You are on page 1of 0

Jurnal GEA Jurusan Pendidikan Geografi Vol. 5, No.

9, April 2005

KAJIAN KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) LEUWIGAJAH
DALAM KONTEKS TATA-RUANG
Oleh : Nandi

ABSTRAK
Keberadaan sebuah tempat pembuangan akhir (TPA) sampah memang diperlukan oleh suatu
daerah, karena sampah senantiasa diproduksi oleh penduduk dalam segala aktivitasnya. Selama
penduduk terus berkembang maka produksi sampah pun semakin besar. TPA sebagai terminal akhir
sampah memerlukan ruang dalam menampung sampah yang masuk. Penempatan ruang itu tentunya
memerlukan perencanaan dan pemikiran yang sangat matang dari para pengelolanya, termasuk
pemerintah daerah sebagai penyedia fasilitas itu. Salah satu lokasi yang dijadikan TPA adalah
Leuwigajah. Secara administratif TPA Leuwigajah berada di kawasan Kota Cimahi. Kabupaten
Bandung, Kota Bandung, Dan Kota Cimahi mempunyai andil besar sebagai pemasok sampah untuk
TPA Leuwigajah, kerena lokasi TPA Leuwigajah selama ini dijadikan sebagai penampung dari ketiga
kawasan tersebut. Dengan volume sampah yang setiap harinya masuk mencapai 5 ton, TPA
Leuwigajah semakin lama semakin tidak sanggup menampungnya. Dengan menggunakan sistem open
dumping, yaitu membiarkan tumpukan sampah menggunung dan diitimbun pada lahan yang terbuka
maka secara tidak langsung dengan proses waktu akan menyebabkan lokasi tersebut akan mengalami
ketidakseimbangan terhadap dayadukung lingkungan sekitar, maka selain pencemaran lingkungan
yang ditimbulkan seperti bau yang menyengat, sumber penyakit , ledakan dan lainnya, juga
menyebabkan terjadinya bencana longsor sampah, karena secara topografis TPA Leuwigajah berada
pada kemiringan yang cukup ditambah tumpukan sampah yang semakin menumpuk maka lokasi
tersebut rentan terhadap bahaya longsor. Karena itu dibutuhkan strategi dalam pengelolaan sampah
dimulai dari pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan menuju lingkungan sanitasi yang dituju.



1. PENDAHULUAN

Peningkatan jumlah penduduk di wilayah Bandung Raya memberikan dampak terhadap
peningkatan volume sampah dan kerusakan lingkungan sekitarnya, seperti yang dikemukakan oleh
Alikodra dalam (Sarbi Dkk: 2004: 70) bahwa pada umumnya masalah lingkungan hidup timbul karena
berbagai sebab : (1) Urbanisasi yang cepat dan penggunaan teknologi yang kurang bijaksana dan
cenderung untuk memusatkan penduduk dan sampah pada tempat yang relatif sempit. (2) Konsentrasi
sampah yang melebihi lingkungan (tanah, udara, air, dan biologis) untuk mengasimilasikannya
disebabkan oleh kemunduran mutu lingkungan hidup untuk kehidupan biologis termasuk manusia. (3)
Pertambahan jumlah penduduk serta peningkatan jumlah kegiatan pembangunan yang mengakibatkaqn
terjadinya pergeseran pola penggunaan lahan di Indonesia. Sering dijumpai pola penggunaan lahan
yang tidak sesuai dengan kaidah penataan ruang dan kemampuan serta kesesuaian lahan, sehingga
timbul masalah seperti lahan kritis, hilangnya lahan pertanian yang subur, dan terjadinya pencemaran
tanah. (4). Pertumbuhan ekonomi dan industri yang menyebabkan terjadinya kecenderungan kepada
perubahan siklus alami, terutama mengenai perubahan-perubahan sungai dan kegiatan lain yang dapat
mengurangi produktivitas biologis.
Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang. Ruang tempat
mereka tinggal dalam upaya meningkatkan status dan kualitas hidupnya yaitu dengan mengolah
sumber daya, baik itu sumber daya alam atau pun sumber daya manusia itu sendiri. Disadari atau
tidak dalam proses pemanfaatan sumber daya itu manusia menghasilkan sampah, dan sampah
tersebut akan menyebabkan pencemaran lingkungan. Seperti rumusan (Menteri Negara Lingkungan
Hidup, 2003) Sampah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang berwujud padat baik berupa zat
organik maupun anorganik yang bersifat dapat terurai maupun tidak dapat terurai dan dianggap
sudah tidak berguna lagi sehingga dibuang ke lingkungan. Sedang pencemaran lingkungan sendiri,
Jurnal GEA Jurusan Pendidikan Geografi Vol. 5, No.9, April 2005

