You are on page 1of 26

Presentasi Kasus

ANESTESI UMUM PADA LUMPEKTOMI EKSISI ATAS INDIKASI FIBROADENOMA MAMMAE SINISTER

Oleh: Muvida G99122080

PEMBIMBING: Muh. Husni Thamrin, dr., SP.An., M.Kes.

KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTESIOLOGI & REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2013

DAFTAR ISI

Halaman Judul..................................................................................................

Daftar Isi........................................................................................................... ii Bab I Pendahuluan ........................................................................................... Bab II Tinjauan Pustaka ................................................................................... 1 2

Bab III Laporan Kasus ..................................................................................... 19 Bab IV Pembahasan ......................................................................................... 25 Bab V Kesimpulan ........................................................................................... 28 Daftar Pustaka .................................................................................................. 16

BAB I PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.1 Istilah anestesi dikemukakan pertama kali oleh C.W. Holmes yang artinya tidak ada rasa sakit. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu: (1) anestesi lokal, yaitu hilangnya sensibilitas setempat tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan (2) anestesi umum, yaitu hilangnya segala modalitas rasa disertai hilangnya kesadaran. Anestesi yang ideal adalah tercapainya anestesi yang meliputi hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot.2 Anestesi umum menggunakan agen inhalasi dan intravena untuk memberikan akses bedah yang adekuat pada daerah operasi. Anestesi umum biasanya menjadi pilihan apabila terdapat kontraindikasi anestesi regional, yaitu pasien menolak anestesi regional, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi pada tempat jarum disuntikkan, gangguan koagulasi, syok hipovolemik berat, dan kelainan katup jantung berat.3, 4 Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap penatalaksanaan anestesi dan pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.3 Pernafasan, sirkulasi, dan kedalaman anestesi, perlu dipantau secara berkala dan terus-menerus untuk menghindari penyulit atau komplikasi yang dapat terjadi. Pada tahap pemulihan, pengawasan ketat masih harus dilakukan, sampai penderita benar-benar pulih dan cukup stabil untuk dipindah ke bangsal.2, 4 Lumpektomi adalah suatu prosedur bedah yang bertujuan untuk mengangkat atau menghilangkan sedikit jaringan patologis di daerah payudara. Pada lumpektomi, dapat digunakan prosedur anestesi umum maupun anestesi lokal. Namun anestesi umum lebih banyak dijadikan pilihan untuk lumpektomi dengan pertimbangan kenyamanan pasien.5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Fibroadenoma Mammae (FAM) Fibroadenoma mammae (FAM) adalah tumor jinak yang

menggambarkan suatu proses hiperplasia dan proliferasi pada suatu duktus terminal, perkembangannya dihubungkan dengan suatu proses aberasi perkembangan normal. Penyebab proliferasi duktus tidak diketahui, diperkirakan sel stroma neoplastik mengeluarkan faktor pertumbuhan yang mempengaruhi sel epitel. Peningkatan mutlak aktivitas estrogen, diperkirakan berperan dalam pembentukannya.6 Secara klinik, FAM biasanya bermanifestasi sebagai massa soliter, diskret, dan mudah digerakkan, dengan diameter kira-kira 1-3 cm, tetapi ukurannya dapat bertambah sehingga membentuk nodul dan lobus. FAM dapat ditemukan di seluruh bagian payudara, tetapi lokasi tersering adalah pada kuadran lateral atas payudara. Tidak terlihat perubahan kontur payudara.6, 7 Tatalaksana kuratif pada FAM adalah pembedahan. Pilihan jenis pembedahannya adalah lumpektomi atau breast conserving treatment (BCT). Pada lumpektomi, dapat digunakan prosedur anestesi umum maupun anestesi lokal. Namun anestesi umum lebih banyak dijadikan pilihan untuk lumpektomi dengan pertimbangan kenyamanan pasien.5 B. Anestesi Umum Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum yaitu tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi yang ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.2 Anestesi umum dapat diperoleh baik dengan pemberian agen anestesi intravena maupun agen anestesi inhalasi (gas). Dalam anestesi inhalasi dikenal beberapa teknik1, 3: 1. Open drop method: cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang menguap. Kelebihannya adalah peralatan sangat sederhana dan tidak

mahal.

