You are on page 1of 44

JULIA 1102010137

LO 1 Trauma Pelvis Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 1530% pasien dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian besar. Evaluasi Pasien Evaluasi lengkap penting pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi karena kejadian ini jarang terjadi sebagai cedera tersendiri. Daya yang sama yang menyebabkan disrupsi cincin pelvis sering dihubungkan dengan cedera abdomen, kepala, dan toraks. Sebagai tambahan terhadap cedera-cedera ini, 60-80% pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan tinggi memiliki hubungan lain dengan cedera muskuloskeletal, 12% berhubungan dengan cedera urogenital dan 8% berhubungan dengan cedera pleksus lumbosacralis. Dibutuhkan sebuah rencana untuk penilaian dan pengobatan berkelanjutan pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Tim antar cabang ilmu, termasuk ahli bedah umum, ahli bedah ortopedi, wakil dari penyimpanan darah, seorang ahli intervensi radiologi, diperlengkap untuk menilai dan mengelola gambaran cedera sehubungan dengan fraktur pelvis. Prioritas harus diberikan pada evaluasi dan perawatan masalah jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Evaluasi dan manajemen syok hipovolemik adalah wajib sambil menstabilkan jalan nafas dan pernafasan. Hipotensi dihubungkan dengan meningkatnya resiko kematian, Adult Respiratory Distress Syndrome, dan kegagalan organ multipel. Hipotensi terkait dengan trauma tumpul mungkin disebabkan sejumlah penyebab, termasuk kompromi hipovolemik, septik, kardiak atau neurologis. Pencarian yang cepat dan sistematik terhadap sumber hipotensi harus dilakukan. Syok hemoragik merupakan penyebab tersering hipotensi pada pasien trauma tumpul. Seorang pasien dapat menjadi hipotensif akibat kehilangan darah terkait dengan satu lokasi perdarahan atau kombinasi dari banyaknya lokasi perdarahan. Pemeriksaan fisik, radiografi dada, dan tube torakostomi akan mendeteksi kemunculan dan beratnya kehilangan darah intratorakal. Pemeriksaan fisik abdomen mungkin tidak terlalu
1

JULIA 1102010137

jelas pada pasien yang tidak responsif. Namun, rongga intraabdomen harus dikecualikan sebagai kemungkinan sumber perdarahan pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik. Evaluasi emergensi paling sering dibuat dengan pemeriksaan sonografi abdominal terfokus untuk trauma atau focused abdominal sonography for trauma/FAST. Perdarahan dari lokasi fraktur pelvis jarang sebagai satu-satunya penyebab kehilangan darah pada pasien dengan cedera multipel, dan perdarahan masif dari fraktur pelvis itu sendiri luar biasa. Pada satu seri besar pasien dengan fraktur pelvis, perdarahan mayor muncul pada lokasi non-pelvis. Meskipun demikian, fraktur pelvis harus dipertimbangkan diantara berbagai lokasi paling mencolok perdarahan yang signifikan pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik, terutama sekali ketika usaha awal untuk mengontrol perdarahan dari sumber lain gagal menstabilkan pasien. Pada kasus-kasus dugaan perdarahan fraktur pelvis, stabilisasi pelvis sementara harus segera terjadi selama evaluasi dan resusitasi awal. Stabilisasi sementara dapat terdiri atas pengikat pelvis atau lembaran sederhana yang dibungkuskan dengan aman disekeliling pelvis dan diamankan dengan pengapit kokoh. Hebatnya kehilangan darah dapat ditentukan pada evaluasi awal dengan menilai pulsasi, tekanan darah, dan pengisian kembali kapiler. Sistem klasifikasi ATLS dari American College of Surgeons berguna untuk memahami manifestasi sehubungan dengan syok hemoragik pada orang dewasa (tabel 1). Volume darah diperkirakan 7% dari berat badan ideal, atau kira-kira 4900 ml pada pasien dengan berat badan 70 kg (155 lb).

JULIA 1102010137

Perdarahan kelas 1, didefinisikan sebagai kehilangan darah <15%>output hanya menurun sedikit (yaitu, 20-30 ml/jam). Pasien dengan perdarahan kelas 2 biasanya dapat diresusitasi dengan larutan kristaloid saja, namun beberapa pasien mungkin membutuhkan transfusi darah.Perdarahan kelas 3 didefinisikan sebagai kehilangan 30-40% (1500-2000 ml) volume darah. Perfusi yang tidak adekuat pada pasien dengan perdarahan kelas 3 mengakibatkan tanda takikardia dan takipnoe, ekstremitas dingin dengan pengisian kembali kapiler yang terhambat
3

JULIA 1102010137

secara signifikan, hipotensi, dan perubahan negatif status mental yang signifikan. Perdarahan kelas 3 menghadirkan volume kehilangan darah terkecil yang secara konsisten menghasilkan penurunan pada tekanan darah sistemik. Resusitasi pasien-pasien ini seringnya membutuhkan transfusi darah sebagai tambahan terhadap pemberian larutan kristaloid. Akhirnya, perdarahan kelas 4 didefinisikan sebagai kehilangan darah > 40% volume darah (> 2000 ml) mewakili perdarahan yang mengancam-jiwa. Tanda-tandanya termasuk takikardia, tekanan darah sistolik yang tertekan secara signifikan, dan tekanan nadi yang menyempit atau tekanan darah diastolik yang tidak dapat diperoleh. Kulit menjadi dingin dan pucat, dan status mental sangat tertekan. Urin output sedikit. Pasien-pasien ini membutuhkan transfusi segera untuk resusitasi dan seringkali membutuhkan intervensi bedah segera. Praktek menggenggam crista iliaca dalam mencari instabilitas teraba, kurang sensitivitas dan spesifitasnya dan jarang memberikan informasi yang tidak dapat diperoleh dari radiografi pelvis anteroposterior tunggal. Disrupsi posterior mencolok pada pelvis biasanya jelas pada posisi pandangan ini ketika pelvis mengalami fraktur. Pandangan dalam dan luar terhadap pelvis, yang dapat memberikan informasi lebih tentang kemunculan dan lokasi cedera cincin posterior, harus diperoleh hanya setelah pasien mencapai stabilitas hemodinamik. CT sangat berharga untuk menjelaskan instabilitas cincin posterior. Protokol CT cepat untuk evaluasi trauma abdomen bisa meliputi potongan scan melewati sacrum dan persendian sacroiliaca. Informasi dari studi ini sering membantu manajemen awal langsung karena hal tersebut dapat membantu dalam menjelaskan besarnya cedera cincin posterior. Bagaimanapun, CT-scan berkepanjangan pada pasien hipotensif akut harus dihindari. Tambahan CT-scan potongan-tipis mungkin diindikasikan untuk evaluasi lebih lanjut fraktur pelvis atau acetabulum, namun hanya setelah pasien distabilkan. Pencitraan CT pelvis dipertinggi-kontras, yang sering dilakukan pada pasien trauma yang stabil secara hemodinamik, adalah sebuah teknik non-invasif yang telah terbukti cukup akurat dalam menentukan munculnya atau hilangnya perdarahan pelvis yang berkelanjutan. Dalam sebuah studi yang membandingkan metodologi ini dengan temuan angiografi pelvis, CT mendeteksi perdarahan pada 16 dari 19 pasien yang mengalami cedera vaskuler atau ekstravasasi yang diperlihatkan oleh angiografi, untuk sensitivitas sebesar 84%. Hasil angiografi pelvis adalah negatif pada 11 pasien, dan tidak ada pasien yang memiliki bukti perdarahan pada CTscan preangiografi. Dua lokasi ekstravasasi agen-kontras diidentifikasi oleh pencitraan CT pada
4

JULIA 1102010137

dua pasien yang tidak menunjukkan perdarahan pada angiografi, dengan spesifitas 85% untuk deteksi perdarahan. Keakuratan CT secara keseluruhan untuk menentukan adanya atau hilangnya perdarahan pada studi ini adalah 90%.

Klasifikasi Young dan Burgess Beberapa sistem klasifikasi telah dirumuskan untuk menjelaskan cedera pelvis berdasarkan sifat dasar dan stabilitas disrupsi pelvis atau berdasarkan besar dan arah tekanan yang diberikan ke pelvis. Masing-masing klasifikasi telah dikembangkan untuk memberikan tuntunan pada ahli bedah umum dan ortopedi tentang tipe dan kemungkinan masalah kesulitan manajemen yang mungkin dihadapi dengan masing-masing tipe fraktur. Sistem klasifikasi fraktur pelvis ini, salah satu yang dijelaskan oleh Young dan Burgess, paling erat hubungannya dengan kebutuhan resusitasi dan pola yang terkait dengan cedera. Sistem ini berdasarkan pada seri standar gambaran pelvis dan gambaran dalam dan luar, sebagaimana dijelaskan oleh Pennal dkk. Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera kompresi anteriorposterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan mekanisme kombinasi (CM) (gambar 3). Kategori APC dan LC lebih lanjut disubklasifikasi dari tipe I III berdasarkan pada meningkatnya perburukan cedera yang dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar. Cedera APC disebabkan oleh tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis. Ada cedera open book yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale. Cedera APC

dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-cabang pembuluh darah iliaca interna, yang berada dalam penjajaran dekat dengan persendian sacroiliaca anterior.

JULIA 1102010137

Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess. A, kompresi anteroposterior tipe I. B, kompresi anteroposterior tipe II. C, kompresi anteroposterior tipe III. D, kompresi lateral tipe I. E, kompresi lateral tipe II. F, kompresi lateral tipe III. G, shear vertikal. Tanda panah pada masing-masing panel mengindikasikan arah tekanan yang menghasilkan pola fraktur.

Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya tarik. Disrupsi pembuluh darah besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera LC; ketika hal ini terjadi, diduga sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur. Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan hemipelvis mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera CM meliputi fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua vektor tekanan terpisah. Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess dan dugaan vektor tekanan juga telah menunjukkan berkorelasi baik dengan pola cedera organ, persyaratan resusitasi, dan mortalitas. Secara khusus, kenaikan pada mortalitas telah terbukti sebagaimana meningkatnya angka APC. Pola cedera yang terlihat pada fraktur APC tipe III telah berkorelasi dengan kebutuhan cairan 24-jam

JULIA 1102010137

terbesar. Pada sebuah seri terhadap 210 pasien berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk menemukan bahwa kebutuhan transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata 3,6 unit PRC, dibandingkan dengan rata-rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera APC. Pada seri yang sama, pasien dengan cedera VS rata-rata 9,2 unit, dan pasien dengan cedera CM memiliki kebutuhan transfusi rata-rata sebesar 8,5 unit. Angka mortalitas keseluruhan pada seri ini adalah 8,6%. Angka mortalitas lebih tinggi terlihat pada pola APC (20%) dan pola CM (18%) dibandingkan pada pola LC (7%) dan pola VS (0%). Burgess dkk mencatat hilangnya darah dari cedera pelvis yang dihasilkan dari kompresi lateral jarang terjadi, dan penulis menghubungkan kematian pada pasien dengan cedera LC pada penyebab lainnya. Penyebab kematian yang teridentifikasi paling umum pada pasien di seri ini dengan fraktur LC adalah cedera kepala tertutup. Pada kontras, penyebab kematian yang teridentifikasi pada pasien dengan cedera APC merupakan kombinasi cedera pelvis dan viseral. Temuan ini mengindikasikan bahwa kemampuan untuk mengenali pola fraktur pelvis dan arah tekanan cedera yang sesuai dapat membantu tim resusitasi mengantisipasi kebutuhan transfusi cairan dan darah sebagaimana halnya membantu untuk penilaian dan pengobatan awal langsung. Pasien dengan instabilitas posterior lengkap dapat diantisipasi agar tidak menjadi perdarahan yang berat. Klasifikasi Tile dan Pennal 1. Tipe A : merupakan tipe yang stabil dibagi menjadi 2 tipe a. A1 : Fraktur isolated tanpa fraktur cincin pelvis b. A2 : Fraktur cincin pelvis tanpa pergeseran 2. Tipe B : Rotasi (tidak stabil) dan vertical (stabil) a. B1 : open book Stage 1: Symphisiolisis <> Stage 2 : Symphisiolisis > 2,5 cm terapi dengan OREF Stage 3 : Bilateral Lessio terapi dengan OREF

b. B2 : Kompresi lateral/ipsilateral c. B3 : kompresi lateral/kontraleteral (bucker handle terapi dengan OREF) 3. C : Rotasi dan Vertical ( tidak stabil ) a. C1: Unilateral b. C2 : Bilateral c. C3 : dengan fraktur asetabulum
7

JULIA 1102010137

JULIA 1102010137

http://www.healio.com/orthopedics/journals/ortho/%7Bdca981cf-c9c8-471a-a100920a930160dd%7D/young-and-burgess-type-i-lateral-compression-pelvis-fractures-acomparison-of-anterior-and-posterior-pelvic-ring-injuries

JULIA 1102010137

LO 2 Trauma Vesica Urinaria/Buli-Buli Trauma buli-bulu atau trauma vesika urinaria merupakan keadaan darurat bedah yang memerlukan penatalaksanaan segera, bila tidak ditanggulangi dengan segera dapat menimbulkan komplikasi seperti perdarahan hebat, peritonitis dan sepsis. Secara anatomic buli-buli terletak di dalam rongga pelvis terlindung oleh tulang pelvis sehingga jarang mengalami cedera. Cedera kandung kemih disebabkan oleh trauma tumpul atau penetrasi. Kemungkinan cedera kandung kemih bervariasi menurut isi kandung kemih sehingga bila kandung kemih penuh akan lebih mungkin untuk menjadi luka daripada saat kosong Etiologi Ruptur kandung kemih terutama terjadi sehingga akibat trauma tumpul pada panggul, tetapi bisa juga karena trauma tembus seperti luka tembak dan luka tusuk oleh senjata tajam, dan cedera dari luar, cedera iatrogenik dan patah tulang panggul. Pecahan-pecahan tulang panggul yang berasal dari fraktur dapat menusuk kandung kemih tetapi rupture kandung kemih yang khas ialah akibat trauma tumpul pada panggul atas kandung terisi penuh. Tenaga mendadak atas massa urinaria yang terbendung di dalam kandung kemih yang menyebabkan rupture. Penyebab iatrogenic termasuk pascaintervensi bedah dari ginekologi, urolodi, dan operasi ortopedi di dekat kandung kemih. Penyebab lain melibatkan trauma obstetric pada saat melahirkan. Patofisiologi Trauma vesikaurinaria terbanyak karena kecelakaan lalu lintas/kecelakaan kerja yang menyebabkan fragmen patah tulang pelvis mencederai buli-buli. Trauma vesika urinaria tumpul dapat menyebabkan rupture buli-buli terutama bila kandung kemih penuh atau terdapat kelainan patelegik sepetrti tuberculosis, tumor atau obstruksi sehingga menyebabkan rupture. Trauma vesika urinaria tajam akibat luka trusuk atau luka tembak lebih jarang ditemukan. Luka dapat melalui daerah suprapubik ataupun transperineal dan penyebablain adalah instrumentasi urologic.Fraktur tulang panggul dapat menimbulkan kontusio atau rupture kandung kemih, pada kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada dinding buli-buli dengan hematuria tanpa eksravasasi urin. Ruptur kandung kemih dapat bersifat intraperitoneal atau ekstraperitoneal. Rupture kandung kemih ekstraperitoneal biasanya akibat tertusuk fragmen fraktur tulang pelvis pada dinding depan kandung kemih yang penuh. Pada kejadian ini terjadi ekstravasasi urin dari rongga perivesikal.

10

JULIA 1102010137

Klasifikasi 1. Rupture ekstaperitoneal kandung kemih. Ruptur ekstraperitoenal biasanya berhubungan dengan fraktur panggul (89%-100%). Sebelumnya mekanisme cidera diyakini dari perforasi langsung oleh fragmen tulang panggul. Tingkat cidera kandung kemih secara langsung berkaitan dengan tingkat keparahan fraktur. 2. Rupture kandung kemih intraperitoneal. Rupture kandung kemih intraperitoneal digambarka sebagai masuknya urine secara horizontal kedalam kompartemen kadung kemih.mekanisme cidera adalah peningkatan tingkat tekanan intravesikel secara tiba-tiba kekandung kemih yang penuh. Kekuatan daya trauma tidak mampu ditahan oleh kemampuan dinding kandung kemih sehingga terjadi perforasi dan urine masuk kedalam peritoneum. 3. Kombinasi rupture intraperitoneal dan ekstraperitoneal. Meknaisme cidera penetrasi memungkinkan cidera menembus kandung kemih seperti peluru kecepatan tinggi melintasi kandung kemih atau luka tusuk abdominal bawah. Hal itu akan menyebabkan intraperitoneal, ekstraperitoneal, cidera, atau gabungan kandung kemih. Tanda Dan Gejala a. Fraktur tulang pelvis disertai perdarahan hebat b. Abdomen bagian tempat jejas/hemato c. Tidak bisa buang air kecil kadang keluar darah dari uretra. d. Nyeri suprapubik e. Ketegangan otot dinding perut bawah f. Trauma tulang panggul Komplikasi a. Urosepsis. : Keracunan septic dari penahanan dan absorbs substansi urin. b. Klien lemah akibat anemia.

Pemeriksaan Laboratorium / Diagnostik a. Hematokrit menurun.

11

JULIA 1102010137

b.

Cystografi : menunjukkan ekstravasase urine, vesika urinaria dapat pindah atau tertekan.

Penatalaksanaan 1. 2. 3. Atasi syok dan perdarahan. Istirahat baring sampai hematuri hilang. Bila ditemukan fraktur tulang punggung disertai ruftur vesica urinaria intra peritoneal dilakukan operasi sectio alta yang dilanjutkan dengan laparatomi.

LO 3 Trauma Uretra Ruptur Uretra Posterior Etiologi Trauma tumpul merupakan penyebab dari sebagian besar cedera pada uretra pars posterior. Menurut sejarahnya, banyak cedera semacam ini yang berhubungan dengan kecelakaan di pabrik atau pertambangan. Akan tetapi, karena perbaikan dalam hal keselamatan pekerja pabrik telah menggeser penyebab cedera ini dan menyebabkan peningkatan pada cedera yang berhubungan kecelakaan lalu lintas. Gangguan pada uretra terjadi sekitar 10% dari fraktur pelvis tetapi hampir semua gangguan pada uretra membranasea yang berhubungan dengan trauma tumpul terjadi bersamaan fraktur pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostatomembranasea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di kavum retzius sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut terobek, prostat berada buli-buli akan terangkat ke kranial. Fraktur pelvis yang menyebabkan gangguan uretra biasanya penyebab sekunder karena kecelakaan kendaraan bermotor (68%-84%) atau jauh dari ketinggian dan tulang pelvis hancur (6%-25%). Pejalan kaki lebih beresiko, mengalami cedera uretra karena fraktur pelvis pada kecelakaan bermotor dari pada pengendara. Epidemiologi Fraktur pelvis merupakan penyebab utama terjadinya ruptur uretra posterior dengan angka kejadian 20 per 100.000 populasi dan penyebab utama terjadinya fraktur pelvis adalah
12