menurut Sunu (2001:4) adalah masuk atau dimasukannya mahluk hidup, zat, energi, dan komponen
lain kedalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegitan manusia atau proses
alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkunganmenjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Penguraian sampah sendiri disebabkan oleh aktifitas mikroorganisme. Pembusukan sampah
ini akan menghasilkan gas metana (CH 4 dan H2S ) yang bersifat racun bagi tubuh makhluk hidup.
Sampah yang tidak dapat membusuk adalah sampah yang memiliki bahan dasar plastik, logam,
gelas, karet. Untuk pemusnahannya dapat dilakukan pembakaran tetapi dapat menimbulkan dampak
lingkungan karena menghasilkan zat kimia, debu dan abu yang berbahaya bagi makhluk hidup.
Peningkatan jumlah sampah disebabkan oleh bertambahnya jumlah penduduk, keadaan sosial
ekonomi, dan kemajuan teknologi. Volume Sampah yang dibuang di Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) di Leuwigajah itu adalah sampah-sampah yang datang dari Kabupaten Bandung, Kota Bandung
dan Kota Cimahi. Setiap harinya, sampah yang dibuang ke TPA tersebut berasal dari Kota Bandung
sebanyak dua ton, dari Kabupaten Bandung satu ton dan dari Kota Cimahi sekitar 400 kuintal.
Upaya mengurangi volume sampah yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung,
Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi sebagai penyuplai sampah utama di wilayah Bandung Raya
dengan cara membakarnya di lahan terbuka telah menimbulkan polusi asap dan debu. Karena itu
Pemerintah Kabupaten dan Kota tersebut menganggap perlu memiliki lokasi tempat pembuangan yang
memadai dan memenuhi persyaratan ambang batas lingkungan hidup.


2. TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH LEUWIGAJAH


Pada tahun 1986 Pemerintah kabupaten Bandung mulai membangun TPA Leuwigajah.
Leuwigajah dinilai cukup cocok untuk dijadikan TPA karena lahannya yang miring yang dapat
dijadikan tempat pengumpul sampah dan lokasinya yang jauh dengan pemukiman penduduk. Areal
ini semula merupakan bekas lahan galian tanah karena secara bersamaan di lokasi sekitar dijadikan
tempat penambangan galian C.
Areal TPA Leuwigajah saat ini mencakup dua desa yang secara administratif terbagi dalam
dua daerah yaitu Kampung Cilimus dan kampung Gunung Aki Desa Batujajar Timur, Kecamatan
Batujajar yang masuk kedalam Pemerintah Kabupaten Bandung, dan Kampung Cireundeu serta
Kampung Pojok yang berada di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan masuk ke Kota
Cimahi. TPA ini sejak dibuka tahun 1986 menerapkan sistem Open Dumping atau penimbunan
sampah secara terbuka pada lahan terbuka sehingga menyerupai gunungan sampah dengan total
area sekira seluas 25 ha. Seiring dengan penambahan volume sampah yang masuk setiap harinya
maka luas areal penimbunan pun bertambah pula sehingga mengakibatkan jarak lokasi TPA dengan
pemukiman penduduk semakin mendekat. Pada awalnya perencanaan pembangunan lokasi TPA ini
hanya berdasarkan pada potensi fisik saja yaitu memanfaatkan kemiringan lereng yang diapit oleh
dua buah gunung yaitu Gunung Aki dan Gunung Leutik tanpa memperhitungkan akibat yang akan
timbul dikemudian hari yang justru dapat merugikan kondisi penduduk dan lingkungan sekitar.
Secara umum pengelolaan sampah di perkotaan dilakukan melalui 3 tahapan kegiatan, yakni :
pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir/pengolahan. Tahapan kegiatan tersebut
merupakan suatu sistem, sehingga masing-masing tahapan dapat disebut sebagai sub sistem.
Jurnal GEA Jurusan Pendidikan Geografi Vol. 5, No.9, April 2005

