You are on page 1of 20

REFERAT OSTEOMYELITS AKUT DAN KRONIK

Pembimbing : dr. Bambang Agus Teja Sp.OT

Disusun Oleh : Akbar Septian M.Rifqi Maziyansyah Ezter Moryaan Ira Safrilia Priwinda 1210221030 G1A212139 G1A212140 G1A211031

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN


1

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN SMF ILMU BEDAH RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO PURWOKERTO 2013 HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui referat dengan judul : OSTEMYELITIS AKUT DAN KRONIK Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti bagian bedah orthopedi program profesi dokter di Bagian Ilmu Bedah RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :

Akbar Septian M.Rifqi Maziyansyah Ezter Moryaan Ira Safrilia Priwinda

1210221030 G1A212139 G1A212140 G1A211031

Purwokerto,

Juli 2013

Mengetahui, DokterPembimbing,

dr. H. Bambang A.T. Kusumah, Sp.OT

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Osteomyelitis adalah peradangan tulang yang biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri. Penyakit ini dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan tahapan perjalanan penyakitnya, yakni tahap akut dan kronik. Osteomyelitis akut paling sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus sebagai agen infeksinya (Roy et al., 2012). Berdasarkan rute infeksinya, osteomyelitis akut dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu hematogenik dan eksogenik. Infeksi tulang pada anak-anak terutama terjadi secara
3

hematogenik, meskipun kasus akibat sekunder dari trauma yang penetratif, pembedahan, ataupun infeksi pada daerah yang terkena juga pernah dilaporkan. Osteomyelitis hematogenik banyak ditemukan pada anak-anak terutama tulang panjang yang kaya pembuluh darah, terutama ekstremitas bawah. Pada orang dewasa, penyebaran hematogenik lebih sering mengenai corpus vertebrae lumbal daripada di tempat lain (Baltensperger, 2009). Insidensi osteomyelitis berkisar antara 0,11,8% dari populasi orang dewasa. Prevalensinya pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun adalah 1 kasus per 1000 populasi sedangkan pada anak-anak yang lebih tua adalah 1 kasus dari 5000 populasi. Prevalensi osteomyelitis kronik berkisar antara 5-25% dari kasus osteomyelitis akut (Ciampolini, 2000). Mortalitas osteomyelitis terjadi sekitar 5-25% dan ada pula yang melaporkan hingga 40% pada era sebelum antibiotik ditemukan. Sekarang, mortalitas telah mencapai angka 0%. Sedangkan morbiditas mencapai angka 5% menjadi komplikasi. Komplikasinya antara lain adalah arthritis septik, kerusakan jaringan lunak sekitar, keganasan, amiloidosis sekunder, dan fraktur patologis (Baltensperger, 2009). Dengan mengingat masih banyaknya kejadian osteomyelitis di Indonesia prevalensiostemyelitis kronik sebagai kelanjutan dari osteomyeitis akut serta komplikasi yang disebabkan oleh osteomyelitis, penulis merasa perlu untuk melakukan telaah pustaka mengenai salah satu penyakit infeksi pada tulang ini. B. TUJUAN Pembuatan telaah pustaka (referat) mengenai osteomyelitis akut maupun kronik ini bertujuan untuk mengkaji terutama mengenai patomekanisme, penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan osteomyelitis yang merupakan kasus sering di bidang ortopedi, sehingga bisa menjadi acuan dan bahan referensi untuk para tenaga kesehatan.

II. PEMBAHASAN A. DEFINISI Osteomyelitis berasal dari kata osteon (tulang) dan muelinos (sumsum) yang berarti infeksi sumsum tulang. Beberapa literatur menyebutkan bahwa osteomyelitis merupakan proses inflamasi pada sumsum tulang (cavitas medullaris) yang kemudian dapat menyebar sampai ke cortex dan periosteum. Pus dan edema yang terbentuk di cavita medullaris inilah yang kemudian akan menekan periosteum sehingga menimbulkan

obstruksi pembuluh darah, iskemi maupun nekrosis sebagai dasar patomekanisme osteomyelitis (Baltensperger, 2009).

