You are on page 1of 23

Relativisme, Pluralisme, dan Peran Ulama

Oleh M. Anwar Djaelani Dosen STAI Luqman Al-Hakim Pesantren Hidayatullah Surabaya

Abstrak Perang pemikiran akan berlangsung abadi. Secara sederhana, satu pihak akan terus mendakwahkan yang haq, sementara kelompok lain aktif mengajak kepada yang bathil. Di internal agama Islam, perang pemikiran itu juga terjadi, yaitu antara yang berusaha setia kepada ajaran Islam sesuai sunnah Nabi Muhammad SAW dengan yang mengusung gagasan liberalisasi pemikiran Islam. Ide liberalisasi pemikiran Islam telah berlangsung lama. Lewat ajaran pokok bernama relativisme, disebarkanlah gagasan tentang nisbinya pemahaman keagamaan seseorang, sehingga klaim kebenaran harus dijauhi. Dari relativime, lahir antara lain- pluralisme yang memandang bahwa semua agama itu sama benar. Bahwa terdapat beragam agama yang berbeda, itu sekadar berbeda jalan menuju Tuhan yang sama. Relativisme dan pluralisme bisa meruntuhkan otoritas ulama sebagai pewaris para Nabi, sebab peran ulama sangat terkurangi dan bahkan ternihilkan. Hal ini bisa terjadi karena relativisme dan pluralisme membuat semua orang merasa punya hak untuk memahami Islam secara pribadi. Telaah ini berusaha mengkaji relasi relativisme dan pluralime dengan kemungkinan runtuhnya wibawa ulama yang ditandai dengan terus mengecilnya peran ulama. Kajian kepustakaan dilakukan untuk menggali konsep relativisme dan pluralisme. Lalu, konsep itu dihadapkan dengan fakta kekinian terkait performa ulama sebagai akibat penyebaran relativisme dan pluralisme. Kata kunci: Relativisme, pluralisme, perang pemikiran, aqidah, dan ulama.

I.

Pendahuluan Corak pemikiran keagamaan yang liberal menghinggapi sebagian umat Islam dalam waktu relatif lama. Pemikiran itu bertumpu pada relativisme, yang berpandangan bahwa manusia adalah makhluk

relatif dan oleh karena itu- tak mungkin bisa memahami kebenaran Islam yang sejati, sebab hanya Allah saja yang mengetahuinya. Sebagai konsekuensinya, paham itu mencegah manusia untuk melakukan tindakan pemutlakan kebenaran. Dari relativisme lahir antara lain- pluralisme. Pluralisme mengajarkan bahwa semua agama benar. Agama-agama yang ada itu hanya pilihan berbeda jalan saja dalam menuju Tuhan yang sama. Pemahaman relativisme dan pluralisme sangat membahayakan aqidah umat Islam. Padahal, aqidah adalah fondasi keislaman seorang Muslim yang harus kukuh dan tak boleh ternodai virus apapun. Tanpa aqidah yang kukuh, sulit membayangkan seorang Muslim dapat menegakkan syariat Islam dengan baik dan benar serta kesehariannya berakhlak mulia. Sebagai ide, relativisme dan pluralisme bukan hal baru. Tapi, persoalan di bidang pemikiran ini lalu berkembang ke arah yang cukup mencemaskan karena gencar dipropagandakan lewat berbagai cara, seperti melalui buku, surat kabar, televisi, seminar, dan lain-lain. Dengan peta seperti itu, seorang Muslim terutama yang berstatus ulama- tertantang untuk minimal menahan laju kampanye relativisme dan pluralisme agar aqidah umat Islam terselamatkan.

II. Tentang Relativisme, Pluralisme, dan Ulama A. Relativisme 1. Pengertian Dalam diskursus pemikiran keislaman, relativisme adalah tema penting dan mendasar. Relativisme menurut Hamid Fahmy Zarkasyi 1 adalah ajaran yang berpegang pada prinsip bahwa kebenaran itu sendiri adalah relatif terhadap (tergantung pada) pendirian subjek yang menentukan. Relativisme yang dijelaskan Hamid Fahmy Zarkasyi di atas, sejalan dengan yang dipikirkan Nurcholish Madjid 2

yang menulis, bahwa: Pemahaman seseorang atau kelompok tentang suatu agama bukanlah dengan sendirinya senilai dengan agama itu sendiri. Ini lebih-lebih lagi benar jika suatu agama diyakini hanya datang dari Tuhan (wahyu agama samawi) dan bukannya hasil suatu proses historis dan sosiologis (dengan istilah agama wahyu atau agama samawi) maka wewenang menetapkan agama atau tasyri(seharusnya!) hanya ada pada Tuhan atau berasal dari langit, sementara yang datang dari manusia itu dari arah bumi (juga seharusnya!) dipandang sebagai relatif belaka.