Aboejoewono (1985) menggambarkan secara sederhana tahapan-tahapan dari proses kegiatan
dalam pengelolaan sampah sebagai berikut :








Gambar 1. Tahapan kegiatan pengelolaan sampah sistem Open Dumping

Pengumpulan diartikan sebagai pengelolaan sampah dari tempat asalnya sampai ke tempat
pembuangan sementara sebelum menuju tahapan berikutnya. Pada tahapan ini digunakan sarana
bantuan berupa tong sampah, bak sampah, peti kemas sampah, gerobak dorong maupun tempat
pembuangan sementara (TPS/Dipo). Untuk melakukan pengumpulan (tanpa pemilahan), umumnya
melibatkan sejumlah tenaga yang mengumpulkan sampah setiap periode waktu tertentu.
Tahapan pengangkutan dilakukan dengan menggunakan sarana bantuan berupa alat transportasi
tertentu menuju ke tempat pembuangan akhir/pengolahan. Pada tahapan ini juga melibatkan tenaga
yang pada periode waktu tertentu mengangkut sampah dari tempat pembuangan sementara ke tempat
pembuangan akhir (TPA).
Pada tahap pembuangan akhir/pengolahan, sampah akan mengalami pemrosesan baik secara
fisik, kimia maupun biologis sedemikian hingga tuntas penyelesaian seluruh proses. Sidik et al (1985)
mengemukakan bahwa ada dua proses pembuangan akhir, yakni : open dumping (penimbunan secara
terbuka) dan sanitary lanfill (pembuangan secara sehat). Pada sistem open dumping, sampah ditimbun
di areal tertentu tanpa membutuhkan tanah penutup; sedangkan pada cara sanitary landfill, sampah
ditimbun secara berselang-seling antara lapisan sampah dan lapisan tanah sebagai penutup.
Sampah yang telah ditimbun pada tempat pembuangan akhir (TPA) dapat mengalami proses
lanjutan. Tehnologi yang digunakan dalam proses lanjutan yang umum digunakan adalah :
1. Teknologi pembakaran (Incinerator). Dengan cara ini dihasilkan produk samping berupa logam
bekas (skrap) dan uap yang dapat dikonversikan menjadi energi listrik. Keuntungan lainnya
dari penggunaan alat ini adalah :

a. dapat mengurangi volume sampah 75% - 80% dari sumber sampah tanpa proses
pemilahan,
b. abu atau terak dari sisa pembakaran cukup kering dan bebas dari pembusukan dan bisa
langsung dapat dibawa ke tempat penimbunan pada lahan kosong, rawa ataupun daerah
rendah sebagai bahan pengurug, dan
Pengumpulan

Pengangkutan

Pembuangan
Akhir/Pengolahan


LINGKUNGAN SANITASI YANG DITUJU
Jurnal GEA Jurusan Pendidikan Geografi Vol. 5, No.9, April 2005

c. pada instalasi yang cukup besar dengan kapasitas 300 ton/hari dapat dilengkapi
dengan pembangkit listrik sehingga energi listrik ( 96.000 MWH/tahun) yang dihasilkan
dapat dimanfaatkan untuk menekan biaya proses (Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 1985).

2. Teknologi komposting yang menghasilkan kompos untuk digunakan sebagai pupuk maupun
penguat struktur tanah.

3. Teknologi daur ulang yang dapat menghasilkan sampah potensial, seperti: kertas, plastik
logam dan kaca/gelas.

Secara sederhana pelaksanaan pengelolaan sampah yang umum diterapkan di perkotaan,
sebagai berikut :

Gambar 2. Tata laksana pengelolaan sampah di perkotaan

3. TATA-RUANG DAN PENENTUAN LOKASI TPA

Penentuan lokasi TPA harus memperhatikan beberapa hal, seperti dibawah ini sesuai
dengan Keputusan Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Pemukiman
Departemen kesehatan No. 281 tahun 1989 tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan Sampah
yaitu :

1. Pengelolaan sampah yang baik dan memenuhi syarat kesehatan merupakan salah satu upaya
untuk mencapai derajat kesehatan yang mendasar.
2. Masyarakat perlu dilindungi dari kemungkinan gangguan kesehatan akibat pengelolaan sampah
sejak awal hingga tempat pembuangan akhir.

