You are on page 1of 24

Bahasa dan Budaya I.

Pendahuluan Berbahasa merupakan kegiatan manusia setiap saat dalam berhubungan dengan orang lain yang dimulai ketika manusia itu melihat dunia. Bayi yang baru lahir misalnya, ketika menangis hingga tertawa adalah bentuk mula berbahasanya Dilihat dari fungsinya, bahasa merupakan alat mengkomunikasikan perasaan, pikiran, dan gagasan kepada orang lain. Sehingga kegiatan yang paling banyak dilakukan manusia ketika berhubungan dengan orang lain adalah berbahasa, atau dalam bahasa masyarakat awam adalah bertutur kata. Ini diwujudkan dalam bentuk berbahasa secara formal maupun non formal. Dalam tataran formal misalnya bahasa dalam berpidato, presentasi produk, presentasi ilmiah, berdiplomasi dan lain-lain. Sedangkan berbahasa dalam bentuk non formal bisa dalam bentuk bercanda, ngerumpi, atau sekedarngobrolngobrol (chating). Dalam perkembangannya bahasa menjadi ciri dari sebuah kebudayaan. Minimal menjadi pembeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain dari sisi penggunaan bahasanya. Bagaimana kita membedakan bahasa Jawa Solo dengan bahasa Jawa Banyumasan. Begitu pula dalam semua bahasa, dan termasuk dalam bahasa Arab. Bagaimana kita membedakan suku-suku di jazirah Arab, antara tamim, nejd,Syiria, Mesir salah satunya yang terpenting adalah dengan mengamati bahasa yang digunakan. Namun dari sisi ilmiah, tentu hal ini harus di kaji lebih dalam lagi. Apalagi kalau kajian ini menyangkut ilmu sosiolinguistik. Antara berbahasa dan berbudaya nampaknya menunjuk pada proses kreatif bagaimana kita berbahasa sekaligus juga berbudaya. Lantas sejauh mana bahasa dan budaya saling mempengaruhi? Bahasa Arab yang bagaimanakah yang harusnya diajarkan dalam pengajaran di sekolah? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dijawab dalam tulisan ini. Dan pembahasan ini akan dikaitkan dengan sosiolinguistik, khususnya dalam membahas tentang bahasa Arab. 1. II. Hubungan bahasa dan budaya Untuk menjelaskan tentang hubungan ini, ada baiknya jika kita memberi batasan yang jelas tentang apakah itu bahasa dan apakah budaya itu. Ini untuk mempertegas keterkaitan antar keduanya. 1. 1. Bahasa Banyak pakar yang memberikan batasan tentang bahasa dari berbagai sisinya. Abdul Khaer dengan mengutip Kridalaksana mengatakan bahwa bahasa adalah suatu system lambang bunyi yang arbriter yang digunakan oleh anggota manusia untuk bekerjasama dengan orang lain, berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri[2]. Definisi ini lebih menekankan pada sosok bahasa itu sendiri. Demikian Abdul Khaer mencoba memberi identifikasi dalam definisinya. Dari definisi ini kemudian diturunkan beberapa batasan yang lain dalam bahasa, yaitu;bahasa sebagai sebuah system dan lambang bunyi, bahasa adalah bunyi yang bermakna, bahasa bersifat arbitrer, konvensional, produktif, unik, universal, dinamis, bervariasi, manusiawi. Dari batasan dan sifat-sifat bahasa tersebut, maka yang disebut orang yang berbahasa adalah yang memenuhi criteria itu. Dalam kajian bahasa Arab, yang disebut berbahasa adalah pengucapan kata-kata yang tersusun secara teratur sesuai posisi kata dan memberikan pengertian kepada orang lain dan diucapkan dalam keadaan sadar[3]. Ini adalah batasan dalam pengertian nahwiyah. Bagi ahli balaghah berbahasa adalah berbicara secara benar, baik pengucapan maupun artikulasinya, simple, padat makna ( qalla wa dalla) dan tepat sasaran sesuai dengan situasi dan kondisi yang kemudian dirumuskan dengan fashahah dan baligh.

Dalam kaitan dengan adanya bahasa, apakah bahasa merupakan satu paket dari penciptaan Tuhan terhadap manusia ataukah berdiri sendiri, perlu kajian lebih jauh. Yang pasti, bahasa ada sejak manusia ada. 1. 2. Budaya ( / culture[4] ) Definisi budaya banyak diartikan sebagai sesuatu yang kompleks yang melingkupi kehidupan manusia sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia[5]. Soerjono Sukanto, dengan mengutip E.B. Taylor, mengungkapkan bahwa kebudayaan adalah ( sesuatu yang, red ) Kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, adat-istiadat dan lain kemampuankemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. [6]Dalam kaitan ini budaya sering berkaitan dengan pencapaian dan penciptaan terhadap sebuah karya, baik berupa adat, kebisaaan, sains, teknologi, seni, agama dan lain sebagainya yang tersimbolkan dalam banyak bentuk. Secara sistematik, unsur-unsur kebudayaan dirumuskan menjadi; system religi dan keagamaan, system organisasi kemasyarakatan, system pengatahuan, bahasa, kesenian, system mata pencaharian, dan system teknologi dan peralatan.[7] Namun secara keseluruhan, budaya adalah produk masyarakat. Bahasa adalah unsure budaya dari tujuh unsure yang dalam sosiologi disebut sebagai universal culture.[8]Apakah bahasa termasuk dalam salah satu hasil karya manusia, di sinilah signifikansi pengkajian kita kali ini. Dalam kajian mengenai bahasa dan budaya ini, perdebatannya sangat panjang bagi para ahlinya, sehingga tampak bahwa antara berbahasa dan berbudaya, jika dilihat posisi mana yang mendominsai, maka akan tampak seperti perdebatan antara ayam dan telur. Kuntjaraningrat, sebagaimana dikutip oleh Abdul Khaer dan Leonia Agustina, menyatakan bahwa kebudayaan memiliki dua ranah yaitu wujud dan isi. Ranah wujud terdiri dari system budaya, system social, dan kebudayaan fisik.[9] 1. III. Antara berbahasa dan berbudaya Bahasa menunjukkan budaya. Begitu tesis yang disampaikan oleh Whorf-Sapir. Tesis itu sebetulnya adalah ungkapan Edward Sapir dalam bukunya Language yang terbit tahun 1921[10]. dia menyatakan bahwa sejarah antara bahasa dan budaya memiliki garis yang parallel. Lebih jauh dikatakan bahwa bahasa menentukan pola pikir seseorang[11]. Dalam kehidupan sehari-hari, antara orang yang terbisaa berbahasa santun, maka orang akan langsung menilai bahwa orang itu berbudi baik. Orang yang berbahasa secara intelek dan teratur, maka orang itu dinilai sebagai orang yang berpendidikan, terpelajar dan berilmu. Begitulah orang menilai orang lain dari cara dia berbahasa. Mustapha Abdallah Bouchouk bahkan mengemukakan bahwa budaya adalah bahasa itu sendiri. Ini berangkat dari asumsi bahwa mempelajari bahasa dengan sendirinya adalah mempelajari budaya di mana bahasa itu digunakan. Mempelajari bahasa Arab misalnga, maka ia akan mempelajari bagaimana norma dan nilai budaya yang dianut oleh orang Arab yang berbeda dengan orang Indonesia; keterbukaan, keterusterangan, lugas tanpa basa-basi.[12] Sementara banyak pakar mengemukakan bahwa bahasa merupakan subordinat dari budaya, di mana bahasa berada di bawah kebudayaan[13]. Dari pendapat ini nampak bahwa bahasa merupakan produk dari kebudayaan. Ini juga akan menimbulkan perdebatan panjang, karena seakan-akan bahasa dipengaruhi oleh budaya yang berkembang. Karena di lain pihak, ada pendapat bahwa antara bahasa dan budaya bersifat koordinatif seperti dikemukakan oleh Sapir dan Worf di atas. Bahasa merupakan produk yang satu paket, di mana adanya manusia sudah satu paket dengan adanya bahasa yang digunakan. Jadi bahasa merupakan perangkat lunak yang

