Professional Documents
Culture Documents
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum.Wr.Wb Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat, taufiq serta karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul kekerasan pada anak untuk memenuhi tugas Mata kuliah keperawatan anak. Kami mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak khususnya yang terhormat beliau ibu asrining s selaku Dosen pengampu Mata kuliah keperawatan anak yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan selama penyusunan makalah ini, juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang mendukung sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Pada dasarnya kami menyadari bahwa dalam isi makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.Dan kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca semua tentang kekerasan pada anak . Sekian dan terimaksih
Penulis
DAFTAR ISI
I. II. III.
HalamanJudul .............................................................................................................. Kata Pengantar ............................................................................................................ Bab I Pendahuluan: A. Latar Belakang ...................................................................................................... B. Perumusan Masalah .............................................................................................. C. Manfaat penulisan.
1 2
4 4 5
IV.
Bab II Pembahahasan Masalah A. Aspek aspek kekerasan pada anak ...................................................................... B. Suber sumber penicu kekerasan pada anak ........................................................ C. Kekeraran pada anak menurut UU perlindungan anak ......................................... D. Kekerasan menurut pandangan islam ................................................................... E. Kekerasan dalam peninjauan psikologi ................................................................ 6 6 7 9 11
V.
VI. VII.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anak adalah individu unik, yang tidak dapat disamakan dengan orang dewasa, baik dari segi fisik, emosi, pola pikir, maupun perlakuan terhadap anak membutuhkan spesialisasi perlakuan khusus dan emosi yang stabil. Pada anak tertumpu tanggungjawab yang besar. Anak harapan masa depan bangsa dan agama disandarkan. Anak adalah bapak masa depan, penerus cita-cita dan pewaris keturunan. Bahwa anak adalah tunas bangsa, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensial bangsa dan negara pada masa depan. Banyak cara yang diterapkan oleh orang tua dalam mendidik anak. Ada yang mengutamakan kasih sayang, komunikasi yang baik dan pendekatan yang lebih bersifat afektif. Ada pula yang menggunakan kekerasan sebagai salah satu metode dalam menerapkan kepatuhan dan pendisiplinan anak. Kekerasan pada anak, baik fisik maupun psikis dipilih sebagai cara untuk mengubah perilaku anak dan membentuk perilaku yang diharapkan.. Kasus kekerasan pada anak adalah kasus yang sangat pelik. Dimana jenis kasusnya yang beragam, interprestasi mengenai kekerasan pun masih penuh dengan perdebatan. Sebagian orang menganggap bahwa kasus kekerasan digunakan sebagai hak otonominya, dan bersifat pribadi, dan orang lain tidak boleh mengetahuinya karena terhasuk aib yang harus ditutupi. Dengan alasan ini, sehingga banyak kasus-kasus kekerasan tidak bisa diungkap.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas dapat di temukan rumuskan masalah di antaranya:
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak
Kelahiran anak (bayi) karena perkawinan sedikit banyaknya menyebabkan hal-hal tertentu dalam pelbagai kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Secara hukum kelahiran tersebut mempunyai/menimbulkan akibat hukum. Dalam lapangan hukum perdata akibat hukum ini berpokok kepada anak dan kewajiban seperti : kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak dan penyangkalan sahnya anak, perwalian, pendewasaan, dan pengangkatan anak. Anak dalam masyarakat yang bagaimanapun bentuk dan coraknya, merupakan pembawa bahagia. Tidak heran bila dalam upacara pernikahan pengantar dua insan ke gelanggan rumah tangga di antar petuah serta doa restu, orang tua-tua selalu berpesan, semoga kedua mempelai diberkati keturunan bukan satu, bukan dua, tetapi banyak. Pasal 91 (4) KUHP memberikan penjelasan tentang anak adalah orang yang ada dibawah kekuasaan yang sama dengan kekuasaan orang tuanya. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 Tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1979 pasal 1 ayat 2 dijelaskan tentang pengertian anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum pernah kawin. Batasan 21 tahun ini ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai pada usia 21 tahun. Sedangkan pengertian anak menurut pasal 45 KUHP adalah orang yang belum cukup umur, dengan belum cukup umur dimaksudkan adalah mereka yang melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun.
