You are on page 1of 18

APPENDEKTOMI Pendekatan Terbuka dan Tertutup

Sejarah Pada tahun 1554, seorang anak perempuan dari Perancis yang berusia 7 tahun mengeluhkan adanya nyeri perut dan diare yang kemudian memburuk dan disertai dengan tanda-tanda peritonitis pada kuadran kanan bawah. Pada masa dimana antibiotik dan terapi cairan belum berkembang, anak tersebut dengan cepat masuk ke dalam kondisi sepsis peritoneal. Pemeriksaan post-mortem membuktikan diagnosis iliac passion yang disebabkan oleh adanya perforasi di daerah sekum. Tabib yang merawat anak tersebut, mungkin tertarik dengan deskripsi mengenai appendiks oleh DaVinci (1492) dan Vesalius (1545), mempublikasikan deskripsi yang sangat mendetil mengenai appendiks pada anak perempuan tersebut, serta bagaimana appendiks tersebut berperan dalam penyakit yang diderita si anak. Sejak saat itu, dimulailah debat mengenai peranan appendiks dan terapi pembedahannya yang berlangsung selama tiga abad. Kemajuan terjadi pada awal abad kesembelan belas, dengan dikeluarkannya rekomendasi untuk mengirigasi abses yang terlokalisir pada kuadran kanan bawah. Didukung oleh kesuksesan prosedur sebelumnya, indikasi ini meluas sampai pada tahap dimana operasi diindikasikan untuk menegakkan diagnosis peritonitis. Pada tahun 1886, Reginald Fitz mempublikasikan bukti meyakinkan yang mendukung teori bahwa appendiks merupakan penyebab dari penyakit yang sering dijumpai ini, dan lebih penting lagi, operasi harus dilakukan dalam 48 jam sejak munculnya gejala. Berita mengenai tulisan Fitz ini menyebar melewati Samudera Atlantik sampai ke London, dimana Treves dengan segera mempopulerkan appendektomi dengan menyembuhkan Raja Edward VII pada tahun 1902. Di Kanada, seorang dokter di pedesaan bernama Abraham Groves dikatakan telah mendiagnosis dan dengan sukses mengangkat appendiks yang mengalami inflamasi pada seorang anak lakilaki berusia 12 tahun pada saat dokter tersebut melaksanakan kunjungan rumah rutinnya di peternakan sekitar. Kejadian ini ternyata terjadi pada tahun 1883, tiga tahun sebelum Fitz mempublikasikan karyanya. Meskipun demikian, laporan pertama mengenai appendisitis dipublikasikan oleh Claudius Amyand dari Inggris yang, pada tahun 1736, sukses mengangkat

appendiks yang mengalami perforasi dan fistula dari skrotum seorang anak laki-laki berusia 11 tahun. Appendektomi modern yang berkembang saat ini bertitik tolak dari sejarah yang panjang mengenai inovasi yang berani serta komunikasi yang jujur antar kolega. Sampai saat ini debat mengenai appendisitis masih berangsung, dengan adanya kemajuan pada perawatan preoperatif, pemeriksaan pencitraan dengan tujuan diagnostik, antibiotik, serta teknik laparoskopik. Pencarian akan cara yang baru untuk memperbaiki perawatan pada appendisitis yang dimulai dengan kisah anak perempuan Perancis saat ini telah menyembuhkan berjutajuta orang yang menderita penyakit kuno yang merupakan kegawat-daruratan bedah digestif yang paling sering ditemui ini. Prinsip dan Justifikasi Indikasi Appendektomi telah direkomendaskan sebagai penanganan untuk appendisitis dan berbagai kelainan appendiks lain selama lebih dari 100 tahun. Tersedianya pendekatan laparoksopik akhir-akhir ini tetap tidak dapat mengubah indikasi dasar untuk dilakukannya appendektomi. Kandidat untuk appendektomi laparoskopik tetap harus menjalani evaluasi diagnostik preoperatif yang sama dengan anak yang akan menjalani prosedur terbuka. Operasi segera baik dengan pendekatan yang satu maupun pendekatan yang lain merupakan cara yang paling efektif untuk menghindari terjadinya progresi appendisitis akut menjadi nekrosis dengan ketebalan penuh serta perforasi. Kebanyakan ahli bedah meyakini bahwa sekuele ini akan terjadi dalam 48 jam setelah munculnya gejala; perforasi dini dapat terjadi pada anak yang lebih muda, atau bila terdapat obstruksi total pada lumen appendiks, misalnya oleh fekalith. Begitu terjadi perforasi, drainase dengan pembedahan dan appendektomi tidak akan menjadi masalah, namun sulit untuk bertahan hidup pada keadaan ini. Terkadang, anak dengan perforasi yang terlokalisir dengan baik dapat diuntungkan dengan pemberian antibiotik intravena, drainase perkutan dan appendektomi yang ditunda. Pada pasien yang relatif stabil ini, appendektomi yang dilakukan dengan segera biasanya tidak berhasil. Appendektomi ditunda atau appendektomi dengan interval, jika dilakukan dengan baik, dapat dilakukan dengan pendekatan laparoskopik maupun dengan prosedur terbuka setelah kira-kira 6 minggu, atau lebih lama lagi.