JULIA 1102010137

kecelakaan bermotor (15,5%), diikuti oleh cedera pejalan kaki (13,8%), jatuh dari ketinggian lebih dari 15 kaki (13%), kecelakaan pada penumpang mobil (10,2%) dan kecelakaan kerja (6%). Fraktur pelvis merupakan salah satu tanda bahwa telah terjadi cedera intraabdominal ataupun cedera urogenitalia yang kira-kira terjadi pada 15-20% pasien. Cedera organ terbanyak pada fraktur pelvis adalah pada uretra posterior (5,8%-14,6%), diikuti oleh cedera hati (6,1%-10,2%) dan cedera limpa (5,2%-5,8%). Mekanisme Trauma Cedera uretra terjadi sebagai akibat dari adanya gaya geser pada prostatomembranosa junction sehingga prostat terlepas dari fiksasi pada diafragma urogenitalia. Dengan adanya pergeseran prostat, maka uretra pars membranasea teregang dengan cepat dan kuat. Uretra posterior difiksasi pada dua tempat yaitu fiksasi uretra pars membranasea pada ramus ischiopubis oleh diafragma urogenitalia dan uretra pars prostatika ke simphisis oleh ligamentum puboprostatikum. Klasifikasi Melalui gambaran uretrogram, Colapinto dan McCollum (1976) membagi derajat cedera uretra dalam 3 jenis : 1. Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (perengangan). Foto uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan uretra hanya tampak memanjang 2. Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, sedangkan diafragma urogenitalia masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasai kontras yang masih terbatas di atas diafragma 3. Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah proksimal ikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstvasasi kontras meluas hingga di bawah diafragma sampai ke perineum Gambaran Klinis Pada ruptur uretra posterior terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah, dijumpai jejas hematom, dan nyeri tekan. Bila disertai ruptur kandung kemih, bisa dijumpai tanda rangsangan peritoneum. Pasien biasanya mengeluh tidak bisa kencing dan sakit pada daerah perut bagian bawah. Kemungkinan terjadinya cedera uretra posterior harus segera dicurigai pada pasien yang telah didiagnosis fraktur pelvis. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, beberapa jenis
13

JULIA 1102010137

fraktur pelvis lebih sering berhubungan dengan cedera uretra posterior dan terlihat pada 87% sampai 93% kasus. Akan tetapi, banyaknya darah pada meatus uretra tidak berhubungan dengan beratnya cedera. Teraba buli-buli yang cembung (distended), urin tidak bisa keluar dari kandung kemih atau memar pada perineum atau ekimosis perineal merupakan tanda tambahan yang merujuk pada gangguan uretra. Trias diagnostik dari gangguan uretra prostatomembranosa adalah fraktur pelvis, darah pada meatus dan urin tidak bisa keluar dari kandung kemih. Keluarnya darah dari ostium uretra eksterna merupakan tanda yang paling penting dari kerusakan uretra. Pada kerusakan uretra tidak diperbolehkan melakukan pemasangan kateter, karena dapat menyebabkan infeksi pada periprostatik dan perivesical dan konversi dari incomplete laserasi menjadi complete laserasi. Cedera uretra karena pemasangan kateter dapat menyebabkan obstuksi karena edema dan bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat mengakibatkan demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh tergantung fascia yang rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat urin yang mengakibatkan selulitis dan septisemia, bila terjadi infeksi. Adanya darah pada ostium uretra eksterna mengindikasikan pentingnya uretrografi untuk menegakkan diagnosis. Pada pemeriksaan rektum bisa didapatkan hematoma pada pelvis dengan pengeseran prostat ke superior. Bagaimanapun pemeriksaan rektum dapat diinprestasikan salah, karena hematoma pelvis bisa mirip denagan prostat pada palpasi. Pergeseran prostat ke superior tidak ditemukan jika ligament puboprostikum tetap utuh. Disrupsi parsial dari uretra membranasea tidak disertai oleh pergeseran prostat. Prostat dan buli-buli terpisah dengan uretra pars membranasea dan terdorong ke atas oleh penyebaran dari hematoma pada pelvis. High riding prostat merupakan tanda klasik yang biasa ditemukan pada ruptur uretra posterior. Hematoma pada pelvis, ditambah dengan fraktur pelvis kadang-kadang menghalangi palpasi yang adekuat pada prostat yang ukurannya kecil. Sebaliknya terkadang apa yang dipikirkan sebagai prostat yang normal mungkin adalah hematoma pada pelvis. Pemeriksaan rektal lebih penting untuk mengetahui ada tidaknya jejas pada rektal yang dapat dihubungkan dengan fraktur pelvis. Darah yang ditemukan pada jari pemeriksa menunjukkan adanya suatu jejas pada lokasi yang diperiksa. Gambaran Radiologi Uretrografi retrograde telah menjadi pilihan pemeriksaan untuk mendiagnosis cedera uretra karena akurat, sederhana dan cepat dilakukan pada keadaan trauma. Sementara CT Scan
14

JULIA 1102010137

merupakan pemeriksaan yang ideal untuk saluran kemih bagian atas dan cedera vesika urinaria dan terbatas dalam mendiagnosis cedera uretra. Sementara MRI berguna untuk pemeriksaan pelvis setelah trauma sebelum dilakukan rekonstuksi, pemeriksaan ini tidak berperan dalam pemeriksaan cadera uretra. Sama halnya dengan USG uretra yang memiliki keterbatasan dalam pelvis dan vesika urinaria untuk menempatkan kateter suprapubik. Penatalaksanaan Emergency Syok dan pendarahan harus diatasi, serta pemberian antibiotik dan obat-obat analgesik. Pasien dengan kontusio atau laserasi dan masih dapat kencing, tidak perlu menggunakan alat-alat atau manipulasi tapi jika tidak bisa kencing dan tidak ada ekstravasasi pada uretrosistogram, pemasangan kateter harus dilakukan dengan lubrikan yang adekuat. Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera intraabdomen dan organ lain, cukup dilakukan sistotomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan kateter silicon selama 3 minggu. Pembedahan Ekstravasasi pada uretrosistogram mengindikasikan pembedahan. Kateter uretra harus dihindari. 1. Immediate management Penanganan awal terdiri dari sistostomi suprapubik untuk drainase urin. Insisi midline pada abdomen bagian bawah dibuat untuk menghindari pendarahan yang banyak pada pelvis. Buli-buli dan prostat biasanya elevasi kearah superior oleh pendarahan yang luas pada periprostatik dan perivesikal. Buli-buli sering distensi oleh akumulasi volume urin yang banyak selama periode resusitasi dan persiapan operasi. Urin sering bersih dan bebas dari darah, tetapi mungkin terdapat gross hematuria. Buli-buli harus dibuka pada garis midline dan diinspeksi untuk laserasi dan jika ada, laserasi harus ditutup dengan benang yang dapat diabsorpsi dan pemasangan tube sistotomi untuk drainase urin. Sistotomi suprapubik dipertahankan selama 3 bulan. Pemasangan ini membolehkan resolusi dari hematoma pada pelvis, dan prostat & buli-buli akan kembali secara perlahan ke posisi anatominya. Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2- 3 hari kemudian, sebaiknya dipasang kateter secara langsir (railroading) a. Selang karet atau plastik diikat ketat pada ujung sonde dari meatus uretra

15

JULIA 1102010137

b. Sonde uretra pertama dari meatus eksternus dan sonde kedua melalui sistotomi yang dibuat lebih dahulu saling bertemu, ditandai bunyi denting yang dirasa di tempat ruptur c. Selanjutnya sonde dari uretra masuk ke kandung dengan bimbingan sonde dari buli-buli d. Sonde dicabut dari uretra e. Sonde dicabut dari kateter Nelaton dan diganti dengan ujung kateter Foley yang dijahit pada kateter Nelaton f. Ujung kateter ditarik kearah buli-buli g. Selanjutnya dipasang kantong penampung urin dan traksi ringan sehingga balon kateter Foley tertarik dan menyebabkan luka ruptur merapat. Insisi di buli-buli ditutup 2. Delayed urethral reconstruction Rekonstruksi uretra setelah disposisi prostat dapat dikerjakan dalam 3 bulan, diduga pada saat ini tidak ada abses pelvis atau bukti lain dari infeksi pelvis. Sebelum rekonstuksi, dilakukan kombinasi sistogram dan uretrogram untuk menentukan panjang sebenarnya dari striktur uretra. Panjang striktur biasanya 1-2 cm dan lokasinya dibelakang dari tulang pubis. Metode yang dipilih adalah single-stage reconstruction pada ruptur uretra dengan eksisi langsung pada daerah striktur dan anastomosis uretra pars bulbosa ke apeks prostat lalu dipasang kateter uretra ukuran 16 F melalui sistotomi suprapubik. Kira-kira 1 bulan setelah rekonstuksi, kateter uretra dapat dilepas. Sebelumnya dilakukan sistogram, jika sistogram memperlihatkan uretra utuh dan tidak ada ekstravasasi, kateter suprapubik dapat dilepas. Jika masih ada ekstravasasi atau striktur, kateter suprapubik harus dipertahankan. Uretrogram dilakukan kembali dalam 2 bulan untuk melihat perkembangan striktur. 3. Immediate urethral realignment Beberapa ahli bedah lebih suka untuk langsung memperbaiki uretra. Perdarahan dan hematoma sekitar ruptur merupakan masalah teknis. Timbulnya striktur, impotensi, dan inkotinensia lebih tinggi dari immediate cystotomy dan delayed reconstruction. Walaupun demikian beberapa penulis melaporkan keberhasilan dengan immediate urethral realignment. 3 Komplikasi Striktur, impotensi, dan inkotinensia urin merupakan komplikasi rupture prostatomembranosa paling berat yang disebabkan trauma pada sistem urinaria. Striktur yang mengikuti perbaikan primer dan anastomosis terjadi sekitar 50% dari kasus. Jika dilakukan sistotomi suprapubik, dengan pendekatan delayed repair maka insidens striktur dapat dikurangi sampai sekitar 5%.
16

JULIA 1102010137

Insidens impotensi setelah primary repair, sekitar 30-80% (rata-rata sekitar 50%). Hal ini dapat dikurangi hingga 30-35% dengan drainase suprapubik pada rekontruksi uretra tertunda. Jumlah pasien yang mengalami inkotinensia urin <2 % biasanya bersamaan dengan fraktur tulang sakrum yang berat dan cedera nervus S2-4. Prognosis Jika komplikasinya dapat dihindari, prognosisnya sangat baik. Infeksi saluran kemih akan teratasi dengan penatalaksaan yang sesuai.

