperti BCG, polio, campak tidak diberikan. Karena justru dapat menimbulkan penyakit pada bayi. Memang tidak mudah untuk menghadapi kenyataan bahwa bayi yang tidak tahu apa-apa terinfeksi HIV, namun jangan pesimis. Pengalaman di banyak negara menunjukkan , 20% bayi yang terinfeksi HIV baru mengalami penyakit yang serius pada usia 1 tahun. Sebagian dari jumlah tersebut meninggal ketika usianya 4 tahun. Yang penting keluarga harus mendukung terutama kepada sang ibu. Karena ibu bisa mengalami stress karena penyakitnya sendiri, juga melihat penyakit yang diderita bayinya.
2

I.2 AIDS

Epidemiologi pertama kali ditemukan pada sekelompok kaum

homoseksual di Amerika Serikat pada tahun 1981. Akan tetapi gejala-gejala serupa telah ditemukan di Afrika sekitar 1950-an. Sejak pertama kali ditemukan, penyakit ini dengan cepat berubah menjadi epidemi yang melanda dunia (pandemi).4 Penderita AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan sejak 1987, di Bali Sampai sekarang jumlahnya mencapai 839 ODHA (Orang Hidup dengan AIDS). 120 orang dikelompokkan : 97 pria dan 23 wanita, mencakup didalamnya 22 pasutri, 2 memiliki balita, 2 ibu hamil). 2 Sampai akhir 2000, diperkirakan lebih dari 36,1 juta orang di seluruh dunia terkena HIV/AIDS. 90% antaranya terjadi di negara berkembang dan 75% berada di Afrika Sub-Sahara. Di Indonesia, sampai pertengahan 2001, jumlah kasus HIV/AIDS kumulatif yang dikumpulkan dari berbagai daerah tercatat 1.624 orang, di mana 452 orang di antaranya positif AIDS. Angka di atas adalah angka resmi yang berhasil dikumpulkan oleh Departemen Kesehatan. Namun jumlah riil pengidap HIV/AIDS di Indonesia ibarat gunung es, mengingat belum semua kasus terdeteksi dengan baik. Sehingga, menurut Menteri Kesehatan RI, perkiraannya adalah sekitar 80.000 120.000 orang Indonesia telah terinfeksi HIV/AIDS.4 Selama ini seorang ibu hamil ODHA ditangani melalui program bernama Prevention of Mother to Child HIV Transmition (PMTCT). PMTCT merupakan penyebab terbesar bayi dan anak terinfeksi HIV/AIDS, yaitu sekitar 90%. Pemerintah memperkirakan jumlah penderita HIV positif di Indonesia pada tahun 2010 adalah sekira 130.000 orang. Jika angka kelahiran 2,5%, diperkirakan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) wanita yang hamil sekira 3250 orang. Angka perkiraan tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara keenam di Asia setelah India, Cina, Myanmar, Thailand, dan Kamboja dalam urutan tantangan MTCT di Asia. Di negara-negara

berkembang di mana intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi umumnya belum berjalan dan tersedia dengan baik, antara 25-45 persen ibu hamil HIV positif menularkan HIV ke bayinya selama masa kehamilan (5-10%), ketika persalinan (10-20%), ataupun setelah kelahiran melalui pemberian air susu ibu (10-15%). Di negara-negara maju, risiko penularan HIV dari ibu ke bayi telah berhasil diturunkan menjadi hanya sekira 2 persen sehubungan dengan majunya tindakan intervensi bagi ibu hamil HIV positif, yaitu layanan konseling dan tes HIV sukarela, pemberian obat antiretroviral (ARV), persalinan seksio sesarea, dan pemberian susu formula untuk bayi.5

BAB II PEMBAHASAN
4

2.1 AIDS

Definisi (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah

sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh sejenis virus bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus) di dalam darah. Human Immunodeficiency Virus, adalah suatu virus yang menyerang sel darah putih manusia dan menyebabkan menurunnya kekebalan/ daya tahan tubuh, sehingga mudah terserang infeksi/penyakit. HIV dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh dari seseorang yang telah terinfeksi dengan virus. Kontak tersebut umumnya terjadi karena penggunaan jarum suntik bersama atau hubungan seks tanpa pelindung dengan seseorang yang telah terinfeksi virus. Seorang bayi dapat tertular HIV dari ibu yang terinfeksi. Meskipun ada obat untuk perawatan penderita HIV dan AIDS, tidak ada vaksin atau obat untuk menyembuhkannya. Akan tetapi ada beberapa hal yang dapat di lakukan untuk mencegah seseorang terutama orang dewasa dan anak-anak supaya tidak terjangkit terjangkit penyakit ini.3