menjadi satu dengan diciptakannya manusia. Sementara banyak ahli ortodoks yang menganggap bahasa hanya salah satu penyangga budaya yang tidak penting.[14] Namun tak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia makin maju sampai sekarang juga tak lepas dari bahasa sebagai alat komunikasi[15]. Komunikasi ini akan mentransformasikan ide, gagasan, dan imajinasi serta refleksi manusia menjadi sesuatu yang berkembang dari masa ke masa menuju arah kesempurnaan. Ini ditandai dengan arah pengembangan teknologi sebagai sarana pembangunan dengan berbasis komunikasi. Komunikasi menjadi symbol kemajuan peradaban saat ini dengan berbagai capaian teknologinya. Ini merambah ke segala lini kehidupan. Bahkan bisnis raksasa menyandarkan kelangsungan usahanya dengan bahasa-bahasa yang harus dikenal oleh korporat untuk, misalnya, promosi dan penguatan basis konsumen.[16] Ini sekaligus menandai bagaimana peran bahasa dalam wilayah ekonomi. Apapun perdebatan yang terjadi menyangkut posisi masing-masing ( bahasa dan budaya ) namun tesis bahwa ada pengaruh yang erat antar berbahasa dan berbudaya sangat relevan untuk dibahas. Zaki Hassamudin menegaskan bahwa untuk melihat gejala-gejala budaya maka bisa dilihat dari beberapa unsure yang membentuk system budaya tersebut, diantaranya adalah bahasa ini[17]. Sebagaimana telah diungkapkan di atas, bagaimana orang intelek berbahasa bisa di bandingkan dengan preman jalanan dalam berbahasa. Begitu pula bagaimana cara seorang politisi dan dai berbahasa, ini sudah menunjukkan adanya kaitan antara bahasa dan budaya. beberapa tesis menyatakan tentang keterkaitan bahasa dan budaya, antara lain: 1. bahwa pertumbuhan sebuah budaya tidak akan sempurna tanpa bahasa sebagai perangkat komunikasi utama dan penjaga budaya itu sendiri. 2. bahwa bahasa merupakan wujud dari kebudayaan itu sendiri 3. dengan demikian, bahasa memainkan peran yang penting dalam pembentukan masyarakat.[18] Bahasa sebagai alat kebudayaan juga banyak dibahas, misalnya oleh Samsuri, yang memetakan penggunaan bahasa sebagai instrument budaya dalam empat bidang yaitu bahasa dan sastra, bahasa dan politik, bahasa dan ilmu pengetahuan, bahasa dan pembangunan.[19] Sementara Levi Strauss, sebagaimana dikutip oleh Darsita, menjelaskan bahwa bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan dan membedakan kebudayaan dalam tiga hal, yaitu: 1. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat dianggap sebagai refleksi dari totalitas kebudayaan masyarakat yang bersangkutan 2. Bahasa adalah bagian dari kebudayaan, atau salah satu unsure dari kebudayaan 3. Bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Kemudian Darsita menjelaskan poin ketiga, bahwa bahasa yang merupakan kondisi bagi kebudayaan menjadi dua hal, yaitu; pertama, bahasa merupakan kondisi kebudayaan dalam arti yang diakronis, di mana bahasa mendahului kebudayaan. Karena melalui bahasalah manusia menjadi makhluk social yang berkebudayaan dan berperadaban. Kedua, bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya adalah material yang sama untuk membangun kebudayaan, dalam arti bahwa bahasa merupakan fondasi bagi terbentuknya berbagai macam struktur yang kompleks yang sejajar dengan unsure budaya yang lain.[20] Dengan demikian menjadi jelas bahwa berbahasa memang menunjukkan bagaimana sebuah komunitas atau bangsa berbudaya. Antara berbahasa dan berbudaya menunjukkan hubungan timbal balik. Untuk mempertahankan budaya maka berbahasa menjadi sebuah kelaziman.

Demikian juga untuk mempertahankan bahasa, keberlangsungan budaya sangat penting walaupun budaya adalah naluri dari kehidupan manusia itu sendiri sebagai makhluk social. Bagaimana dengan bahasa Arab yang digunakan di jazirah Arab sana? Sebagai satu system bahasa, Bahasa Arab juga tidak akan jauh berbeda kalau dikaji dengan menggunakan teori-teori linguistic ini. Bahasa Arab tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan budaya, baik ketika bahasa Arab menyebar pertama kali berbarengan dengan menyebarnya ( kekuasaan ) Islam hingga konteks bahasa Arab saat ini. 1. IV. Bahasa dan Budaya Bangsa Arab Bangsa Arab memiliki sejarah panjang yang banyak dikaji sejarahnya oleh para ahli, baik oleh orang Arab sendiri maupun oleh orang luar Arab ( barat dll). Sejarah awal tentang Arab seperti ditulis olah At Thabari, Ibn Ishaq, Husen al Dzahabi sementara dari luar Arab seperti oleh Montgomery Watt Philip K. Hitti, Bernard Lewis, Karen Amstrong, Ira M Lapidus dll dengan gaya penyampain baik yang provokatif maupun datar. Sementara itu Bahasa Arab juga merupakan kajian yang menarik, di mana Bahasa Arab merupakan salah satu rumpun bahasa Semit yang dominant dan masih bertahan sampai sekarang. Bahasa menjadi kajian setelah bangsa Arab mengenal budaya tulis-menulis dalam berbagai karya. Budaya tulis menulis yang berkembang di Arab dimulai setelah kedatangan Islam. Sebelum kedatangan Islam budaya yang berkembang dalam bidang kebahasaan lebih banyak berupa cerita lisan dan hikayat.[21] Ira M. Lapidus mengemukakan bahwa kultur bahasa Arab merupakan produk dari tiga hal yaitu produk masyarakat perkotaan kelas menengah yang konsen dengan keilmuan Islam, produk loyalitas kesukuan bangsa Arab dan produk penguasa ( istana).[22] Di atas, sudah dijelaskan tentang adanya ragam bahasa dalam bahasa Arab, mulai dengan fusha dan ammiyah, ragam baku dan non baku, dan sebagainya. Pada zaman pra-Islam, bangsa Arab sudah mengalami kemajuan dalam bidang sastra. Ini ditandai dengan adanya festival sastra Ukaz, di mana pemenangnya akan mendapat kehormatan berupa dipamerkannya karya tersebut di Kabah dengan tulisan emas yang kemudian dikenal dengan al-sabah al muallaqat[23]. Tujuh karya ini merupakan karya terbaik dari para penyair Arab dari berbagai kabilah dan suku. Ini berkembang hingga datangnya Islam, di mana bahasa Alquran kemudian menggunakan bahasa baku yang banyak digunakan pada waktu itu, hingga Khalifah Utsman meresmikan bahasa Quraisy sebagai bahasa Alquran. Bangsa Arab menggunakan bahasa untuk mengungkapkan derajat yang tinggi dan luhur dengan kefasihan lidahnya dalam mengungkapkan bahasa. Bahasa arab dipandang memiliki bahasa yang padat, efektif dan singkat yang akhirnya digunakan dalam Alquran sebagai bahasa mushaf resmi dan disepakati sampai sekarang. Di sinilah kemukjizatan dinilai, yaitu dari ungkapan bahasa yang digunakan. Dalam perkembangannya, Bahasa Arab menyebar sampai ke luar jazirah Arab seiring dengan menyebarnya agama Islam. Selain itu, Bahasa Arab menjadi symbol nasionalisme Arab ketika Islam mulai menyebar ke berbagai wilayah. Dari berbagai suku dan kabilah, bahkan bangsa yang berbeda, kemudian disatukan oleh Bahasa Arab. Bahasa Arab dengan demikian menjadi identitas bangsa Arab. Inilah yang kemudian mendorong dirumuskannya bahasa Arab baku yang harus disepakati sebagai lingua franca.[24] Sementara pada zaman keemasan peranan Bahasa Arab dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan begitu penting. Ilmu pengetahuan dari berbagai penjuru dunia diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab, yang pada akhirnya dari Bahasa Arab juga diterjemahkan ke dalam bahasa

bangsa barat[25]. Bahasa Arab pada saat itu mampu mewakili bahasa yang dibutuhkan untuk ilmu pengetahuan dan peradaban yang besar. Ini semakin mengangkat urgensi Bahasa Arab menjadi bahasa ilmiah dan jembatan ilmu pengetahuan, sekaligus membentuk watak kemajuan peradaban Arab dengan bahasanya sendiri. Ini tidak lepas juga dari spirit Islam yang telah ditanamkan oleh Nabi Muhamad SAW. Bernard Lewis menyebut dengan dua buah sumbangan bagi kemajuan peradaban Arab; bahasa dan iman.[26] Namun seiring kemunduran peradaban Arab dengan jatuhnya wilayah wilayah Arab ke bangsa lain, menandai pula kemunduran dalam bidang bahasa. Bahasa Arab yang menjadi tidak memadai lagi untuk mewakili bahasa ilmu pnegetahuan. Setidaknya inilah pendapat Khouri sebagaimana diungkapkan oleh Hazem Zaki Nuseibeh.[27] Dalam sebuah konferensi bahasa di dunia yang dieselnggarakan di Prancis bahkan Bahasa Arab hamper saja dirombak besar-besaran atas usulan beberapa ilmuwan barat, namun akhirnya usul ini tidak bias diterima oleh negara-negara Arab sendiri.[28]

1. V. Bahasa dan budaya dalam pengajaran bahasa Arab Bahasa Arab masuk ke Indonesia seiring dengan masuknya Islam. Ini tidak bisa dipungkiri, karena dominasi keagamaan dalam berbahasa Arab sangat kuat. Pesan -pesan moral keagamaan ( Islam ) tertulis dalam bahasa Arab. Dengan kata lain Bahasa Arab adalah bahasa Islam. Dalam hal pengajaran bahasa secara umum, termasuk bahasa Arab untuk orang non-Arab, mengetahui budaya Arab merupakan hal yang lazim. Karena aspek bahasa bukan hanya makna saja tetapi hal yang melingkupi konteks bahasa itu sendiri.[29] Rusydi Ahmad Thuaimah menyatakan bahwa bahasa adalah budaya. Kaitan ini sangat erat karena lewat bahasalah unsurunsur budaya dapat terhubung dengan jalinan yang erat.[30] Sementara Albert Valdman mengemukakan bahwa untuk menjadi guru bahasa asing, aspek mengenai budaya harus dikuasai juga, selain penguasaan struktur bahasa itu sendiri.[31] Meskipun budaya dalam arti yang minimalis mungkin. Karena kalau harus mengetahui seluk-beluk budaya secara detail justru akan memerlukan waktu yang lama untuk mempelajarinya. Karena lewat bahasa itu sendiri, hakekatnya budaya sduah dipelajari. Bahasa Arab diajarkan di Indoensia lebih dominant karena bahasa Arab merupakan bahasa Alquran dan Hadits. Oleh akrena itu yang nampak dalam pengajaran Bahasa Arab adalah bahwa mempelajarinya sekaligus mempelajari agama Islam. Dengan demikian sebetulnya mempelajari Bahasa Arab adalah mempelajari budaya Islam. Inilah yang mendasari pentingnya mengajarkan Bahasa Arab dalam kaitannya dengan pendidikan agama Islam.[32] Di samping itu, pengajaran Bahasa Arab di Indonesia lebih mengacu kepada bahasa resmi yang dipakai oleh Negara-negara Arab[33]. Bahasa Arab resmi ini sering disebut Bahasa Arab fusha. Bahasa Arab fusha sering dibedakan dengan Bahasa Arab amiyah. Adapun penjelasannya sudah dibahas pada tulisan-tulisan terdahulu. Ada satu usulan menarik dari Muhbib Abdul Wahab, bahwa sekarang di sekolah-sekolah sudah seharusnya diajarkan bahasa amiyah juga kalau bahasa itu adalah alat komunikasi. Ini dengan asumsi bahwa dalam kenyataannya bahasa Arab fusha jarang dipakai kecuali dalam acara-acara resmi atau khotbah Jumat. Hal ini juga didasari kenyataan bahwa saat ini di Arab sendiri ada fenomena pencampuran antara fusha dan amiyahyang beliau sebut fusamiyah.. Usulan ini sebetulnya realistis namun tentu harus dilihat secara jeli karena Bahasa Arab yang diajarkan sekarang di sekolah saja masih banyak persoalan yang belum selesai. Sehingga penambahan beban dengan materi baru justru bisa mengganggu proses yang sedang berjalan. Selain itu, pengajaran bahasa amiyah akan terbawa dengan sendirinya jika memang dibutuhkan

