You are on page 1of 13

1 BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Masalah Perjanjian baku atau juga dikenal dengan kontrak standar atau kontrak baku, mudah dijumpai di dalam kehidupan sehari-hari, terlebih dalam hal bisnis yang dilakukan oleh masyarakat. Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract. Kontrak Standar merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah.1 Dalam praktek hukum perjanjian dikenal berlakunya asas kebebasan berkontrak. Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan pemahaman bahwa setiap orang dapat melakukan suatu kontrak dengan siapapun juga dan untuk hal apapun. Aturan hukum yang berlaku di Indonesia juga memberikan dasar bagi keberlakuan asas tersebut. Pasal 1338 ayat 1 Burgerlijk Wetboek (BW: yang diterjemahkan oleh para ahli sebagai Kitab Undang-undnag Hukum Perdata) memberikan dasar bagi asas kebebeasan berkkontrak. Namun demikian, kebebasan ini bukan berarti bebas sebebas-bebasnya, tapi menekankan bahwa para pihak dapat bebas untuk mengadakan kontrak berdasarkan yang diperlukan. Selain itu, kebebasan tersebut tidak boleh bertetangan dengan undang-undang maupun kesusilaan (pasal 1320 BW). Dalam melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu
1

Munir Fuady, 2002, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 76.

2 terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (kalusul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public interest).2 Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak yang mutlak.Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat. Pembatasanpembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis. Di Indonesia dapat dijumpai tindakan negara yang merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang paling dikenal adalah yang menyangkut hubungan antara buruh dan majikan/pengusaha. Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi saja yang mempunyai kekuatan hukum untuk membatasi bekerjanya asas kebebasan berkontrak. Penerapan kontrak baku di Indonesia secara praktis memang sangat diperlukan untuk mempermudah dilakukannya transaksi-transaksi bisnis tertentu. Apabila dilihat secara anatominya tentu tidak terlalu menjadi permasalahan. Namun, yang menjadi permasalahan adalah kedudukan para pihak yang sangat timpang, di mana ada pihak yang sangat kuat, dan ada pihak yang sangat lemah. Belum lagi dengan dimasukkannya klausula-klausula eksonerasi. Dalam transaksi bisnis, sering dijumpai suatu perjanjian baku di mana salah satu pihak adalah pihak yang membuat perjanjian baku tersebut yang kedudukannya sebagai penyedia jasa atau barang, sedangkan pihak lainnya adalah pihak yang membutuhkan. Tingkat kebutuhan pihak yang
2

Lukman Santoso, 2012, Hukum Perjanjian Kontrak, Cakrawala, Yogyakarta, Hal 35

3 membutuhkan ini seringkali membuatnya terpaksa untuk menandatangani suatu perjanjian baku untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Walaupun sebenarnya isi perjanjian baku tersebut sangat memberatkan bagi pihak yang membutuhkan tersebut, namun baginya tidak ada jalan lain lagi. Contoh konkritnya adalah perjanjian baku oleh lembaga pembiayaan yang memungkinkan seseorang membeli suatu barang yang ia butuhkan dengan cara barang tersebut dibayarkan terlebih dahulu oleh lembaga pembiayaan, kemudian orang tersebut akan membayarnya dengan mencicil kepada lembaga pembiayaan terkait. Hal ini ditempuh oleh seseoang karena kebutuhan yang mendesak akan suatu barang sedangkan ketersediaan uang sangat terbatas. Yang jadi permasalahan adalah beratnya bunga yang harus dibayar oleh pihak yang dibiayai, belum lagi kesalahan-kesalahan tertentu yang bahkan tidak disengaja pun dapat mengakibatkan ia kehilangan barangnya tersebut karena ditarik oleh pihak lembaga pembiayaan tersebut, bahkan uang cicilan yang sudah dibayarkan tersebut tidak dikembalikan sepeserpun, sebagaimana yang diatur dan disepakati oleh para pihak dalam perjanjian baku tersebut. Tentunya ini sangat tidak adil bagi kalangan yang tingkat ekonominya rendah. Atas dasar inilah penulis ingin memberikan gambaran akan penerapan perjanjian baku ini dari segi keadilan, karena salah satu tujuan hukum adalah keadilan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapatlah untuk dirumuskan suatu rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini yaitu: 1. Apakah perjanjian baku telah mecederai prinsip keadilan? 2. Bagaimana pandangan terori keadilan terhadap penerapan perjanjian baku? 1.3 Pendekatan Penulisan makalah ini menggunakan pendekatan kasus, atau dikenal denga istilah case approach. Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan sudut pandang kasus-kasus yang banyak terjadi di dalam praktek hukum masyarakat. 1.4 Landasan Teoritis a. Perjanjian Secara Umum Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