Dengan penjelasan Nurcholish Madjid di atas, kita menjadi paham bahwa relativis 3 tidak meyakini adanya tafsir dan

1 2

Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo: CIOS, 2008), 89 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina, 2008), 143

pemahaman absolut terhadap agama. Bagi mereka, di level amaliyah sehari-hari tidak perlu justifikasi benar atau salah. Oleh karena itu, relativis tak mengakui adanya klaim kebenaran. Relativis tak membatasi relativisme berlaku hanya dalam hal furuiyyah (bersifat cabang) saja, tetapi dalam semua aspek keagamaan. Relativis selalu membedakan antara Islam yang bersifat mutlak dengan pemahaman / pemikiran keislaman yang bersifat relatif. Ada akibat serius dari berkembangnya relativisme terhadap umat Islam. Misal, pertama, relativisme meruntuhkan keyakinan seorang Muslim akan kebenaran Islam, sebab dia lalu merasa bahwa agama adalah hal yang tidak akan pernah bisa dipahami oleh manusia. Kedua, relativis tak memandang penting peran ulama sebagai pewaris para Nabi. Ketiga, umat Islam akan individualistis karena tak peduli kepada berbagai kemunkaran yang terjadi di sekelilingnya. Sebab, umat Islam yang terpengaruh relativisme akan beranggapan bahwa praktik keagamaan adalah urusan yang bersifat sangat pribadi, yaitu antara seseorang dengan Tuhannya. Lebih jauh lagi, seseorang itu tak merasa berkewajiban mendakwahkan Islam.
3

Relativis menunjuk kepada siapapun yang aktif menyebarkan gagasan relativisme maupun yang sekadar setuju dengan paham itu.

Kecuali (mendiang) Nurcholish Madjid, di kalangan intelektual Syafii Maarif dikenal sebagai tokoh yang setuju

dengan relativisme. Melalui opini dia di Republika 4 , Syafii Maarif berpendapat bahwa: Al-Quran itu mengandung kebenaran mutlak, karena ia berhulu dari yang Maha Mutlak. Tetapi sekali ia memasuki otak dan hati manusia yang serba nisbi, maka penafsiran yang keluar tidak pernah mencapai posisi mutlak benar, siapa pun manusianya, termasuk /mufassir/ yang dinilai punya otoritas tinggi, apalagi jika yang menafsirkan itu manusia-manusia seperti saya. Dengan relativisme, relativis kerap menyoal tentang keberadaan Islam otentik. Bagi mereka, Islam otentik sudah tak bisa ditemukan lagi sebab pemahaman keislaman sangat tergantung kepada pemahaman manusia yang berubah-ubah di setiap waktu dan tempat. Relativis melupakan otoritas Rasulullah Muhammad SAW dan para ulama sebagai pewarisnya. Padahal, dengan status sebagai pewaris Nabi, ulama yang shalih seharusnya dipahami memiliki peran sebagai penafsir AlQuran yang otoritatif dan perlu diikuti. 2. Musuh Semua Agama

Lihat Republika 29 Desember 2006.

Melihat daya rusak relativisme bagi aqidah seorang Muslim, maka Adian Husaini 5 berkesimpulan bahwa: Paham relativisme akal dan relativisme iman merupakan virus ganas semisal virus HIV yang berpotensi menggerogoti daya tahan keimanan seseorang, sebab dengan virus ini, maka seseorang menjadi tidak yakin dengan kebenaran agamanya sendiri. Dari virus ini lahirlah sikap skeptic dan agnostic yang senantiasa ragu dengan kebenaran yang dicapainya.