Appendektomi juga direkomendasikan untuk tumor karsinoid yang berukuran kecil (< 2 mm) pada ujung appendiks, suatu kondisi yang bersifat jinak, dan merupakan bagian dari prosedur Ladd untuk malrotasi midgut. Pengangkatan appendiks normal yang tidak disengaja biasanya dilakukan sebagai bagian dari operasi gastrointestinal lain, seperti prosedur pullthrough untuk penyakit Hirschprung pada anak-anak. Apakah appendiks normal harus diangkat pada anak yang lebih tua yang tidak sedang direncanakan untuk menjalani prosedur gastrointestinal sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan. Kontraindikasi Kebanyakan anak dengan appendisitis perforasi dapat dan harus menjalani operasi segera untuk mengontrol sepsis intra-abdominal dan untuk mencegah rekurensi. Akan tetapi, pasien yang stabil dengan perforasi yang tertangani dengan baik dapat diuntungkan dengan pendekatan non-operatif seperti yang telah dijelaskan di atas. Appendektomi laparoskopik tidak boleh dilakukan pada pasien dengan perforasi lanjut dan sepsis atau pada pasien dengan massa appendiseal berukuran besar. Sebagai tambahan pada komplikasi diseksi laparoskopik untuk keadaan semacam ini, keuntungan dari laparoskopi seperti waktu keluar rumah sakit yang lebih cepat menjadi nihil karena perlunya perawatan di rumah sakit yang meliputi cairan intravena, antibiotik dan kontrol nyeri untuk menyembuhkan peritonitis. Terapi ini biasanya terlalu sulit untuk dilakukan pada pasien rawat jalan. Karena alasan-alasan inilah, penting sekali untuk mempertimbangkan waktu dalam melakukan pemeriksaan abdomen dengan anestesia sebelum dilakukannya appendektomi. Bila pada palpasi ditemukan adanya massa imobil berukuran besar, pendekatan laparoskopik harus ditinggalkan dan dipilih prosedur terbuka maupun terapi konservatif. Appendektomi yang tidak disengaja relatif dikontraindikasikan untuk prosedur abdominal dimana usus tidak akan dibuka. Appendiks normal tidak boleh diangkat bila menggunakan bahan prostetik lainnya. Preoperatif Operasi dengan ketepatan waktu yang baik meskipun belum ditemukannya bukti preoperatif adanya appendisitis masih merupakan pendekatan yang paling baik untuk anak dengan nyeri kuadran kanan bawah persisten. Angka kematian akibat perforasi telah menurun