Zat anestetik diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan

hidung penderita. Namun kelemahannya adalah kadar yang dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara terbuka. 2. Semi open drop method: hampir sama dengan open drop, bedanya digunakan masker untuk mengurangi terbuangnya zat anestetik.

Kelemahannya adalah karbondioksida yang dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan oksigen melalui pipa yang ditempatkan di bawah masker. 3. Semi closed method: udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar. Keuntungannya adalah dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari dengan pemberian oksigen. 4. Closed method: cara ini hampir sama seperti semi closed, bedanya udara ekspirasi dialirkan melalui NaOH yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi. Cara ini lebih hemat, aman dan lebih mudah, tetapi harga alatnya cukup mahal. Tanda-tanda klinis anestesi umum (menggunakan zat anestesi yang mudah menguap, terutama dietil eter) menurut Guedel dalam Dobson9, dengan teknik open drop ada beberapa stadium: Stadium I: analgesia dari mulanya induksi anestesi hingga hilangnya kesadaran. Rasa nyeri belum hilang sama sekali sehingga hanya pembedahan kecil yang dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium ini berakhir ditandai dengan hilangnya reflek bulu mata. Stadium II: excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya respirasi teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah. Stadium III: stadium pembedahan, dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya respirasi. Dibagi 4 plana yaitu : Plana 1: dari timbulnya pernafasan teratur torakoabdominal, bola mata terfiksasi, pupil miosis, reflek cahaya positif, lakrimasi

meningkat, reflek faring dan muntah negatif, tonus otot mulai menurun. Plana 2: ventilasi teratur, abdominotorakal, volume tidal menurun, frekuensi nafas meningkat, bol mata terfiksasi di tengah, pupil mulai midriasis, reflek cahaya mulai menurun dan reflek kornea negatif. Plana 3: ventilasi teratur dan sifatnya abdominal karena terjadi kelumpuhan saraf interkostal, lakrimasi tidak ada, pupil melebar dan sentral, reflek laring dan peritoneum negatif, tonus otot makin menurun. Plana 4: ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat karena otot diafragma lumpuh yang makin nyata pada akhir plana, tonus otot sangat menurun, pupil midriasis dan reflek sfingter ani dan kelenjar lakrimal negatif. Stadium IV: overdosis, dari timbulnya paralisis diafragma hingga cardiac arrest. Tahapan perioperatif: 1. Persiapan pra anestesi Persiapan pra anestesi sangat mempengaruhi keberhasilan anestesi dan pembedahan. Kunjungan pra anestesi harus dipersiapkan dengan baik, pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah: Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal. Merencanakan dan memilih tehnik serta obatobat anestesi yang sesuai dengan fisik dan kehendak pasien. Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology). ASA I Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%. penatalaksanaan anestesi yang harus dilaksanakan

ASA II

Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.

ASA III

Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian / live style terbatas. Angka mortalitas 38%.

ASA IV

Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal: insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka

mortalitas 68%. ASA V Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada harapan hidup dalam 24 jam, baik dengan operasi maupun tanpa operasi. Angka mortalitas 98%. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda huruf E (emergensi), misal ASA I E, ASA II E.1 2. Premedikasi anestesi Tujuan premedikasi: 1) analgesia, 2) amnesia, 3) antiemetik, 4) ansiolitik, 5) ajuvan anestesia, 6) antivagal, 7) antasida, 8) antihistamin. Obat premedikasi yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pasien karena kebutuhan masing-masing pasien berbeda. Pemberian premedikasi secara intramuskular dianjurkan 1 jam sebelum operasi, sedangkan untuk kasus darurat yang perlu tindakan cepat bisa diberikan secara intravena. Adapun obatobat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah: Golongan hipnotik sedatif: barbiturat, benzodiazepin, transquilizer. Analgetik narkotik: morfin, petidin, pentanil. Neuroleptik: droperidol, dehidrobenzoperidol. Anti kolinergik: Atropin, skopolamin. Vasodilator: nitrogliserin Obat premedikasi yang digunakan dalam kasus ini adalah a. Midazolam Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untuk premedikasi, induksi dan pemeliharaan anestesi. Dibandingkan