ketika akan menggunakannya di daerah tertentu. Menurut Muhamad Lutfi, di banyak negara berbahasa Arab, bahasa yang diajarkan tetaplah bahasa fusha[34]. Pada sekolah tertentu mungkin bisa, seperti di MAK atau di pesantren-pesantren modern. Tentu akan muncul persoalan baru lagi, karena amiyah mana yang akan dipakai, mengingat ada 24 negara pengguna Bahasa Arab, yang dengan demikian juga ada 24 dialek dan turunannya. Sedangkan Sayuti Nasution dalam Jurnal Afaq Arabiyah menjelaskan spesifikasi ideal seorang guru dari sisi standar budaya, yaitu: 1. Memahami budaya Arab dan Islam, mengingat bahwa mengajarkan bahasa tidak bias dilakukan terpisah dari budaya yang melahirkan bahasa terserbut. 2. Mampu mempelajari budaya Arab baik yang bersifat umum maupun khusus serta mengambil nilai-nilainya. 3. Mampu berkreasi dan membuat kegiatan yang berguna untuk peningkatan pengajaran Bahasa Arab. 4. Dapat menilai dan memahami budaya local, politik dan social di negara tempat dia mengajar/ bekerja. 5. dapat membandingkan antara nilai-nilai budaya Arab dan budaya local 6. Dapat menilai kegiatan yang bernialai budaya yang terjadi pada masyarakat 7. lancer berbahasa local, dan mampu mengadakan study konstrastif dengan Bahasa Arab baik dari sisi ungkapannya maupun dari sisi fonetisnya[35]. 1. VI. Kesimpulan Dengan demikian sangat jelas dari tulisan ini hubungan antara bahasa dan budaya. Dengan melihat bahwa bahasa adalah bagian dari budaya, maka hubungan ini sangat erat. Sehingga bagaimana kita berbahasa juga harus dilihat dalam kerangka bagaimana kita akan mengembangkan budaya kita. Ke arah peradaban yang seperti apa saat ini, maka semua bias terbaca lewat perkembangan bahasa itu sendiri. Bahasa Arab yang berkembang selama ini adalah bahasa Islam, dengan demikian Bahasa Arab mencerminkan budaya Islam. Ini mengingat bahwa kitab suci Islam, Alquran dan Hadits, keduanya berbahasa Arab. Bahasa Arab fusha adalah bahasa resmi yang digunakan dalam berbagai kesempatan. Oleh karena itu Bahasa Arab yang diajarkan di sekolah saat ini adalah Bahasa Arab fusha, namun memang tidak kemudian menutup diri pada perkembangan yang ada. Penyampaian pelajaran bahasa Arab oleh orang Indonesia dalam banyak hal justru lebih baik daripada oleh pengajar asli sebagaimana dikemukakan di atas. Namun tentu harus memperhatikan agar bagaimana pengajaran itu juga menjadi baik dengan pendekatan dan metode yang harus terus di up date. Selain itu, konteks transformasi kebudayaan juga penting untuk diperhatikan dalam pengajaran bahasa ini. Daftar Pustaka Abdul Karim Muhamad al Asad, Al Wast fi Trikh an Nahwi wal arabiy,( Riyadh: Dar al Tsawwaf, 1337 H) Abdul Khaer dan Leonia Agustina, Sosiolinguistik. ( Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004) cet I. Abdul Khaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003). Cet II. Abdurrahman Wahid , Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. (Jakarta: Desantara, 2001) Albert Valdman, Trends in Language Teaching, (USA: Indiana University Press, 1966) Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)

Bernard Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 1988) Edward Sapir, Language, ( Ottawa: Harc curt, Brace and World Inc, 1921) Hajjah Bainar, dkk.. Ilmu Sosial, Budaya dan Kealaman Dasar,( Jenki Satria; Jakrta, 2006) HAR. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia,( Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999) Hazem Zaki Nuseibeh, Gagasan-Gagasan Nasionalisme Arab, Terj. Soemantri Mertodipuro, ( Jakarta: Bhratara, 1969) Mustapha Abdallah Bouchouk, Talim wa taallum al Lughah al Arabiyyah wa Tsaqafatuha, ( Rabat: Maktabah Dar al Aman, 1994) Paul Chauvchard, Bahasa dan Pikiran, (Yogyakarta: Kanisius, 1983). Philip K. Hitti, History Of The Arabs, terj. R. Cecep L. Yasin dan Dedi S. Riyadi. (Jakarta: Penerbit Serambi, 2006 ) cet ke-2 Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Alquran dan Hadits, ( Jakarta: Rajawali Press, 2002), cet ke-2 Rusydi Ahmad Thuaimah, Talim al lughah al Arabiyyah li Ghairi al Nathiqina biha; manahijuhu wa asalibuhu,(Rabat, 1989) Samsuri, Analisa Bahasa; Memahami Bahasa Secara Ilmiah, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1974) Stephen May, Langauge and Minority Rights, ( Longman, Printed in Malaysia, 2001) Soerjono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, ( Jakarta: Rajawali Press, 2002), cet. Ke-34 Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Vol 4 ( PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993) Virginia P Clark, ed, Language; Introductory readings, , ( New York: St. Martins Press, tt) William B. Gudykunst, Stella Ting-Toomey, Elizabeth Chua, Culture and Interpersonal Communication, ( USA: Sage Publications India, 1988) Zaki Hassamudin, al Lughah wa al Tsaqafah, (Kairo: Dar gharib. 2001) Jurnal-Jurnal: 1. 1. Jurnal Afaq Arabiyyah, PBA FITK UIN Jakarta Vol 11 tahun 2007 2. 2. Jurnal Al Turats, Vol. 9, No. 2, Juli 2003 [1] Mahasiswa SPs UIN Jakarta angkatan 2007, guru MTs NU Salam Magelang [2] Abdul Khaer, Linguistik Umum, Rineka Cipta. Jakarta. Cet II. 2003. hlm. 32. dalam keterangan sebelumnya dijelaskan bahwa banyak pakar yang mengedepankan fungsi dalam mendefinisikan bahasa. [3] Kata sadar digunakan untuk membatasi bagi perkataan orang gila dan orang yang mengigau. [4] Dalam beberapa literature digunakan istilah ini; dalam bahasa Inggris adalah culture, yang berasal dari bahasa Latin colere yang berarti mengolah sawah. Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, ( Jakarta: Rajawali Press, 2002), cet. Ke-34, hlm. 171. Sedangkan dalam bahasa Arab digunakan istilah al Tsaqafah ( ) .lihat Zaki Hassamudin, al Lughah wa al Tsaqafah, ( Kairo: Dar gharib, 2001) hal 51. [5] Dalam buku-buku yang membahas kebudayaan, definisi kebudayaan sangat banyak sekali. Lebih dari 100 devinisi. Namun secara garis besar adalah tiga ranah tersebut. Lihat misalnya Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Alquran dan Hadits, ( Jakarta: Rajawali Press, 2002), cet ke-2. h.25-35. HAR. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia,( Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), h. 38-40 [6] Soerjono Soekanto, Sosiologihlm. 172