Dalam Konvensi Hak Anak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, sedangkan dalam KUHP menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 17 tahun. Dari beberapa pengertian anak di atas dapat di bedakan beberapa pengertian tentang anak, yaitu (1) Anak kandung; (2) Anak terlantar, (3) Anak yang menyandang cacat, (4) Anak yang memiliki keunggulan, dan (5) Anak angkat, serta (6) Anak asuh. Yang dimaksud dengan anak kandung adalah anak yang dilahirkan dari dalam rahim seorang ibu; sedangkan anak terlantar adalah anak yang tidak terpelihara kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spritual, maupun sosial; anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar; anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan bakat istimewa; anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan; anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembangnya anak secara wajar.
Sedangkan dalam hukum Islam batasan anak di bawah umur terdapat perbedaan penentuan. Menurut hukum Islam batasan itu tidak berdasarkan hitungan usia, tetapi sejak ada tanda-tanda perubahan badania baik bagi di anak laki-laki, demikian pula bagi anak perempuan. Sedangkan dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis, ditetapkan batasan umur 16 tahun atau 18 tahun ataupun usia tertentu yang menurut perhitungan pada usia itulah si anak bukan lagi tergolong anak di bawah umur, tetapi sudah dewasa. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak disebutkan bahwa anak sampai batas usia sebelum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin masih tergolong anak di bawah umur. sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memberikan batasan usia anak di bawah kekuasaan orang tua atau dibawah perwalian sebelum mencapai 18 tahun masih tergolong anak di bawah umur. dalam UndangUndang pemilu yang dikatakan anak di bawah umur adalah belum mencapai usia 17 tahun, sedangkan dalam konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak memberikan batasan anak di bawah umur adalah di bawah umur 18 tahun.
Sedangkan tanggung jawab seorang anak adalah tanggung jawab terhadap dirinya sendiri seperti memelihara diri dari segala gangguan yang mungkin membahayakan keselamatannya. Tanggung jawab terhadap kedua orang tuanya seperti menghormati dan menghargai kedua orang tuanya, guru, keluarga, masyarakat. Sedangkan tanggung jawab terhadap bangsa, negara dan agamanya adalah menghargai para pahlawan yang telah gugur dalam mempertahankan bangsa dan negara Indonesia, sedangkan tanggung jawab untuk agamanya adalah seorang anak harus betul-betul mempelajari ajaran agama agar supaya mereka dapat memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Tanggung jawab lain seorang anak terhadap agamanya dalam bentuk melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, berakhlak dan beretika baik
2) Stres Banyak teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan dapat terjadi, salah satu di antaranya teori yang berhubungan dengan stress dalam keluarga (family stress) (dalam Indra Sugiarno). Stres dalam keluarga bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu.
1. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah satu penyebab stres. 2. Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin. 3. Stres berasal dari situasi tertentu misalnya terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar.
3) Pengetahuan orang tua/pengasuh yang kurang Pengatahuan atau skill orang tua/pengasuh sangat berpengaruh pada bagaimana cara berinteraksi dengan anak. Kebanyakan kasus kekerasan kepada anak banyak disebabkan karena ketidak tahuan orangtua/pengasuh. Orangtua yang tidak mengetahui bagaimana cara pengasuhan yang baik, kemungkinan menganggap bahwa, hukuman fisik, ataupun psikis yang kelewatan, itu biasa-biasa saja. Orangtua kadang tidak mengerti batas-batas kekerasan yang dilakukan terhadap anaknya yang bisa ditolerir. Bagaimanapun juga, usia anak adalah usia imitasi yang sangat dominan. Dengan perlakuan orangtua/pengasuh yang salah, dia akan mengidentifikasikan dirinya sesuai dengan objek imitasi yang dilihatnya.