Dalam lampiran Keputusan Dirjen tersebut dijelaskan pula persyaratan kesehatan
pengelolaan sampah untuk Pembuangan Akhir Sampah yang dinyatakan antara lain:

1. Lokasi untuk TPA harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Tidak merupakan sumber bau, asap, debu, bising, lalat, binatang pengerat bagi pemukiman
terdekat (minimal 3 KM)
PEMDA

1. PENYEDIA SARANA ANGKUTAN,
PERSONIL DAN PERALATAN
2. PEMUNGUTAN RETRIBUSI
3. PENYEDIA DANA PELAKSANAAN
DENGANKOORDINASI

MEMPERLANCAR
PEMBUANGAN
SAMPAH KE TPA

KOTA YANG TERTIB,
BERSIH DAN INDAH

Jurnal GEA Jurusan Pendidikan Geografi Vol. 5, No.9, April 2005

b. Tidak merupakani pencemar bagi sumber air baku untuk minum dan jarak sedikitnya 200
meter dan perlu memperhatikan struktur geologi setempat.
c. Tidak terletak pada daerah banjir.
d. Tidak terletak pada lokasi yang permukaan airnya tinggi.
e. Tidak merupakan sumber bau, kecelakaan serta memperhatikan aspek estetika.
f. Jarak dari bandara tidak kurang dari 5 KM.
2. Pengelolaan sampah di TPA harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Diupayakan agar lalat, nyamuk, tikus, kecoa tidak berkembang biak dan tidak menimbulkan
bau.
b. Memiliki drainase yang baik dan lancar.
c. Leachate harus diamankan sehingga tidak menimbulkan masalah pencemaran.
d. TPA yang digunakan untuk membuang bahan beracun dan berbahaya, lokasinya harus diberi
tanda khusus dan tercatat di Kantor Pemda.
e. Dalam hal tertentu jika populasi lalat melebihi 20 ekor per blok gril atau tikus terlihat pada
siang hari atau nyamuk Aedes, maka harus dilakukan pemberantasan dan perbaikan cara-
cara pengelolaan sampah.

3. TPA yang sudah tidak digunakan:
a. Tidak boleh untuk pemukiman
b. Tidak boleh mengambil air untuk keperluan sehari-hari

Tempat pembuangan akhir sampah juga harus memenuhi persyaratan lingkungan dan geologi.
Namun, yang terjadi di TPA Leuwigajah adalah penumpukan sampah saja, tidak ada upaya melindungi
lingkungan sekitar dari pencemaran akibat sampah. Pada tumpukan sampah yang terbuka akan timbul
pembusukan akibat sampah menjadi basah karena masuknya air. Pembusukan akan menimbulkan gas
yang berbahaya bagi manusia. Tanpa adanya penutupan, air sampah juga akan masuk ke tanah dan
mencemari air tanah.
Untuk menentukan sebuah lokasi tempat pembuangan akhir (TPA), pemerintah daerah
seharusnya melakukan penelitian dan menentukan dua atau tiga alternatif wilayah yang layak untuk
dijadikan TPA. Dari alternatif yang diajukan, akan dinilai mana lokasi yang memenuhi syarat sebagai
TPA dengan skor paling tinggi.
Berikut adalah kajian tentang keberadaan TPA leuwigajah dalam konteks tata-ruang, :
Lokasi TPA sampah Leuwigajah terletak pada ketinggian lebih dari 700 meter di atas
permukaan air laut, diapit dua gunung yaitu Gunung Aki dan Gunung Leutik. Bagian Selatan lokasi TPA
sampah merupakan daerah pertanian (persawahan) dan beberapa permukiman seperti Kp. Gunung Aki
dan Kp. Cilimus di Kecamatan Batujajar dan Kp. Pojok di Kecamatan Cimahi Selatan yang berada pada
ketinggian 640 meter lebih.
Kondisi topografis dan geografis TPA sampah Leuwigajah dapat direkam pada citra satelit
SPOT-5 milik Prancis pada tahun 2004 seperti analisis citra satelit yang dilakukan Wikantika (2005)
sebelum terjadinya bencana longsor sampah di TPA Leuwigajah. Citra satelit ini mempunyai resolusi
spasial 2,5 meter, yang artinya jika ada objek yang mempunyai luas sebesar 2,5 m x 2,5 m persegi
akan teridentifikasi pada citra. Blok-blok perumahan dan gedung-gedung yang berada di kawasan
industri dapat teridentifikasi dengan jelas, termasuk jalan tol, jalan utama dan jalan yang relatif lebih
sempit menuju lokasi TPA sampah. Sebaran sawah dan vegetasi di sekitar TPA sampah juga dapat
dikenali secara visual.
Jurnal GEA Jurusan Pendidikan Geografi Vol. 5, No.9, April 2005