[7] Hajjah Bainar, dkk.. Ilmu Sosial, Budaya dan Kealaman Dasar,( Jakarta: Jenki Satria, 2006). H. 24-25 [8] Soerjono Soekanto, Sosiologi..hlm 176. unsur-unsur itu adalah (1) Peralatan dan perlengkapan hidup manusia, (2) Mata pendaharian dan system ekonomi, (3) Sistem kemasyarakatan, (4) Bahasa, ( 5) Kesenian, (6) Sistem pengetahuan, (7) Religi. [9] Abdul Khaer dan Leonia Agustina, Sosiolinguistik. ( Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004) cetI. h. 164-165 [10] Edward Sapir, Language, ( Ottawa: Harc curt, Brace and World Inc, 1921), hlm 219. pembahasan ini ada dalam judul Language, Race and Culture. [11] Peter Wolfson dalam Language; Introductory readings, Virginia P Clark, ed, ( New York: St. Martins Press, tt), hlm.3 [12] Mustapha Abdallah Bouchouk, Talim wa taallum al Lughah al Arabiyyah wa Tsaqafatuha, ( Rabat: Maktabah Dar al Aman, 1994), h. 60. [13] Di sini juga muncul pertanyaan lagi, kalau bahasa dan budaya bersifat sub ordinatif, lantas mana yang berada di atas ( main system ) dan mana yang berada di bawah ( sub system ). Para ahli menyatakan bahwa bahasalah yang menjadi sub sistemnya. Lihat Abdul Khaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik, h. 165-6. [14] Stephen May, Langauge and Minority Rights, ( Longman, Printed in Malaysia, 2001). H. 8 [15] Paul Chauvchard dalam pengantarnya, Bahasa dan Pikiran, (Jogjakarta : Kanisius, 1983). [16] Perusahaan berlomba membuat ikon-ikon untuk produknya melalui bahasa yang terusmenerus ditanamkan, baik dalam iklan maupun merk produknya. [17] Zaki Hassamudin, al Lughah.h, 57 [18] Zaki Hassamudin, al Lughah.h. 58-59. selain bahasa sebagai unsure utama kebudayaan, masih ada unsure penting lainnya yang merupakan penyimbulan dari beberapa budaya seperti ekspresi seni, agama dll. Lihat Abdurrahman Wahid ,Agama dan Tantangan Kebudayaan. Dalam Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. (Desantara, Jakarta, 2001). h.79-80. [19] Istilah pembangunan sendiri sangat akrab pada masa orde baru sebagaimana masa buku ini disusun. Dengan demikian ini masuk wilayah politik juga. Lihat Samsuri, Analisa Bahasa; Memahami Bahasa Secara Ilmiah, ( Penerbit Erlangga, Jakarta, 1974), h. 24-35. [20] Darsita, Hubungan antara Bahasa dan Kebudayaan menurut Cara Pandang Strukturalisme Levi Strauss,Jurnal Al Turats, Vol. 9, No. 2, Juli 2003. hlm. 135 [21] Abdul Karim Muhamad al Asad, Al Wast fi Trikh an Nahwi wal arabiy,( Riyadh: Dar al Tsawwaf, 1337 H), hlm. 17 [22] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, terj: Ghufron M. Masadi ( Jakarta: Rajawali Press, 1999), h. 138-139. [23] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, terj. R. Cecep L. Yasin dan Dedi S. Riyadi. ( Penerbit Serambi, Jakarta, 2006 ) cet ke-2. h. 112 [24] Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Vol 4 ( PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993) h. 24 [25] Dalam sebuah kesempatan, Sayuti Nasution menyebut proses ini dengan re-eksport. [26] Bernard Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, (Pedoman Ilmu jaya, Jakarta, 1988), h. 136. [27] Hazem Zaki Nuseibeh, Gagasan-Gagasan Nasionalisme Arab, Terj. Soemantri Mertodipuro, ( Jakarta: Bhratara, 1969)hlm 63-65. [28] Hazem Zaki Nuzeibeh, Gagasan-Gagasan Nasionalisme Arab, hlm. 67-68

[29] Rusydi Ahmad Thuaimah, Talim al lughah al Arabiyyah li Ghairi al Nathiqina biha; manahijuhu wa asalibuhu,Rabat, 1989, h. 18 [30] R. A. thuaiumah, Talim.h.28 [31] Albert Valdman, Trends in Language Teaching, (Indiana University Press, 1966, US), h. ix [32] Dalam hal ini ada hadits terkenal yang menyatakan tentang urgensi mempelajari Bahasa Arab karena tiga hal; (1) karena Nabi Muhamad dilahirkan di Arab, (2) karena Bahasa Alquran adalah Bahasa Arab, (3) dan Bahasa ahli surga adalah Bahasa Arab. [33] Negara-negara yang menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi. Menurut Azhar Arsyad ada sekitar 24 negara, meliputi Asia dan Afrika. [34] Disampaikan pada saat pertemuan kuliah pada tanggal 11 Juni 2008. [35] A. Sayuti Nasution, Pengajaran Bahasa Asing; Antara Guru Dalam Negeri dan Guru Asing, Jurnal Afaq Arabiyyah, Vol. 1, No. 1, Juni 2006. hlm. 20. Tags: Berbahasa, berbudaya, Linguistik

Bahasa , budaya dan masyarakat era modern Mantan presiden ke-3 RI, Bapak BJ Habibie pernah mengatakan bahwa teknologi dan kebudayaan itu sejalan. Ini artinya semakin berkembang teknologi suatu bangsa maka otomatis semakin berkembang pula kebudayaan. Pernyataan ini bukan sebuah kutipan tidak beralasan, tetapi sangat beralasan. Ini dimaklumi bahwa teknologi itu adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri. Sejarah mencatat bahwa bangsa pertama yang memiliki kebudayaan yang tinggi adalah bangsa Mesir tepatnya bangsa yang mendiami Mesopotamia. Pada saat itu sesuai dengan taraf pemikirannya bangsa ini telah mampu menciptakan kebudayaan yang amat mencengangkan. Mereka mampu membuat rumah dan bangunan sesuai dengan iklim dan keadaan masyarakat pada saat itu. Mereka mampu membuat canal (saluran air) guna menghindari hujan. Kebudayaan menurut Edward B Taylor adalah mencakup hal yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan, kebiasaan, termasuk juga di dalamnya hal-hal yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi, Sosiolog kondang Indonesia berpendapat bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, karsa dan cipta manusia. Dari definisi diatas dapat disederhanakan bahwa kebudayaan itu tercipta oleh masyarakat sebagai pelaku kebudayaan itu sendiri. Masing-masing masyarakat akan mengahasilkan cipta, karsa dan karya mereka masing-masing. Masyarakat yang tinggal di Papua sana akan menghasilkan kebudayaan yang sesuai dengan masyarakat Papua, masyarakat Bali akan menghasilkan kebudayaan yang sesuai pula dengan kehidupan mereka begitu juga sebaliknya masyarakat Minangkabau tentunya akan menghasilkan kebudayaan yang sesuai dengan masyarakat Minangkabau. Lebih terperinci, Clyde Kluckhon dalam buku Sosiologi karya Kun Maryati dan Juju Suryati (2008:111) menyebutkan bahwa ada 7 unsur kebudayaan yakni: peralatan hidup manusia, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, pengetahuan dan agama. Menarik untuk dicermati dari salah satu poin kebudayaan adalah tentang bahasa dimana bahasa memegang peranan yang central dalam kehidupan semua lapisan masyarakat. Faktanya bahasa selalu berkembang sesuai dengan perkembangan kebudayaan. Bahasa menjadi identitas dari mana sesorang itu berasal. Bahasa menjadi jati diri dari suatu bangsa. Bahasa menjadi pembeda antara suku bangsa satu dengan yang lain. Ditengah masyarakat bahasa dapat dipahami alat komunikasi antara manusia satu dengan manusia yang lainnya.

Bahasa dalam kajian lebih lanjut menentukan starata sosial, tingkat ekonomi, pendidikan dan peran sesorang di tengah masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat jawa mereka mengenal tingkatan bahasa. Kalangan kelas atas yang biasa disebut dengan bangsawan menggunakan bahasa karma yang pastinya tidak bisa diucapkan sembarangan oleh orang yang bukan bangsawan. Sebaliknya rakyat jelata melakukan komunikasi sesama komunitas rakyat jelata menggunakan bahasa kelas rendah yang biasa mereka sebut ngoko. Ini menandakan bahwa kelas atau kedudukan sesorang dalam masyarakat akan menentukan jenis bahasa apa yang mereka pakai. Sangat aneh rasanya jika golongan bangswan menggunakan bahasa yang dipakai rakyat jelata. Hal ini tentu menimbulkan asumsi bahwa bahasa yang dipakai oleh kaum bangsawana atau kerajaan merupakan bahasa yang halus, sempurna dan shahih. Dalam hal ekonomi, atau starata sesorang berdasarkan hak dan kepemilikan yang dipunyai bahasa juga mempengaruhi penuturnya. Sebagai contoh kecil, jika ada anak kecil memanggil bapaknya dengan panggilan ayah ini ada kecenderungan meskipun tidak selalu bahwa ekonominya lumayan baik. Jika sang anak memanggil dengan panggilan yang update seperti papi, daddy, papa sudah barang tentu mereka berasal dari golongan menegah keatas. Rasanya terdengar lucu jika sesorang yang tinggal di kampung kecil memanggil bapknya dengan sebutan daddy, atau papi. Sebaliknya, sangat cenderung bahwa untuk ekonomi yang berada level belum sejahtera panggilan yang paling akrab kita dengar adalah apak, amak, abak, mande, atau gaek. Hal ini menegaskan bahwa penutur bahasa sangat dipengaruhi oleh budaya dimana ia berada. Tidak hanya di negara kita, di negara Inggris juga terdapat korelasi antara tingkat ekonomi dengan bahasa yang dipakai. C. R. J Cross tahun 1956 dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat perbedaan tata bahasa dan pilihan kata yang dipakai antara masyarakat lapisan atas dengan bawah. Dalam hal pendidikan sangat terlihat jelas bahwa bahasa yang dituturkan oleh seseorang sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Semakin tinggi sekolah seseorang maka semakin halus dan berbudi pula bahasa yang dituturkan. Tidak sembarangan dalam pengucapan, santun, terstruktur adalah merupakan ciri bahasa yang disampaikan oleh golongan yang terpelajar. Hal ini tentunya ditentukan oleh budaya dimana mereka berada, lingkungan merekalah yang menuntut untuk hal ini. Seorang guru yang mengajar dikelas tentunya menggunakan bahasa yang mudah dipahami, santun dan berwibawa di depan anak muridnya. Dilain sisi coba perhatikan bahasa yang diucapkan oleh orang-orang yang ada diterminal, tentunya sangat kontras dengan orang-orang yang berada disekolahan. Keras, tak pandang bulu dan kasar adalah tipikal bahasa yang terajadi dilingkungan terminal. Hal ini sekali lagi disebabkan karena oleh lingkungan dimana mereka berada mempengaruhinya. Memang sudah menjadi budaya dan tradisi mereka untuk menuturkan kata-kata dengan aksen tinggi dan keras. Hari ini seiring dengan kemajuan teknologi, tentunya juga berdampak terhadap kebudayaan umat manusia. Contoh sederhana dapat diambil dari kehidupan sehari-hari. Sebelum orang mengenal handphone, untuk menyampaikan informasi penting masyarakat menggunakan jasa pos surat. Bahasa yang digunakan dalam surat penuh kesantunan, kehati-hatian dan keindahan makna. Budaya suarat menyurat telah mengantarkan pelaku budaya untuk berbahasa dengan santun. Untuk membuat sebuah surat membutuhkan konsentrasi dan pilihan kata yang pas untuk siapa surat ditujukan. Seiring dengan perkembanganya, peran surat menyurat digantikan oleh telepon seluler salah satunya handphone. Handphone menuntut pengguna bahasa menggunakan bahasa yang serba instant dalam hal mengirim informasi atau pesan. Budaya kesantunan sudah mulai diabaikan, apalagi seni kiendahan berbahasa.