4 orang lain atau lebih. Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sangat kurang lengkap dan terlalu luas. Definisi tersebut tidak lengkap karena hanya merumuskan perjanjian sepihak saja. Disebut terlalu luas karena dapat mencangkup perjanjian kawin juga, yang mana merupakan perbuatan di lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud dalam Buku III KUHPerdata ini sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat personal, selain itu juga mencangkup perbuatan melawan hukum. Sedangkan dalam perbuatan melawan hukum tidak ada unsur persetujuan.3 Berikut ini ada beberapa pengertian perjanjian oleh para ahli dari bebrapa sumber, antara lain: 1. Abdul Kadir Muhammad, mengartikan perjanjian sebagai suatu persetujuan dengan mana satu orang lain atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum kekayaan.4 2. Sudikno Mertokusumo, mengartikan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan pada kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.5 3. Subekti, mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang yang membuatnya.6 Melalui pengertian-pengertian perjanjian di atas dapat ditemukan unsur-unsur perjanjian. Unsur-unsur tersebut terdiri atas: 1. 2. 3. 4. Kata sepakat dari dua pihak atau lebih; Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak; Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum; Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain atau timbal balik; dan

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Pedata Hukum Perutangan Bagian B, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, h.1
4

Abdul Kadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, h.78


5

Sudikno Mertokusumo, 1989, Mengenai Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h.96
6

R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.1

5 5. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan.7 Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian melahirkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan karena dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) memiliki arti yang sama, sedangkan perkataan kontrak memiliki pengertian yang lebih sempit, karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan tertulis.8 Pasal 1320 KUHPerdata mengatur mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Ketentuan pasal tersebut mengatur: Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengkatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Dua syarat awal dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai subyek atau pihak-pihak yang yang mengadakan perjanjian. Dua syarat terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai obyek atau hal yang diperjanjikan di dalam suatu perjanjian yang dibuat. b. Perjanjian Baku / Kontrak Standar Definisi dari kontrak standar itu sendiri adalah kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dan didalam kontrak tersebut sudah tercetak dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informative tersebut saja dengan sedikit atau tanpa perubahan pada klausula-klausulanya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya memiliki sedikit kesempatan guna menegosiasi maupun mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut. Sehingga sangat berat sebelah. Pihak yang disodorkan kontrak baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi take it or leave it.
7

Herlien Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung h.5
8

dan

ibid, h.14

6 Ciri perjanjian baku menurut Mariam Darus Badrulzaman ialah9 : 1) Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat. 2) Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian 3) Terdororng oleh kebutuhannya debitur terpakasa menerima perjanjian itu 4) Bentuk tertentu (tertulis) 5) Dipersiapkan secara missal dan kolektif. Implementasi kontrak standar biasa digunakan dimana banyak diterapkan dalam dunia bisnis dan perdagangan dimaksudkan untuk mempermudah operasi bisnis dan mengurangi ongkos-ongkos bisnis. Adapun yang merupakan contoh-contoh dari kontrak baku yang sering dilakukan dalam praktek adalah sebagai berikut10 : 1) Kontrak (polis) asuransi 2) Kontrak di bidang perbankan 3) Kontrak sewa guna usaha 4) Kontrak jual beli rumah atau apartemen dari perusahaan Real Estate 5) Kontrak sewa-menyewa gedung perkantoran 6) Kontrak pembuatan credit card 7) Kontrak pengiriman barang (darat, laut dan udara) 8) Dll c. Teori Keadilan 1) Teori Keadilan Menurut Thomas Aquinas11: Thomas Aquinas, dalam hubungannya dengan keadilan mengajukan tiga struktur fundamental (hubungan dasar), yaitu: a) Hubungan antar individu (ordo partium ad partes) b) Hubungan antara masyarakat sebagai keseluruhan dengan individu (ordo totius ad partes)
9