B. EPIDEMIOLOGI Osteomyelitis akut dengan penyebaran hematogen lebih sering menyerang anakanak karena daerah metafisis (daerah pusat pertumbuhan tulang pada anak) memiliki vaskularisasi yang banyak dan rentan terhadap trauma. Lebih dari 50% kejadian osteomyelitis pada anak terjadi pada pasien kurang dari 5 tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala-gejala sistemik meliputi demam, iritabilitas selama 2 minggu. Selain itu, didapatkan gejala lokalis seperti eritem, bengkak, dan kekakuan ( tenderness) pada tulang yang mengalami infeksi. Osteomyelitis kronis jarang terjadi pada anak. Osteomyelitis kronis dapat terjadi akibat fraktur terbuka, bakterimia, atau infeksi perkontinuitatum dari jaringan lunak sekitar tulang. Pada operasi elektif post fraktur tertutup, osteomyelitis kronis terjadi pada 1 5% pasien, dan 3 50% pada pasienpasien dengan fraktur terbuka. Sebanyak 10 30% pasien osteomyelitis akut berlanjut menjadi kronis. Osteomyelitis melalui penyebaran hematogen (balterimia) dapat terjadi di vertebrae, tulang panjang, pelvis, maupun klavikula dan risikonya meningkat apabila terdapat underlying disease seperti diabetes mellitus, keganasan atau gagal ginjal. Angka kejadian osteomyelitis kronis akibat infeksi perkontinuitatum dari jaringan lunak sekitar tulang meningkat seiring dengan meningkatnya prevalensi ulkus diabetikum (neuropati dan vaskulopati diabetikum). Manifestasi klinis osteomyelitis kronis dapat meliputi nyeri kronis, luka persisten, buruknya penyembuhan luka, malaise, dan demam. C. ETIOLOGI Bakteri piogenik penyebab osteomyelitis bergantung pada usia pasien.

Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang paling sering menjadi penyebab osteomyelitis (akut maupun kronis) dengan penyebaran hematogen pada dewasa. Streptococcus hemolithicus grup A dan Streptococcus pneumonia merupakan bakteri
6

patogen tersering yang menyebabkan osteomyelitis pada anak, Streptococcus hemolithicus grup A merupakan pakteri penyebab tersering pada bayi baru lahir. Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aeruginosa, dan Eschericgia coli juga bisa menyebabkan osteomyelitis namun dengan angka kejadiannya jarang. Jamur dan mikobakterium biasanya dapat menyebabkan osteomyelitis pada individu dengan defisiensi sistem imun. Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen mayoritas penyebab

osteomyelitis. Staphylococcus aureus dapat diinternalisasi oleh osteoblas dan sel endotel secara in vitro dan bertahan di dalam sel tersebut dari sistem imun tubuh maupun antibiotik. Selain itu, Staphylococcus aureusmerupakan bakteri dengan laju metabolism yang rendah sehingga mudah resisten terhadapt antibiotik.

D. KLASIFIKASI Pembagian osteomyelitis akut dan kronis ialah berdasar pada gambaran histopatologi dibandingkan dengan durasi perjalanan penyakit. Osteomyelitis akut menunjukkan adanya inflamasi tulang yang disebabkan oleh bakteri patogen dan gejalanya muncul 4 minggu setelah infeksi. Osteomyelitis kronis ditandai dengan adanya nekrosis tulang. Terdapat sub klasifikasi pada osteomyelitis kronis, yakni osteomyelitis kronis primer dan sekunder (Gambar 1.).

Gambar 1. Subklasifikasi osteomyelitis kronik primer dan sekunder.