Gambar HIV

2.2

Patofisiologi

Virus HIV adalah suatu retrovirus, yang terdiri dari untaian tunggal RNA virus yang masuk ke dalam inti sel penjamu dan ditranskripsikan ke dalam DNA penjamu. Transkripsi virus ke dalam DNA penjamu berlangsung melalui kerja suatu enzim spesifik yang disebut reverse transcriptase yang dibawa oleh virus ke dalam sel. Setelah menjadi bagian dari DNA penjamu, virus bereplikasi dan bermutasi selama beberapa tahun dan secara perlahan tetapi tetap menghancurkan sistem imun. Sel-sel yang terinfeksi HIV adalah sel T penolong (T4) dan makrofag. Sel-sel imun di dalam darah, kulit, dan membran mukosa, yang disebut sel dendritik atau sel Langerhans, juga terinfeksi oleh virus ini. Sebagian besar sel T4 dan sel-sel lain yang terinfeksi terkonsentrasi di kelenjar limfe, limpa, dan sumsum tulang, dan menularkan virus ke sel-sel lain yang melintasi tempat-tempat tersebut. HIV menginfeksi sel melalui pengikatan dengan protein permukaan yang disebut protein CD4. Bagian virus yang bersesuaian dengan protein CD4 dikenal sebagai antigen grup 120.

6 lnn regional Imun selular

Sewaktu sel T4 yang telah terinfeksi mengalami pengaktifan untuk berpartisipasi dalam suatu respons imun, maka HIV mulai bereproduksi. Seiring dengan reproduksinya, virus menghancurkan membran sel penjamu, mungkin dengan mengganggu kemampuan sel untuk melindungi diri dari yang radikal bebas atau sel. dengan Secara menghasilkan superantigen menghancurkan

umum, HIV hanya mematikan sel-sel T4. Dengan reproduksi HIV dan kematian sel T4, semakin banyak virus baru yang masuk dalam sirkulasi. HIV ini kemudian menginfeksi sel lain. Yang ikut berperan menyebabkan kematian sel T4 adalah respon imun yang dilakukan oleh sel-sel killer penjamu, dalam usaha untuk mengeliminasi virus dan semua sel yang terinfeksi. Seiring dengan penurunan jumlah sel T4, sistem imun selular menjadi semakin lemah secara progresif. Fungsi sel B dan makrofag juga berkurang seiring dengan melemahnya fungsi sel T penolong. Virus CD4 terinfeksi >> Imun humoral

CD8 >> CD <<

Kontrol sistem imun rusak

2.3

Manifestasi dan sindrom Perjalanan Infeksi HIV klinik

Untuk dapat berada didalam tubuh manusia, HIV harus langsung masuk ke dalam aliran darah. Di luar tubuh manusia, HIV sangat cepat mati. HIV mati oleh air panas, sabun, bahan pencuci hama lain. HIV tidak dapat menular melalui udara seperti virus lain. Seseorang memperlihatkan yang gejala terinfeksi HIV dapat tetap tidak (asimtomatik) selama bertahun-tahun.

Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi menjadi sekitar 200 sampai 300

per ml darah 2 10 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi, misalnya infeksi jamur oportunistik atau timbulnya herpes zoster (cacar ular) muncul. Jumlah T4 kemudian menurun karena timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi,dan akhirnya terjadi infeksi yang lebih parah lagi. Ada 3 fase yang memperlihatkan perjalanan infeksi HIV saat pertama kali masuk dan menyerang sistem kekebalan tubuh seseorang : 1. Fase I : Masa 3 bulan pertama setelah terinfeksi virus HIV, tubuh belum membentuk antibodi secara sempurna, sehingga tes darah tidak memperlihatkan bahwa orang tersebut telah tertular HIV. Masa 3 bulan pertama ini sering disebut dengan masa jendela. 2. Fase II
:

Masa tanpa gejala, yaitu waktu (5 - 7 tahun) dimana

tes darah sudah menunjukkan adanya anti bodi HIV dalam darah, artinya positif HIV, namun pada masa ini tidak timbul gejala yang menunjukkan orang tersebut menderita AIDS, atau dia tampak sehat. 3. Fase III : Masa dengan gejala, ini sering disebut masa sebagai penderita AIDS. Seseorang di diagnosis mengidap AIDS apabila hitung sel T4 jatuh di bawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi oportunistik, kanker, atau demensia AIDS. sampai 2 tahun dan kemudian Gejala AIDS sudah timbul dan biasanya penderita dapat bertahan 6 bulan meninggal.