Ruptur Uretra Anterior Etiologi Uretra anterior adalah bagian distal dari diafragma urogenitalia. Straddle injury dapat menyebabkan laserasi atau contusion dari uretra. Instrumentasi atau iatrogenik dapat menyebabkan disrupsi parsial. Cedera uretra anterior secara khas disebabkan oleh cedera langsung pada pelvis dan uretra. Secara klasik, cedera uretra anterior disebabkan oleh straddle injury atau tendangan atau pukulan pada daerah perineum, dimana uretra pars bulbosa terjepit diantara tulang pubis dan benda tumpul. Cedera tembus uretra (luka tembak atau luka tusuk) dapat juga menyebabkan cedera uretra anterior. Penyebab lain dari cedera uretra anterior adalah trauma penis yang berat, trauma iatrogenic dari kateterisasi, atau masuk benda asing. Mekanisme Trauma Trauma tumpul atau tembus dapat menyebabkan cedera uretra anterior. Trauma tumpul adalah diagnosis yang sering dan cedera pada segmen uretra pars bulbosa paling sering (85%), karena fiksasi uretra pars bulbosa dibawah dari tulang pubis, tidak seperti uretra pars pendulosa yang mobile. Trauma tumpul pada uretra pars bulbosa biasanya disebabkan oleh straddle injury atau trauma pada daerah perineum. Uretra pars bulbosa terjepit diantara ramus inferior pubis dan benda tumpul, menyebabkan memar atau laserasi pada uretra Tidak seperti cedera pada uretra pars prostatomembranous, Trauma tumpul uretra anterior jarang berhubungan dengan trauma organ lainnya. Kenyataannya, straddle injury menimbulkan cedera cukup ringan, membuat pasien tidak mencari penanganan pada saat kejadian. Pasien biasanya datang dengan striktur uretra setelah kejadian yang intervalnya bulan atau tahun.

17

JULIA 1102010137

Cedera uretra anterior dapat juga berhubungan dengan trauma penis (10% sampai 20% dari kasus). Mekanisme cedera adalah trauma langsung atau cedera pada saat berhubungan intim, dimana penis yang sementara ereksi menghantam ramus pubis wanita, menyebabkan robeknya tunika albuginea.

Klasifikasi Klasifikasi rupture uretra anterior dideskripsikan oleh McAninch dan Armenakas berdasarkan atas gambaran radiologi a. Kontusio : Gambaran klinis memberi kesan cedera uretra, tetapi uretrografi retrograde normal b. Incomplete disruption : Uretrografi menunjukkan ekstravasasi, tetapi masih ada kontinuitas uretra sebagian. Kontras terlihat mengisi uretra proksimal atau vesika urinaria. c. Complete disruption : Uretrografi menunjukkan ekstravasasi dengan tidak ada kontras mengisi uretra proksimal atau vesika urinaria. Kontinuitas uretra seluruhnya terganggu. Gambaran Klinis Pada rupture uretra anterior terdapat memar atau hematom pada penis dan skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda klasik cedera uretra. Bila terjadi rupture uretra total, penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil sejak terjadi trauma dan nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik. Pada perabaan mungkin ditemukan kandung kemih yang penuh. Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstuksi karena udem atau bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis mengakibatkan demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh, tergantung fascia yang turut rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrate yang disebut infiltrate urin yang mengakibatkan selulitis dan septisemia, bila terjadi infeksi. Kecurigaan ruptur uretra anterior timbul bila ada riwayat cedera kangkang atau instrumentasi dan darah yang menetes dari uretra. Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urin keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek, ekstravasai urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum

18

JULIA 1102010137

atau dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu. Gambaran Radiologis Pemeriksaan radiologik dengan uretrogram retrograde dapat memberi keterangan letak dan tipe ruptur uretra. Uretrogram retrograde akan menunjukkan gambaran ekstravasasi, bila terdapat laserasi uretra, sedangkan kontusio uretra tidak tampak adanya ekstravasasi. Bila tidak tampak adanya ekstravasasi maka kateter uretra boleh dipasang.

Penatalaksanaan Penanganan Awal Kehilangan darah yang banyak biasanya tidak ditemukan pada straddle injury. Jika terdapat pendarahan yang berat dilakukan bebat tekan dan resusitasi. Armenakas dan McAninch (1996) merencanakan skema klasifikasi praktis yang sederhana yang membagi cedera uretra anterior berdasarkan penemuan radiografi menjadi kontusio, ruptur inkomplit, dan ruptur komplit. Kontusio dan cedera inkomplit dapat ditatalaksana hanya dengan diversi kateter uretra. Tindakan awal sistotomi suprapubik adalah pilihan penanganan pada cedera staddle mayor yang melibatkan uretra. Pilihan utama berupa surgical repair direkomendasikan pada luka tembak dengan kecepatan rendah, Ukuran kateter disesuaikan dengan berat dari striktur uretra. Debridement dari korpus spongiosum setelah trauma seharusnya dibatasi karena aliran darah korpus dapat terganggu sehingga menghambat penyembuhan spontan dari area yang mengalami kontusi. Diversi urin dengan suprapubik direkomendasikan setelah luka tembak uretra dengan kecepatan tinggi, diikuti dengan rekonstruksi lambat. Penanganan Spesifik

Kontusio Uretra

Pasien dengan kontusio uretra tidak ditemukan bukti adanya ekstravasasi dan uretra tetap utuh. Setelah uretrografi, pasien dibolehkan untuk buang air kecil; dan jika buang air kecil normal, tanpa nyeri dan pendarahan, tidak dibutuhkan penanganan tambahan. Jika pendarahan menetap, drainase uretra dapat dilakukan.

Laserasi Uretra

Instrumentasi uretra setelah uretrografi harus dihindari. Insisi midline pada suprapubik dapat membuka kubah dari buli-buli supaya pipa sistotomi suprapubik dapat disisipkan dan
19

JULIA 1102010137

dibolehkan pengalihan urin sampai laserasi uretra sembuh. Jika pada uretrogram terlihat sedikit ekstravasasi, berkemih dapat dilakukan 7 hari setelah drainase kateter suprapubik untuk menyelidiki ekstravasasi. Pada kerusakan yang lebih parah, drainase kateter suprapubik harus menunggu 2 sampai 3 minggu sebelum mencoba berkemih. Penyembuhan pada tempat yang rusak dapat menyebabkan striktur. Kebanyakan striktur tidak berat dan tidak memerlukan rekonstuksi bedah. Kateter suprapubik dapat dilepas jika tidak ada ekstravasasi. Tindakan lanjut dengan melihat laju aliran urin akan memperlihatkan apakah terdapat obstuksi uretra oleh striktur.

Laserasi Uretra dengan Ekstravasasi Urin yang Luas

Setelah laserasi yang luas, ekstravasasi urin dapat menyebar ke perineum, skrotum, dan abdomen bagian bawah. Drainase pada area tersebut diindikasikan. Sistotomi suprapubik untuk pengalihan urin diperlukan. Infeksi dan abses biasa terjadi dan memerlukan terapi antibiotik. Rekonstruksi segera : Perbaikan segera laserasi uretra dapat dilakukan, tetapi prosedurnya sulit dan tingginya resiko timbulnya striktur. Rekonstruksi lambat Sebelum semua rencana dilakukan, retrograde uretrogram dan sistouretrogram harus dilakukan untuk mengetahui tempat dan panjang dari uretra yang mengalami cedera. Pemeriksaan ultrasound uretra dapat membantu menggambarkan panjang dan derajat keparahan dari striktur. Injeksi retrograde saline kombinasi dengan antegrade bladder filling akan mengisi uretra bagian proksimal dan distal, dan sonogram 10-MHz akan mengambarkan dengan jelas bagian yang tidak bisa terdistensi untuk di eksisi. Jaringan fibrosa padat yang terbentuk karena trauma sering menjadi significant shadow. Uretroplasty anastomosis adalah prosedur pilihan pada ruptur total uretra pars bulbosa setelah straddle injury. Skar tipikal berukuran 1,5 sampai 2 cm dan harus dieksisi komplit. Uretra proksimal dan distal dapat dimobilisasi untuk anastomosis end-to-end. Tingkat keberhasilan dari prosedur ini lebih dari 95% dari kasus Insisi endoskopik melalui jaringan skar dari uretra yang ruptur tidak disarankan dan sering kali gagal. Penyempitan parsial uretra dapat diterapi awal dengan insisi endoskopi dengan tingkat keberhasilan tinggi. Saat ini uretrotomi dan dilatasi berulang telah terbukti tidak efektif
20

JULIA 1102010137

baik secara klinis maupun biaya. Lebih lanjut, pasien dengan prosedur endoskopik berulang juga sering diharuskan untuk dilakukan tindakan rekonstruksi kompleks seperti graft. Open repair seharusnya ditunda paling tidak beberapa minggu setelah instrumentasi untuk membiarkan uretra stabil. Komplikasi Komplikasi dini setelah rekontruksi uretra adalah infeksi, hematoma, abses periuretral, fistel uretrokutan, dan epididimitis. Komplikasi lanjut yang paling sering terjadi adalah striktur uretra.