dengan diazepam, midazolam bekerja cepat karena transformasi metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien orang tua dengan perubahan organik otak atau gangguan fungsi jantung dan pernafasan, dosis harus ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2 menit setelah penyuntikan. Dosis premedikasi dewasa 0,070,10 mg/kgBB, disesuaikandengan umur dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. Pada orang tua dan pasien lemah dosisnya 0,0250,05 mg/kgBB. Efek samping berupa perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi dan pernafasan, jarang terjadi. b. Fentanil Fentanil adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan sebagai tambahan untuk anestesi umum maupun sebagai awalan anastetik. Dosis 100 mg setara dengan aktifitas analgesik 10 mg morfin. Fentanil memiliki kerja cepat dan efek durasi kerja kurang lebih 30 menit setelah dosis tunggal IV 100 mg. Seluruh efek dari kerja fentanil secara cepat dan secara penuh teratasi dan hilang dengan menggunakan narkotik antagonis seperti Naloxone. Dikarenakan durasi dan kerja dosis tunggal fentanil yang cepat, mengakibatkan distribusi ke jaringan yang tidak aktif menjadi lebih cepat pula, seperti jaringan lemak dan otot skelet, dan ini menjadi dasar penurunan konsentrasi obat dalam plasma. Dimetabolisme oleh N-demethylation, yang memproduksi Norfentanil, ekskresi fentanil pada ginjal dan terdeteksi pada urin dalam 72 jam setelah dosis tunggal IV dilakukan. Cepat di metabolisme di hati, dan kurang lebih 75% dosis yang diberikan di eksresikan dalam 24 jam dan hanya 10% tereliminasi sebagai obat yang tidak berubah. Eliminasi paruh waktu pada orang tua lebih panjang, dikarenakan klirens opioid berkurang, disebabkan menurunnya aliran darah hepatik, aktifitas enzim mikrosom atau produksi albumin (fentanyl 79 % - 87% terikat kepada protein).

Fentanil diberikan untuk analgesik nakotik, sebagai tambahan pada general atau regional anestesi, atau untuk pemberian dengan neuroleptik (droperidol) sebagai premedikasi ,untuk induksi, sebagai tambahan pemeliharaan general anestesi maupun regional anestesi. Digunakan secara luas, contohnya dosis injeksi 12 mg/kg IV memberikan analgesia. Fentanyl 2-20 mg/kg IV, biasanya digunakan untuk tambahan pada inhalasi anastetik untuk membantu menurunkan respon sirkulasi, digunakan dengan, a) Laryngoskopi untuk intubasi trakea ,atau b) Stimulasi operasi yang tibatiba. Dosis besar dari fentanil sebagai awalan dari anestesi mempunyai kelebihan menstabilkan hemodinamik dengan cara: a) efek depresi miokard yang rendah, b) menghilangkan atau tidak mencetuskan pelepasan histamine, c) mensupressi stress pada respon operasi. Kekurangannya a) gagal mencegah respon nervus simpatik pada stimulasi operasi yang menyakitkan, terutama pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang baik, b) kemungkinan pasien sadar, c) depresi ventilasi pada post operasi. Sebagai tambahan untuk general anestesi, fentanil diberikan dengan dosis rendah, 2 mg / kg berguna untuk operasi minor. Dosis sedang, 2- 20mg /kg dimana operasi menjadi lebih rumit dan dosis besar dibutuhkan. Dosis tinggi dalam prosedur bedah mayor, dimana waktu tempuh lebih lama dan respon stres operasi lebih tinggi, dosis 2050 mg/kgBB fentanyl dengan N20 telah menjadi pilihan. Efek kardiovaskular Dalam perbandingan dengan morfin, fentanil dalam dosis besarpun (50 mg/kg IV) tidak mempengaruhi atau memprovokasi pelepasan histamin sehingga dilatasi vena yang menyebabkan hipotensi dapat diminimalisir. Konsentrasi analgesik dari fentanil sangat berefek pada potensi midazolam dan penurunan dosis dari propofol yang dibutuhkan. Pada klinisnya keuntungan sinergi dari opioid dan