Tipe vegetasi yang tumbuh di daerah perbukitan pada umumnya berupa semak belukar
dengan tutupan kanopi yang tidak rapat, sehingga rentan longsor jika terjadi hujan deras yang
berkepanjangan. Uniknya, TPA sampah tersebut terletak di antara perbukitan tetapi lokasinya relatif
dekat dengan area permukiman (100-200 meter) baik yang berada di wilayah Kota Cimahi maupun
Kabupaten Bandung, sehingga memberikan dampak terhadap kualitas lingkungan permukiman di
sekitar lokasi TPAS, seperti bau menyengat selama bertahun-tahun. Di samping itu, air tanah pada
daerah perbukitan dan air permukaan seperti sungai akan tercemar akibat terjadinya proses
pembusukan pada sampah. Maka dapat ditemukan beberapa hasil dari kajian tersebut yaitu,:

1) Sebuah lokasi tidak layak dijadikan TPA jika jarak terhadap sungai dan danau kurang dari 150
meter. Jarak yang terlalu dekat akan menyebabkan pencemaran terhadap air sungai dan danau,
Secara hidrologi, Leuwigajah tidak ideal untuk lokasi TPA. Pasalnya, tidak ada sistem drainase
yang optimal untuk menampung air limpasan dari perbukitan Aki. Air akhirnya masuk ke badan
sampah. Kondisi itu diperburuk dengan ketiadaan instalasi pengeluaran leachate di dasar TPA.
2) Demi keselamatan operasional, jarak TPA dari sesar aktif tidak boleh kurang dari 100 meter dan
berada dalam zona kerentanan gerakan tanah tinggi. Leuwigajah memiliki topografi yang juga
tidak mendukung untuk dijadikan TPA. Lokasi ini memiliki lereng yang terjal. Kemiringannya
sekitar 25 hingga 40 derajat hingga sangat memungkinkan untuk terjadinya longsor. Selain itu,
secara geologi, mengungkapkan Leuwigajah berjenis tanah yang lembek. Jenis tanah dasarnya
ialah sandstone dan conglomerate alias mengandung tanah liat (clay). Jenis tanah dasar ini akan
menjadi licin ketika berinteraksi dengan air dan memperbesar kemungkinan longsor. Agar tidak
mudah ambruk, kemiringan lereng TPA yang terbaik adalah nol hingga lima derajat, berada di
daerah bercurah hujan nol hingga 1.000 milimeter, potensi gerakan tanahnya sangat rendah,
pada lahan semak belukar, jarak terhadap sumber air atau aliran air yang dimanfaatkan
masyarakat lebih dari 2.000 meter, dan Jarak terhadap muka air tanah lebih dari 25 meter.
Sementara itu, TPA Leuwigajah juga tidak memiliki pipa pengumpul dan ventilasi gas. Akibatnya,
TPA ini rawan ledakan gas methan (CH4). Begitu terjadi ledakan di tempat yang terjal dan
bertanah dasar lembek maka longsor pun tidak bisa dihindarkan lagi.
3) TPA juga tidak bisa berada dalam daerah banjir berkala yang periode ulangnya 25 tahun, atau
lebih sering.
4) Selain itu, jika berada di sekitar pantai, jarak TPA dari garis pantai tidak boleh kurang dari 500
meter serta tidak boleh berada pada daerah pasang surut.
5) TPA juga tidak boleh berada dalam kawasan lindung agar tidak ada aktivitas pembukaan lahan di
kawasan tersebut.
6) Jarak TPA dengan pemukiman, jalan utama, dan jalan kereta api harus lebih dari 300 meter.
Pertimbangannya adalah estetika agar tidak terjadi gangguan asap dan bau. Agar tidak ada
gangguan asap terhadap penerbangan, jarak TPA dari lapangan terbang harus lebih dari 3.000
meter.
7) Demi terjaganya ketersediaan pangan, TPA tidak boleh ada di daerah sawah irigasi. TPA juga
tidak boleh berada di kawasan wisata.
8) Sebuah TPA yang bersistem sanitary landfill membutuhkan tanah lempung yang dipadatkan
untuk menutup timbunan sampah. Penutupan ini dimaksudkan agar terjadi proses di mana
sampah kembali menjadi tanah dan menghindari masuknya air pada sampah, yang
mengakibatkan pembusukan dan menambah beban timbunan.
Jurnal GEA Jurusan Pendidikan Geografi Vol. 5, No.9, April 2005