Resiko wanita terinfeksi HIV, 2-4 kali lebih besar dibanding laki-laki. Karena

Permukaan alat kelamin wanita lebih luas dibanding laki-laki. Kemungkinan infeksi lewat sperma saat berhubungan, lebih besar.

Konsentrasi HIV sperma lebih tinggi konsentrasi dalam cairan vagina. Padahal, spermalah yang masuk ke dalam tubuh wanita saat berhubungan.

Wanita

menanggung

resiko

seks

lewat

dubur

(yang

seharusnya tidak boleh dilakukan) yang merusak jaringan anus. Virus pun masuk ke dalam tubuh.

Daur Hidup HIV

Perjalanan Infeksi HIV

2.4 Bayinya

Penularan Infeksi HIV dari Ibu Hamil kepada

HIV ditularkan melalui kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh dari seseorang yang telah terinfeksi dengan virus HIV. Ada tiga cara dimana virus HIV ditularkan seorang ibu hamil pada bayinya, yaitu:

Saat bayi berkembang di dalam rahim (intrauterine) Saat kelahiran Saat menyusui

1. Saat bayi berkembang di dalam rahim Sampai saat ini masih banyak kalangan, termasuk juga tenaga kesehatan, yang berasumsi, bahwa semua bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif pasti akan terinfeksi HIV, karena darah bayi menyatu dengan darah ibu di dalam kandungan. Ternyata, sirkulasi darah janin dan ibu dipisahkan oleh plasenta dalam beberapa lapisan sel. Oksigen, makanan, antibodi dan obat-obatan yang memang dapat

10

menembus

plasenta,

tetapi

HIV

biasanya

tidak

dapat

menembusnya. Plasenta justru melindungi janin dari infeksi HIV. Namun, jika plasenta meradang, terinfeksi, ataupun rusak, maka bisa jadi virus akan menembus plasenta, sehingga terjadi risiko penularan HIV ke bayi. Penularan ini dikarenakan daya tahan tubuh ibu yang menderita HIV sangat rendah. Oleh karena itu seorang ibu yang positif terinfeksi HIV harus banyak-banyak beristirahat, dan menjauhi atau mencegah penularan penyakit yang ada disekitarnya. 2. Saat Persalinan Proses transmisi atau penularan HIV sudah berlangsung sejak bayi dalam kandungan, yakni melalui Plasenta. Namun, resiko terbesar penularan, terjadi saat persalinan dan sesudah persalinan. Ini karena virus barkembang subur di daerah Vagina. Saat persalinan bayi mengalami kontak yang erat dengan vagina sebagai jalur lahir. Darah yang dikeluarkan saat persalinan pun akan mengenai tubuh bayi. "Jika ada luka pada bayi, virus (dari darah ibu bisa masuk melalui luka). Karena ini biasanya para dokter mengupayakan tidak melakukan tindakan persalinan dengan alat-alat bantu lantaran bisa melukai bayi.

3. Saat Menyusui Penularan lewat ASI dimungkinkan dari seorang ibu hamil yang HIV positif. Ibu yang HIV-positif sebaiknya tidak memberi ASI kepada bayinya. Kurang-lebih 14 persen bayi terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi. Risiko ini dapat dihindari jika bayinya diberi pengganti ASI (PASI, atau formula). Namun jika PASI tidak diberi secara benar,