benzodiazepin untuk menjaga kenyamanan pasien juga harus dibarengi dengan pemaantauan ketat, karena memili efek buruk yaitu berpotensi efek depresi. c. Metoklopramid Merupakan obat kolinergik golongan benzamid. Efek farmakologi metoklopramid sangat nyata pada saluran cerna, obat ini juga dapat merangsang sekresi prolaktin. Di saluran cerna obat ini memperkuat tonus sfingter esophagus distal dan meningkatkan amplitude kontraksi esophagus. Pada gaster, metoklopramid memperkuat kontraksi bagian antrum, memperkuat koordinasi kontraktilitas antrum dan duodenum sehingga mempercepat pengosongan lambung, sedangkan sekresi asam lambung tidak dipengaruhi. Efek antiemetik secara sentral, obat ini mempertinggi ambang rangsang muntah di Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) dan secara perifer menurunkan kepekaan saraf visceral yang menghantarkan impuls aferen dari saluran cerna ke pusat muntah. Efek sampaing dari penggunaan Metoklopramid pada umumnya ringan seperti kantuk, diare, sembelit, dan gejala ekstrapiramidal. Sediaan Pemberian d. Ketorolac Ketorolac dapat diberikan secara oral, intramuskuler, atau intravena. Setelah suntikan intramuscular atau intravena efek analgesinya dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2 jam dengan lama kerja sekitar 4-6 jam dan penggunaannya dibatasi untuk 5 hari. Cara kerja ketorolac ialah menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di system saraf pusar. Seperti NSAID lain tidak dianjurkan digunakan untuk wanita hamil, menghilangkan nyeri persalinan, wanita sedang menyusui, usia lanjut, anak usia < 4 tahun, gangguan perdarahan dan bedah tonsilektomi. : dalam ampul 10 mg/ 2 ml : IV atau IM

Sifat analgetik ketorolac setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolac = 12 mg morfin = 100 mg pethidin, sedangkan sifat antipiretik dan antiinflamasinya rendah. Ketorolac dapat digunakan secara bersamaan dengan opioid. Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan. Untuk pasien normal dosis sehari dibatasi maksimal 90 mg dan untuk berat < 50 kg, manula atau gangguan faal ginjal dibatasi maksimal 60 mg. Sediaan Pemberian 3. Induksi anestesi Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi. Pada kasus ini digunakan Propofol. Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil; 1,2% phosphatide telur; dan 2,25% glycerol. Pemberian intravena propofol (2 mg/kg BB) menginduksi anestesi secara cepat seperti tiopental. Setelah injeksi intravena secara cepat disalurkan ke otak, jantung, hati, dan ginjal. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai dengan plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang : dalam ampul 5mg / 5ml : IM atau IV

berkesinambungan dengan opiat, N2 dan atau anestesi inhalasi lain. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini lebih disebabkan karena vasodilatsai perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol tidak menimbulkan aritmia atau iskemik otot jantung. Sesudah pemberian propofol IV terjadi depresi pernafasan sampai apnea selama 30 detik. Hal ini diperkuat dengan premedikasi dengan opiat. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Tak jelas adanya interaksi dengan obat pelemas otot. Keuntungan propofol karena

bekerja lebih cepat dari tiopental dan konfusi pasca operasi yang minimal. Terjadi mual, muntah dan sakit kepala mirip dengan tiopental. Pelumpuh otot yang digunakan adalah atrakurium besilat (tracurium). Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain adalah : Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal. Tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna. Mula dan lama kerja atrakurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada umumnya mulai kerja atrakurium pada dosis intubasi

adalah 2-3 menit, sedang lama kerja atrakurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit. Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase. Atrakurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang berat. Kemasan 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atrakurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada

penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran. Dosis intubasi : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv Dosis relaksasi otot : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv Dosis pemeliharaan : 0,1 0,2 mg/kgBB/ iv 4. Pemeliharaan a. Nitrous Oksida / Gas Gelak / N2O Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau amis, dan tidak iritatif. Mempunyai sifat analgetik kuat tapi sifat anestesinya lemah, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai relaksasi otot, oleh karena itu operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi

otot. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena nitrous oksida mendesak oksigen dengan ruanganruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Perbandingan N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40 % ; 70% : 30% atau 50% : 50%. 5. Pemulihan Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Ruang pulih sadar adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya. C. Intubasi Endotrakea Suatu tindakan untuk memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan untuk : 1. Mempermudah pemberian anestesi. 2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas dan kelancaran pernafasan. 3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung. 4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial. 5. Pemakaian ventilasi yang lama. 6. Mengatasi obstruksi laring akut. D. Terapi Cairan Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk : 1. Mencukupi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. 2. Replacement dan dapat untuk tindakan emergency pemberian obat. Pemberian cairan operasi dibagi :

1. Pra operasi Dapat terjadi defisit cairan kaena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kgBB / jam. Bila terjadi dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5% BB, berat 7% BB. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10 15 %. 2. Selama operasi Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi : a. Ringan b. Sedang c. Berat = 4 ml / kgBB / jam

= 6 ml / kgBB / jam = 8 ml / kg BB / jam

Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan kurang dari 10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1 2 kali darah yang hilang. 3. Setelah operasi Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari hari pasien. E. Efek Penggunaan Anestesi Umum Ada beberapa efek yang dapat timbul sebagai akibat dari penggunaan anestesi umum, antara lain: Sevofluran yang digunakan pada rumatan anestesi memiliki efek depresi kontraktilitas jantung namun masih ringan. Selain nitrit oksida (N2O), obat anestesi inhalasi memiliki efek menurunkan volume tidal dan meningkatkan frekuensi pernafasan. Obat anestesi umum juga memiliki efek menurunkan laju metabolik otot dan meningkatkan aliran darah ke otak sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pada ginjal dan hati, obat anestesi memiliki efek penurunan aliran darah sehingga menurunkan filtrasi glomerulus pada ginjal.

Penggunaan benzodiazepine dapat berakibat amnesia anterograd dan memperpanjang penyembuhan pasca bedah. Opioid memiliki efek depresi pernafasan pasca bedah. Ketamin dapat menimbulkan anestesi disosiatif, yang ditandai dengan kataton, amnesia, dan analgesi.

BAB III LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita Nama Umur Jenis Kelamin No RM : Nn. PL : 29 tahun : Perempuan : 01189468

Diagnosis pre operatif : FAM (S) Macam Operasi Macam Anestesi Tanggal masuk Tanggal Operasi : Lumpektomi : Anestesi umum : 10 April 2013 jam 10.00 : 16 April 2013 jam 11.30

B. Pemeriksaan Pra Anestesi 1. Anamnesa a. Keluhan utama : benjolan di payudara sebelah kiri b. Riwayat Penyakit Sekarang : Seorang wanita, 29 tahun, mengeluhkan benjolan di payudara kiri yang muncul sejak satu bulan yang lalu. Benjolan berukuran 2x1x1 cm, konsistensi padat, mobile, dan kadang nyeri. c. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Asma : disangkal

Riwayat Hipertensi : disangkal Riwayat DM Riwayat Alergi : disangkal : disangkal : disangkal : pukul 02.00 : disangkal : disangkal

Riwayat Operasi

Riwayat makan minum terakhir Riwayat pemasangan gigi palsu Riwayat gigi goyah

2. Pemeriksaan Fisik KU Vital Sign : Baik, CM, Gizi kesan kurang, berat badan 46 kg : T: 110/70 mmHg RR: 16x/menit

HR: 88x/menit Mata

Suhu: 36,50C

: Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), pupil isokor 3mm/3mm

Hidung Mulut Leher

: Sekret (-), deviasi septum (-) : Buka mulut >3cm, Mallampati I : JVP tidak meningkat, KGB servikal tidak membesar, gerak leher bebas

Thoraks Mammae

: Retraksi (-) : Teraba benjolan di payudara sebelah kiri sebesar kelereng dengan konsistensi kenyal, mobile, dan kadang nyeri. Tidak didapatkan retraksi puting dan ulkus di sekitarnya. Payudara kanan tidak ada kelainan.