Ibid, Hal. 48
10 11

Munir Fuady, Op. Cit., Hal. 56

Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, Hal. 37

7 c) Hubungan antara individu terhadap masyarakat secara keseluruhan (ordo partium ad totum) Lebih jauh lagi menurut Thomas Aquinas, keadilan distributif pada dasarnya merupakan penghormatan terhadap person manusia (acceptation personarum) dan keluhurannya (dignitas). Dalam Konteks keadilan distributif, keadilan dan kepatutan (equity) tidak tercapai semata-mata dengan penetapan nilai yang aktual, melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu hal dengan hal yang lainnya ( aequalitas rei ad rem). Ada dua bentuk kesamaan yaitu: a. Kesamaan proporsionalitas (acqualitas proportionis) b. Kesamaan kuantitas atau jumlah (acqualitas quantitas) Thomas Aquinas juga berpendapat bahwa penghormatan terhadap person dapat terwujud apabila ada sesuatu yang dibagikan / diberikan kepada seseorang sebanding dengan yang seharusnya ia terima. Dengan dasar itu maka pengakuan terhadap person harus diarahkan pada pengakuan terhadap kepatutan, kemudian pelayanan dan penghargaan didistribusikan secara proporsional atas dasar harkat dan martabat manusia. 2) Teori Keadilan Rawls. Teori Keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls bertitik tolak pada terma Posisi Asali yaitu status quo awal yang menegaskan bahwa kesepakatan fundamental yang dicapai adalah fair12. Semua orang mempunyai hak yang sama dalam prosedur memilih prinsip; setiap orang bisa mengajukan usulan, menyampaikan penalaran mereka, dan lain-lain13. Dalam konteks ini Rawls menyebut justice as fairness yang ditandai dengan adanya prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan. Oleh karena itu diperlukan prinsip-prinsip keadilan yang lebih mengutamakan asas hak daripada asas manfaat. Salah satu prinsip keadilan distributif yang dikemukakan oleh Rawls yaitu prinsip the greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hak yang
12

Ibid, Hal. 38
13

Ibid

8 paling mendasar (hak asasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang, maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak)14.

BAB II PRINSIP KEADILAN DALAM KAITANNYA DENGAN PELAKSANAAN PERJANJIAN BAKU ATAU KONTRAK STANDAR
14

ibid

Sebenarnya kontrak baku itu sendiri tidak begitu menjadi persoalan secara hukum, mengingat kontrak baku sudah menjadi kebutuhan dalam praktek dan menjadi kebiasaan sehari-hari. Yang menjadi persoalan adalah ketika kontrak baku tersebut mengandung unsur yang tidak adil bagi salah satu pihak, sehingga apabila hal yang demikian dibenarkan oleh hukum sangat menyentuh rasa keadilan dalam masyarakat. Pada penerapannya sehari-hari dalam pembuatan kontrak baku sangat minim menerapkan asaa kebebasan berkontrak. Padahal asa kebebasan berkontrak mengandung makna bahwa masyarakat mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian sesuai dengan kepentingan masing-masing. Kebebasan tersebut meliputi: a. kebebasan para pihak untuk memutuskan apakah akan membuat perjanjian atau tidak b. kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuatsuatu perjanjian c. kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian d. kebebasan untuk menentukan isi perjanjian e. kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjanjian Pada dasarnya asas kebebasan berkontrak mengutamakan kebebasan dan kesederajatan tiap manusia. Munculnya revolusi industri telah melahirkan perusahaan-perusahaan raksasa yang memegang monopolidalam segala bidang. Dalam melakukan kegiatannya mereka menggunakan kontrak baku yang tidak menjadi kebebasan dan kesederajatan individu. Akibatnya asas kebebasan berkontrak yang menjadi cermin dari kebebasan dan kesedarajatan individu kurang atau bahkan tidak digunakan lagi dalam hukum perjanjian. Namun seiring dengan berkembangnya paham Welfare State menyebabkan semakin besarnya keikutsertaan negara dalam mengatur dan mengelola berbagai lapangan kehidupan masyarakat. Muncullah berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh negara, misalnya tentang perlindungan terhadap buruh yang wajib dimasukkan dalam perjanjian. Gejala ini justru juga mengakibatkan asas kebebasan berkontrak kurang atau bahkan tidak dapat diwujudkan walapun perjanjian tersebut terjadi antar individu. Adanya klausul eksenorasi dalam kontrak baku semakin menunjukan ketidakbebasan dan ketidak sederajatan para pihak dalam menentukan pemikul resiko,karena klausul eksenorasi disadari atau tidak wajib ditaatioleh debitur.