Relativisme tak hanya dirasakan membahayakan aqidah umat Islam, tapi bisa menjadi musuh semua agama. Sebab, sikap keragu-raguan atas kebenaran agama yang dipeluk seseorang bisa menghinggapi semua pemeluk agama dikarenakan relativisme. Relativime menghancurkan keyakinan masing-masing pemeluk agama terhadap agamanya sendiri. Adian Husaini 6 mengutip Libertus Jehani menulis buku Paus Benediktus XVI, Palang Pintu Iman Katolik- yang menyebutkan bahwa Paus Benediktus XVI mengingatkan tentang bahaya relativisme bagi iman Katolik. Eropa kini kata Benediktus XVI- sedang dalam bahaya besar, karena paham relativisme iman yang mendalam.

B. Pluralisme 1. Pengertian
5

Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia: Fakta dan Data, (Jakarta: Dewan Dawah Islamiyah, 2006), 25 6 Ibid, h. 28

Relativisme menjadi induk dari paham-paham lainnya seperti antara lain- pluralisme. 7 Apa pluralisme? Setelah mengkajinya dari berbagai aspek, Anis Malik Thoha 8 menyatatakan, bahwa: Pluralisme Agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antaragama (dalam arti yang luas) yang berbedabeda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciriciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.

Tetapi, itu pengertian asli (pada awalnya) dan sekarang seperti dilupakan orang. Maka, Anis Malik Thoha mengkajinya dari segi konteks di mana pluralisme agama sering digunakan dalam studistudi dan wacana-wacana sosio-ilmiah pada era modern ini. Ternyata, istilah pluralisme telah menemukan definisi dirinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki semula (dictionary definition). Maka, dengan bersandar kepada salah satu tokoh penganjur pluralisme agama yaitu John Hick, Anis Malik Thoha merumuskan, sejatinya pluralisme agama itu adalah paham yang menyatakan bahwa Semua agama adalah merupakan manifestasimanifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain. 9

7 8

Ibid, h. 22-23 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif, 2005), 14 9 Ibid, h. 15

Sementara, lewat fatwanya pada 2005 Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara lebih lugas menjelaskan: Pluralisme agama adalah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. 10 Di makalah ini makna pluralisme agama (atau ditulis pluralisme saja) yang disebut terakhir itulah yang dipakai sebagai dasar telaah. 2. Pluralitas dan Pluralisme Ide pluralisme adalah satu gagasan yang termasuk kategori liberalisasi pemikiran Islam. Dalam konteks ini, kita seharusnya bisa membedakan antara pluralitas dan pluralisme. Pluralitas dan pluralisme memang berasal dari akar kata yang sama, yaitu plural (yang berarti majemuk atau beragam). Namun, pluralitas berbeda dengan pluralisme. Pluralitas berarti kemajemukan. Pluralitas/kemajemukan (semisal suku, bangsa, bahasa, warna kulit, dan lain-lainnya) memang kehendak Allah. 11

Lihat Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 29 Juli 2005 berupa Surat Keputusan bernomor 7/MUNAS VII/MUI/II/2005.
11

10

Lihat QS Al-Hujuraat [49]: 13, juga QS Ar-Ruum [30]: 22

Ketika Nabi Muhammad SAW memimpin di Madinah, negeri itu jelas tak homogen. Di Madinah ada beragam kelompok suku bangsa dan agama. Di masa itu, umat Islam sangat biasa berinteraksi dengan orang-orang Yahudi. Mereka hidup berdampingan dengan damai. Pluralisme maknanya berbeda jauh dengan pluralitas. Pluralisme adalah gagasan yang berujung kepada ajakan mengompromikan aqidah. Modusnya adalah memberi pembenaran kepada ajaran agama lain. 3. Pluralisme Haram Bagi para penganutnya, pluralisme adalah kehendak Tuhan. Dengan demikian, bagi mereka, sangat relevan -bahkan urgen- untuk mencari titik temu agama-agama. Lalu, masing-masing agama itu disesuai-sesuaikan. Jadilah sinkretisme. Islam, seperti disinggung di depan mengakui pluralitas. Keberadaan masyarakat yang majemuk, dihormati. Islam tak melarang pemeluknya berinteraksi sosial dengan umat beragama lain. Namun, prinsip aqidah Islam sangat bertolak belakang dengan pluralisme. Islam tegas mengatakan bahwa hanya Islam agama yang diridhai-Nya. 12 Dengan demikian, tidak benar klaim bahwa semua agama benar. Pluralisme adalah syirik modern, karena menganggap semua agama adalah benar. Padahal, Allah menegaskan hanya Islam yang benar dan