dengan adanya antibiotik dan terapi cairan, namun komplikasi jangka panjang masih dapat terjadi. Karena alasan inilah, 10-15 persen laparatomi negatif merupakan norma yang diakui kebanyakan ahli bedah. Pendekatan untuk mendiagnosis appendisitis akut pada era dengan pemeriksaan pencitraan preoperatif yang semakin canggih sampai saat ini masih mengandalkan riwayat adanya gejala prodromal visceral yang memburuk sampai ke gejala somatik terlokalisasi pada kuadran kanan bawah. Penanganan anak dengan appendisitis merupakan tantangan sejarah yang sudah ada sejak dulu, namun pemeriksaan fisiklah yang biasanya mengonfirmasi diagnosis. Pada kebanyakan kasus, tidak diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Bila diagnosis meragukan, CT scan menjadi pemeriksaan yang populer; selain juga pemeriksaan pencitraan lain yang bisa dilakukan dengan cepat dan memiliki resolusi tinggi dan tingkat radiasi yang lebih rendah yang juga dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Pada akhirnya, apakah pemeriksaan-pemeriksaan ini dapat memperbaiki hasil akhir, sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan. Penggunaan pemeriksaan pencitraan yang berlebihan serta dosis radiasi yang dipancarkan sampai saat ini masih menjadi perhatian. USG juga sangat membantu, namun terbatas pada visualisasi appendiks yang mengalami inflamasi, namun juga, terutama, untuk menyingkirkan kelainan lain pada abdomen dan pelvis, terutama pada gadis remaja. Pemeriksaan radiografik tidak memberikan hasil yang spesifik, kecuali untuk membuktikan adanya fekalith, dan pemeriksaan dengan menggunakan Barium biasanya merupakan kontraindikasi. Anak dengan appendisits harus dievaluasi untuk menentukan derajat sepsis dan dehidrasi. Kebanyakan anak biasanya mengalami muntah-muntah dan tidak makan selama lebih dari 24 jam. Karena alasan ini saja, resusitasi cairan isotonik intravena sebelum operasi mutlak dilakukan untuk semua pasien dengan appendisitis. Superimposed sepsis mengindikasikan perlunya perhatian ketat pada terapi cairan sebelum dilakukannya operasi. Komplikasi infeksius dapat dicegah dengan baik dan ditangani dengan pemberian antibiotik perioperatif. Resimen yang diberikan biasanya dirancang untuk mengontrol baik bakteri aerob maupun anaerob pada saluran pencernaan. Berdasarkan pengalaman penulis, pendekatan dengan pemberian antibiotik spektrum luas untuk semua pasien dengan appendisitis menyebabkan terjadinya infeksi luka operasi dan abses intra-abdominal sebanyak 2,6 % untuk

appendisitis gangrenosa dan 4,4% untuk appendisitis perforasi. Terapi tripel antibiotik klasik masih efektif, dan beberapa obat-obatan terbaru juga memberikan hasil yang sama. Cara yang paling efisien untuk mengontrol nyeri preoperatif adalah dengan melakukan appendektomi segera, namun bila ditunda, dapat diberikan antibiotik intravena. Pasien yang akan menjalani prosedur laparoskopik dapat diuntungkan dengan dekompresi nasogastrik dan dekompresi kandung kemih sebelum operasi dilakukan. Sekali lagi, abdomen harus dipalpasi utuk menyingkirkan kemungkinan adanya massa terfiksir yang berukuran besar. Persiapan psikologis pada anak dan keluarganya juga penting untuk dilakukannya prosedur yang sukses. Untuk kebanyakan pasien, inilah pengalaman pertama mereka dirawat di rumah sakit, serta pengalaman pertama menjalani operasi. Keluarga harus diberitahu mengenai hal-hal yang diharapkan terjadi selama anak dirawat di rumah sakit, selain juga mengenai sarana yang tersedia untuk mereka dan untuk si anak. Kebanyakan anak biasanya ingin tahu kapan mereka bisa pulang ke rumah, jadi harus diberikan penjelasan yang menenangkan. Informed consent harus meliputi lokasi insisi, perjalanan penyakit postoperatif yang diharapkan, kemungkinan dipasangnya drain, kemungkinan terjadinya komplikasi berupa infeksi dan perdarahan, serta kemungkinan dipasangnya stoma. Anestesia Selain kontrol terhadap rasa nyeri, premedikasi pada umumnya tidak diperlukan. Anestesia umum dengan pelemas otot menyediakan lingkungan yang paling baik untuk eksposur pembedahan. Anestetik blok lokal maupun regional tidak membantuk pada kasus yang disertai dengan infeksi maupun sepsis. Operasi Appendektomi Terbuka 1. Prinsip insisi kulit untuk appendisitis meliputi pendekatan lipatan kulit kuadran kanan bawah yang melintang, yang dapat diperluas ke medial maupun lateral, dan dengan menghindari lapisan lemak periumbilikal yang luas pada anak yang gempal. Dengan anak berada dalam posisi terlentang di atas meja operasi, dan diposisikan mendekati operator