9) Idealnya, Sebuah TPA harus dekat dengan lahan penyedia tanah lempung sebagai penutup.
Jarak idealnya maksimal 1.000 meter.
TPA Leuwigajah sebenarnya sudah memenuhi sebagian syarat, antara lain, berada di daerah
dengan jenis batuan breksi dan andesit yang kurang menyerap air. Jadi, air yang dihasilkan sampah
tidak mencemari air tanah. Jarak TPA kurang dari 30 kilometer dari sumber sampah dan dekat dengan
jalan tol sehingga mempermudah distribusi sampah.

4. PENUTUP

Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu
sumber hasil aktivitas manusia maupun proses-proses alam yang tidak mempunyai nilai ekonomi,
bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif karena dalam penanganannya baik untuk
membuang atau membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar. Sampah dan pengelolaannya
kini menjadi masalah yang kian mendesak di kota-kota di Indonesia, sebab apabila tidak dilakukan
penanganan yang baik akan mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan yang
merugikan atau tidak diharapkan sehingga dapat mencemari lingkungan baik terhadap tanah, air dan
udara. Karena itu untuk mengatasi masalah pencemaran tersebut diperlukan penanganan dan
pengendalian terhadap sampah. Penanganan dan pengendalian akan menjadi semakin kompleks dan
rumit dengan semakin kompleksnya jenis maupun komposisi dari sampah sejalan dengan semakin
majunya kebudayaan. Oleh karena itu penanganan sampah di perkotaan relatif lebih sulit dibanding
sampah di desa-desa
Tempat permbuangan Akhir (TPA) Sampah Leuwigajah yang telah menerapkan system Open
Dumping, pada kenyataannya masih memberikan dampak negatif pada lingkungan, sehingga secara
operasional diperlukan penyempurnaan melalui proses monitoring dan evaluasi secara berkala.
Dampak negatif yang perlu mendapat perhatian serius adalah terjadinya akumulasi berbagai bahan
pencemar baik pada air, udara, dan tanah dan adanya bencana longsor sampah. Strategi pengelolaan
sistem lama yang mengandalkan pada sistem pengangkutan, pembuangan dan pengolahan menjadi
bahan urugan perlu diubah karena dirasakan sangat tidak ekonomis (cost center). Disamping
memerlukan biaya operasional dan lahan bagi pembuangan akhir yang besar juga menimbulkan banyak
dampak yang kurang menguntungkan bagi kehidupan masyarakat kota serta akan menumbuhkan
masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungannya..

DAFTAR PUSTAKA
Aboejoewono, A. 1985. Pengelolaan Sampah Menuju ke Sanitasi Lingkungan dan Permasalahannya;
Wilayah DKI Jakarta Sebagai Suatu Kasus. Jakarta.
BPPT Ungkap Penyebab Tragedi TPA Leuwigajah. Sabtu, 12 Maret 2005. Tersedia dalam Republika
Online: Http://www.republika.co.id.
Daniel, T. S., Hasan, P. dan Vonny, S. 1985. Tehnologi Pemanfaatan Sampah Kota dan Peran
Pemulung Sampah : Suatu Pendekatan Konseptual. Bandung. PPLH ITB.
Ketut Wikantika. 2005. Analisis Citra satelit Longsor Leuwigajah. Artikel. Pikiran Rakyat edisi Kamis 3
maret 2005.
Pramudya Sunu. 2001. Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001. Jakarta. Grasindo.
Sukadji Karbi, Dkk. 2004. Model Pengelolaan Sampah Berwawasan Lingkungan (Studi Kasus Di
Parepare). Bandung.Jurnal Pendidikan Geografi FPIPS UPI.

You might also like