10 Jadi pada intinya makna dari asas kebebasan berkontrak harus dihindarkan dari makna bebasnya para pihak untuk membentuk hukumnya sendiri. Para pihak sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk membuat Undang-undang bagi mereka. Mereka hanya diberi kebebasan untuk memilih hukumnya, hukum mana yang hendak digunakan sebagai dasar dari kontrak yang dibuat. Penggunaan kontrak baku menyebabkan asas kebebasan berkontrak kurang atau bahkan tidak diwujudkan, misalnya: a. kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian, karena perjanjian selalu berbentuk tertulis b. kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian, karena dalam perjanjian standart sepihak, timbal balik, maupun berpola, isi perjanjian sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak, organisasi ataupun ahli c. kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian, karena cara pembuatannya sudah ditetapkan oleh pihak, organisasi atau para ahli Sementara itu kebebasan-kebebasan yang masih dapat diwujudkan dalam implementasi Asas Kebebasan Berkontrak ini adalah: a. kebebasan untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau tidak b. kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat suatu perjanjian Analisis Teori Keadilan dalam Perjanjian Baku / Kontrak Standar. Teori Thomas Aquinas: Hubungan yang terjadi pada perjanjian secara umum adalah hubungan antar individu (ordo partium ad partes). Begitu pun yang terjadi pada perjanjian baku atau kontrak standar. Keadilan menurut teori Thomas Aquinas menitikberatkan pada keadilan distributif. Dalam Konteks keadilan distributif, keadilan dan kepatutan (equity) merupakan tolak ukurnya, hal ini tidak tercapai semata-mata dengan penetapan nilai yang aktual, melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu hal dengan hal yang lainnya (aequalitas rei ad rem). Ada dua bentuk kesamaan yaitu: a. Kesamaan proporsionalitas (acqualitas proportionis) Dari segi ini, apabia digunakan sebagai tolok ukur bagi perjanjian baku, maka dapat memberikan gambaran bahwa perjanjian baku masih sangat tidak proporsional di dalam hal menentukan tanggung jawab para pihak serta kedudukan para pihak. Pihak pembuat perjanjian baku cenderung mengarahkan isi dari perjanjian ke bentuk atau format yang lebih

11 menguntungkan dirinya. Hal ini tidak lepas kaitannya dengan tujuan dari bisnis adalah mencari keuntungan serta berusaha menekan resiko sekecilkecilnya. Ini yang membuat sering kali substansi dari perjanjian baku sangat timpang. Belum lagi bila di dalamnya dimasukkan klausula eksonerasi yang mana berusaha mengalihkan tanggung jawab pihat kreditur kepada pihak debitur. b. Kesamaan kuantitas atau jumlah (acqualitas quantitas) Untuk kesamaan kuantitas di dalam perjanjian baku tidak terlalu nampak adanya ketidak sesuaian. Hal ini disebabkan oleh perjanjian merupakan suatu kesepakatan. Isi dari kesepakatan belum tentu merupakan suatu pembagian barang yang dapat dihitung dalam jumlah. Perjanjian lebih menekankan pada keseimbangan anatara hak dan kewajiban para pihak yang membuat perjanjian. Thomas Aquinas juga berpendapat bahwa penghormatan terhadap person dapat terwujud apabila ada sesuatu yang dibagikan / diberikan kepada seseorang sebanding dengan yang seharusnya ia terima. Dalam perjanjian secara umum, dan perjanjian baku secara khusus, pembagian yang dimaksud adalah kearah pelaksanaan prestasi oleh para pihak dalam perjanjian. Apabila prestasi tidak dilaksanakan sesuai dengan apa yang diperjanjikan maka terjadi yang disebut dengan wanprestasi.