bila menggunakan meja operasi untuk orang dewasa, abdomen dipalpasi untuk merada adanya massa. Bila didapatkan adanya massa, insisi disesuaikan sedekat mungkin dengan massa. Anak yang kurus dengan nyeri tekan pada satu titik dapat mentolerir appendektomi melalui insisi pendek pada lipatan kulit yang dapat diperluas ke medial jika diperlukan. Pendekatan ini berisiko dan sebaiknya dihindari dengan menempatkan insisi di atas dan sedikit medial dari SIAS. Insisi kemudian diperluas ke medial melintasi atau sedikit di bawah titik McBurney. Perluasan ke lateral juga dapat dilakukan sampai ke flank, sementara perluasan ke medial dapat diperluas sampai menyilang fascia muskulus rektus. Sebagai aturan umum, insisi yang lebih tinggi dan lebih panjang memberikan ruang yang lebih untuk eksplorasi, memungkinkan dilakukannya diseksi yang lebih cepat dan lebih memuaskan, dengan konsekuensi berupa lama rawat di rumah sakit yang lebih panjang dengan rasa nyeri yang lebih hebat.

2. Setelah dilakukannya diseksi tajam, muskulus obliqus eksternus dibagi mengikuti arah serat. Pemisahan ini memungkinkan didapatkannya eksposur operatif yang adekuat.

3. Muskulus obliqus interna dan muskulus transversa dibagi searah dengan serat ototnya dengan menggunakan gunting tumpul. Pada umumnya, kedua otot perut ini dipisahkan secara tandem, sebab muskulus transversa hampir paralel dengan muskulus obliqus interna. Aponeurosis dari muskulus transversa terletak lebih ke lateral, dan serat ototnya berjalan lebih oblik dari kanan bawah ke kiri atas dibandingkan dengan serat otot dari muskulus obliqus interna. Begitu kedua muskulus ini telah dipisahkan dengan jarak yang pendek, retraktor berukuran kecil dipadang untuk mempertahankan pemisahan otot ini searah dengan serat ototnya.

4. Peritoneum diangkat setelah diseksi tumpul fascia muskulus transversa dan jaringan lemak preperitoneal lateral. Edema yang terjadi akibat inflamasi appendiks dapat menutupi peritoneum di baian lateral; maka paritoneum paling baik diidentifikasi di bagian medial. Pada saat peritoneum dibuka dengan skalpel, cairan bebas di-suction dan dapat dikirim untuk dilakukan kultur. Lubang pada peritoneum diperbesar dengan menggunakan gunting.

5. Kunci untuk eksposur yang sukses pada appendiks adalah dalam menghantarkan sekum ke dalam luka operasi. Tenia coli anterior diambi dan sekum dihantarkan dengan menggunakan gerakan up-and-down, dimulai dengan menarik ke atas kemudian ke bawah. Bila sekum tidak dapat dihantarkan dengan mudah, perlekatan peritoneal lateral mungkin membutuhkan diseksi dengan pengamatan langsung menggunakan kauter. Pemisahan tidak tidak boleh dilakukan tanpa melihat atau di sisi medial dari appendiks. Massa appendiseal hampir selalu terikat di bagian lateral dan inferior. Perlekatan di bagian medial biasanya pada ileum terminal dan mesenteriumnya. Perlekatan ini juga harus dipisahkan begitu massa telah diangkat keluar dari luka.

Diseksi yang sulit menjadi lebih mudah dengan perluasan luka. Insisi yang membelah otot dapat diperluas ke bagian medial, melintasi fascia muskulus rektus di bagian anterior dan posterior dengan menggunakan kauter. Muskulus rektus diretraksi dan pembuluh darah epigastrik inferior dipisahkan dengan simpul hemostatik. Perluasan insisi lateral juga dapat membantu bisa luka operasi terletak terlalu ke medial, atau bila diperlukan diseksi lebih lanjut di regio flank. 6. Appendiks yang mengalami inflamasi dan omentum yang menutupinya tidak boleh menyentuh luka operasi pada saat diangkat. Omentum yang melekat dipisahkan dengan simpul hemostatik dan mesoappendiks dengan lembut dipegang dengan forseps Babcock, mengelilingi namun tidak menyentuh appendiks. Dengan traksi dari forseps Babcock, appendiks dapat dikontrol dengan mudah dan perlekatan lateral selanjutnya dapat dipisahkan dengan menggunakan kauter. Mesoappendiks kemudian dibagi secara serial antara hemostat dan diikat secara bertahap. Mesenterium yang mengalami inflamasi tidak dapat diikat dengan baik. Traksi yang berlebihan di bagian atas pada saat membuat ikatan simpul dapat menyebabkan terbukanya simpul dan hematoma. Pemisahan mesenteriom

