You are on page 1of 3

[HADYAN RAHMAT] 2010730044

Tugas Bioetik, medikolegal, dan HAM

Kasus 1 : Dokter A yang bertugas di rumah sakit Z melakukan induksi yaitu merangsang persalinan menggunakan obat perangsang kontraksi ( oksitosin ) agar pasien melakukan persalinan dengan tindakan seksio sesarea kepada seorang pasien kurang mampu yang seharusnya bisa dilakukan persalinan normal.

Uraian Kasus 1 : Pada kasus pertama dokter A telah melanggar nilai nilai kode etik kedokteran, seorang pasien yang seharusnya diusahakan semaksimal mungkin supaya bisa melakukan persalinan normal malah diberikan obat perangsang agar pasien merasa sakit dan akhirnya dilakukan tindakan seksio sesarea. Dokter tersebut melakukan pelanggaran itu didasari ketidaksabaran serta keinginan untuk mendapatkan income yang lebih padahal dia tahu bahwa si pasien berasal dari keluarga tidak mampu.

Kasus 2 : Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang di luar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.

[HADYAN RAHMAT] 2010730044

Uraian Kasus 2 : Pada kasus diatas seorang dokter harus bisa memahami dan melakukan apa yang terdapat pada kode etik kedokteran pasal 2 dan pasal 5, sang dokter harus bertindak professional dan harus bisa memberikan masukan serta pengertian kepada suami pasien Mantan Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP

Kasus 3 : Pasien X datang ke Rumah Sakit D karena fraktur di tulang femur. Dokter S menangani kasus ini adalah dokter bedah satu-satunya di kota W. Pasien X dijadwalkan operasi, dengan melalui prosedurprosedur rutin rumah sakit, informed concent telah ditanda tangani oleh Pasien X sendiri. Pasien X sangat sadar dengan apa yang ia tanda tangani. Sebelum mengoperasi Pasien X pada jam 10.00, dokter S sudah melakukan tiga operasi elektif satu operasi cito. Malam harinya dokter S mengoperasi dua operasi cito. Operasi reposisi Pasien S telah berhasil dengan baik, dari foto rontgen pasca operasi, pen telah menancap pada tempat yang benar, kelurusan tulang telah sesuai dengan yang diharapkan. Pasien S setelah recovery dan perawatan di bangsal yang memadai akhirnya bisa dipulangkan. Belum ada seminggu, di tempat luka operasi, setiap saat selalu keluar nanah, hingga membuat pembalut luka selalu diganti.

Pasien S bermaksud kontrol lagi ke Rumah Sakit D, tetapi ia mendapati antrian begitu panjang, dan sudah menunggu mulai dari jam 8.00 hingga 11.00 dokter S tidak kunjung datang. Berkali-kali ia bertanya kepada perawat poliklinik, selalu saja jawabannya masih melakukan operasi. Karena tidak nyaman dengan apa yang dialaminya, serta tidak enak dengan pandangan-pandangan orang di sekitar yang tampaknya jijik melihat kondisi pahanya. Pasien X dan keluarga memutuskan untuk memeriksakan dirinya ke rumah sakit B yang letaknya ratusan kilometer dari rumah tinggalnya.

[HADYAN RAHMAT] 2010730044

Masuk rumah B, dengan biaya yang lebih tinggi, Parjo langsung diperiksa oleh dokter F Ahli ortopedi yang sudah terkenal hingga jauh di luar daerah. Oleh dokter F, Pasien X segera dilakukan prosedur rutin, roentgen ulang dan segera dijadwalkan operasi. Kembali dilakukan prosedur rutin, termasuk informed concent telah ditanda tangani dan Pasien X sadar betul dengan apa yang dilakukannya. Secara umum kondisi Pasien X menjelang operasi baik. Hanya dari luka operasi sebelumnya saja yang terus menerus mengalir nanah.

Akhirnya operasi debridement untuk mengatasi pus yang terus-menerus mengalir dari tulang yang didiagnosis mengalami osteomielitis dilakukan. Selama debridement dilakukan betapa mengejutkan yang dihadapi tim operasi dokter F Mereka menemukan kassa tertinggal di tulang yang telah direposisi. Masih syukur tulang mau menyatu.

Keluarga pasien ingin mengetahui mengapa terjadi bencana demikian pada Pasien X. Dengan terpaksa dokter F menjelaskan ini semua karena adanya kasa yang tertinggal di ruang antara tulang dan otot. Mendengar penjelasan itu kontan keluarga Pasien X marah dan tidak terima dengan kinerja dokter S beserta timnya. Mereka sepakat untuk melakukan somasi dengan melayangkan surat dugaan malpraktik kepada dokter S beserta direktur Rumah Sakit D lewat kuasa hukum mereka, Mereka menuntut ganti rugi senilai 1 miliar rupiah atas kerugian materiil dan imateriil yang dialami. Uraian Kasus 3 : Yang ditimpa masalah adalah Rumah Sakit D. Sedangkan rumah sakit B tidak dalam posisi bermasalah. Rumah Sakit B dalam posisi penemu kesalahan yang dilakukan oleh Rumah Sakit D. Dalam kasus ini diasumsikan tidak ada masalah administrasi pada dokter-dokter yang berpraktik baik di Rumah Sakit D maupun Rumah Sakit B. Permasalahannya adalah operasi yang dilakukan oleh dokter S terdapat bukti kelalaian yaitu kasa tertinggal di ruang antara otot dan tulang. Dokter S harus lebih teliti dalam melakukan tindakan operasi agar tidak terulang lagi hal hal seperti ini. Pembuktian laporan operasi dari dokter S bisa menjadi bukti yang meringankan di pengadilan nanti.

You might also like