11

risiko lain pada bayinya menjadi semakin tinggi. Jika formula tidak bisa dilarut dengan air bersih, atau masalah biaya menyebabkan jumlah formula yang diberikan tidak cukup, lebih baik bayi disusui. Yang terburuk adalah campuran ASI dan PASI. Mungkin cara paling cocok untuk sebagian besar ibu di Indonesia adalah menyusui secara eksklusif (tidak campur dengan PASI) selama 3-4 bulan pertama, kemudian diganti dengan formula secara eksklusif (tidak campur dengan ASI). Kemungkinan penularan dari ibu ke bayi (Mother-to-Child Transmission) ini berkisar hingga 30%, artinya dari setiap 10 kehamilan dari ibu HIV positif kemungkinan ada 3 bayi yang lahir dengan HIV positif. Secara langsung (transfusi darah, produk darah atau transplantasi organ tubuh yang tercemar HIV), Lewat alat-alat (jarum suntik, peralatan dokter, jarum tato, tindik, dll) yang telah tercemar HIV karena baru dipakai oleh orang yang terinfeksi HIV dan tidak disterilisasi terlebih dahulu. Karena HIV dalam jumlah yang cukup untuk menginfeksi orang lain- ditemukan dalam darah, air mani dan cairan vagina penderita HIV. Melalui cairan-cairan tubuh yang lain, tidak pernah dilaporkan kasus penularan HIV (misalnya melalui: air mata, keringat, air liur/ludah, air kencing). Melalui hubungan seksual dengan seseorang yang terinfeksi HIV tanpa memakai kondom. Melalui transfusi darah, melalui alat-alat tajam yang telah tercemar HIV (jarum suntik, pisau cukur, tatto, dll), melalui ibu hamil yang terinfeksi HIV kepada janin yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya. Dalam satu kali hubungan seks secara tidak aman dengan orang yang terinfeksi HIV dapat terjadi penularan. Walaupun secara statistik kemungkinan ini antara 0,1% hingga 1% (jauh dibawah risiko penularan HIV melalui transfusi darah) tetapi lebih dari 90% kasus penularan HIV/AIDS terjadi melalui hubungan seks yang tidak aman. Karena kegiatan sehari-hari penderita HIV tidak

12

memungkinkan

terjadinya

pertukaran

cairan

tubuh

yang

menularkan HIV. Kita tidak tertular HIV selama kita mencegah kontak darah dengan penderita HIV dan jika berhubungan seks, kita melakukannya secara aman dengan memakai kondom. Seorang penderita HIV kelihatan, seperti halnya orang lain karena tidak menunjukkan gejala klinis. Kondisi ini disebut "asimptomatik" yaitu tanpa gejala. Pada orang dewasa sesudah 5-10 tahun mulai tampak gejala-gejala AIDS. Hubungan seksual secara anal (lewat dubur) paling berisiko menularkan HIV, karena epitel mukosa anus relatif tipis dan lebih mudah terluka dibandingkan epitel dinding vagina, sehingga HIV lebih mudah masuk ke aliran darah. Dalam berhubungan seks vaginal, perempuan lebih besar risikonya daripada pria karena selaput lendir vagina cukup rapuh. Disamping itu karena cairan sperma akan menetap cukup lama di dalam vagina, kesempatan HIV masuk ke aliran darah menjadi lebih tinggi. HIV di cairan vagina atau darah tersebut, juga dapat masuk ke aliran darah melalui saluran kencing pasangannya. HIV tidak dapat ditularkan melalui:

bersin batuk gigitan nyamuk atau serangga lain gagang pintu, gagang telepon makan, minum bersama peralatan makan/minum menggunakan wc/toilet bersama berenang bersama bergantian pakaian, handuk, saputangan bersentuhan, berjabat tangan. berpelukan, berciuman hidup serumah hubungan sosial lainnya

13

BAB III GEJALA dan TANDA


3.1 terjadi Gejala Klinis kelahiran, karena keberadaan virus HIV sendiri

Sebenarnya tidak ada tanda-tanda fisik pada infeksi HIV yang saat membutuhkan waktu yang cukup panjang (5 sampai 10 tahun hingga mencapai masa yang disebut fullblown AIDS). Tanda-tanda infeksi bisa terlihat pada 2 atau 3 bulan setelah seorang anak dilahirkan. Anak-anak yang terlahir dengan HIV bisa terkena infeksi oportunistik. Seorang bayi yang terlahir dengan kondisi terinfeksi HIV akan kelihatan sehat, tetapi kadang-kadang, antara 2 sampai 3 bulan setelah kelahirannya, bayi yang terinfeksi akan mulai kelihatan sakit-sakitan, dengan pertambahan berat badan yang kurang, infeksi jamur di mulut yang kerap kali terjadi (trush sariawan), limpa yang bengkak dan membesar, pembesaran hati atau limpa, masalah dengan sistem syaraf, infeksi berbagai jenis bakteri, termasuk juga radang paru-paru (pneumonia).