4) Dororongan Seksual yang tidak terkendali Kekerasan terhadap anak yang sangat memprihatinkan adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual ini akan mengakibatkan trauma yang mendalam. Biasanya anak yang mengalami trauma kekerasan seksual, akan menjadi pelaku kekerasan seksual, ini merupakan sebuah mata rantai yang harus diputus demi keselamatan generasi. Kekerasan seksual ini lebih banyak dilakukan oleh orang-orang dekat anak. Kasus-kasus terakhir, lebih banyak dilakukan incest oleh orangtua kepada anaknya, ataupun orangtua kepada anak tirinya, paman, kakek, kakak ataupun yang lain, mempunyai hubungan dekat dengan anak. Kekerasan seksual kepada anak ini semakin meningkat, seperti yang dilaporkan pada kejadian di Amerika (Oprah, Metro TV, Tanggal 11 April 2009, jam 11 WIB). Kasus yang terungkap hanya sebagian kecil dari kasus yang
sebenarnya (fenomena gunung es), bahkan pemunculan kasus baru melebihi jumlah kasus yang bisa ditangani.
5) Keberadaan anak yang tidak diinginkan Anak yang tidak diinginkan oleh orangtuanya, adalah salah satu dari korban kekerasan. Orangtua yang tidak mengharapkan kehamilannya, sejak masih dalam kehamilan, akan melakukan segala cara untuk melenyapkan si anak. Fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah penghuni panti asuhan kebanyakan adalah anak yang tidak diketahui keberadaan orangtuanya.
Kekerasan pada anak tergantung pada pola asuh dan pola perlakuan kita terhadap anak. Pola asuh anak juga sangat mempengaruhi kepribadian anak. Pola asuh ini menentukan bagaimana anak berinteraksi dengan orangtuanya. Hurlock (1998 : 30), membagi pola asuh menjadi tiga: a. Pola asuh otoriter, orang tua memberi peraturan yang dan memaksa untuk bertingkah laku sesuai dengan kehendak orang tua, tidak ada komunikasi timbal balik, hukuman diberikan tanpa ada alasan dan jarang memberi imbalan. b. Pola asuh demokrasi, orang tua memberikan peraturan yang luwes serta memberikan penjelasan tentang sebab diberikannya hukuman serta imbalan tersebut. c. Pola asuh permisif, orang tua memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak tentang langkah apa yang dilakukan anak, tidak pernah memberikan pengarahan dan penjelasan kepada anak tentang yang sebaiknya dilakukan anak. Dalam pola asuh ini hampir tidak ada komunikasi orang tua dan anak, serta hampir tidak ada hukuman dan selalu mengijinkan segala keinginan anak. Sikap otoriter sering dipertahankan oleh orang tua dengan dalih untuk menanamkan disiplin pada anak. Sebagai akibat dari sikap otoriter ini, anak menunjukkan sikap pasif (hanya menunggu saja), dan menyerahkan segalanya kepada orang tua. Di samping itu, menurut Watson, sikap otoriter, sering menimbulkan pula gejala-gejala kecemasan, mudah putus asa, tidak dapat merencanakan sesuatu, juga penolakan terhadap orang lain, lemah hati atau mudah berprasangka. Tingkah laku yang tidak dikehendaki pada diri anak dapat merupakan gambaran dari keadaan di dalam keluarga. Kebanyakan orang tua yang menganut paham otoriter, menganggap anak bodoh sehingga apa yang dikerjakannya memerlukan perintah yang tegas darinya. Ini akan membungkam kreativitas anak. Perlakuan orang tua ataupun pengasuh kepada anak sangat mempengaruhi kepribadian anak. Masa kanak-kanak adalah masa dimana anak menunjukkan ekspresi dan eksistensinya sebagai seorang manusia yang utuh. Kegagalan dalam masa ini, menurut Freud, akan terpendam dan menjadi pengalaman bawah sadar anak, yang menjadikan pengalaman anak sebagai referensi dalam menjadi hidupnya. Menurut Freud, tingkah laku dan kepribadian seseorang tergantung pada fase-fase masa kecil anak (gold age). Dia membagi fase itu kedalam lima tahap: Fase Oral (0 1,5 tahun), Fase Anal (1,5 3 tahun), Fase Phallic (3 6 tahun), Fase Latency (6 - pubertas) dan Fase genital. (Dewasa).