harus dilanjutkan sampai ke lipatan Treves dan berakhir dengan evaluasi sejumlah kecil vena pada dindin sekum inferior. Vena-vena ini biasanya tidak memerlukan pemisahan, namun traksi yang berlebihan pada appendiks dapat menyebabkan terjadinya robekan.

7. Dasar dari appendiks diremas 5 mm di atas origonya dan klem dipasang beberapa milimeter ke arah distal. Daerah ini diklem kemudian diikat dengan benang yang dapat diserap, lalu appendiks diangkat dengan menggunakan divisi tajam di arah proksimal dari klem. Mukosa dari stump yang tersisa dibilas dengan larutan antiseptik dan dapat dilakukan kauterisasi. Inversi stump tidak diperlukan, namun, bila dilakukan, jahitan dengan menggunakan benang yang dapat diserap dibuat dalam bentuk Z-shape melalui dasar seromuskular dari sekum, sambil berhati-hati agar tidak mengenai vena sekum inferior. Bila stump diinversi dengan menggunakan hemostat, stump tersebut kemudian dipindahkan dari lapangan operasi. Terkadang, appendiks memiliki pedikel pada dasar yang sangat luas dan mengalami inflamasi sehingga tidak dapat dilihasi dengan aman. Pada kasus seperti ini, jahitan Lembert terinversi bolak-balik dapat mencegah terjadinya kebocoran stump.

10

8. Sebelum mengembalikan sekum ke posisinya, simpul pada lapangan operasi dan mesoappendiks diinspeksi untuk hemostasis. Sekum yang mengalami distensi mungkin sulit dikembalikan ke dalam rongga abdomen. Kompresi lembut dengan menggunakan jari dapat mencegah terjadinya robekan karena forseps ataupun kebocoran stump akibat tekanan yang berlebihan.

Pelvis dan ruang parakolika kanan di-suction dan diirgasi dengan larutan saline apabila ditemukan adanya pus. Abses yang berkuran besar dapat didrainase dengan menggunakan 11

suction luka tertutup melalui luka tikam terpisah. Hal ini jarang ditemukan pada anak, karena kebanyakan debris fibrinopurulen dapat diangkat secara atraumatik dan daerah tersebut diirigasi sampai bersih. Bila telah terjadi perforasi, lipatan usus sekitar beserta dengan omentum harus diperiksa apakah terdapat abses. Antibiotik intraabdominal tidak membantu bila telah diberikan antibiotik perioperatif. Luka ditutup lapis demi lapis dengan benang yang dapat diserap setelah dilakukan irigasi masing-masing lapisan. Peritoneum dijahit dengan jahitan jelujur, muskulus oblqus interna dan muskulus transversa ditutup pada saat yang bersamaan dengan jahitan interuptus menggunakan benang yang dapat diserap. Aponeurosis muskulus obliqus eksterna ditutup dengan jahitan jelujur, diikuti dengan fascia Scarpei dan kulit. Bahkan bila terdapat perforasi dan kontaminasi yang nyata, kulit biasanya ditutup dengan jahitan jelujur subkutikuler menggunakan benang yang dapat diserap. Appendektomi Laparoskopik 9. Insisi intraumbilikal sepanjang 10-12 mm memungkinkan dilakukannya pendekatan kosmetik untuk tempat masuknya laparoskop dan dapat diperluas dengan mudah apabila diperlukan. Pada anak-anak yang lebih muda, insisi kurvilinear mungkin diperlukan. Pada anak yang lebih muda dapat juga dilakukan insisi pada umbilikus. Bila menggunakan teknik terbuka, jahitan matras horizontal di sekeliling tempat masuk memberikan segel terhadap udara tanpa perlunya menggunakan kanula yang lebih kompleks. Abdomen diinsuflasi dengan CO2 dengan prosedur standar dan laparoskop diinsersi untuk menegakkan diagnosis, selain juga untuk menilai kemungkinan diperlukannya operasi.