Prognosis Struktur uretra adalah komplikasi utama tetapi pada banyak kasus tidak memerlukan rekonstruksi bedah. Jika, striktur ditetapkan, laju aliran urin kurang baik dan infeksi urinaria dan terdapat fistel uretra, rekonstruksi dibutuhkan.

LO 4 Akut Abdomen Definisi Akut abdomen adalah suatu keadaan perut yang dapat membahayakan penderita dalam waktu singkat jika tidak dilakukan tindakan yang cepat dan tepat. Causa Akut Abdomen 1. Radang Akut a. Divertikulitis - Appendicitis Akut b. Kholesistitis Akut - Salpingitis Akut c. Pancreatitis Akut - Peritonitis Akut 2. Trauma pada perut a. Trauma Tumpul : perdarahan dalam perut Rupture lien, hepar, ren Perforasi usus a. Trauna Tajam : luka tusuk, luka tembak

3. Tumor intraabdomen 4. Obstruksi


21

JULIA 1102010137

a.

Hernia incaserata

b. Kholelitiasis c. d. Sumbatan vasa mesenterica Ileus mekanik ec. Invaginasi, volvulus, streng ileus

5. Perforasi a. Ulkus ventrikuli perforate b. Typhus abdominalis perforasi 6. Torsi a. torsi vesica fellea - torsi kista ovarii bertangkai b. torsi testis - torsi omentum 7. Kelainan Kongenital : atresia ani letak rendah / tinggi Diagnosa Akut Abdomen Anamnesa Sakit/nyeri, Abdominal pain merupakan keluhan utama. Abdominal pain ada 2 : a. visceral pain Nyeri yang disebabkan karena terdapat rangsangan pada organ atau struktur dalam rongga perut. Rasa sakitnya bersifat kolik atau intermitten. Letak dari nyeri visceral ini tidak dapat ditunjukkan secara tepat. Saluran cerna yang berasal dari usus depan (foregut) yaitu lambung, duodenum, system hepatobilier, dan pancreas menyebabkan nyeri di epigastrium.Saluran cerna yang berasal dari usus tengah (midgut) yaitu usus halus sampai pertengahan colon tranversum menyebabkan nyeri disekitar umbilicus. Saluran cerna yang berasal dari usus belakang (hindgut) yaitu dari pertengahan colon sampai sigmoid menimbulkan nyeri di perut bagian bawah. b. somatic pain Nyeri yang disebabkan karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi oleh saraf tepi. Pasien dapat menunjukkan dengan tepat lokasi nyerinya. Nyeri bersifat terus menerus (continous). Yang perlu diperhatikan adalah : - sifat rasa sakit - penjalaran rasa sakit - letak rasa sakit
22

JULIA 1102010137

- waktu atau sebab timbulnya rasa sakit Obstipasi/Konstipasi/Diare Obstipasi Konstipasi : gangguan evakuasi feses dan isinya (termasuk udara) : terhambatnya defekasi dari kebiasaan defekasi normal (jarang, jumlah feses

berkurang, feses keras dan kering). Kembung Kembung atau distended adalah keadaan dimana dinding perut lebih tinggi dari pada xypopubic line.

Muntah Keluarnya kembali makanan yang sudah menyentuh dinding lambung. Terjadin karena adanya rangsangan pada peritoneum. Pada peradangan intraabdominal yang awal, terjadi muntah tanpa disertai oleh mual. Pada proses lanjut timbul rasa mual. Yang harus diperhatikan pada muntah : a. Cepat tidaknya timbul muntah b. Banyak sedikitnya muntah c. Macam muntah yang dikeluarkan d. Bau muntahan Selain hal-hal diatas perlu diperhatikan : a. adanya darah pada feses, kemungkinan : invaginasi, divertikulitis, tumor ganas, colitis ulserativ. b. Riwayat laparatomi, SC Pemeriksaan Fisik Abdominal sign Inspeksi a. meteorismus b. darm counter c. darm steifung Auskultasi a. dengarkan gerakan peristaltic usus
23

d. tumor e. dilatasi vena f. benjolan

JULIA 1102010137

b. bila suara usus tidak terdengar (silent abdomen) menandakan terjadinya peritonitis atau ileus paralitik c. bila terdengan suara usus seperti borborygmi dan metallic sound sebagai tanda ileus mekanik Perkusi : untuk mengetahui adanya massa atau cairan intra abdominal Palpasi : perhatikan adanya distensi, defans muscular, nyeri tekan, adanya massa, hernia Rectal Toucher a. untuk mengetahui causa ileus mekanik, invaginasi, tumor, appendikuler infiltrate b. dilakukan dengan cara bimanual

Pemeriksaan laboratorium dan foto rontgen Pemeriksaan darah : a. darah lengkap b. hematocrit c. protrombin time Pemeriksaan urine : ketonuria pada asidosis Pemeriksaan Rontgen abdomen 3 posisi : untuk mengetahui adanya sumbatan dan letaknya d. kadar ureum darah e. kadar gula darah f. elektrolit (Na,K)

Penanganan Akut Abdomen Keberhasilan tergantung dari dokter pemeriksa pertama. Dokter harus dapat menegakkan diagnosa secepat mungkin dengan tepat sehingga dapat ditentukan langkah selanjutnya : a. perlukah tindakan operasi b. waspada kemungkinan dilakukan operasi c. tentukan seawall mungkin d. konsultasi pada ahli yang berwenang melakukan operasi Persiapkan penderita untuk operasi dengan cara : a. perbaiki K.U. b. mengatasi shock c. menyediakan darah
24

JULIA 1102010137

d. tidak memberikan terapi untuk gejala akut abdomen yang akan mempersulit penanganan selanjutnya e. bila diperlukan tindakan operasi jangan lupa buat infprm consent dengan keluarga pasien Penanganan Awal : Koreksi cairan dan elektrolit, asam basa,temperature atau suhu 1. Oksigenasi dengan pemberian O2 3-4 lt/mnt 2. Pasang infuse, berikan terapi cairan.

3. Pasang DC untuk mengetahui urin outputnya 4. Bila didapat tanda-tanda syok seperti : nadi > 100x/mnt, P sistolik < 100mmHg, akral dingin, berikan cairan infuse kristaloid 1000 2000 ml/jam. Syok teratasi bila nadi < 100 x/mnt, P sistolik > 100mmHg, akral hangat dan urine output > 0,5 ml/kgBB/jam. 5. Koreksi asam basa 6. Bila dicurigai ileus lakukan dekompresi dengan pasang NGT atau lavement, puasakan pasien, beri antibiotic broadspektrum. Peritonitis Gejala Peritonitis : a. Demam b. Mual c. Muntah d. Kembung Px Fisik : a. Inspeksi : facies hipocrates (tulang pipi menonjol, pipi cekung, mata cekung), lidah kotor dan kering, nafas cepat dan dangkal, perut distensi. b. Auskultasi : suara usus tidak ada, peristaltic (-), silent abdomen c. Palpasi : nyeri tekan difus, defans muscular d. Perkusi : nyeri ketok, hipertimpani, redup hepar menghilang Px radiologis : Terdapat gambaran air fluid level Penanganan : a. koreksi cairan dan elektrolit b. oksigenasi c. koreksi asam basa d. Antibiotik massif
25

e. Cegukan f. Nyeri perut g. BAB dan Flatus (-)

e. Koreksi suhu f. Bila peritonitis sekunder terapi causa dasarnya.

JULIA 1102010137

ILEUS Definisi Gangguan pasase makanan di dalam usus yang menyebabkan makanan tidak dapat bergerak di dalam usus. Macam Ileus 1. Gangguan Mekanis : Ileus Mekanik Disebabkan karena gangguan mekanik berupa sumbatan sehingga terjadi obstruksi. Ada 3 stadium a. Partial Ileus : obstruksi terjadi sebagian sehingga makanan masih bisa lewat, dapat flatus/ defekasi sedikit. b. Simple Ileus : terjadi sumbatan total tapi belum terjadi gangguan vaskularisasi dinding usus. c. Ileus Strangulasi : ileus disertai distensi usus dibagian proksimal sumbatan dan vaskularisasi dinding usus terjepit (strangulasi) 2. Gangguan Persyarafan : Ileus Neurogenik Gangguan pada saraf parasimpatis S2-S4. ada 2 yaitu : a. Adinamik/Ileus paralitik (proses radang kelelahan) b. Dinamik/Ileus Spastika : karena kontraksi yang terlalu kuat dan terjadi secara bersamaan. Penyebabnya : rangsangan saraf yang berlebihan, keracunan, neurasteni, histeri 3. Gangguan Vaskularisasi : Ileus Vaskuler Ileus ini berhubungan dengan penyakit jantung sehingga vaskularisasi dari jantung menurun dan didaerah arteri mesenterica superior ada sumbatan sehingga bagian distal arteri mesenterika tersebut terjadi iskemik. Karena adanya thrombus/embolus pada vasa sehingga timbul iskemik, gangrene, nekrosis, bisa juga perforasi.