Freud membagi masa kanak-kanak kedalam lima tahapan sesuai dengan objek pemuasan (libido) pada anak (psikoseksual). Freud menganalisis kepribadian seseorang sesuai pengalaman masa kecilnya, yang lebih mengutamakan pada pemuasan (libido) pada tiap-tiap tahap perkembangan. Apabila pada salah satu tahap mengalami hambatan, atau tidak/kurang mengalami pemuasan maka akan berefek pada kepribadiannya kelak. Keluarga bertanggung jawab mengasuh anak dan merupakan tempat pertama kali anak belajar berinteraksi dengan dunia luar (Wilson, 2000:44). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tindakan kekerasan terhadap anak merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak. Semakin tinggi tindakan kekerasan terhadap anak, maka semakin negatif konsep diri yang dimiliki oleh anak. Kekerasan pada anak dalam keluarga, biasanya tergantung dari pola asuh orang tuanya/pengasuhnya. Jika anak selalu diancam, dimarahi, bahkan disakiti secara fisik, dia akan ragu-ragu dalam bertindak karena takut salah, akibatnya dia akan ragu-ragu dalam mengambil suatu inisiatif. Ataupun anak akan mengalami poor emotion, kegagalan dalam bergaul dengan orang lain, tidak mengerti perasaan orang, pendiam tapi agresif dalam menanggapi respon yang datang. Anak-anak yang dalam perkembangannya mengalami kekerasan, akan mengalami kekurangan afeksi (kasih sayang orang tua mereka). Padahal dari sisi psikologis, anak sangat membutuhkan afeksi ini (attachment) untuk mengekplorasi lingkungan mereka. Attachment adalah suatu relasi antara dua orang yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan melakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan relasi itu. Keterikatan (attachment) mereka dengan orangtua/pengasuh akan menimbulkan rasa aman dan percaya diri anak. Keterikatan ini adalah suatu ikatan emosional yang kuat antara anak dan orangtuanya/pengasuhnya. Bagimana mungkin dapat diciptakan suatu relasi yang harmonis antara anak dan orang tuanya jika anak itu adalah selalu menjadi korban kekerasan. Misalnya saja pada anak korban perceraian. Anak korban perceraian akan merasa tidak dicintai, menyangkal akan kenyataan yang dialami, sedih, ketakutan, marah, dan merasa bersalah. Anak ini akan mengalami efek-efek yang merugikan terhadap harga dirinya sehingga mereka mengangap dirinya anak nakal yang telah menyebabkan perceraian orang tua mereka. Anak korban perceraian akan menyesuaikan kembali kehidupannya dimana mereka harus menghadapi perubahan-perubahan praktis yang memerlukan banyak penyesuaian, seperti pindah
sekolah, pindah rumah baru pekerjaan rumah tangga yang lebih banyak dan penyesuaian dengan pola pengasuhan anak yang baru. Ini akan menyebabkan stress pada anak. Anak kemungkinan menarik diri dari pergaulan sosialnya, lebih introvert, dan penyesalan yang mendalam akan nasib yang dialaminya. Menurut Purwandari (2004 : 227) Pengalaman traumatik mempengaruhi keseluruhan keseluruhan pribadi anak. Bagaimana anak berpikir, belajar, mengingat, mengembangkan perasaan diri sendiri tentang orang lain, juga bagaimana ia memahami dunia, semuanya tidak dapat dilepaskan dari pengalaman traumatiknya. Keadaan ini akan mempengaruhi kepribadian anak kelak. Pengalaman-pengalaman masa kecilnya adalah pengalaman yang paling berharga dalam hidupnya. Dan pengalaman ini akan dijadikan referensi dalam mengatasi problem-problem hidup ketika mereka dewasa kelak. Anak akan selalu merasa bersalah sehingga memiliki self-concept yang salah. Orang