Lihat saja banyak dari generasi muda kita yang mengirim pesan singkat, saking singkatnya terkadang tidak dapat dibaca dan menimbulkan penafsiran yang keliru dari penerima sms. Bukan hanya itu, sulit dibedakan antara kalimat perintah dan larangan dalam pesan singkat tersebut. Maka dengan sendirinya bermunculanlah istilah per-sms-an yang terkadang bingung untuk dipahami. Seperti gpl (gak pakai lama, istilah yang digunakan untuk meminta penerima sms untuk membalas secepatnya) btw (by the way (English): artinya ngomong-ngomong), a s a p (as soon as possilbe/secepat mungkin) bls (balas), kepo (ingin tahu apa saja) dan banyak istilah lain lagi yang tidak penulis uraikan. Contoh lain adalah penggunaan bahasa gaul yang berkembang pesat sejalan dengan arus kebaratbaratan dan kekorea-korean yang lagi booming. Bahasa kita menjadi super-sub di negara kita sendiri. Agaknya terlalu berlebihan, akan tetapi itulah kenyataan yang ada. Anak-anak muda lebih bangga menggunakan istilah-istilah asing dalam percakapannya sehari-hari. Kita memaklumi jika mereka berada dalam komunitas kampus, yang mana para intelek berkumpul mereka menggunakan istilah asing. Akan tetapi terkadang, bicara ditengah masyarakat yang notabene-nya sebagian mereka berpendidikan rendah menggunakan istilah asing. Pejabat lebih bangga ketika berpidato menyelipkan istilah-istilah asing padahal yang artinya belum dia ketahui atau bahkan tidak tahu sama sekali. Orang lebih bangga mengucapkanbye ketika akan berpisah ketimbang sampai jumpa. Anak muda lebih senagn mengucapkan kata care daripada kata peduli dan perhatian. Pejabat lebih suka mengucapkan kata leader daripada kata pemimpin. Pegawai kelurahan/Nagari sudah mulai gemar mengucapkan meeting daripada kata rapat. Bahasa bangsa kita sudah mulai tergerus oleh pengearuh hegemoni bahasa-bahasa luar. Dengan sendirinya budaya yang ada mulai berangsur-angsur berganti arah. Orang tidak lagi merasa bangga menggunakan bahasa daerahnya sendiri yang merupakan warisan leluhurnya. Padahal bahasa mencitrakan siapa kita sebenarnya, dari suku mana kita dan dimana kita berada. Teknologi telah mendikte penutur bahasa untuk mengubah pola berbahasa secara perlahan tapi pasti. Bahasa dan budaya adalah dua hal yang saling mempengaruhi, dimana bahasa adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri. Lantas apakah kita akan meyalahkan budaya? Karena budaya telah mengantarkan masyarakat tidak lagi merasa bangga dengan bahasanya sendiri?. Tentunya secara sepihak kita tidak bisa menyalahkan budaya itu sendiri seabagi dalang mulai merosotnya rasa mencintai dan menghargai bahasa sendiri. Budaya lahir karena adanya cipta, karya dan karsa manusia. Ini jelas sudah bahwa masyarakat yang sebagai pemakai bahasa dan pencipta kebudayaan itu sendiri yang bertanggungjawab dalam hal ini. Kita tentunya tidak bisa sendirian dalam upaya melestarikan budaya dan bahasa kita. Dibutuhkan kerja sama semua lini yang dimulai dari lingkungan terkecil sampai ruang lingkup yang besar yakni negara. Pakailah sitilah-istilah asing sesuai dengan situasi dan kondisi dimana kita berada. Banggalah menggunakan panggilan :mande, apak, uwan, uda, amay, pak osu, oncu, pak angah, etek, denai, aden, ang, mas, buk lek, pak lek, opung, ucok, daeng, pak de, mbah, mamang dll kepada kerabat dan keluarga. Karena itu adalah warisan budaya leluhur kita. Kita patut mencontoh kepada provinsi Riau, pada PON XIII mereka memakai tulisan Arab melayu sebagai penyanding bahasa Indonesia ataupun bahasa asing. Kota lain seperti Yogyakarta adalah juga menjadi contoh bagi kita dalam hal pelestarian bahasa daerah, mereka masih menyandingkan tulisan palawa setelah tulisan bahasa Indonesia pada plang nama jalan. Lebih jauh, negara Jepang sangat mencintai bahasanya, mereka memakai bahasa Jepang disemua hasil produksi walaupun untuk dikirim keluar negeri. Tak ada salahnya di papan plang nama jalan, kantor,

nama nama tempat umum dipakai bahasa lokal setelah bahasa indonesia. Mencintai bahasa berarti mencintai budaya dan siapa kita terefleksi dari apa yang kita ucapkan.

UJIAN TENGAH SEMESTER Mata kuliah : Pengembangan Keilmuan Sosiolinguistik Dosen : Dr. Aceng Hasani, M.Pd. Hari/tanggal : Kamis, 19 April 2012 Nama : Silvi Restu Suseno NIM : 2322110019 Kelas/semester : PBI/III JAWABAN: 1. Faktor-faktor penyebab ragam bahasa adalah sebagai berikut: a. Perbedaan kelas social Perbedaan kelas sosial, maksudnya perbedaan antara cara berbicara dilihat dari keturunan/kebangsawanan, pendidikan, dan pekerjaan/profesi seseorang. b. Perbedaan jenis kelamin Perbedaan jenis kelamin, maksudnya perbedaan antara cara berbicara laki-laki dan perempuan itu berbeda. Selain itu pun, bahasa kaum Transgender dan Homo/Gay pun berbeda. c. Perbedaan usia penutur Perbedaan ini berdasarkan cara berbicara pada tingkatan usia yang berbeda. d. Perbedaan budaya Perbedaan budaya di setiap daerah berbeda-beda sehingga timbulah ragam bahasa yang bervariasi. 2. Faktor-faktor penyebab ragam bahasa dengan laras dan variasi bahasa pada dasarnya sama, faktor-faktor tersebut antara lain adalah perbedaan kelas sosial, jenis kelamin, usia penutur, dan budaya. Karena perbedaan-perbedaan tersebut timbulah variasi bahasa. Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, sedangkan laras bahasa adalah kesesuaian antara bahasa dan pemakaiannya. Jadi, dapat dikatakan faktor-faktor penyebab ragam, laras, dan variasi bahasa itu sama saja. 3. Pengaruh kelas sosial, jenis kelamin, usia penutur, dan etnis terhadap penggunaan bahasa adalah adanya atau lahirnya variasi bahasa karena masyarakat itu heterogen, maksudnya masyarakat itu terdiri dari berbagai kelas sosial, profesi, usia dan jenis kelaminnya serta berbeda pula kebudayaan yang ada di daerah masing-masing. Untuk berbahasa atau berbicara dengan orang yang kelas sosialnya tinggi akan berbeda dengan orang yang kelas sosialnya sedang dan rendah, kelas sosial di sini maksudnya dilihat dari keturunan, pendidikan, dan pekerjaan. Akan berbeda pula saat kita berbincang dengan orang yang lebih tua dari kita dan orang yang seusia bahkan dengan yang lebih muda pun pasti akan menggunakan bahasa yang berbeda. Saat berbicara dengan lawan jenis pun akan berbeda saat kita berbicara dengan sesame jenis. Sehingga dapat diambil simpulan bahwa dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut lahirlah variasi atau ragam bahasa. 4. Masyarakat anekabahasa dianggap mengganggu suatu bangsa, karena ada yang berpendapat bahwa semua negara di dunia, apabila memiliki banyak bahasa maka negara tersebut berpotensi sebagai pemicu masalah. Menurut Sumarsono (2007), jelas sekali negara yang anekabahasa itu mempunyai masalah lebih banyak dibandingkan dengan negara ekabahasa. Pada tataran praktis, kesulitan komunikasi dalam suatu negara dapat menjadi rintangan bagi kehidupan ekonomi dan