14

Adanya HIV di dalam darah bisa terjadi tanpa seseorang menunjukan gejala penyakit tertentu dan ini disebut masa HIV positif. Bila seseorang terinfeksi HIV untuk pertama kali dan kemudian memeriksakan diri dengan menjalani tes darah, maka dalam tes pertama tersebut belum tentu dapat dideteksi adanya virus HIV di dalam darah. Hal ini disebabkan kaena tubuh kita membutuhkan waktu sekitar 3 - 6 bulan untuk membentuk antibodi yang nantinya akan dideteksi oleh tes darah tersebut. Masa ini disebut window period (periode jendela) . Dalam masa ini , bila orang tersebut ternyata sudah mempunyai virus HIV di dalam tubuhnya (walau pun belum bisa di deteksi melalui tes darah), ia sudah bisa menularkan HIV melalui perilaku yang disebutkan di atas tadi. Secara umum, tanda-tanda utama yang terlihat pada seseorang yang sudah sampai pada tahapan AIDS di bagi dalam 5 stadium penyakit : 1. Stadium 1 Sakit beberapa hari/minggu sesudah infeksi selanjutnya gejala hilang sendiri, gejala yang dapat dijumpai adalah : Gejala mirip influenza, demam, lesu/lemah, nyeri sendi, batuk/sakit tenggorokan, 50 % mengalami pembesaran kelenjar. Pembesaran kelenjarnya bersifat persisten, yang sudah berlansung 3 bulan bengkak dan tidak menghilang. Teraba > 2 cm dengan ditemukan minimal 2 lokasi, tidak terasa nyeri, bilateral dan simetris. Lokasi yang biasanya mengalami pembesaran ialah bagian ketiak, leher dan oksipital. 2. Stadium II Berat badan menurun ISPA Herpes zoster

15

Ulkus oral (cheilitis angularis)

PPE Dermatitis seboroik

Jamus kuku (onychomycosis)

Kelenjar karotis membesar Lineal gingival erithema

Molusum contaiosum 3. Stadium III TB Paru Anemia Diare persisten

16

Demam persisten Candidiasis oral persisten

Malnutrisi Oral hairyleuloplakia

4. -

Stadium IV

Nutrisi berat Infeksi Oportunistik Sarkoma kaposi Kandidiasis esofaringeus Ensevalitis HIV

3.2

Diagnosis

Setiap wanita hamil harus menjalani tes HIV agar pencegahan penularan dari ibu ke anak dapat dilakukan lebih dini. Meskipun wanita tersebut telah memiliki anak sebelumnya dan anak-anak tersebut kelihatan sehat, mereka dapat saja terinfeksi HIV apabila wanita tersebut telah positif mengidap HIV pada saat mereka lahir. Tes darah diperlukan untuk memastikan hal tersebut.Meskipun demikian, bila seorang bayi baru saja dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV, tidak ada cara yang pasti untuk mangetahui apakah

17

bayi tersebut terinfeksi virus HIV. Hal ini dikarenakan bila sang ibu terinfeksi, tes ELISA yang dilakukan untuk memeriksa adanya antibodi HIV yang terdapat dalam darah bayi yang baru lahir hampir selalu menunjukkan tanda positif, karena darah bayi yang baru lahir akan mengandung antibodi HIV yang dibawa dari ibu yang terinfeksi HIV (melalui plasenta) meskipun bayi tersebut belum tentu terinfeksi HIV. Bayi-bayi ini mungkin akan tetap memiliki kandungan antibodi HIV yang positif sampai 8 bulan setelah kelahiran mereka, meskipun mereka tidak terinfeksi. Anak yang terinfeksi HIV dari ibu mereka akan mulai membangun antibodi HIV sendiri dan biasanya akan menunjukkan hasil HIV positif setelah mereka berusia 18 bulan.Anak-anak yg usianya lebih tua, remaja dan orang dewasa tes dilakukan untuk mencari infeksi HIV dengan menggunakan tes darah yang dikenal dengan nama tes ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay), yang mendeteksi adanya antibodi HIV dalam darah. Antibodi adalah sejenis protein yang diproduksi oleh tubuh sebagai merespons terhadap infeksi HIV. Seseorang yang memiliki antibodi terhadap HIV disebut sebagai positif HIV. Bila hasil tes ELISA menunjukkan hasil positif maka hasil tersebut selalu ditegaskan dengan tes lain yang disebut Western blot. Bila kedua tes ini hasilnya positif, maka pasien tersebut hampir pasti terinfeksi dengan virus HIV. Diagnosis yang paling akurat dari infeksi HIV pada anak-anak usia belia datang dari hasil tes yang menunjukkan adanya virus tersebut (bukan antibodi HIV-nya) dalam tubuh. Tes-tes ini termasuk juga kultur virus HIV dan PCR ( polymerase chain reaction), suatu tes darah yang mencari adanya DNA virus HIV.