12

Lihat QS Al-Maaidah [5]: 3.

diterima-Nya. Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. 13 Mengingat bahaya besar yang bisa ditimbulkan pluralisme, maka pada 29 Juli 2005 MUI menerbitkan fatwa lewat Surat Keputusan bernomor 7/MUNAS VII/MUI/II/2005. Diputuskan bahwa pluralisme adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh karena itu, umat Islam haram mengikuti paham pluralisme.

Keputusan

bahwa

pluralisme

haram

diambil

setelah

mempertimbangkan antara lain- bahwa berkembangnya paham pluralisme agama, liberalisme dan sekularisme serta di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut.

Juga,

dengan

mengingat

Firman

Allah

yang

artinya:

Barang siapa mencari agama selaian agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS Ali Imran [3]: 85),

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam (QS Ali Imran [3]: 19),

Untukmu agamamu dan untukkulah agamaku (QS Al-Kaafiruun [109]: 6).

13

Lihat QS Ali Imran [3]: 19

Juga

dengan

mempertimbangkan

hadits:

Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorangpun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka (HR Muslim). Begitu pula dengan riwayat berikut ini: Nabi SAW melakukan pergaulan sosial secara baik dengan komunitas-komunitas non-Muslim seperti komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar dan Nasrani yang tinggal di Najran; bahkan salah seorang mertua Nabi SAW yang bernama Huyay bin Aththab adalah tokoh Yahudi Bani Quradzah (HR Bukhari -Muslim). 4. Ditolak Kristen Tak hanya Islam yang menolak pluralisme, tapi juga Kristen. Kenneth R. Sample 14 menyebut, bahwa: Abad ke-20 telah membawa tantangan yang tidak ada duanya dalam sejarah kepercayaan Kristen. Pada abad ini relevansi Kristen dan kebenaran tertingginya telah dipertanyakan (dengan pertanyaan) yang tidak ada sebelumnya. Serangan terhadap klaim kebenaran Kristen ini datang dari dua musuh yang berbeda: Humanisme ateistik yang secular dan pluralisme agama yang berkembang. 15 C. Ulama

14

Kenneth R. Sample dalam Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam,

(Ponorogo: CIOS, 2008), 104

1. Pengertian Secara bahasa ulama berarti orang yang mengerti atau orang yang berilmu atau orang yang berpengetahuan. 16 Dalam perspektif Islam, ulama adalah manusia yang berkategori sebagai pewaris para Nabi. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Dengan perannya yang vital, sesungguhnya seluruh umat Islam wajib taat kepada ulama, sejauh ulama itu benar-benar setia mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Sebab, setelah Nabi SAW wafat, maka

peran kenabian dalam melakukan dakwah amar makruf nahi munkar berpindah kepada Sang Pewaris yaitu ulama. Ini, antara lain bersandar kepada: Para ulama itu sebagai pelita di permukaan bumi ini, sebagai pengganti-pengganti para Nabi, dan sebagai waris saya, dan sebagai pewaris para Nabi (HR Ibnu Ady). Ulama (yang shalih) berperan sebagai pembimbing dan pembina aqidah umat. Ulama memang harus responsif dengan aktif memberi pencerahan kepada umat. Sesungguhnya perumpamaan ulama di bumi adalah seperti bintang-bintang di langit yang