Ileus Mekanik / Ileus Obstruktif Disebabkan karena gangguan mekanik berupa sumbatan sehingga terjadi obstruksi. Causa 1. Hernia Incaserata 2. Non Hernia Incaserata : a. Penyempitan lumen usus : Scibala, fekalith, keganasan, radang, tumor mesenterium
26

JULIA 1102010137

b. Adhesi : Radang, trauma, post laparatomi c. Invaginasi Hiperperistaltik usus yang menyebabkan bagian oral lebih mobil sehingga masuk ke yang anal. Bagian anal berkontraksi sehingga terjadi oedema kemudian perlengketan dan kahirnya terjadi invaginasi. Ciri kahasnya : ada lendir darah peranus Causanya : hiperperistaltik akibat obat-obatan, lesi organ (polipoid tumor Ca colon), factor mobilitas (bagian proximal mobil dan distal terfixir). Gejalanya : perut kembung, flatus (-), defekasi (-), muntah-muntah, lendir darah, pada RT teraba portio Geruis.

d. Volvulus Faktor terjadinya : segmen usus yang bergerak leluasa dan ada titik fiksasi pada segmen ysus sebagai focus volvulus. Causa : alat penggantung usus terlalu panjang, terlalu banyak divertikulum, peradangan / trauma, makanan tinggi selulose, orang tua dengan retardasi mental. e. Malformasi usus Pada waktu perputaran usus (minggu ke 10) terjadi pemuntiran sehingga terjadi penjepitan yang akan menyebabkan terjadinya ileus mekanik. Diagnosis 1. Anamnesa Keluhan : flatus (-), BAB (-), perut kembung, muntah-muntah, sakit perut intermitten. Bila ada keluhan benjolan di lipat paha curiga hernia incaserata Keluhan BAB dengan lendir darah curiga invaginasi. Bila timbul tak mendadak : streng ileus, radang, adhesi. Timbul mendadak : invaginasi, volvulus 2. Inspeksi a. Kondisi umum : lemah, dehidrasi b. Meteorismus : distensi usus proksimal c. Ileus letak tinggi : sumbatan di suodenum sehingga yang kembung bagian proksimalnya d. Ileus letak tengah : sumbatan di ileum e. Ileus letak rendah : sumbatan di colon
27

JULIA 1102010137

f. Darm contour g. Darm steifung 3. Auskultasi a. Suara usus hiperperistalti b. Borborygmi c. Suara metalik 4. Palpasi a. Distensi perut b. Tak sakit tekan (kecuali saat hiperperistaltik) c. Tak ada defans muscular (kecuali pada peritonitis) 5. Perkusi: Timpani di seluruh perut terutama di sub diafragma 6. Rectal toucher : Untuk menduga causa selain hernia, contohnya invaginasi. 7. Rontgen Foto : Foto polos abdomen 3 posisi : terlihat udara bebas sub difragma (ladder symptom) 8. Pemeriksaan laboratorium a. Darah : Hb dan Hmt relative meningkat karena dehidrasi, AL meningkat. b. Kimia : elektrolir menurun, Na, K, Cl menurun 9. Penanganan konservatif a. lakukan rehidrasi untuk mengoreksi dehidrasi b. atasi masalah asidosis, alkalosis, uremia c. oksigenasi d. dekompresi untuk mengatasi distensi usus. Tujuan dekompresi : menurunkan tegangan dinding usus, memperbaiki sirkulasi dinding usus, memperbaiki peristaltic, memperbaiki reabsorbsi Ileus Neurogenik Ileus Paralitik 1. Anamnesa : a. Gejala : kondisi umum lemah b. Dehidrasi Flatus (-) c. BAB (-)
28

d. Muntah-muntah e. Perut kembung f. Riwayat sakit thypus

JULIA 1102010137

2. Inspeksi : Terlihat adanya tanda-tanda dehidrasi Meteorismus (perut kembung) 3. Auskultasi : Silent abdomen Peristaltic (-) 4. Palpasi : Distensi dinding perut Nyeri tekan (-) Defans muscular (-) kecuali terjadi peritonitis 5. Perkusi : Hipertimpani 6. Foto roentgen : Udara di seluruh usus 7. Causa : a. Terbanyak adalah thypus abdominalis perforasi b. Peritonel irritation c. Ekstra peritoneal irritation (trauma abdomen) d. Systemic metabolic imbalance (gangguan elektrolit hypokalemi, shock, uremia, DM) e. Neurogenik (lesi syaraf pd fraktur vertebra, fracture kosta bagian bawah) Lain-lain : ileus mekanik, ileus vascular, obat-obatan (antihipertensi) 8. Komplikasi : a. Dehidrasi b. Iskemi sehingga bisa menyebabkan necrose usus c. Jepitan vasa 9. Penanganan : a. Konservatif : rehidrasi b. Koreksi gangguan elektrolit c. Koreksi asam basa d. Antibiotic massif e. Obat-obatan spasmodic untuk memacu peristaltic (pilokarpin, acetil kolin, fisostigmin) Sesuai dengan causanya f. Hindari komplikasi
29

JULIA 1102010137

g. Tidak boleh melakukan lavement h. Penanganan operatif bila konservatif gagal.

Ileus Spastik Proses : Terjadi kontraksi spastic yang kuat pada beberapa tempat di dinding usus secara bersamaan sehingga makanan tidak bisa lewat. Biasanya pada colon. Gejala : a. perut distensi/kaku/keras (tapi bukan defans muscular) b. suara usus kuat (+) c. peristaltic (-) d. perut sakit pada saat spasme 3. Causa : a. neurogenik (rangsangan kuat parasimpatis S2-4) b. keracunan Pb c. neurasteni 4. Penanganan : Hilangkan causanya : a. keracunan Pb berikan anti dotumnya b. histeri berikan sedative c. kolik berikan spasmolitik d. trauma e. kolik ginjal f. corpus alienum

Ileus Vaskular Causa : akibat adanya sumbatan pada cabang-cabang mesenterica superior ataupun inferior. Mempunyai hubungan dengan penderita jantung (miokar infark, atrium fibrilasi, thrombus dan embolus) Komplikasi : perdarahan karena thrombus yang emnyebabkan vasa yang tersumbat pecah keluarnya lendir darah peranus Penanganan : atasi shock dan tindakan operatif dengan reseksi segmen usus dan

mesenteriumnya. Tidak perlu mengambil trombusnya.

LO 5 Gangguan Kesadaran
30

JULIA 1102010137

Etiologi penurunan kesadaran Penyebab koma secara garis besar dapat disingkat/dibuat jembatankeledai menjadi kalimat SEMENITE . Selain itu ada juga beberapa buku yangmenggunakan jembatan keledai yang berbeda tetapi memiliki pengertianyang sama. Dari jembatan keledai ini kita juga dapat membedakan manakahyang termasuk ke dalam koma bihemisferik ataupun koma diensefalik. S ; Sirkulasi gangguan pembuluh darah otak (perdarahan maupun infark) E ; Ensefalitis akibat infeksi baik oleh bakteri, virus, jamur, dll M ; Metabolik akibat gangguan metabolic yang menekan/mengganggukinerjaotak. (gangguan hepar, uremia, hipoglikemia, koma diabetikum, dsb). E ; Elektrolit gangguan keseimbangan elektrolit (seperti kalium, natrium). N ; Neoplasma tumor baik primer ataupun sekunder yang menyebabkanpenekanan intracranial. Biasanya dengan gejala TIK meningkat(papiledema, bradikardi, muntah). I ; Intoksikasi keracunan. T ; Trauma kecelakaan. E ; Epilepsi Pemeriksaan GCS Kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow ComaScale (GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan/ Mata (E), PemeriksaanMotorik (M ) dan Verbal (V). Pemeriksaan ini mempunyai nilai terendah 3 dan nilaitertinggi15. Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk penglihatan/ mata: E1 tidak membuka mata dengan rangsang nyeri E2membuka mata dengan rangsang nyeri E3membuka mata dengan rangsang suaraE4 membuka mata spontan Motorik: M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri M2 reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri M3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri M4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran M5 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran M6 reaksi motorik sesuai perintah
31

JULIA 1102010137

Verbal: V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none) V2 respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds) V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words) V4 bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused) V5 bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated) Nilai GCS a. b. c. d. e. Skor 14-15 : compos mentis Skor 12-13 : apatis Skor 11-12 : somnolent Skor 8-10 : stupor Skor < 5 : koma

Tatalaksana secara umum Penatalaksanaan penderita koma secara umum harus dikelola menurut prinsip 5 B yaitu 1. Breathing Jalan napas harus bebas dari obstruksi.Posisi penderita miring agar lidah tidak jatuh kebelakang,serta bilamuntah tidak terjadi aspirasi. Bila pernapasanberhenti segera lakukan resusitasi. 2. Blood Diusahakan tekanan darah cukup tinggi untukmengalirkan darah ke otak. Tekanan darah yang rendahberbahaya untuk susunan saraf pusat. Komposisi kimiawidarah dipertahankan semaksimal mungkin, karenaperubahan-perubahan tersebut akan mengganggu perfusidan metabolisme otak. 3. Brain Usahakan untuk mengurangi edema otak yangtimbul. Bila penderita kejang sebaiknya diberikandifenilhidantoin 3 dd 100 mg atau karbamezepin 3 dd 200 mgper os atau nasogastric. Bila perlu difenilhidantoin diberikanintravena secara perlahan. 4. Bladder Harus diperhatikan fungsi ginjal, cairan,elektrolit, dan miksi. Kateter harus dipasang kecuali terdapat inkontinensia urin ataupun infeksi. 5. Bowel
32

JULIA 1102010137

Makanan penderita harus cukup mengandungkalori dan vitamin. Pada penderita tua sering terjadikekurangan albumin yang memperburuk edema otak, hal iniharus cepat dikoreksi. Bila terdapat kesukaran menelandipasang sonde hidung. Perhatikan defekasinya dan hindariterjadi obstipasi