18

BAB IV PENATALAKSANAAN dan PENCEGAHAN

4.1

Penatalaksanaan

Ada dua kemajuan besar dalam hal perawatan pengidap HIV/AIDS selama 20 tahun terakhir. Pertama adalah adanya obatobatan yang dapat menghambat virus, mencegah atau memperlambat terjadinya AIDS dan membuat orang-arang yang terinfeksi HIV dapat terbebas dari gejala AIDS lebih lama. Kedua adalah adanya pengobatan yang telah terbukti sangat penting dalam mengurangi penularan virus dari ibu pengidap HIV pada anaknya. Obat-obatan yang digunakan untuk merawat pasien dengan HIV/AIDS menggunakan setidaknya tiga strategi dibawah ini, yaitu: Mengganggu reproduksi materi genetik dari virus HIV (obatobatan ini diklasifikasikan sebagai nucleoside atau nucleotide anti-retrovirals). Menggangu produksi enzim yang dibutuhkan oleh virus HIV untuk memasuki sel-sel tertentu dalam tubuh (ini disebut protease inhibitors). Mengganggu kemampuan virus HIV untuk membungkus materi genetiknya dengan viral code yaitu, kode genetik 19

yang dibutuhkan HIV untuk dapat mereproduksi dirinya (ini disebut non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors [NNRTIs] ). Karena obat-obatan ini bekerja dengan cara yang berbeda-beda, para dokter biasanya meresepkan racikan kombinasi dari obatobatan ini yang harus diminum setiap hari. Terapi ini dikenal sebagai terapi HAART (HAART singkatan adalah dari highly active antiretroviral therapy terapi antivirus aktif). Salah satu obat dalam perawatan penderita HIV/AIDS zidovudin/ azidotimidin (AZT/retrovir) yang termasuk nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs). Para dokter juga bisa meresepkan obat-obatan untuk mencegah infeksi oportunistik tertentu seperti beberapa antibiotik yang dapat mencegah terjadinya PCP, terutama pada anak-anak. Meskipun ada sejumlah obat yang dapat digunakan untuk merawat infeksi HIV dan memperlambat terjadinya AIDS, apabila tidak digunakan secara tepat sesuai aturan, virus HIV dapat dengan cepat menjadi resisten terhadap racikan obat-obatan tersebut. Virus HIV sangat mudah beradaptasi dan dapat menemukan jalan untuk mengelabui terapi medis yang tidak dilakukan dengan tepat. Hal ini berarti bahwa bila obat-obatan yang diresepkan tidak dimakan pada saat yang tepat setiap hari, dengan cepat obat-obatan tersebut tidak akan mampu lagi menahan HIV untuk bereproduksi dan mengambil alih sel-sel tubuh. Bila hal ini terjadi, terapi baru harus dibuat dengan menggunakan obat-obatan baru yang berbeda. Dan bila racikan obat-obatan ini tidak digunakan dengan tepat, virus HIV juga akan menjadi resisten terhadap obat-obatan tersebut sehingga pada akhirnya penderita akan kehabisan pilihan terapi pengobatan bagi dirinya. Disamping kesulitan untuk membuat anak-anak kecil memakan obat mereka sesuai jadwal, obat-obatan juga menghadirkan masalah lain. Ada obat-obat tertentu yang menyebabkan efek samping yang tidak mengenakkan, seperti rasa yang pahit, atau