15 16

Hamid Fahmi Zarkasyi, ,Liberalisasi Pemikiran Islam,, (Ponorogo: CIOS, 2008), 104 Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi, (Surabaya: Bina Ilmu, 1998), 14

memberikan petunjuk di kegelapan bumi dan laut. Apabila dia terbenam, maka jalan akan kabur (HR Ahmad). 2. Di Tengah Liberalisasi Pemikiran Sebagai pewaris Nabi, ulama mendapat amanah beramar makruf nahi munkar (berdakwah mengajak kepada kebaikan dan memberantas kemunkaran). Saat beramar makruf para ulama relatif tak menemui masalah. Tapi, saat akan mencegah dan memberangus kemunkaran, ulama banyak mendapatkan tantangan. Di antara agenda nahi munkar, ulama akan pasti bertemu dengan arena yang bernama pertarungan pemikiran. Ada dua sumber tantangan ulama dalam pertarungan pemikiran. Pertama, yang berasal dari pihak di luar Islam, yaitu dari kaum Yahudi dan Nasrani. 17 Kedua, yang berasal dari kalangan Islam sendiri yang terpengaruh oleh liberalisasi pemikiran keislaman. Untuk tantangan jenis kedua itu, dalam konteks Indonesia bisa disebut bahwa itu dimulai pada tahun 1970-an. Ketika itu, Nurcholish Madjid mengusung ide sekularisasi. Pada 2 Januari 1970, dia memulis makalah untuk sebuah diskusi berjudul Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. Ide itu lebih

17

Lihat QS Al-Baqarah [2]: 120.

diperkuatnya lagi lewat sebuah pidato di Jakarta pada 21 Oktober 1972 yang berjudul Beberapa Renungan. Seperti yang dikutip Adnin Armas 18 , Nurcholish mengatakan bahwa tidak ada masalah

menggunakan kata sekular untuk Islam, karena memang manusia adalah makhluk sekular. Tentu saja, pendapat nyleneh itu membuat repot ulama untuk meralatnya, bahkan hingga kini. Pada pertengahan 2001, istilah Islam Liberal mulai dikenal luas di Indonesia, terutama karena nama itu dinisbahkan kepada lembaga terorganisasi yang mengusungnya yaitu Jaringan Islam Liberal (JIL). Islam yang membebaskan adalah slogan yang dikampanyekan oleh JIL secara massif, seperti lewat koran, radio, atau internet. Tema pokok mereka adalah relativisme (dalam beragama). Tema itu lalu bercabang kepada sekularisme, pluralism, kesetaraan gender, dan lain-lain. Menghadapi serbuan ide munkar itu, ulama direpotkan. Lewat mimbar Jumat, majelis pengajian, tulisan di koran, dan lain-lain, ulama berusaha meluruskan paham tak benar itu. Sekalipun demikian, para ulama harus bekerja lebih keras lagi, sebab virus yang disebarkan kaum liberal itu relatif cukup mudah

18

Adnin Armas dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, dkk., (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), 45

diterima umat Islam antara lain karena yang mereka tawarkan adalah sesuatu yang dirasakan bersifat meringankan mereka dari ketatnya syariah, seperti bolehnya kawin beda agama. Khusus yang disebut terakhir, pernah ada laporan dari majalah Gatra 19 bahwa puluhan muslimah di Sumatera Barat murtad karena bersandar pada fatwa dari kalangan Islam Liberal tentang bolehnya kawin beda agama. 3. Pengaruh Relativisme dan Pluralisme terhadap Peran Ulama 1. Pengaruh Negatif: Delegitimasi Ulama Berpegang kepada relativime dan pluarlisme, (setidaknya sebagaian) umat Islam mulai tak memandang penting peran ulama. Sebab, Karena sifatnya relatif dan tidak absolut, maka ilmu para ulama tidak dapat dijadikan rujukan, sehingga para ulama itu dianggap tidak memiliki otoritas dan tidak boleh memberi fatwa. 20 Lihat misalnya- dua tulisan di Jawa Pos yang menggugat keputusan MUI yang menggolongkan kelompok Al-Qiyadah yang memiliki syahadat Asyhadu alla ilaha illa-Alla wa asyhadu anna Masih al-Mauud RasulAllah serta menyatakan shalat dan puasa tak wajib dikerjakam, sebagai sesat.