33

JULIA 1102010137

LO 6

34

JULIA 1102010137

Kegawatdaruratan Mata Kedaruratan mata adalah sikap keadaan yang mengancam tajam penglihatan seseorang berupa penurunan tajam penglihatan sampai terjadinya kebutaan Klasifikasi : Berdasarkan konsep penanganan masalah gawat darurat maka kedaruratan mata dapat dikelompokkan menjadi beberapa keadaan : 1. Sight threatening condition Dalam situasi ini mata akan mengalami kebutaan atau cacat yang menetap dengan penurunan penglihatan yang berat dalam waktu beberapa detik sampai beberapa menit saja bila tidak segera mendapatkan pertolongan yang tepat. Cedera mata akibat bahan kimia basa (alkali) termasuk dalam keadaan ini. Oklusi arteria sentralis retina merupakan keadaan bukan trauma yang termasuk dalam kelompok ini. 2. Mayor condition Dalam situasi ini pertolongan harus diberikan tetapi dengan batasan waktu yang lebih longgar, dapat beberapa jam sampai beberapa hari. Bila pertolongan tidak diberikan maka penderita akan mengalami hal yang sama seperti disebutkan pada sight threatening condition. 3. Monitor condition Situasi ini tidak akan menimbulkan kebutaan meskipun mungkin menimbulkan suatu penderitaan subyektif pada pasien bila terabaikan pasien mungkin dapat masuk kedalam keadaan mayor condition Etiologi Kedaruratan mata dapat terjadi karena dua hal : 1. Tidak ada hubungannya denga trauma mata, misalnya : glaukoma akuta oklusi arteria sentralis retina 2. Disebabkan trauma Ada 2 macam trauma yang dapat mempengaruhi mata, yaitu: trauma langsung terhadap mata trauma tidak langsung, dengan akibat pada mata, misalnya - trauma kepala dengan kebutaan mendadak - trauma dada dengan akibat kelainan pada retina
35

JULIA 1102010137

Pembagian sebab-sebab trauma langsung terhadap mata adalah sbb: 1. Trauma mekanik a. Trauma tajam : Biasanya mengenai struktur diluar bola mata (tulang orbita dan kelopak mata) dan mengenai bola mata (ruptura konjungtifa, ruptura kornea) b. Trauma tumpul : Fraktura dasar orbita ditandai enoftalmus. Dapat terjadi kebutaan pasca trauma tumpul pada orbita. Hematoma palpebra biasanya dibatasi oleh rima orbita, selalu dipikirkan cedera pada sinus paranasal. c. Trauma ledakan/ tembakan Ada 3 hal yang terjadi, yaitu : Tekanan udara yang berubah Korpus alineum yang dilontarkan kearah mata yang dapat bersifat mekanik maupun zat kimia tertentu Perubahan suhu/ termis

2. Trauma non mekanik a. Trauma kimia Dibedakan menjadi 2, trauma oleh zat yang bersifat asam dan trauma yang bersifat basa. b. Trauma termik : Trauma ini disebabkan seperti panas, umpamanya percikan besi cair, diperlukan sama seperti trauma kimia c. Trauma radiasi : Trauma radiasi disebabkan oleh inframerah dan ultraviolet.

Manifestasi Klinis Adapun manifestasi klinisnya adalah sebagai berikut: a. lembam b. oedema c. nyeri d. lakrimasi Komplikasi 1. Mengancam penglihatan a. glaukoma kronik b. perdarahan vitreus c. eksoftalmus unilateral d. kelainan saraf
36

e. adanya benda asing f. pupil bergeser (T10 meningkat) g. adanya zat kimia h. perubahan visus.

JULIA 1102010137

2. Kerusakan permanen a. benda asing (kornea atau intra okuler) b. Abrasi kornea c. Laserasi bola mata d. Infeksi konjungifitis berat, selulitis orbita e. Penyumbatan arteri f. Pengelupasan retina g. Ensoftalmus

LO 7 Hifema Definisi Hifema adalah suatu keadaan dimana adanya darah dalam bilik mata depan yang bersal dari pembuluh darah iris dan badan siliar yang pecah yang dapat terjadi akibat trauma ataupun secara spontan, sehinnga darah terkumpul di dalam bilik mata, yang hanya mengisi sebagian ataupun seluruh isis bilik mata depan. Perdarahan bilik depan bola mata akibat rudapaksa ini merupakan akibat yang paling sering dijumpai karena persentuhan mata dengan benda tumpul. Berat ringannya traumatik hifema ini selain tergantung pada tingginya perdarahan juga tergantung pada ada tidaknya komplikasi yang menyertainya Etiologi Penyebab tersering dari hifema adalah trauma, baik trauma tumpul maupun trauma tembus. Hifema juga dapat disebabkan oleh perdarahan spontan. Perdarahan dapat terjadi segera setelah trauma yang disebut perdarahan primer atau perdarahan terjadi 5-7 hari sesudah trauma disebut perdarahan sekunder. Hifema sekunder biasanya terjadi akibat gangguan mekanisme pembekuan atau penyembuhan luka sehingga mempunyai prognosis yang lebih buruk. Perdarahan spontan dapat terjadi pada mata dengan rubeo iridis, tumor pada iris, retinoblastoma dan kelainan darah. Hal ini mungkin akibat terjadinya kelemahan pada dinding-dinding pembuluh darah. Patofisiologi Trauma merupaka penyebab tersering dari hifema. Oleh karena itu hifema sering terutama pada pasien yang berusia muda. Trauma tumpul pada kornea atau limbus dapat menimbulkan tekanan yang sangat tinggi, dan dalam waktu yang singkat di dalam bola mata terjadi penyebaran tekanan ke cairan badan kaca dan jaringan sklera yang tidak elastis sehingga terjadi perenggangan-perenggangan dan robekan pada kornea, sklera sudut iridokornea, badan
37

JULIA 1102010137

siliar yang dapat menimbulkan perdarahan. Perdarahan sekunder dapat terjadi oleh karena resorbsi dari pembekuan darah terjadi cepat, sehingga pembuluh darah tidak mendapat waktu yang cukup untuk meregenerasi kembali, dan menimbulkan perdarahan lagi. Perdarahan dapat terjadi segera setelah trauma yang disebut perdarahan primer atau perdarahan terjadi 5-7 hari setelah trauma yang disebut perdarahan sekunder. Hifema sekunder biasanya terjadi akibat gangguan mekanisme pembekuan atau penyembuhan luka sehingga mempunyai prognosis yang lebih buruk. Perdarahan spontan dapat terjadi pada mata dengan rubeosis iridis, tumor pada iris, retinoblastoma, dan kelainan darah yang mungkin diakibatkan karena terjadi suatu kelemahan dinding-dinding pembuluh darah. Pada proses penyembuhan, hifema dikeluarkan dari bilik mata depan dalam bentuk sel darah merah melalui sudut bilik mata depan atau kanal scelemn dan permukaan depan iris. Penyerapan melalui dataran depan iris dipercepat oleh enzim proteolitik yang dapat berlebihan di dataran depan iris. Sebagian darah dikeluarkan dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat hemosiderin berlebihan di dalam bilik mata depan, dapat terjadi penimbunan pigmen ini ke dalam lapis kornea. Penimbunan ini menimbulkan kekeruhan kornea terutama di bagian sentral sehingga terjadi perubahan warna kornea menjadi coklat yang disebut imbibisi kornea Sementara itu darah dalam bilik mata depan tidak sepenuhnya berbahaya, namun bila jumlahnya memadai maka dapat menghambat aliran humor aquos ke dalam trabekula, sehingga dapat menimbulkan glaukoma sekunder Gejala Klinis Biasanya pasien akan mengeluh sakit, disertai dengan epiforia dan blefaropasme. Penglihatan pasien akan sangat menurun , bila pasien duduk hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis Diagnosis Untuk mengetahui kelainan yang ditimbulkan perlu diadakan pemeriksaan yang cermat, terdiri atas anamnesis dan pemeriksaan. Anamnesis Pada saat anamnesis kasus trauma mata ditanyakan waktu kejadian, proses terjadi trauma dan benda yang mengenai mata tersebut. Bagaimana arah datangnya benda yang mengenai mata itu, apakah dari depan, samping atas, samping bawah, atau dari arah lain dan bagaimana
38

JULIA 1102010137

kecepatannya waktu mengenai mata dan bahan tersebut, apakah terbuat dari kayu, besi, atau bahan lainnya. Jika kejadian kurang dari satu jam maka perlu ditanyakan ketajaman penglihatan atau nyeri pada mata karena berhubungan dengan peningkatan tekanan intra okuler akibat perdarahan sekunder. Apakah trauma tersebut disertai dengan keluarnya darah, dan apakah pernah mendapatkan pertolongan sebelumnya. Perlu juga ditanyakan riwayat kesehatan mata sebelum terjadi trauma, apabila terjadi pengurangan penglihatan ditanyakan apakah pengurangan penglihatan ituterjadi sebelum atau sesudah kecelakaan tersebut, ambliopia, penyakit kornea atau glaukoma, riwayat pembukaan darah atau penggunaan antikoagulan sistemik seperti aspirin atau warfarin. Pemeriksaan mata Pemeriksaan mata harus dilakukan secara lenkap. Semua hal yang berhubungan dengan cedera bola mata ditanyakan. Dilakukan pemeriksaa hifema dan menilai perdarahan ulang. Bila ditemukan kasus hifema, sebaiknya dilakukan pemeriksaan secara teliti keadaan mata luar, hal ini penting karena mungkin saja pada riwayat trauma tumpul akan ditemukan kelainan berupa trauma tembus seperti ekmosis, laserasi kelopak mata, proptosis, enoftalmus, fraktur yang disertai dengan gangguan pada gerakan mata. Kadang-kadang kita menemukan kelainan berupa defek epitel, edema kornea dan imbibisi kornea bila hifema sudah terjadi lebih dari 5 hari. Ditemukan darah didalam bilik mata depan. Menentukan derajat keparahan hifema antara lain, menurut Edward Layden: 1. Hyphaema tingkat 1: bila perdarahan kurang dari 1/3 bilik depan mata. 2. Hyphaema tingkat II: bila perdarahan antara 1/3 sampai 1/2 bilik depan mata. 3. Hyphaema tingkat III bila perdarahan lebih dari bilik depan mata. Rakusin membaginya menurut: 1. Hyphaema tk I: perdarahan mengisi 1/4 bagian bilik depan mata. 2. Hyphaema tk II : perdarahan mengisi 1/2 bagian bilik depan mata. 3. Hyphaema tk III: perdarahan mengisi 3/4 bagian bilik depan mata. 4. Hyphaema tk IV : perdarahan mengisi penuh biIik depan mata. Hifema paling banyak memenuhi kurang dari 1/3 bilik mata depan. Saat melakukan pemeriksaan, hal terpenting adalah hati-hati dalam memeriksa kornea karena akan meningkatkan resiko bloodstaining pada lapisan endotel kornea.