12

10.a

Dua tempat masuk sebesar 3-5 mm dibuat pada abdomen bagian bawah dengan dikontrol oleh laparoskop untuk menghindari terkenanya pembuluh darah epigastrik. Tempat masuk ketiga mungkin diperlukan untuk diseksi yang lebih kompleks. Penempatan tempat masuk yang tepat bervariasi seusai dengan ukuran tubuh anak dan lokasi appendiks. Pada umumnya, tempat masuk pada kuadran kanan bawah dan suprapubik sudah cukup. Terdapat banyak modifikasi dalam penempatan tempat masuk dan diseksi, termasuk satu tempat masuk pada umbilikus untuk identifikasi laparoskopik dan pengangkatan transumbilikal.

13

10.b

Visualisasi appendiks dibantu dengan menepatkan anak dalam posisi Trendelenburg dan merotasikan meja operasi ke sisi kiri pasien.

11.a

Appendiks dipegang dengan ujung bebas dari mesenterium atau dengan forseps Babcock laparoskopik melalui tempat masuk pada kuadran kanan bawah. Dengan traksi pada appendiks, perlekatan peritoneal di bagian lateral dipisahkan untuk membebaskan appendiks dan mesenteriumnya. Diseksi tidak membutuhkan perluasan sampai ke sekum, sebab sekum tidak perlu diangkat melalui luka operasi. Mobilisasi lateral dari sekum hanya dilakukan bila appendis harus ditarik melalui tempat masuk pada umbilikus untuk appendektomi ekstrakorporeal. Bahkan bila prosedur tersebut akan dilakukan, biasanya sekum tak perlu ikut dikeluarkan.

14

11.b

Jendela mesenteris dibuat di dekat dasar appendiks. Hal ini dilakukan melalui salah satu tempat masuk lateral dengan diseksi tumpul dan kauter. Perhatian khusus diberikan untuk memvisualisasi dinding sekum selama manuver ini dilakukan.

12.a

Urutan pemisahan appendiks dan mesenterium tergantung dari pilihan operator. Stump pada appendiks diligasi dengan jahitan atau dengan stapler gastrointestinal. Harus berhati-hati bila menggunakan stapler, pastikan bahwa hanya bagian dasar yang diligasi, dinding sekum harus dihindari. Langkah ini biasanya mendahului pemisahan mesenterium bila menggunakan stapler.

15

12.b

Mesoappendiks dipisahkan dengan menggunakan kauter, klip atau stapler. Banyak ahli mendah merasa cukup dengan menggunakan kauter. Pada beberpa kasus tertentu, visualisasi mesoappendiks dapat diperbaiki dengan pemisahan appendiks dengan stapler yang dilakukan sebelumnya melalui jendela mesenterium. Alat stapler yang lebih besar dapat diinsersikan melalui tempat masuk pada umbilikus dibawah pengamatan langsung dengan kamera 3 mm atau 5 mm yang diletakkan melalui salah satu tempat masuk yang lain.

Appendiks kemudian diangkat melalui lapisan trokar yang lebih besar agar appendiks yang mengalami infeksi tidak menyentung dinding intra-abdominal. Bila appendiks berukuran besar, maka appendiks tersebut ditaruh di dalam kantng steril dan diangkat melalui luka yang paling besar setelah trokar diangkat. Setelah dilakukan pemeriksaan terakhir untuk hemostasis, abdomen di-suction dan diirigasi sesuai kebutuhan. Laparoskop dan trokar diangkat, abdomen dikempeskan, dan umbilikus ditutup dengan jahitan fascial. Insisi 3 mm membutuhkan penutupan subkutan; akan tetapi insisi 5 mm membutuhkan penutupan dengan jahitan fascial.