19

Baca Gatra 19/10/2002

Lewat tulisan pada 9/11/2007 yang berjudul Relativitas Kesesatan Aliran Sesat, 21 Pradana Boy ZTF (dosen Fakultas Ilmu Agama Universitas Muhammadiyah Malang) membela kelompok / aliran sesat Al-Qiyadah dengan merelatifkan fatwa MUI. Dia menggugat ulama, dengan menyatakan bahwa fatwa itu memiliki potensi pemaksaan kebenaran yang sangat tinggi. Hal itu, dikaitkannya dengan pendapat MUI bahwa salah satu kriteria aliran sesat adalah ketika menafsirkan Al-Quran di luar ketentuan kaidah-kaidah tafsir yang berlaku. Boy mendasarkan pemikirannya atas paham relativisme (tafsir). Tampak, dia berusaha untuk menghilangkan otoritas ulama dalam penafsiran Al-Quran. Perhatikanlah pernyataan dia: Jika MUI merujuk kepada seperangkat kaidah yang dihasilkan oleh ulama tertentu, MUI telah melakukan kesewenang-wenangan. Seolah-olah MUI memiliki hak paling mutlak untuk menentukan metode ini benar dan metode ini salah. Lewat tulisannya, Boy menukas, kaidah tafsir menurut siapa? Boy menyoal, model pendekatan versi siapa? Bukankah lanjut dia- ahli tafsir itu banyak, seraya menyebut sejumlah tokoh liberal seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Arkoun, Hassan Hanafi, dan sejumlah nama lain.

20

Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo: CIOS, 2008), 94 Lihat Jawa pos, 9/11/2007

21

Siapa

Nasr

Hamid

Abu

Zayd?

Atas

sejumlah

pendapat

kontroversialnya, Nasr Hamid Abu Zayd dinilai ulama Mesir bahwa dia telah keluar dari Islam. Ulama Mesir-pun menetapkan dia harus diseret ke pengadilan dan diharuskan bercerai dengan istrinya. Dia kemudian melarikan diri ke Belanda. Bahkan, tanpa ragu Boy mengajak pula untuk membandingkannya dengan tafsir dari kalangan nonMuslim seperti Anthony John, John Wansbrough, atau Andrew Rippin. Pada 14/11/07 aktivis JIL Mohamad Guntur Romli menulis Sesatnya Kriteria Sesat. 22 Pada dasarnya, dia menyatakan bahwa kriteria penyesatan versi MUI harus ditolak, sebab semua orang atau kelompok memiliki derajat yang sama ketika berusaha memahami wahyu. Itupun kata dia- hakikat kebenarannya baru sampai pada tahap kebenaran manusiawi dan bukan kebenarann Ilahi. Kecuali berusaha melemahkan Al-Quran, kaum liberal juga melakukan delegitimasi terhadap ulama. Otoritas keagamaan ulama hendak mereka pasung. Padahal, siapapun tahu, di lapangan hidup apa saja, mesti ada otoritas dalam menilai sesuatu. Di bidang kesehatan, hanya dokterlah yang punya otoritas untuk menilai seseorang itu sakit atau tidak. Begitu juga, di aspek keagamaan. Untuk Islam, maka yang memiliki otoritas menentukan

tafsir (tentu saja termasuk menetapakan sebuah aliran itu sesat atau tidak) adalah ulama yaitu ulama yang shalih dan bukan ulamaus-su / ulama jahat. 2. Pengaruh Positif: Spirit Dakwah Meningkat Di dunia ini akan selalu ada tantangan. Tetapi, sejauh kita berusaha keras meresponnya sesuai dengan cara-cara yang digariskan Islam, tantangan sebesar apapun akan bisa diatasi. Allah telah menggambarkan tentang adanya sunnatullah berupa pasangan tantangan dan jawaban, bahwa Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. 23 Berbekal ayat itu, ulama akan terus tertantang untuk beramarmakruf nahi-munkar. Dalam konteks ini, ulama merasa bahwa relativisme dan pluralisme adalah virus yang sangat berbahaya terhadap aqidah umat dan oleh karena itu harus dibasmi. Sebagai respon atas tantangan di bidang pemikiran itu, ulama akan tetap bersemangat menggali ilmu-ilmu keislaman. Dengan ilmu

22 23

Lihat Jawa Pos, 14/11/2007 Lihat QS Al-Asr [103]: 2-3.

yang cukup, ulama bisa menjawab pemikiran-pemikiran keislaman yang liberal melalui debat, artikel, buku, dan cara-cara lainnya.