Teori John Rawls: Teori keadilan dari Rawls berintian pada Justice as fairness yang ditandai dengan adanya prinsip rasionalitas, kebebasan, dan kesamaan hak bagi setiap orang. Semua orang mempunyai hak yang sama dalam prosedur memilih prinsip; setiap orang bisa mengajukan usulan, menyampaikan penalaran mereka, dan lain-lain. Jika dihubungkan dengan keberadaan perjanjian baku atau kontrak standar ini maka dapat ditarik suatu pandangan bahwa perjanjian baku atau kontrak standar tidak mencerminkan keadilan menurut Teori Rawls. Hal ini didasari oleh: a. perjanjian baku atau kontrak standar seringkali substansinya kurang rasional. Hal ini disebabkan oleh penyusunan klausula-klausula yang sangat kental dengan nuansa pemihakan pada pihak yang membuat kontrak, dan membebankan tangung jawab yang besar bagi pnerima kontrak, dalam hal ini biasanya adalah pihak yang tingkat ekonominya lebih rendah.

12 b. kurangnya kebebasan berkehendak dari para pihak. Yang paling bebas berkehendak adalalah hanya pada pihak pembuat kontrak saja. Pihak lainnya sebagi pihak penerima hanya memiliki pilihan menyetujui perjanjian dan kemudian menandatangani, atau tidak menyetujui perjanjian dan kemudian pergi. Mengenai substansi perjanjian, tidak ada kebebasan dari pihak yang lebih rendah kedudukannya untuk ikut ambil bagian di dalam penyusunannya. c. Tidak adadnya kesamaan hak dan kewajiban. Pihak pembuat kontrak (penyedia kontrak) memiliki hak yang lebih besar ketimbang penerima kontrak yang kewajibannya jauh lebih besar. Hal ini sering kali dipicu keinginan pihak pengusaha sebagi pembuat kontrak untuk terhindar dari segala bentuk tanggung jawab yang semestinya merupakan tangghung jawabnya. Jadi, dari analisis ini jelas ditunjukkan bahwa perjanjian baku atau kontrak standar tidak memenuhi kriteria keasilan sebagaimana dimaksud oleh Rawls. Dengan demikian, perjanjian baku atau kontrak standar merupakan suatu bentuk ketidakadilan. BAB III PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan analisis di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa praktik perjanjian baku atau kontrak standar telah mencederai prinsip keadilan. Begitu pula menurut teori-teori terkait, bahwa praktik perjanjian baku atau kontrak standar tidak memenuhi unsur-unsur untuk dapat dikategorikan memnuhi unsur keadilan. Saran Perlu ada perhatian khusus dari pemerintah, serta membuat aturan terkait pembatasan serta batasan-batasan mana yang harus dipenuhi para pihak agar tidak terjadi ketimpangan kepentingan serta ketidak seimbangan kedudukan antar para pihak di dalam suatu perjanjian baku atau kontrak standar. DAFTAR PUSTAKA Abdul Kadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung

13

Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil, LaksBang Mediatama, Yogyakarta Herlien Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung Lukman Santoso, 2012, Hukum Perjanjian Kontrak, Cakrawala, Yogyakarta Munir Fuady, 2002, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Pedata Hukum Perutangan Bagian B, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Sudikno Mertokusumo, 1989, Mengenai Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta

You might also like