industri serta gangguan sosial. Yang lebih serius lagi keanekabahasaan itu bekerja melawan dengan arah nasionalisme. Berdasarkan kenyataan bahwa bangsa-bangsa ekabahasa tampak lebih stabil daripada negara anekabahasa. Jadi, negara yang anekabahasa akan mengalami kesulitan berkomunikasi karena adanya ketidakpahaman bahasa lain yang tidak dikuasainya, sehingga menimbulkan kesalahpahaman atau ambiguitas yang akhirnya menimbulkan masalah. 5. Hubungan antara bahasa dan kebudayaan, menurut Koentjaraningrat (1992) bahwa bahasa bagian dari kebudayaan, jadi hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan subordinatif, di mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Masinambouw (1985) menyebutkan bahwa bahasa (istilah beliau kebahasaan) dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu. Dengan kata lain, hubungan yang erat itu berlaku sebagai: kebudayaan merupakan sistem yang mengatur interaksi manusia, sedangkan kebahasaan merupakan sistem yang berfungsi sebagai sarana keberlangsungan sarana itu. Menurut Silzer (1990), menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat, bagai dua anak kembar siam atau sekeping uang yang pada satu sisi berupa sistem bahasa dan pada sistem yang lain berupa sistem budaya, maka apa yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam bahasa atau juga sebaliknya. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan memiliki keterkaitan dalam hal berinteraksi di masyarakat. Bahasa adalah bagian dari kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan adanya bahasa kita dapat berbudaya, karena bahasa adalah media atau alat penyampaian yang tepat. Hubungan bahasa dengan umur, jenis kelamin, dan status sosial Jika bahasa dikaitkan dengan umur, jenis kelamin, dan status sosial, maka itu tidak akan terlepas dari kajian ilmu sosial (sosiologi) dan ilmu bahasa sendiri (linguistik), tiga hal diatas secara langsung akan menggolongkan masyarakat menjadi berbagai kelompok. Disiplin ilmu yang mengkaji hubungan antara bahasa dengan masyarakat dinamakan kajian sosiolinguistik, yaitu gabungan dari disiplin sosiologi dan linguistik. Berikut ini akan diuraikan secara rinci antara hubungan bahasa dengan umur, jenis kelamin, dan status sosial dalam kajian sosiolinguistk. a. Hubungan bahasa dengan umur Umur secara langsung membagi masyarakat menjadi beberapa golongan usia, yaitu anakanak, remaja, dan dewasa. Batasan antar golongan usia di sini tidak dapat ditentukan secara pasti. Jika membicarakan hubungan antara bahasa dengan umur atau usia pengguna bahasa itu sendiri, berarti secara langsung mengkaitkan hal di atas dengan dialek sosial (sosiolek), yakni variasi bahasa yang berkaitan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Menurut Chaer dan Agustina (2004), berdasarkan usia, dapat dilihat perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh anak-anak, para remaja, orang dewasa, dan orang yang tergolong lansia(=lanjut uisa). Namun demikian, variasi tutur tersebut sifatya temporer karena pengguna ragam tutur tersebut juga mengalami perubahan usia, seiring dengan perubahan usia tersebut maka ragam tutur yang digunakan seseorang akan berubah, sebagai contohnya ketika seorang anak menginjak usia remaja, maka anak tersebut meninggalkan ragam tutur anak-anaknya yang terkesan sederhana dan beralih ke ragam tutur remaja yang lebih unik dan bervariasi. Labov dalam Pateda (1990)

mengatakan, makin tinggi umur seseorang, maka makin banyak kata yang dikuasainya, begitu juga pemahamanya dalam struktur bahasanya. Anak-anak dalam menggunakan bahasanya menggunakan ragam tutur yang berbeda dengan ragam tutur remaja maupun dewasa. Ragam tutur ini bercirikan adanya pengurangan (reduksi) pada kata-kata penghubung, kata sambung, kata depan, partikel, dan sebagainya. Seperti disebutkan di atas, ragam tutur remaja lebih tekesan unik dan bervariasi. Keunikan tersebut disebabkan oleh kecenderungan para remaja yang suka membentuk kelompok-kelompok yang bersifat eksklusif yang membedakan dengan kelompok lain sehingga menghasilkan bahasa-bahasa yang terkesan rahasia (slang) yang hanya dimengerti oleh anggota kelompok tersebut. Adapun ragam orang dewasa dalam masyarakat dicirikan dengan keteraturan atau kesesuaian dengan kaidah kebahasaan yang berlaku dalam tiap-tiap bahasa tersebut. b. Hubungan bahasa dengan jenis kelamin Di dalam masyarakat, ada dua jenis kelamin yang diakui yaitu laki-laki dan permpuan. Dalam kaitanya dengan penggunaan bahasa, menurut ilmu sosiolinguistik, dapat dilihat adanya perbedaan ragam tutur yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan. Untuk mempermudah pemahaman, selanjutnya pria akan disingkat menjadiP dan wanita akan disingkat menjadi W. Sumarsono (2008) menyatakan ada beberapa faktor yang berhubungan dengan perbedaan bahasa antara laki-laki dan perempuan, diantaranya adalah faktor suara dan intonasi. Sudah diketahui bersama bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki jenis suara yang berbeda, jenis suara wanita pada umumnya adalah alto dan sopran, sedangkan jenis suara pria adalah tenor dan bas. Hal tersebut tentu saja berkaitan dengan perbedaan organ-organ tubuh penghasil suara antara laki-laki dan perempuan. Menurut Wardhaugh (1988), terdapat perbedaan berbahasa antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan itu meliputi beberapa tataran kebahasaan dengan beberapa contoh kasus yang ditemukan dalam bahasa tersebut: (a) Perbedaan fonologi. Ditemukan perbedaan fonologi antara tuturan bahasa laki-laki dan perempuan. Sebagaimana perbedaan variasi yang ditemukan di dalam perbedaan dialek-dialek yang ada di Inggris. Seperti bahasa Siberian Chukchi, pada L (dan tidak pada P) kerap menghapus salah satu fonem /n/ dan /t/ ketika keduanya bertemu di antara dua vokal dalam satu kata. Seperti, P menuturkan nitvaqenaat sedangkan L menuturkan nitvaqaat; (b) Perbedaan pada tataran morfologi dan leksikon. Dalam tataran ini Wardhaugh mengutip contoh yang dikemukakan oleh Lakoff yang menyatakan bahwa pada bahasa Inggris wanita sering menggunakan kosakata warna seperti mauve, beige,aquamarine, lavender, dan magenta; sedangkan laki-laki tidak. Dan bahasa Inggris pula memiliki kosakata yang di dasarkan pada perbedaan gender/jenis kelamin, sepertiactor actress, waiter waitress, master mistress, dll. Dalam beberapa bahasa, terdapat juga beberapa contoh perbedaan penggunaan kosakata yang digunakan oleh P dan L meskipun ini tidak secara keseluruhan. Dalam bahasa Jepang, terdapat beberapa contoh yang jelas. Perempuan Laki-laki Mizu air Ohiya Hara perut Onaka Umai lezat Oisii Kuu makan Taberu Tabel Holmes (1992:165)

Beberapa tanda kebahasaan berdasarkan jenis kelamin pengguna tuturan terdapat dalam pengucapanya. Dalam bahasa Jepang, ada sebuah kata atashi yang berarti saya hanya digunakan oleh perempuan, dan boku yang hanya digunakan oleh laki-laki, akan tetapi terdapat juga kata watakushi yang bisa digunakan oleh keduanya baik penutur laki-laki maupun perempuan (Holmes, 1992:165-166). c. Hubungan bahasa dengan status sosial Sebelum membicarakan hubungan bahasa dengan status sosial, terlebih dahulu akan dibahas adanya tingkat sosial dalam masyarakat. Chaer dan Agustina (2004) menjelaskan bahwa tingkat sosial di dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi:pertama, dari segi kebangsawanan; kalau ada, kedua, dari segi kedudukan sosial yang ditandai dengan tingkat pendidikan dan keadaan perokonomian. Biasanya yang memiliki pendidikan lebih baik memungkinkan untuk memperoleh taraf perokonomian yang lebih baik pula. Tetapi ini tidak mutlak. Bisa saja taraf pendidikanya lebih baik, namun, taraf perekonomianya kurang baik. Sebaliknya, yang memiliki taraf pendidikan kurang, tetapi memiliki taraf perekonomian yang baik. Dalam bahasa Jawa, hubungan antara variasi bahasa yang penggunaanya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial ini dikenal dengan istilah undak usuk. Uhlenceck (1970), seorang pakar bahasa Jawa, membagi tingkat variasi menjadi tiga, yaitu krama,madya, dan ngoko. Lalu, masing-masing diperinci lagi menjadi muda krama, kramantara, dan wreda krama madyangoko, madyantara, dan madya krama;ngoko sopan dan ngoko andhap. Misalnya jika seseorang yang status sosialnya lebih rendah berbicara kepada orang yang mempunyai status sosial yang lebih tinggi atau sebaliknya, maka masing-masing menggunakan variasi bahasa Jawa yang berlainan. Pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama; dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah, yaitu ngoko. Seperti Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam bahasa Jawa dialek Yogya Solo dan bahasa Jawa dialek Surabaya, sebagaimana tabel berikut (Sumarsono, 2008:43-48). Bahasa Indonesia Yogya-Solo Surabaya Krama Ngoko Krama Ngoko 1 2 3 4 5 saya kula aku kula Aku kamu sampeyan kowe sampeyan Kon tidak mboten ora mboten gak; dak sudah sampun wis sampun Wis Perbedaan tingkat bahasa seperti ini juga dapat ditemukan di dalam beberapa bahasa di dunia. Sekilas tentang Ragam Bahasa A. Pendahuluan Secara umum sosiolinguistik membahas hubungan bahasa dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat. Hal ini mengaitkan fungsi bahasa secara umum yaitu sebagai alat komunikasi. Dalam sosiolingistik dikaji tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi variasi bahasa, dan ragam pengunaan bahasa. Identitas sosial dari penutur, lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi serta variasi dan ragam linguistik yang digunakan merupakan sebuah dimensi yang saling mempengaruhi dalam kajian sosiolinguistik. Ditegaskan oleh Platt dalam (Siregar dkk 1998:54) bahwa dimensi identitas sosial merupakan faktor yang mempengaruhi penggunaan