39

JULIA 1102010137

Keadaan iris dan lensa juga dicatat, kadang-kadang pada iris dapat terlihat iridodialisis atau robekan iris. Akibat trauma yang merupakan penyebab hifema ini mungkin lensa tidak berada ditempatnya lagi atau telah terjadi dislokasi lensa bahkan lensa. Pada hifema sebaiknya dilakukan pemeriksaan tekanan bola mata untuk mengetahui apakah sudah terjadi peningkatan tekanan bola mata. Penilaian fundus perlu dicoba tetapi biasanya sangat sulit sehingga perlu ditunggu sampai hifema hilang. Pemeriksaan funduskopi perlu dilakukan untuk mengetahui akiba trauma pada segmen posterior bola mata. Kadang-kadang pemeriksaan ini tidak mungkin karena terdapat darah pada media penglihatan. Pemeriksaan Penunjang
1. 2. 3. 4. 5. 6.

Tonometri, untuk memeriksa tekanan intra okuler USG untk menyingkirkan adanya perdarahan vitreus atau ablasio retina Skrining sickle cell X-ray CT-scan orbita Gonioskopi

Penatalaksanaan Walaupun perawatan penderita hifema ini masih banyak diperdebatkan, namun pada dasarnya penatalaksanaan hifema ditujukan untuk :

Menghentikan perdarahan atau mencegah perdarahan ulang Mengeluarkan darah dari bilik mata depan Mengendalikan tekanan bola mata Mencegah terjadinya imbibisi kornea Mengobati uveitis bila terjadi akibat hifema ini Menemukan sedini mungkin penyulit yang mungkin terjadi

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cara pengobatan penderita dengan traumatic hyphaema pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu 1. Perawatan dengan cara konservatif / tanpa operasi, dan 2. Perawatan yang disertai dengan tindakan operasi. Perawatan Konservatif / Tanpa Operasi Tirah baring sempurna (bed rest total)

40

JULIA 1102010137

Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala di angkat (diberi alas bantal) kurang dari 600, hal ini akan mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah iris serta memudahkan kita mengevaluasi jumlah perdarahannya. Ada persesuaian pendapat dari banyak sarjana mengenai tirah baring sempurna ini sebagai tindakan pertama yang harus dikerjakan bila mengenai kasus traumatic hyphaema. Bahkan Darr dan Rakusin menunjukkan bahwa dengan tirah baring sempurna absorbsi dari hyphaema dipercepat dan sangat mengurangi timbulnya komplikasi perdarahan sekunder.

Bebat mata Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian pendapat di antara para sarjana. Edward-Layden lebih condong untuk menggunakan bebat mata pada mata yang terkena trauma saja, untuk mengurangi pergerakan bola mata yang sakit. Bila mungkin kedua mata ditutup untuk memberika istirahat pada mata. Selanjutnya dikatakan bahwa pemakaian bebat pada kedua mata akan menyebabkan penderita gelisah, cemas dan merasa tidak enak, dengan akibat penderita (matanya) tidak istirahat. Akhirnya Rakusin mengatakan dalam pengamatannya tidak ditemukan adanya pengaruh yang menonjol dari pemakaian bebat atau tidak terhadap absorbsi, timbulnya komplikasi maupun prognosis dari tajamnya penglihatannya. Pemakaian obat-obatan Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatic hyphaema tidaklah mutlak, tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat absorbsinya dan menekan komplikasi yang timbul. Untuk maksud di atas digunakan obat-obatan seperti: Koagulansia Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun parenteraI, berguna untuk menekan/menghentikan perdarahan, Misalnya : Anaroxil, Adona AC, Coagulen, Transamin, vit K, dan vit C: Midriatika Miotika Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan midriatika atau miotika, karena masing-masing obat mempunyai keuntungan dan kerugian sendiri-sendiri. Miotika memang akan mempercepat absorbsi, tapi meningkatkan kongesti dan midriatika akan mengistirahatkan perdarahan.
41

JULIA 1102010137

Ocular Hypotensive Drug Semua sarjana menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox) secara oral sebanyak 3x sehari bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan intraokuler. Kortikosteroid dan Antibiotika Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi komplikasi iritis dan perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotik.

Obat-obat lain Sedatif diberikan bilamana penderita gelisah. Bila ditemukan rasa sakit diberikan analgetik aau asetozalamid bila sakit pada kepala akibat tekanan bola mata naik. Analgetik diberikan untuk mengatasi nyeri seperti asetaminofen dengan atau tanpa kodein. Perawatan Operasi Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan:

Glaukoma sekunder yang berkurang / menghilang dengan pengobatan konservatif Kemungkina timbulnya hemosiderosis kornea dan tidak ada pengurangan dari tingginya hifema dengan perawatan non operasi selam 3-5 hari

Atas dasar di atas Darr menentukan cara pengobatan traumatic hyphaema, sedang Rakusin menganjurkan tindakan operasi setelah hari kedua bila ditemukan hyphaema dengan tinggi perdarahannya bilik depan bola mata. Tindakan operasi yang dikerjakan adalah:

Paracentesa: mengeluarkan cairan/darah dari bilik depan bola mata melalui lubang yang kecil di limbus

Melakukan irigasi di bilik depan bola mata dengan larutan fisiologik Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka korneoscleranya sebesar 1200

Tindakan pembedahan parasentese dilakukan bila terlihat tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma, hifema penuh dan berwarna hitam atau bila darah setelah 5 hari tidak memperlihatka tanda-tanda berkurang. Untuk mencegah atropi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila :

Tekanan bola mata maksimal> 50 mmHg selama 5 hari Tekanan bola mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari
42

JULIA 1102010137

Untuk mencegah imbibisi kornea,dilakukan pembedahan bila :


Tekanan bola mata rata-rata> 25 mmHg selama 6 hari Bila terdapat tanda-tanda dini imbibisi kornea

Untuk mencegah sinekia posterior perifer dilakukan pembedahan bila :


Hifema total bertahan selama 5 hari Hifema difus bertahan selama 9 hari

Komplikasi Komplikasi yang paling sering ditemukan pada traumatic hifema adalah perdarahan sekunder, glaukoma sekunder dan hemosiderosis, selain komplikasi dari traumanya sendiri berupa dislokasi dari lensa, ablatio retina, katarak dan irido dialysis. Besarnya komplikasi juga sangat tergantung pada tingginya hyphaema. Perdarahan Sekunder Komplikasi ini sering terjadi pada hari ketiga sampai keenam. Sedangkan insidensinya sangat bervariasi, antara 10-40 persen. Perdarahan sekunder ini timbul karena iritasi pada iris akibat traumanya, atau merupakan lanjutan dari perdarahan primernya. Glaukoma Sekunder Timbulnya glaukoma sekunder pada traumatic hyphaema disebabkan oleh tersumbatnya trabecular meshwork oleh butir-butir/gumpalan darah. Residensinya 20 persen. Hemosiderosis Kornea Hemosiderosis ini akan timbul bila ada perdarahan/perdarahan sekunder disertai kenaikan tekanan intraokuler. Gangguan visus karena hemosiderosis tidak selalu permanen, tapi kadangkadang dapat kembali jernih dalam waktu yang lama (dua tahun). Insidensinya 1-10 persen.11 Prognosis Dikatakan bahwa prognosis hifema bergantung pada jumlah darah di dalam bilik mata depan. Bila darah sedikit di dalam bila mata depan, maka darah ini akan hilang dan jernih dengan sempurna. Sedangkan bila darah lebih dari setengah tingginya bilik mata depan, maka prognosis buruk yang akan disertai dengan beberapa penyulit. Hifema yang penuh di dalam bilik mata depan akan memberikan prognosis lebih buruk di bandingkan dengan hifema sebagian. Pada hifema akibat trauma bila terjadi kemunduran tajam penglihatan dapat dipikirkan kemungkinan adanya kerusakan langsung pada mata akibat trauma tersebut, seperti luksasi lensa, ablasi retina dan edema makula. Hifema sekunder yang terjadi pada hari ke 5-7 sesudah trauma, biasanya
43

JULIA 1102010137

lebih masif dibanding dengan hifema primer dan dapat memberikan rasa sakit sekali.Dapat terjadi keadaan yang disebut hemoftalmitis atau peradangan intraokular akibat adanya darah yang penuh didalam bola mata. Dapat juga terjadi siderosis akibat hemoglobin atau siderin tersebar dan diikat oleh jaringan mata. Prognosa dari hifema sangat bergantung pada:

Tingginya hifema Ada/tidaknya komplikasi dari perdarahan/traumanya Cara perawatan Keadaan dari penderitanya sendiri

http://www.europeanurology.com/article/S0302-2838(10)00024-2/fulltext

http://www.primary-surgery.org/ps/vol2/html/sect0308.html

44

You might also like