Cor

: Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak Palpasi: Ictus cordis tidak kuat angkat Perkusi: Batas jantung kesan tidak melebar Auskultasi: BJ I-II intensitas normal reguler, bising (-)

Pulmo

: Inspeksi: Pengembangan dada kanan = kiri Palpasi: Fremitus raba kanan = kiri Perkusi: sonor/sonor Auskultasi: Suara dasar vesikuler (+/+), Suara tambahan (-/-)

Abdomen

: Supel, nyeri tekan (-), ascites (-)

Ekstremitas : CRT <2 detik Oedema Akral dingin Sianosis ujung jari -

3. Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium tanggal 11 April 2013 Hb Hct AE : 13,9 gr/dl : 44 % : 4,75.106/ul

AL AT PT APTT Gol. Darah HBsAg

: 5,43/ul : 299.103/ul : 12,6 detik : 23,1 detik :A : Non reaktif

b. Pemeriksaan PA Tampak parenkim kelenjar mammae sebelah kiri mengalami perubahan neoplastik jinak, berbatas tegas, dan tidak tampak peningkatan vaskularisasi. 4. Kesimpulan Seorang wanita, 29 tahun, dengan benjolan di payudara kiri sejak satu bulan yang lalu dan tampak semakin membesar. Benjolan berukuran sebesar kelereng (2x1x1 cm), konsistensi padat, mobile, dan kadang nyeri. Tak tampak jelas adanya kelainan kongenital mayor. Kelainan sistemik (-), kegawatan (-), status fisik ASA I.

LAPORAN ANESTESI

A. Rencana Anestesi 1. Persiapan Operasi a. Persetujuan operasi tertulis ( + ) b. Puasa > 6 jam pre op c. Infus Asering 20 tetes / menit d. Ceftriaxone 1g/ 12 jam, skin (+) e. Dulcolax supp 1x2 2. Jenis Anestesi 3. Teknik Anestesi : General Anestesi : General anestesi dengan intubasi oral

4. Premedikasi : Midazolam 3 mg intravena Fentanil 75 g intravena Metoklopramid 10 ml intravena Ketorolac 30 mg intravena

5.

Induksi

: Propofol 70 mg intravena

6. Maintenance : 02 = 2 l/menit N2O = 2 l/menit Sevofluran vol 1-2% 7. Monitoring : tanda vital selama operasi tiap 5 menit, cairan, perdarahan,

ketenangan pasien dan tanda-tanda komplikasi anestesi. 8. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan B. Tata Laksana Anestesi 1. Di ruang Persiapan a. Cek persetujuan operasi b. Periksa tanda vital dan keadaan umum c. Lama puasa > 6 jam d. Cek obat-obat dan alat anestesi e. Infus RL 20 tetes/menit f. Posisi terlentang

g. Pakaian pasien diganti pakaian operasi 2. Di ruang Operasi a. Jam 11.30 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang b. Jam 11.40 mulai dilakukan anestesi umum dengan prosedur sebagai berikut : Pasien diminta berbaring posisi supine, monitor dipasang. Oksigen 2 lpm mulai dialirkan ke hidung pasien. Dilakukan premedikasi anestesi dengan pemberian midazolam 3 mg, fentanil 75 g, metoklopramid 10 ml IV, dan ketorolac 30 mg IV. Dilakukan induksi anestesi dengan propofol 70 mg intravena. Periksa refleks bulu mata pasien untuk mengecek kesadaran pasien, pasang guedel setelah pasien dipastikan tidak sadar. Cuff dipasang dan dilakukan bantuan nafas dengan bagging. Oksigen 2 lpm, N2O 2 lpm, dan sevofluran 1-2% dialirkan melalui cuff untuk rumatan anestesi. c. Jam 11.45 dilakukan intubasi endotrakeal dengan ET nomor 7,0.