III. Penutup 1. Kesimpulan Relativisme adalah paham yang berbahaya, sebab bisa membuat orang tidak memiliki sikap dalam menentukan mana yang benar dan yang salah. Tak ada pemahaman mutlak dalam agama karena kebenaran itu relatif. Pemahaman relativisme seperti itu sama saja dengan mengecilkan Allah. Sebab, itu sama saja dengan menilai Allah telah menurunkan Kitab (wahyu-Nya) yang tidak akan pernah bisa dipahami oleh manusia. Padahal, Kitab itu diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia. Sebagaimana induknya, pluralisme sama bahayanya bagi seorang Muslim karena berpandangan bahwa semua agama itu benar. Kata penganut pluralisme, agama orang lain yang berbeda itu sekadar beda cara saja dalam mendekati Tuhan yang sama. Sebagai paham, pertama, relativisme dan pluralisme sangat berbahaya bagi keimanan seorang Muslim. Kedua, relativisme dan pluralisme menohok keberadaan ulama sebagai pewaris para Nabi.

Ulama yang seharusnya berada di posisi terhormat menjadi terdeligitimasi. Sebab, dengan beranggapan bahwa kebenaran itu relatif dan semua agama sama benar, maka tak perlu bimbingan keislaman dari seseorang yang dianggap punya otoritas untuk itu, yaitu ulama. Berikutnya, ada akibat lain relativisme terhadap orang yang beragama. Mereka yang tak berakidah kuat akan menjadi tak yakin akan agamanya, permisif, individualistis, dan -terutama- tak peduli untuk memberantas kemunkaran. Maka, setidaknya, muncul dua fenomena yang bisa dihasilkan oleh relativisme. Pertama, akan ada orang/kelompok yang merasa mendapat justifikasi untuk secara mudah menafsiri ajaran agamanya sekalipun dia tak mempunyai kecakapan yang memadai untuk itu. Pada bagian ini, kemunculan aliran sesat menjadi sangat berpeluang. Kedua, masyarakat di sekitar munculnya aliran sesat itu akan tak peduli sekalipun di lingkungan terdekatnya bermunculan praktik kemungkaran, sebab itu urusan yang sangat pribadi dan yang mereka lakukan adalah memanfaatkan hak yang dipunyainya dalam memahami serta menafsiri agamanya. 2. Saran

Menghadapi serbuan virus relativisme dan pluralisme, ulama harus beramal-shalih lebih kuat. Pertama, pegang erat peran sebagai pewaris para Nabi dengan terus istiqomah berdakwah beramar maruf nahi munkar. Kedua, secara internal, bentengi aqidah umat Islam dari kemungkinan terkotori oleh virus relativisme dan pluralisme. Ketiga, secara eksternal, harus aktif membendung relativisme lewat berbagai cara, misal lewat pengajian, penulisan artikel di media cetak, penulisan buku, dan lain-lain. Intinya, para ulama diharapkan terlibat aktif mewarnai berbagai arena pertarungan pemikiran. Ketiga saran di atas, semuanya terarah kepada

pengembalian peran ulama sebagai pewaris para Nabi. Oleh karena kebenaran itu adalah dari Allah, maka para ulama tak boleh sekali-kali ragu-ragu dalam beramal-shalih. Terakhir, ulama yang shalih hendaknya menjadikan perjuangan menanggulangi virus relativisme dan pluralisme sebagai prioritas utama gerakan dakwah. []

Daftar Pustaka Kitab Suci: Al-Quran (dan terjemahnya)

Buku: Hasyim, Umar, Mencari Ulama Pewaris Nabi, (Surabaya: Bina Ilmu, 1998) Husaini, Adian, Liberalisasi Islam di Indonesia: Fakta dan Data, (Jakarta: Dewan Dawah Islamiyah, 2006) Husaini, Adian dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2007) Madjid, Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina, 2008) Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif, 2005) Zarkasyi, Hamid Fahmi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo: CIOS, 2008) Zarkasyi, Hamid Fahmy, dkk., Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi di Dunia Islam, (Jakarta: Khairul Bayan, 2004) Dokumen: Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bernomor 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang Pluralisme Agama dalam Pandangan Islam, tanggal 29 Juli 2005.

Surat Kabar Republika, 29/12/2006 Jawa pos, 9/11/07, 14/11/07 Majalah: Gatra 19/10/2002

You might also like