bahasa di dalam masyarakat yang multilingual, dimensi ini mencakup kesukaran, umur, jenis kelamin, tingkat dan sarana pendidikan dan latar sosial ekonomi. Ada tujuh dimensi yang merupakan penelitian sosiolinguistik yaitu: (1) identitas sosial dari penutur, (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialekdialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik. (Chaer, 2004:5). Identitas sosial dari penutur dapat diketahui dari pertanyaan apa dan siapa penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya dengan lawan tuturnya. Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa ruang keluarga di dalam sebuah rumah tangga, di acara pengajian, di perkuliahan, atau di pasar. Identitas sosial, dan lingkungan sosial terjadinya peristiwa tutur sangatlah heterogen, hal ini mempengaruhi variasi dan ragam bahasa yang digunakan. Ketepatan dan kesesuaian pilihan variasi dan ragam bahasa berpengaruh terhadap penilaian sosial penutur dan implikasinya akan bentuk-bentuk ujaran. Disinilah tampak bahwa alat komunikasi manusia yang disebut bahasa itu, menjadi sangat beragam yang memiliki fungsi sosialnya masingmasing. B. Bahasa dan Fungsinya Banyak ilmuwan berbicara dan mendefinisikan bahasa. Ini bisa dimengerti karena sejak jaman Yunani Latin, dengan tokoh terkenal Aristoteles, orang sudah membicarakannya. Tetapi lebih banyak lagi orang tidak memperhatikan apa bahasa itu, karena bahasa sudah padu dengan kita, seperti halnya kita juga tak pernah memperhatikan nafas kita sendiri. Pandangan muncul dari linguistik struktural dengan tokoh Bloomfield bahwa bahasa adalah sistem lambang berupa bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang dipakai oleh anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi. Karena merupakan suatu sistem, bahasa itu mempunyai aturan-aturan yang saling bergantung dan mengandung struktur unsur-unsur yang bisa dianalisis secara terpisah-pisah. Orang berbahasa mengeluarkan bunyi-bunyi yang berurutan membentuk struktur tertentu. Bunyi-bunyi tiu merupakan lambang, yaitu yang melambangkanmakna yang tersembunyi dibalik bunyi itu. Pengertian sederetan bunyi itu melambangkan suatu makna bergantung pada kesepakatan atau konvensi anggota masyarakat pemakainya. Kesepakatan dan konfensi inilah yang menyebabkan bahasa mememiliki beragam fungsi di samping fungsi utamanya sebagai alat komunikasi Bahasa sebagai alat komunikasi dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai bahasanya. Bahasa juga berfungsi sebagai perwujudan tingkah laku sosial individu (social behavior) dalam masyarakat. Bahasa sebagai milik masyarakat tersimpan dalam diri masingmasing individu. Setiap individu dapat bertingkah laku dalam wujud bahasa. Dengan bahasa setiap individu dapat mengekspresikan diri dengan individu lain dalam masyarakat. Baik disadari maupun tidak disadari, tingkah laku bahasa individu ini dapat berpengaruh terhadap anggota masyarakat bahasa itu sendiri maupun bahasa lain. Bahasa memiliki fungsi lain yaitu bahasa dianggap sebagai identitas penutur, baik secara individual maupun secara kelompok. Anda boleh saja menyebut diri anda dengan mengatakan ,

Saya orang Buton atau Saya orang Jawa, tetapi kalau anda tidak bisa berbahasa Buton atau Jawa, pengakuan anda masih diragukan. Pemilihan penggunaan ragam daerah atau yang biasa disebut dialek dari suatu bahasa yang sama yang digunakan suatu kelompok masyarakat, juga menjadi identitas khas penutur mengacu pada suatu daerah asal. Misalnya, dalam penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa lingua franca bila kita mendengar ujaran-ujaran kalimat bahasa Indonesia yang mendapat bentuk penegasan mi, di, ki, kita dapat segera menebak bahwa penutur berasal dari Kendari atau Makasar, atau bila kita mendengar tuturan bahasa Indonesia yang di dalamnya terdapat bentukan katong, torang, ngana, referensi kita segera mengacu bahwa si penutur dari Manado atau memiliki keterkaitan identitas dengan tempat itu. Penggunaan bahasa slank dengan jargon-jargon yang hanya dimengerti anggota kelompok juga menjadi identitas penutur. Penggunaan ragam-ragam bahasa yang lain yang digunakan penutur juga dapat memperlihatkan identitas tingkat sosial, pendidikan, atau profesi kesehariannya. Bahasa mengemban pula fungsi sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tentu bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat. Bahasa sebagai hasil budaya, juga mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. C. Ragam Bahasa Bahasa memungkinkan manusia membentuk kelompok sosial, sebagai pemenuhan kebutuhannya untuk hidup bersama. Adanya kelompok-kelompok sosial tersebut menyebabkan bahasa yang dipergunakan pun beragam. Keragaman bahasa ini timbul sebagai akibat dari kebutuhan penutur yang memilih bahasa yang digunakan agar sesuai dengan situasi konteks sosialnya dan kebutuhannya. Oleh karena itu, ragam bahasa timbul bukan karena kaidah-kaidah linguistik, melainkan disebabkan oleh kaidah-kaidah nonlinguistik, yaitu aspek-aspek sosial yang beraneka ragam yang menyertainya. Kridalaksana (2006:142) menegaskan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut penggunaanya yang dibedakan menurut topik, hubungan pelaku, dan medium pengungkapan. Jadi ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut penggunaannya, yang timbul menurut situasi dan fungsi sosial yang memungkinkan adanya variasi tersebut. Pateda (dalam Chaer 1988: 52) menjelaskan bahwa ragam bahasa setidaknya terdapat tiga hal, yaitu pola-pola bahasa yang sama, pola-pola bahasa yang dapat dianalis secara deskriptif, dan pola-pola yang dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi. Ragam bahasa dapat dikenali dari golongan penutur bahasa dan menurur jenis pemakaiaannya (Alwi,dkk., 2003:3). Dari sudut penutur dapat dirinci menurut (1) asal daerah, (2) pendidikan, dan (3) sikap penutur. Ketiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Ragam bahasa ditinjau dari asal daerah penutur. Ragam bahasa ditinjau dari asal daerah penutur dikenal dengan logat ataudialek. Bahasa yang menyebar luas selalu mengenal logat. Masing-masing dapat dipahami secara timbal balik oleh penuturnya, sekurang-kurang oleh penutur dialek yang berdampingan (Alwi,dkk., 2003:3). Banyak pengguna bahasa yang beranggapan bahwa suatu dialek adalah suatu bahasa

2.

3.

1.

tersendiri. Namun, dalam kenyataannya dialek hanyalah sebuah ragam daerah dari suatu bahasa. Hal ini dipertegas oleh Soemarsono (2007:24) yang menjelaskan tentang cirihomogenitas, yaitu adanya kesamaan unsur-unsur bahasa tertentu. Apakah X dan Y itu dua bahasa, dua dialek, ataukah hanya sekedar dua variasi saja, dapat ditentukan dengan mencari kesamaan kosakatanya. Jika persamaannya hanya 20% atau kurang, keduanya adalah dua bahasa; Kalau persamaannya bisa mencapai 40% - 60%, keduanya adalah dua dialek; dan kalau mencapai 90%, jelas keduanya hanya dua variasi dari sebuah bahasa Ragam bahasa menurut pendidikan penutur Ragam bahasa menurut pendidikan penutur, menunjukkan perbedaan yang jelas antara penutur yang berpendidikan formal dengan yang tidak berpendidikan. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, pideo, pilm, pakultas. Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa, nyariseharusnya mencari. Selain itu bentuk kata dalam kalimat pun sering menanggalkan awalan yang seharusnya dipakai. contoh: Ira mau nulis surat ~ Ira mau menulis surat Saya akan ceritakan soal Kancil ~ Saya akan menceritakan tentang Kancil. Ragam bahasa menurut sikap penutur Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh sikap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi, akrab, dan santai. Ragam ini disebut juga langgam ataugaya. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis juga mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya. Jika terdapat jarak antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan digunakan ragam bahasa resmi atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara akan makin resmi dan makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Ragam bahasa juga dapat dibedakan menurut jenis pemakaiannya. Berdasarkan penggunaannya ragam bahasa dapat dirinci menjadi tiga macam, yaitu (1) ragam dari sudut bidang atau pokok persoalan, (2) ragam menurut sarananya, (3) dan ragam yang mengalami campuran. Ketiga rincian tersebut dijelaskan sebagai berikut. Ragam dari sudut bidang atau pokok persoalan Dalam kehidupan sehari-hari banyak pokok persoalan yang dibicarakan. Dalam membicarakan pokok persoalan yang berbeda-beda ini kita pun menggunakan ragam bahasa yang berbeda. Ragam bahasa yang digunakan dalam lingkungan agama berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan kedokteran, hukum, atau pers. Bahasa yang digunakan dalam lingkungan politik, berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan ekonomi/perdagangan, olah raga, seni, atau teknologi. Ragam bahasa yang digunakan menurut pokok persoalan atau bidang pemakaian ini dikenal pula dengan istilah laras bahasa. Perbedaan itu tampak dalam pilihan atau penggunaan sejumlah kata/peristilahan/ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang tersebut, misalnya masjid, gereja, vihara adalah kata-kata yang digunakan dalam bidang agama; koroner, hipertensi, anemia, digunakan dalam bidang