20

ada juga obat yang hanya ada dalam bentuk pil, yang mungkin sulit untuk ditelan oleh anak-anak. ini Para orang tua yang harus harus memberikan obat-obatan pada anak-anak mereka

bertanya pada dokter atau petugas farmasi bagaimana cara yang paling mudah untuk memakan obat tersebut. Saat ini banyak apotek yang menawarkan berbagai rasa yang dapat ditambahkan pada obat yang rasanya pahit, atau dokter anak Anda dapat merekomendasikan untuk mencampur pil obat tersebut dengan saus apel atau puding. Karena jumlah obat yang dijabarkan pada tulisan di atas masih terbatas, para dokter mengkhawatirkan bahwa bila anak-anak tersebut tidak memakan obat mereka sesuai resep (walaupun hanya ketinggalan beberapa kali), virus HIV pada akhirnya akan menjadi resisten terhadap pengobatan HIV yang ada sehingga membuat pengobatan makin sulit atau bahkan mustahil untuk dilakukan. Karena itu keharusan untuk memakan obat seperti yang diresepkan harus dilipatgandakan. Salah satu pesan paling penting yang harus diingat oleh para orang tua atau pengasuh untuk anak pengidap HIV adalah anak harus selalu memakan obat-obatan dengan teratur, pada saat yang tepat sesuai dengan yang diresepkan oleh dokter. Hal ini mungkin memang sulit dilakukan, akan tetapi banyak tim pendukung keluarga dengan HIV/AIDs dan penyedia jasa pengobatan yang telah berpengalaman yang dapat membantu keluarga tersebut dengan petunjuk praktis untuk membantu mereka agar dapat sukses dalam menjalani tantangan yang mereka hadapi dari hari ke hari. Pengobatan untuk melawan HIV memang mahal harganya. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh orang-orang, keluarga, komunitas dan negara saat ini adalah bagaimana cara membuat obat-obatan ini tersedia dengan mudah bagi semua yang membutuhkannya

21

4.2

Pencegahan

HIV dapat ditularkan dari seorang perempuan yang terinfeksi HIV pada bayinya : Selama kehamilan Saat persalinan Saat menyusui

Bila seorang wanita hamil yang terinfeksi HIV mendapatkan pengobatan yang baik secara dini dan mendapatkan pengobatan antivirus secara teratur selama kehamilannya, kemungkinan ia menularkan HIV pada bayinya yang belum lahir akan berkurang dengan drastis. Tidak semua bayi yang dilahirkan perempuan yang HIV-positif tertular HIV. Waktu si bayi tumbuh dalam kandungan, darah ibu dan bayinya menjadi sangat dekat- tetapi biasanya tidak bercampur. Bila 100 ibu yang terinfeksi HIV masing-masing melahirkan satu bayi, rata-rata 30 bayi akan tertular HIV. Rata-rata virus akan ditularkan pada lima bayi selama kehamilan, 15 lagi pada saat persalinan, dan sepuluh bayi lagi setelah lahir melalui ASI. Karena itu penting sekali bagi setiap wanita yang hamil dan mengetahui bahwa ia positif HIV untuk memulai perawatan prenatal sesegera mungkin untuk mendapatkan keuntungan dari pengobatan tersebut lebih awal. Lebih cepat si calon ibu menerima pengobatan, lebih besar kemungkinan bayinya tidak tertular HIV. Seorang ibu yang terinfeksi HIV akan menerima terapi medis sebagai berikut: Sebelum kelahiran bayinya. Terapi antivirus yang diberikan ke calon ibu pada trimester ke tiga dapat membantu mencegah penularan HIV pada bayinya.

22

Pada saat kelahiran. Pengobatan antivirus dapat diberikan pada ibu dan anak yang baru lahir untuk mengurangi risiko penularan HIV yang dapat terjadi selama proses kelahiran (karena pada saat itu bayi akan terpapar pada darah dan cairan ibunya); sebagai tambahan, si ibu akan disarankan untuk memberikan susu formula bukan ASI pada bayinya karena HIV dapat ditularkan ke bayi melalui ASI. Selama menyusui. Karena pemberian ASI tidak disarankan untuk ibu-ibu yang terinfeksi HIV, penularan ini jarang terjadi di Amerika Serikat. Meskipun demikian, di tempat-tempat lain di seluruh dunia dimana susu formula mungkin tidak tersedia, ibu dan anaknya akan diberikan terapi pengobatan untuk mengurangi risiko penularan HIV pada anak yang disusui ASI. Dimasa lalu, sebelum pengobatan antivirus rutin diberikan, hampir 25% anak-anak yang lahir dengan ibu yang terinfeksi HIV terjangkit penyakit dan meninggal pada usia 24 bulan. Studi yang dilakukan belakangan ini menunjukkan bahwa pada ibu-ibu pengidap HIV atau AIDS yang mendapatkan perawatan prenatal dan secara rutin mengkonsumsi obat antivirus selama kehamilannya, risiko penularan HIV ke bayinya hanya 5%. Bila bayi-bayi ini tertular virus HIV, mereka cenderungan memiliki muatan virus yang rendah (jumlah virus HIV di dalam tubuh mereka lebih sedikit) pada saat kelahirannya dan memiliki kesempatan untuk hidup lebih lama tanpa terjangkit penyakit. 4.3 Komplikasi