d. Pukul 11.50 operasi dimulai, selama operasi dilakukan bagging. e. Monitoring terhadap tanda vital dan saturasi O2 tiap 5 menit. f. Jam 12.30 operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. g. Monitoring Selama Anestesi Jam 11.40 11.45 11.50 11.55 12.00 12.05 12.10 12.15 12.20 Tensi 110/70 110/65 115/70 120/75 110/80 110/70 110/75 115/70 110/70 Nadi 70 74 71 80 75 75 77 78 78 Sa02 99 100 100 100 100 99 100 99 100

3. Di ruang pemulihan a. Jam 12.30 : pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dalam

keadaan sadar penuh, dalam keadaan posisi terlentang, diberikan O2 2 liter/menit. b. Jam 13.00 : Pasien dipindah ke bangsal. Monitoring Pasca Anestesi: Jam 14.00 20.00 Tensi 110/70 120/80 Nadi 75 80 RR 18 20

4.

Intruksi pasca anestesi a. Oksigen 2 liter/menit. b. Rawat pasien posisi terlentang, kontrol vital sign. Bila tensi turun di bawah 100/60 mmHg, infus dipercepat, berikan Ephedrin 10 mg. Bila muntah, berikan Metoclopramid 10 mg. Bila kesakitan, berikan Ketorolac 30 mg. c. BU (+) dref biasa 2

d. Infus Asering 20 tpm e. Injeksi ceftriakson 1gr/ 12jam, metanizole 1gr/ 8jam, ranitidine 1gr/ 8jam. f. Lain-lain Puasa sampai dengan flatus Kontrol balance cairan Monitor vital sign Antar material ke laboratorium PA

BAB IV PEMBAHASAN

Penggunaan anestesi sangat penting untuk melakukan tindakan medis tertentu. Sebagaimana tindakan medis lainnya, tindakan anestesi khusunya penggunaan obat-obatan anestesi memiliki risiko tersendiri. Oleh karena itu, dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan dibahas masalah atau risiko yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi. A. Permasalahan dari Segi Medik Pertumbuhan FAM dapat memberikan gangguan berupa rasa nyeri sehingga diperlukan pengangkatan benjolan tersebut. Operasi pengangkatan juga bertujuan untuk mengetahui tingkat keganasan dari benjolan yang muncul di payudara pasien. B. Permasalahan dari Segi Bedah 1. Pembedahan dilakukan di daerah toraks di mana terdapat beberapa otototot pernafasan sehingga jika terjadi lesi yang mengenai otot pernafasan, maka kemungkinan akan timbul nyeri post operasi yang dapat mengganggu proses pernafasan. Jika terdapat nyeri post operasi, dapat dilakukan pemberian analgesik agar tidak mengganggu pernafasan. 2. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi. 3. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan). 4. Kemungkinan infeksi dapat diatasi dengan pemberian antibiotik pre dan post operasi. C. Permasalahan dari Segi Anestesi 1. Pemeriksaan pra anestesi Hasil pemeriksaan pra anestesi tidak menunjukkan adanya masalah airway, breathing, dan circulation yang dapat menjadi potensial problem dalam pemberian anestesi. Pemeriksaan umum seperti berat badan pasien digunakan untuk menentukan dosis dan mempertimbangkan kehilangan dan kebutuhan cairan pasien. Pada pasien ini telah dilakukan persiapan pra anestesi berupa puasa selama 9 jam dan pemeriksaan laboratorium darah. Puasa dimaksudkan