7

Osteomielitis kronik sekunder dapat timbul sebagai penyakit osteomyelitis yang rekuren/timbul berulang dengan durasi yang berbeda-beda setiap kali kambuh (Gambar 2.). Terminologi osteomyelitis kronik primer menunjukkan sebuah penyakit inflamasi yang jarag dan ditandai oleh adanya inflamasi kronik non-supuratif (ketiadaan pus, fistula maupun sejuester). Keadaan ini menunjukkan bahwa pasien tidak pernah menunjukkan fase akut dan belum mendapatkan terapi. Kronifikasi dari osteomyelitis kronik sekunder menunjukkan ketidakmampuan dari host untuk mengeradikasi bakteri patogen akibat dari inadekuatnya terapi. Elevasi periosteum akibat proses inflamasi masih mengandung sel-sel vital di dalamnya. Setelah melewati fase akut, sel-sel ini membentuk sel-sel tulang yang baru (involukrum) yang menyelebungi sekuester. Namun involukrum ini dapat dipenetrasi oleh sinus (cloacae), sehingga membentuk fistula dapat dapat dimasuki oleh bakteri patogen ataupun pus. Kejadian ini dapat terjadi berulang dan menyebabkan osteomyelistis kronis.

Gambar 2. Proses perjalanan ostemyelitis akut menjadi osteomyelitis kronik sekunder. Adapun etiologi sumber infeksi, diklasifikasikan menjadi etiologi endogen (penyebaran hematogen) yang biasanya hanya disebabkan oleh 1 agen patogen dan biasanya diterapi secara konsevatif, serta etiologi eksogen (dari paparan luar akibat trauma terbuka atau intervensi) yang seringnya disebabkan oleh polimikrobial dengan first line terapinya berupa pembedahan.

E. DIAGNOSIS Diagnosis osteomyelitis akut dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, emeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, didapatkan adanya riwayat trauma, riwayat luka terbuka sampai tulang, maupun riwayat infeksi di tempat lain yang tidak spesifik, serta adanya gejala infeksi sistemik seperti demam dan malaise maupun gejala infeksi lokal seperti bengkak, rasa panas, kemerahan, penurunan kemampuan gerak, kekakuan tulang, dan rasa sakit pada lokasi infeksi. Pemeriksaan fisik pun meunjukkan hal-hal seperti yang ada dalam anamnesis yakni berupa tandatanda infeksi sistemik dan infeksi lokal. Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya leukositosis, pemeriksaan kultur darah/tulang, serta pemeriksaan histopatologi tulang yang mengalami infeksi. Pemeriksaan radiologi pada daerah yang diduga infeksi pun dapat dilakukan. Kata akut pada ostemyelitis akut menunjukkan bahwa tanda dan gejala yang muncul memiliki onset yang cepat, yakni kurang dari 4 minggu. Kriteria diagnosis ostemyelitis kronik pun meliputi manifestasi klinis (yang didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik), pemeriksaan laboratoium dan pemeriksaan radiologi (Tabel 1.). Pemeriksaan laboratorium memang tidak spesifik untuk osteomyelitis, tetapi kadar C reactive protein (CRP) yang normal dapat menyingkirkan diagnosis osteomyelitis kronis. Pemeriksaan paling meyakinkan untuk mendiagnosis osteomyelitis kronis adalah kultur tulang dan pemeriksaan histopatologi. Kultur terhadap jaringan superfisial luka tidak dapat mendeteksi bakteri penyebab osteomyelitis secara akurat karena biasanya osteomyelitis disebabkan oleh polimikrobial. Selain itu, anamnesis yang mendalam menyenai manifestasi sistemik (letargi, malaise, nyeri pada tulang, demam) dan faktor predisposisi (diabetes mellitus, penyakit pembuluh darah perifer, dan riwayat trauma) juga penting dalam menunjang proses penegakkan diagnosis. Tabel 1. Kriteria diagnosis osteomyelitis kronik.

Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan adalah foto rontgen maupun MRI. Foto rontgen baru menunjukkan adanya abnormalitas setelah 2 minggu pasca infeksi karena 50% mineral tulang telah hilang (Gambar 3. Dan 4.). Sedangkan MRI dapat mendeteksi osteomyelitis setelah 3-5 hari pasca infeksi dengan sensitivitas dan spesifisitas sekitar 90% (Gambar 5. Dan 6.). CT scan jarang digunakan karena kurangnya kemampuan CT scan untuk mendeteksi nekrosis. Modalitas radiologi lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis osteomyelitis (seperti leukocyte or bone scintigraphy, positron emission tomography) yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%, namun modalitas-modalitas tersebut tidak rutin digunakan di Indonesia karena harga yang mahal dan ketersediaan alat.

10

Gambar 3. Reaksi periosteal dan osteolisis pada distal metatarsal 4 dan distal phalanges 3 dan 4 menunjukkan adanya osteomyelitis.

11

Gambar 4. Gambaran rontgen femur dari seorang wanita 39 tahun dengan riwayat osteomyelitis berulang selama 20 tahun. Terjadi deformitas dan sklerosis sumsum tulang.

Gambar 5. MRI femur menunjukkan deformitas dari bagian distal os. Femur dan gambaran inhomogenisitas tulang.

12

Gambar 6. Gambaran disrupsi kortikal inferior dan edema menunjukkan adanya osteomyelitis pada os. Calcaneus.

F. PATOMEKANISME Terdapat 4 faktor yang mempengaruhi invasi bakteri ke cavitas medullaris dan cortex tulang. Keempat faktor ini apabila berada dalam keadaan equilibrium (seimbang) tidak akan menimbulkan infeksi (Gambar 9.). Namun apabila equilinrium ini terganggu karena minimal 1 faktor, maka infeksi tulang yang dalam dapat terjadi. Keempat faktor tersebut ialah : a. Jumlah bakteri patogen Semakin banyak jumlah bakteri yang sampai ke host, semakin besar pula kemungkinan untuk lolos dari sistem imun dan menimbukan infeksi pada tulang. b. Virulensi bakteri patogen Pada osteomyelitis, focus infeksi dibatasi oleh mebran piogenik atau dinding abses yang membatasi penyebaran infeksi. Apabila agen patogen memiliki jumlah dan virulensi yang tinggi, barier ini dapat rusak dan menyebabkan invasi sampai ke tulang. Invasi ini kemudian mengaktivasi respon inflamasi dan menyebabkan hiperemis, peningkatan permeabilitas capiler, dan pengeluaran enzim proteolitik. Enzim proteolitik ini dapat menyebabkan nekrosis jaringan tulang dan destruksi dari agen-agen patogen sehingga membentuk pus (Gambar 7. Dan 8.). Destruksi tulang
13

juga diperparah oleh proses osteolisis yang disebabkan oleh aktivitas osteoklas akibat stimulasi dari endotoksin bakteri, protein permukaan bakteri, dan beberapa sitokin inflamasi (IL-1 dan TNF). Akumulasi pus di dalam cavitas medullaris yang berisi jaringan nekrosis, dan bakteri-bakteri mati di dalam sel darah putih menyebabkan peningkatan tekanan intra medullaris. Keadaan ini menyebabkan kolaps vascular, stasis vena, thrombosis, dan lokal iskemi. Pus mengalir melalui kanalis sistem haver dan kanalis nutrisi yang kemudian terakumulasi di ruang subperosteum dan menyebabkan elevasi periosteom, terpisah dari cortex tulang. Elevasi ini lebih sering terjadi pada anak karena pelekatan yang belum begitu kuat. Ketika akumulasi pus terus terjadi, dapat timbul perforasi dan menyebabkan abses mukosa atau kutan.

14

Gambar 7. Proses inflamasi dan perusakan jaringan tulang.