Para pengidap AIDS (terutama anak-anak) dapat menderita infeksi biasa dengan dampak yang lebih dahsyat, seperti salmonella (sejenis bakteri yang menyebabkan terjadinya diare) dan cacar air. Pada anak-anak pengidap HIV, infeksi oportunistik dan kondisi seperti di bawah ini sering kali terjadi: Infeksi virus, seperti lymphoid interstitial pneumonia (LIP), virus herpes simplex , dan infeksi sitomegalovirus

23

Infeksi parasitis, seperti PCP, penyakit radang paru yang disebabkan oleh Pneumocystis carinii, sejenis parasit mikroskopis yang tidak dapat dilawan oleh tubuh yang sistem kekebalannya rendah, dan toksplasmosis Infeksi bakteri yang serius, seperti bakteri meningitis,

tuberkulosis, dan salmonellosis Infeksi jamur seperti esophagitis (inflamasi pada esophagus), dan kandidiasis atau thrush (yeast infection). Anak-anak pengidap HIV juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena kanker karena sistem kekebalan tubuh mereka yang lemah. Limfoma yang dihubungkan dengan infeksi EBV sering terjadi pada anak-anak pengidap HIV dengan usia yang lebih tua. Kondisi yang paling sulit untuk diobati pada anak-anak pengidap HIV atau AIDS adalah sindrom wasting (ketidakmampuan untuk menjaga berat badan untuk tetap stabil karena hilangnya selera makan dalam jangka panjang dan infeksi lain yang berhubungan dengan penyakit HIV) dan ensefalopati HIV (karena infeksi HIV pada otak yang menyebabkan pembesaran dan pada akhirnya merusak jaringan otak). Ensefalopati HIV menyebabkan terjadinya demensia HIV, terutama pada orang dewasa. Sindrom wasting terkadang dapat diatasi dengan konseling gizi dan asupan suplemen berkalori tinggi setiap hari, tapi mencegah terjadinya ensefalopati HIV tetap sulit untuk dilakukan.

BAB V KESIMPULAN

24

Seorang perempuan HIV-positif yang menjadi hamil harus memikirkan kesehatan dirinya sendiri dan kesehatan bayinya. Menjadi hamil tampaknya tidak memperburuk kesehatan ibu. Risiko bayi terinfeksi HIV waktu lahir dapat hampir dihindari jika perempuan dan bayi yang baru lahir memakai terapi jangka pendek selama persalinan. Namun terapi jangka pendek mengingkatkan kemungkinan menimbulkan resistansi terhadap obat yang dipakai. Ini dapat mengurangi keberhasilan terapi untuk ibu dan bayi. Namun risiko cacat lahir disebabkan obat lebih tinggi jika obat dipakai pada triwulan pertama. Jika kita memutuskan untuk berhenti memakai beberapa obat selama kehamilan, mungkin hal ini memperburuk kesehatannya. Seorang perempuan yang mempertimbangkan menjadi hamil sebaiknya membahas pilihan pengobatan dengan dokter.

25

Daftar Pustaka

1. Ilmu Penyakit Mata Perdami, edisi kedua. Sagung Seto, Jakarta, 2002. 2. Ilyas Sidarta, SpM, Prof.dr. Ilmu Penyakit Mata, edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2005. 3. Lang,Gerhard K,M.D. Ophtalmology A Short Texbook. University Eye Hospital Ulm Germany, Thieme New York, 2000. 4. Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum, edisi 14. Widya Medika, Jakarta, 2000. 5. www.Google.com Macewen, Caroline J. Ocular Injuries. Stuttgart

Hospital and Medical School, Dundee, U.K. 1999 6. www.Google.com Doan, Andrew, M.D., Ph.D. and Thomas Oetting. Assessment and Management of Ocular Traumatic. University of Lowa. 2005. 7. www.Google.com Nur Ahmad. Cedera Mata. Juli, 2006.

26

You might also like