untuk mengosongkan lambung, sehingga bahaya muntah dan aspirasi dapat dihindarkan. Pemeriksaan laboratorium darah dilakukan untuk mengetahui apakah ada kelainan seperti anemia dan gangguan keseimbangan elektrolit yang menyebabkan pasien tidak boleh melaksanakan operasi atau menjadi penyulit operasi. 2. Premedikasi Obat premedikasi yang digunakan adalah midazolam 3 mg IV, fentanil 75 g IV, metoklopramid 10 ml IV, dan ketorolac 30 mg IV a. Pemberian midazolam 3 mg, bertujuan agar pasien dapat mencapai keadaan sedatif sehingga tindakan operasi dapat dilakukan. b. Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah, mengurangi kebutuhan obat anestesi dan memudahkan induksi digunakan fentanil 75 g IV. c. Sebagai anti muntah, digunakan piralen (metoklopramid)10 ml IV. d. Nyeri yang timbul selama operasi diatasi dengan pemberian ketorolac 30 mg IV. 3. Induksi a. Induksi anestesi menggunakan propofol 70 mg IV karena memiliki efek induksi yang cepat, dengan distribusi dan eliminasi yang cepat. b. Untuk memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali, digunakan atrakurium besilat 30 mg IV. 4. Rumatan a. Pada rumatan anestesi, digunakan N2O dan O2 dengan perbandingan 2 liter : 2 liter untuk menghasilkan efek sedasi. b. Penggunaan sevoflurane 1-2 vol% dikarenakan efek untuk pulih sadar lebih cepat dan jarang menyebabkan batuk, serta efek pada kardiovaskularnya cukup stabil. 5. Terapi Cairan a. Defisit cairan karena puasa 9 jam 2 cc x 46 kg x 9 jam = 828 cc

b. Kebutuhan cairan selama operasi ringan dan karena trauma operasi selama 1 jam (4cc/kgBB/jam) = (4 cc x 46 kg x 1 jam) = 184 cc c. Perdarahan yang terjadi = 80 cc EBV = 70 cc x 46 kg = 3220 cc Jadi kehilangan darah = 80/3220 x 100% = 2.48 % Diganti dengan cairan kristaloid 3 x 80 cc = 240 cc d. Kebutuhan cairan total = 828 + 184 + 240 = 1252 cc e. Cairan yang sudah diberikan : 1). Pra anestesi = 500 cc 2). Saat operasi = 1000 cc Total cairan yang masuk = 1500 cc Jadi kebutuhan cairan pada pasien ini sudah terpenuhi namun sedikit berlebih (+ 248 cc) sehingga pengawasan terhadap pemberian cairan masih diperlukan saat pasien berada di bangsal, diperhatikan kemungkinan terjadinya overload dan produksi urin.

BAB V KESIMPULAN

Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi lumpektomi pada penderita wanita, usia 29 tahun, status fisik ASA I dengan diagnosis fibroadenoma mammae sinister teknik anestesi umum semi closed dengan ET nomor 7,0 respirasi terkontrol. Prosedur anestesi umum pada lumpektomi dalam kasus ini tidak mengalami hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan pasien sadar penuh, hemodinamik stabil, dan tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Kebutuhan cairan telah terpenuhi dengan pemberian kristaloid.

DAFTAR PUSTAKA 1. Roesli M, Tampubolon OE. 1989. Pendidikan anestesiologi mahasiswa. Dalam: Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta: CV Infomedika; pp: 9 2. Latief SA. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; pp: 34-7, 72-80 3. Desai AM. 2011. General anesthesia.

http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview. Diunduh pada 17 April 2013 4. Morgan E, Maged M. 2006. Anesthesia for genitourinary surgery. Dalam: Clinical anesthesia 3rd ed. Connecticut: Aplleton and Lange; pp: 753-73 5. Neumayer LA. 2013. Lumpectomy.

http://www.emedicinehealth.com/lumpectomy/article_em.htm. Diunduh pada 17 April 2013 6. Crum CP, Lester SC, Cotran RS. Sistem genitalia perempuan dan payudara. Dalam: Robbins SL, Kumar V, Cotran RS. Robbins buku ajar patologi volume 2 edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; pp: 793-4 7. Fleischer AC, Cullinan JA. 1997. Ultrasonography in obsetrics and gynaecology: Obstetric radiology. Dalam: Grainger RG, David A. Grainger & Allisons diagnostic radiology : A textbook of medical imaging third edition. New York: Churchill Livingstone; pp: 2003-11 8. Haryono SJ, Sukasah C, Swantari NM, Manuaba TW, Bisono. 2011. Payudara. Dalam: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku ajar ilmu bedah edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; pp: 471-97 9. Dobson MB. 1994. Penuntun praktis anestesi, cetakan I. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

You might also like