You are on page 1of 5

II.

PEMBAHASAN

II. Keputusan Tata Usaha Negara Beschiking merupakan padanan kata dalam bahasa Belanda yang menunjuk pada keputusan tata usaha negara. Istilah tersebut pertama kali dipergunakan oleh Van Vollenhoven dan Van der Pot. Beberapa sarjana berbeda pandangan untuk istilah dalam bahasa Indonesia yang dipergunakan untuk mengartikan istilah beschiking. Utrecht dan Boedisoesatya menerjemahkan sebagai ketetapan dan yang lainnya sebagai keputusan.1Kemudian Utrecht menyatakan bahwa beschikking merupakan suatu perbuatan hukum publik yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan kekuasaan istimewa.2 Penggunaan istilah perbuatan hukum publik bersegi satu masih menjadi polemik di kalangan para pemikir. Menurut Van Praag dan Muchsan perbuatan hukum bersegi dua pada dasarnya tidak ada, lantaran perbuatan hukum tersebut bersumber dari kehendak kedua belah pihak, selanjutnya hubungan hokum yang diatur oleh hokum public hanya berasal dari satu pihak saja, yaitu pemerintah dengan menentukan kehendaknya sendiri.3 Mereka yang berbeda pandangan berpendapat bahwa perbuatan hukum publik bersegi dua dapat dicontohkan dengan perjanjian kerja jangka pendek antara pemerintah sebagai pemberi kerja dengan pihak swasta sebagai pekerja, di dalamnya mengandung persesuaian kehendak antara kedua belah pihak yang kemudian diatur dalam suatu hukum istimewa.4 Berbeda dengan Utrecht dalam menggunakan istilah, Prins berpandangan bahwa beschikking merupakan tindakan hukum sepihak dalam lapangan pemerintahan yang dilakukan oleh alat pemerintahan berdasarkan
1 SF Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: Liberty, 2000), hal.74 2 E. Utrecht, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia (Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, 1957), hal. 55. 3 Dalam SF Marbun dan Moh. Mahfud MD, Ibid, hal. 76. 4 Ibid.

wewenang yang ada pada alat atau organ itu. 5 Sedangkan menurut Muchsan beschikking adalah penetapan tertulis yang diproduksi oleh Pejabat Tata Usaha Negara, mendasarkan diri pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual dan final.6 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sendiri menggunakan istilah keputusan tata usaha Negara untuk menerjemahkan istilah beschikking. Yang menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, didefinisikan sebagai berikut: Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang terkandung di dalam keputusan tata usaha Negara adalah sebagai berikut: 1. Penetapan tertulis; 2. Dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara; 3. Mendasarkan diri kepada peraturan perundang-undangan; 4. Memiliki 3 (tiga) sifat tertentu (konkrit, individual dan final). Keputusan tata usaha negara sebagaimana pendapat Stroink diarahkan pada diadakannya akibat hukum, menciptakan hak dan kewajiban terhadap seseorang, kelompok orang atau objek. Berkaitan dengan sasaran, keputusan dapat dimungkinkan mengarah pada internal lingkungan administrasi negara maupun kea rah warganegara. Karenanya keputusan tata usaha negara dapat dibedakan menjadi keputusan internal dan keputusan eksternal.7
5 Ibid. 6 Dalam http://studihukum.blogspot.com/p/keputusan-tata-usaha-negara-beschikking.html diakses pada pukul 14:33 30/10/2013 7 Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Pengadilan Administrasi (Yogyakarta: FH UII Press, 2009), hal.72.

Sebagai perbuatan pemerintah dalam bidang hukum publik, pembuatan keputusan tata usaha negara tetap tunduk pada prinsip negara hukum. Keabsahan suatu keputusan bergantung pada terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat material dan formalnya. Syarat material pembuatan keputusan tata usaha negara terdiri dari, pertama, dibuat oleh organ pemerintah yang berwenang; kedua, tidak boleh memuat kekurangan atau cacat hukum; tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasarnya. Sedangkan syarat formalnya terdiri atas, pertama, dibuat berdasarkan prosedur pembuatan yang diatur dalam peraturan dasar; kedua, diberi bentuk yang sudah ditentukan; ketiga, pemberitahuan atau pengumuman pada pihak yang akan terkena keputusan; keempat, penentuan waktu tertentu; kelima, tanda tangan pejabat yang berwenang.8 Secara normatif, syarat keabsahan suatu keputusan tata usaha negara menurut Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 9 Tahun 2004 perubahan atas Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara adalah: 1. Keputusan Tata Usaha Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 2. Keputusan Tata Usaha Negara sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Penjelasan Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 9 Tahun 2004 menerangkan bahwa, aspekaspek yang menyangkut kesesuaian antara keputusan tata usaha negara terhadap peraturan perundang-undangan, yaitu sebagai berikut: 1. Kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat

proseduran/formal; 2. Kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat

material/substansial; 3. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat yang berwenang.

8 Ibid, hal. 73.

Pelanggaran terhadap syarat kewenangan diklasifikasikan sebagai berikut:9

kaitannya dengan adanya persyaratan

pembuatan keputusan tata usaha negara oleh pejabat yang berwenang dapat

1. Ketidakwenangan dari segi substansi, yaitu apabila suatu keputusan tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau apabila dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak berwenang; 2. Ketidakwenangan dari segi wilayah yurisdiksi kewenangan; 3. Ketidakwenangan dari segi waktu, badan atau pejabat tata usaha negara belum memiliki kewenangan atau tidak berwenang lagi untuk mengeluarkan keputusan tata usaha negara. Secara teoritis keputusan dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam: 1. Berdasarkan bentuk, dapat dibedakan menjadi keputusan TUN tertulis dan Keputusan TUn berbentuk lisan; 2. Berdasarkan sifat, dapat dibedakan menjadi keputusan TUN konstitutif dan keputusan TUN deklaratoir; 3. Berdasarkan kekuatan hukum, dapat dibedakan menjadi keputusan hukum abadi dan keputusan TUN terbatas.10

II.2. Tinjauan Yuridis Terhadap Keputusan Tata Usaha Negara Berdasarkan Kekuatan Hukum Keputusan tata usaha negara berdasarkan pada kekuatan hukumnya yang dikandungnya dalam hal pemberlakuan, dibedakan menjadi keputusan tata usaha negara yang bersifat abadi dan keputusan tata usaha negara yang bersifat terbatas. Akan tetapi, dalam berbagai literatur banyak istilah lain yang dipergunakan untuk
9 W. Riawan Tjandra, Op. Cit., hal. 72. 10 Muchsan, disampaikan pada perkuliahan tanggal 25 Oktober 2013 program Magister Hukum Universitas Gadjah Mada

menyebut pembedaan tersebut. Philippus M Hadjon11 menggunakan istilah keputusan TUN kilat dan keputusan TUN langgeng. Menurutnya pembedaan tersebut berkorelasi dengan pada tingkat kekuatan berlakunya. Keputusan yang berlakunya seketika atau sekali pakai dapat dikategorikan sebagai sebuah keputusan kilat. Ridwan HR mengidentifikasi keputusan tata usaha negara jenis ini sebagai keputusan yang berwatak eenmalig yang sebagaimana pendapat di atas keputusan tata usaha negara yang masa berlakunya sekali pakai, seperti IMB atau izin untuk mengadakan rapat umum.12 Menurut Prins yang dianggap sebagai keputusan TUN sepintas lalu atau terbatas adalah sebagai berikut: 1. Keputusan yang bermaksud mengubah teks keputusan yang terdahulu; 2. Keputusan negative sebab keputusan semacam inimaksudnya untuk tidak melaksanakan sesuatu hal dan tidak merupakan halangan untuk bertindak, bila terjadi perubahan dalam anggapan atau keadaan; 3. Penarikan kembali atau pembatalan, karena tidak membawa hasil positif dan tidak menjadi halangan untuk mengambil keputusan yang identik dengan yang dibatalkan itu; 4. Pernyataan dapat dilaksanakan.13 Sedangkan keputusan tata usaha negara yang bersifat abadi/langgeng atau permanen adalah keputusan tata usaha negara yang masa berlakunya relatif lama seperti Ijazah atau ata kelahiran.

11 Philippus M Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hal. 146. 12 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 166. 13 W.F. Prins dan R. Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Prajna Paramitha, 1987), hal, 68.

You might also like