16

Perawatan Postoperatif Bila appendiks tidak mengalami perforasi, tube nasogastrik tidak diperlukan dan pasien dapat memulai diet oral dalam 12-24 jam. Antibiotik dihentikan setelah 2 dosis postoperatif. Narkotik intravena diberikan sesuai dengan kebutuhan pada pasien yang menggunakan pompa analgesia pada hari pertama. Obat penghilang rasa sakit diganti ke obatobatan oral sesuai dengan kebutuhan pada hari kedua pascaoperasi. Kebanyakan anak biasanya dapat bangun dan bergerak aktif satu hari setelah operasi, dan dapat diperbolehkan rawat jalan pada hari itu juga atau keesokan harinya. Jumlah kontaminasi peritoneal dan inflamasi visceral akan menentukan kebutuhan akan dekompresi tube nasogastrik dan status nil-by-mouth pada pasien dengan appendisitis perforasi. Resusitasi cairan intravena bersifat vital untuk 24 jam pertama setelah operasi untuk mengkompensasi hilangnya cairan akibat inflamasi peritoneum. Antibiotik diteruskan sampai temperatur menjadi normal (37oC) dan hitung leukosit < 109/L tanpa adanya shift to the left (neutrofil <80%). Terkadang, diperlukan dekompresi kandung kemih dengan kateter. Pasien diberi semangat untuk segera berjalan, mengambil napas panjang dan batuk. Narkotik intravena dapat dilanjutkan selama 2-3 hari. Komplikasi Infeksi Infeksi yang paling parah ditandai dengan adanya demam yang persisten, peningkatan jumlah leukosit, dan nyeri. Jarang sekali pasien dengan tanda-tanda vital serta jumlah leukosit yang normal akan datang kembali dengan abses, namun adanya gejala seperti yang telah disebutkan di atas merupakan tanda telah terjadinya komplikasi. Infeksi luka dapat diirigasi secara lokal, namun abses intra-abdominal biasanya terjadi pada pelvis kanan, namun dapat juga ditemukan di tempat lain, termasuk di antara lipatan usus dan di bawah diafragma. Drainase perkutan, dibawah kontrol radiologis, serta penggunaan antibiotik, biasanya memberikan hasil yang memuaskan. Infeksi flegmonosa yang berukuran besar tidak dapat didrainase dan mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk sembuh hanya dengan pemberian antibiotik intravena. Pasien dengan kmplikasi ini biasanya tidak bisa makan dengan baik dan membutuhkan nutrisi parenteral.

17

Perdarahan Perdarahan postoperatif yang signifikan membutuhkan operasi ulang untuk mengontrol perdarahan dan untuk mencegah infeksi. Kebocoran Stump Stump appendiks yang mengalami kebocoran dapat ditandai dengan peritonitis fekulen yang difus dan sepsis, serta membutuhkan operasi ulang dengan segera. Terkadang, kebocoran stump ditemukan setelah terjadinya sekresi bahan fekulen dari luka operasi atau dari drain yang dipasang perkutan pada pasien rawat jalan yang relatif stabil. Situasi seperti ini dapat ditangani secara non-operatif dengan harapan kebocoran tersebut pada akhirnya akan membaik dengan sendirinya. Jika tidak terjadi, operasi ulang untuk eksisi dan menutup kebocoran yang terjadi harus dilakukan. Drainase persisten juga dapat mengindikasikan adanya benda asing yang tertinggal, misalnya fekalith yang tidak terdeteksi pada operasi pertama. Hasil Akhir Pada update untuk protokol standar yang dideskripsikan pada bab ini, 648 anak dengan appendisitis ditangani dengan antibiotik preoperatif, penutupan luka primer, tanpa menggunakan drain. Kriteria untuk pemulangan pasien appendisitis dengan komplikasi mengikuti protokol yang dideskripsikan di atas. Infeksi luka biasanya tidak terjadi pada pasien dengan appendisitis sederhana, dan angka kejadian infeksi dalam adalah sebesar 0,56 %. Anak dengan appendisitis dengan komplikasi memiliki angka kejadian infeksi sebesar 2,6% untuk infeksi luka operasi dan 4,4% untuk abses intra-abdominal. Durasa perawatan di rumah sakit adalah 1,39 0,89 hari untuk appendisitis sederhana, 2,97 1,25 untuk appendisitis gangrenosa dan 6,31 untuk appendisitis yang ruptur. Hasil ini menunjukkan efikasi dari antibiotik intravena dan pembilasan peritoneum dan luka yang seksama untuk mengurangi angka kejadian infeksi pada anak.

18

You might also like