Gambar 8. Patomekanisme osteomyelitis. c. Imunitas lokal dan sistemik host

15

Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi status imunitas (Tabel 2.)

Tabel 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi status imunitas.

d. Perfusi lokal jaringan Perfusi lokal jaringan mempengaruhi kemampuan sel imun dan oksigen mencapai area infeksi, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan penyebaran bakteri patogen terutama yang bersifat anaerob. Berikut ini adalah kondisi-kondisi yang mengganggu perfusi lokal jaringan (Tabel 3.)

Tabel 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perfusi lokal jaringan.

16

Gambar 9. Ilustrasi patogenesis osteomyelitis akut dan kronis. G. TERAPI Terapi pada osteomyelitis akut melalui penyebaran hematogen dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik parenteral (Tabel 4.) selama 4 hari dan dilanjutkan dengan antibiotik oral sampai 4 minggu tebukti mencegah rekurensi. Pada pasien-pasien immunocompromised, transisi menuju antibiotik oral ditunda dan lama terapi ditambah menjadi 6 minggu. Tabel 4. Pilihan terapi antibiotik pada kasus osteomyelitis.

17

Terapi osteomyelitis kronis terdiri dari terapi antibiotik dan pembedahan (Gambar 10).. Pilihan antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur, namun jika tidak ada informasi hasil kultur, antibiotik spektrum luas dapat diberikan. Antibiotik ini diberikan parenteral selama 2 6 minggu yang kemudian dilanjutkan dengan antibiotik oral sampai total waktu terapi 4-8 minggu (table 4.). Adapun indikasi dilakukannya terapi pembedahan ialah terapi antibiotik tidak menunjukkan perbaikan, terdapat peralatan yang terpasang pada tulang dan mengalami infeksi, serta osteomyelitis kronis dengan nekrosis tulang dan jaringan lunak.

18

Gambar 10. Algoritme penatalaksanaan osteomyelitis kronik.

DAFTAR PUSTAKA

Chairuddin, M. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Osteomielitis akut dan kronik. CV.Wiyasana. Makasar. Baltensperger, M., G. K. Eyrich. 2009. Osteomyelitis of the Jaws. ISBN: 978-3-540-287643 (Baltensperger, 2009) Ciampolini, J., K. G. Harding. 2000. Pathophysiology of chronic bacterial osteomyelits. Postgrad Med J, 76: 479-483 (Ciampolini, 2000) Walter, G., M. Kemmere, C., Kappler, R. Hoffmann. 2012. Treatment Algorithms for Chronic Osteomyelitis. Deutsches Arzteblatt International; 109(14): 257-64 (Walter et al., 2012) Roy, M., J. S. Somerson, K. G. Kerr, J. L. Konroy. 2012. Pathophysiology and Pathogenesis of Osteomyelitis. ISBN 978-953-51-0399-8 (Roy et al., 2012) Simpson, A. H. R., M. Deakin, J. M. Latham. 2001. The Effect of The Extent of Surgical Resection on Infection-Free Survival. Journal of Bone and Joint Surgery; 83(8): 403-407 (Simpson et al., 2001) Rodner, C. M., B. D. Browner, E. Pesanti. 2003. Chronic Osteomyelitis. USA : Elsevier (Rodner et al., 2003) Juutilainen, V.. 2011. Posttraumatic Osteomyelitis. Suomen Ortopedia ja Traumatologi; 34(38): 38-41 Hofmann, S. R., A. R. Wolff, G. Hahn, C. M. Hedrich. 2012. Update: Cytokine Dysregulation in Chronic Nonbacterial Osteomyelitis (CNO). International Journal of Rheumatology; 2012(10): 1-7 (Hofmann et al., 2012) Covington, D. S.. 2011. Wound Healing Perspective. National Healing Corporation; 8(2): 1-8 (Covington, 2011)
19

20

You might also like