tua/pengasuh ataupun orang-orang yang terkait dalam hal ini dalam suatu keluarga adalah sumber keamanan bagi perkembangan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Segala sesuatu yang dibuat anak mempengaruhi keluarganya, begitu pula sebaliknya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat. Di samping keluarga sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga merupakan tempat sang anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan akan kepuasan emosional telah dimiliki bayi yang baru lahir. Bowlby (dalam Haditono dkk,1994) menyatakan bahwa hubungan antara orangtua/pengasuh (attachment) akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kehangatan dan afeksi yang diberikan ibu pada anak akan berpengaruh pada perkembangan anak selanjutnya (Ampuni, 2002). Dengan kelekatan ini, anak merasa nyaman dan aman dengan objek lekatnya (ibu/pengasuh). Keadaan ini akan menjamin seorang anak untuk megeksplorasi lingkungannya dengan baik. Seorang anak yang tidak mendapat objek kelekatan yang memadai, misalnya anak yang mengalami kekerasan akan terlihat apatis dengan lingkungannya, selalu merasa curiga, dan celakanya anak dapat mengalami gejala miskin emosi (poor emotion).
Jadi, syarat utama lingkungan yang sehat secara psikologi adalah lingkungan yang bisa memberikan rasa aman bagi anak. Faktor ini bisa faktor aman secara internal (orang tua/pengsuh) maupun eksternal (lingkungan sosial). Keamanan secara internal adalah keamanan dalam membangun relasi yang sehat dengan orang-orang disekitarnya. Keamanan eksternal lebih pada keamanan dari lingkungan yang lebih besar. Tanpa ada jaminan keamanan bagi anak, ia akan selalu merasa cemas dan menjadi pendiam. Kaitan antara berbagai faktor keluarga dengan prilaku yang anti sosial menurut penelitian Sula Wolff (1985), ia mendapatkan factor-faktor berikut secara statistik berkaitan dengan gangguan perilaku (dalam Dr. John. Pearce, hal 120): a. Tiadanya seorang ayah b. Kehilangan orang tua lebih karena perceraian bukan karena kematian c. Ibu yang depresif d. Orang tua yang mudah marah e. Ketidakcocokan dalam perkawinan f. Keadaan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan g. Banyak anak Perlakuan yang salah terhadap anak, akan mendapat respon yang sama dari anak. Kebanyan orang tua pelaku kekerasan terhadap anak adalah karena dimasa kecilnya diperlakukan sama oleh orang tuanya. Perlakuan ini akan masuk di alam bawah sadar, sehingga menjadi pola pengasuhan kelak. Jika hal ini tidak diberikan pemahanan yang benar tentang pengasuhan anak yang sehat, kemungkinan hal ini akan berlanjut seterusnya. Pengasuhan anak membutuhkan suatu keterampilan khusus, berhubungan dengan mereka membutuhkan kondisi emosi yang stabil.
5. Sumber informasi yang mudah didapat oleh orang tua atau pengasuh. 6. Peraturan perundang-undangan yang mendukung.
REFERENSI
Ampuni, S., (2002). Hubungan antara Ekspresi afek Ibu dengan Kompetensi Sosial Anak Prasekolah. Tesis. Yogyakarta: Program Studi Psikologi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Elfia Desi & Vivik Shofiah.2007.Hubungan Tindakan Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse) dengan Konsep Diri. Fakultas Psikologi UIN Suska Riau: Jurnal Psikologi, Vol.3 No. 2. Haditono, S.R., dkk, (1994). Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hurlock, B. Elizabeth.1998. Perkembangan Psikologi Anak. Jakarta: Erlangga Kasmini Kassim.1998.Penderaaan Emosi Kanak-Kanak (Trauma Terselindung).Universitas