kedokteran; improvisasi, maestro, kontemporer banyak digunakan dalam lingkungan seni;pengacara, duplik, terdakwa, digunakan dalam lingkungan hukum; pemanasan, peregangan, wasit digunakan dalam lingkungan olah raga. Kalimat yang digunakan pun berbeda sesuai dengan pokok persoalan yang dikemukakan. Kalimat dalam undang-undang berbeda dengan kalimat-kalimat dalam ragam sastra, kalimatkalimat dalam ragam ilmiah, kalimat-kalimat dalam ragam jurnalistik, dll. Seperti contoh kalimat yang digunakan dalam undang-undang berikut ini. Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus jutarupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual pada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hasil hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 2. Ragam menurut sarananya Ragam bahasa menurut medium atau sarana dapat dibedakan atas ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis. a. Ragam bahasa lisan Ragam bahasa lisan adalah bahan yang dihasilkan alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar. Dalam ragam lisan, kita berurusan dengan tata bahasa, kosakata, dan lafal. Dalam ragam bahasa lisan ini, pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan, air muka, gerak tangan atau isyarat untuk mengungkapkan ide. Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan b. Ragam bahasa tulis Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya.Dalam ragam bahasa tulis bahasa yang kita gunakan perlu lebih terang, jelas, dan lebih eksplisit karena bahasa tulis tidak disertai oleh gerak isyarat, pandangan, atau anggukan. Itulah sebabnya bahasa tulis harus lebih cermat. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan pilihan kosa kata. Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa seperti fungsi gramatikal, bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide. Contoh : Ragam bahasa lisan Ragam bahasa tulis 1. Putri bilang kita harus pulang 1. Putri mengatakan bahwa kita harus pulang 2. Ayah lagi baca koran 2. Ayah sedang membaca koran 3. Saya tinggal di Bogor 3. Saya bertempat tinggal di Bogor 3. Ragam yang mengalami campuran Setiap penutur bahasa juga dapat memanfaatkan ragam lisan dan ragam tulisan secara bersamaan. Misalnya, dalam mempresentasikan sesuatu, seseorang selain menggunakan ragam

tulis, biasanya didukung dengan ragam tulisan yang memuat fakta-fakta informasi secara detail. Penyajian informasi dalam bentuk tabel, bagan, grafik untuk memperjelas, merupakan salah satu bentuk ragam yang mengalami campuran. Sebuah komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur menguasai perbedaan ragam bahasa. Dengan penguasaan ragam bahasa, penutur bahasa dapat dengan mudah mengungkapkan gagasannya melalui pemilihan ragam bahasa yang ada sesuai dengan konteks, situasi dan kebutuhannya. D. DIALEK SOSIAL Penggunaan bahasa juga tidak terpisahkan dengan keberadaan dan status penuturnya sebagai bagian dari sebuah kelompok sosial. Orang-orang sering mengunakan suatu bahasa untuk menandai keanggotaannya pada kelompok-kelompok khusus. Status sosial, gender,usia,etnisitas, dan jenis-jenis jejaring sosial yang dimiliki para penutur bahasa merupakan dimensi penting identitas di banyak masyarakat. Semua kelompok sosial itu mempunyai potensi untuk mempunyai bahasa dengan ciriciri tertentu yang membedakannya dengan kelompok lain. Jika potensi tersebut terjadi, maka inilah yang disebut dengan dialek sosial (social dialect). Dialek sosial adalah ragam bahasa yang digunakan oleh suatu kelompok sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain, suatu dialek terjadi bukan hanya karena faktor-faktor regional kedaerahan atau faktor-faktor geografis tetapi suatu dialek memungkin pula terjadi karena faktor-faktor sosial dalam suatu kelompok. Rasa kebersamaan dalam identitas dan status kelompok mendorong munculnya dialek sosial.

E. Ragam Baku, Ragam Non Baku, dan Ragam Umum 1. Ragam Baku dan Ragan Nonbaku Ragam baku adalah ragam standar yang memiliki sifat kemantapan berupa kaidah dan aturan tetap. Akan tetapi, kemantapan itu tidak bersifat kaku. Ragam standar tetap luwes sehingga memungkinkan perubahan di bidang kosakata, peristilahan, serta mengizinkan perkembangan berbagai jenis ragam yang diperlukan dalam kehidupan modem (Alwi, 2003: 14). Secara keseluruhan ragam baku dalam sebuah bahasa hanya ada satu, selebihnya, termasuk dialek adalah ragam nonbaku. Dilihat dari sudut pandang kebahasaan, ada perbedaan antara ragam baku dan nonbaku, dan menyangkut semua komponen bahasa, yaitu tata bunyi, tata bentukan, kosa kata dan tata kalimat. Dalam hal tata bunyi sudah jelas, ragam baku mempunyai aturan ejaan. Dalam bahasa Indonesia, ejaan baku adalah EYD, sehingga penulisan yang melanggar EYD adalah ejaan nonbaku, dank arena itu ragam tulisnya juga adalah nonbaku juga. Tentu saja ada hal-hal yang belum diatur oleh EYD , dalam hal demkian akan terjadi kebebasan dan persaingan antara dua bentuk. Ragam baku mempunyai ketentuan sendiri dalam hal lafal, meskipun belum secara tuntas diatur.Dalam KBBI yang memuat kata-kata baku, belum mengatur perihal lafal, hanya penggunaan e saja yang sudah dipastikan, itupun hanya terbatas pada kata-kata yang penulisannya serupa, misalnya teras dan teras. Kata penyapa untuk orang kedua; kamu, engkau,saudara adalah baku, sedang situ tidak baku. Di bidang morfologi, bentuk kata kerja yang seharusnya memakai awalan ber- atau meN- secara konsisten harus dipakai, dan

pembuangan awalan-awalan itu akan menyebabkan bentuk tidak baku. Dalam hal tata kalimat, bentuk saya sudah mengatakan atau sudah saya katakan adalah bentuk baku, sedangkan saya sudah katakan adalah bentuk nonbaku. Ragam bahasa baku dapat berupa : (1) ragam bahasa baku tulis (RBT) dan (2) ragam bahasa baku lisan(RBL). Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat. Namun, hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian, ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsurunsur di dalam kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan karena situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam memahami makna gagasan yang disampaikan secara lisan. Sebagai contoh pembanding antara RBT dan RBL, dapat dilihat pada katakatalogika, logis, dan sosiologi adalah baku dalam RBT. Dalam lafal RBL yang tampak baku adalah [lokhika], [lokhis], dan [sosiolokhi], sedangkan lafal [ logika], [logis] dan [sosiologi] dianggap kurang baku. Dalam RBT kata bank adalah baku, sementara dalam RBL yang baku adalah lafal seperti bang. Kadang-kadang RBT dan RBL mengakui dua bentuk yang sama- sama baku, misalnya mengecek dan mencek. Tetapi yang banyak adalah variasi dalam RBL. Misalnya, penulisanmerdeka[merdEka]; dalam RBL bisa menjadi [merdEka] atau [merdeka], menolakmenjadi [menolak],[ menola?] atau [menOlak]. Di sisi lain, kadang-kadang RBT mempunyai variasi bentuk, tetapi RBL hanya mempunyai satu. Misalnya, RBT mempunyai struktur seratus rupiah atau Rp. 100,00 (rupiah seratus), sedangkan dalam RBL hanya yang pertama yang diakui. 2. Ragam Umum Di samping ragam baku dan nonbaku dikenal pula ragam umum. Masyarakat umum yang awam tentang bahasa atau ragam baku, adakalanya tidak banyak tahu kaidah ragam baku. Kaidah bahasa mereka berbeda dengan kaidah yang ditentukan oleh yang mempunyai wewenang (otoritas) untuk menentukan mana bentuk yang baku dan mana yang tidak baku. Mereka menggunakan bentuk-bentuk yang akrab dan sudah umum di lingkungannya. Bahasa yang sudah umum dan biasa dipakai oleh masyarakat luas karena tidak sesuai dengan kaidah dapat dianggap tidak baku oleh yang mempunyai otoritas, sebaliknya yang ditentukan baku jarang digunakan oleh masyarakat. Akibatnya di dalam bahasa itu selalu hidup dua bentukan. Misalnya bentuk- bentuk yang dibakukan adalah sistem dan analisis, tetap yang umum digunakan adalah sistim dan analisa. Dengan demikian, tidak berarti yang baku itu selalu dapat berlaku secara umum. Kata mangkus dan sangkil dibakukan untuk menggantikan efektif dan efesientetapi kenyataannya kata itu hingga sekarang tetap belum umum. Menyikapi hal tersebut maka adakalanya bentukbentuk ragam umum yang berterima dan dipakai secara luas oleh masyarakat menjadi dasar untuk pembakuan. Ciri-Ciri Ragam Baku Ada beberapa ciri yang dapat menandai ragam bahasa baku. Ciri yang pertama, bahwa ragam baku berasal dari dialek penutur asli (native speaker). Penutur bahasa baku lebih sedikit dari keseluruhan penutur bahasa. Bahkan untuk BI kita bisa mengatakan bahwa penutur asli BI baku saat ini hampir tidak ada, setidaknya sulit dicari. Ciri kedua, ragam baku merupakan ragam

yang biasanya diajarkan kepada orang lain yang bukan penutur asli bahasa tersebut. Ciri ketiga , ragam baku mampu memberi jaminan kepada pemakainya bahwa ujaran yang dipakai kelak dapat dipahami oleh masyarakat luas, lebih luas daripada jika dia memakai dialek regional. Ciri kempat, biasanya dipakai oleh kalangan terpelajar, kalangan cendekiawan dan ilmuwan, dan menjadi ragam bahasa ilmiah. Kelima, bahasa baku itu pasti dan dipakai secara ajeg (konsisten). Ciri kelima adanya kepastian dan keajegan itu tidak banyak dijumpai dalam dialek atau ragam nonbaku. Ciri ini kemudian didukung oleh adanya tata bahasa yang tertulis dan tradisi tulis menulis yang lain. Ciri lain yang membedakan antara ragam baku dan tidak baku juga dapat dilihat dari: penggunaan kata sapaan dan kata ganti, penggunaan kata tertentu, penggunaan imbuhan, penggunaan kata sambung (konjungsi), dan penggunaan fungsi yang lengkap. Penggunaan kata sapaan dan kata ganti merupakan ciri pembeda ragam standar dan ragam nonstandar yang sangat menonjol. Kepada orang yang kita hormati, kita akan cenderung menyapa dengan menggunakan kata Bapak, Ibu, Saudara, Anda.Jika kita menyebut diri kita, dalam ragam standar kita akan menggunakan kata sayaatau aku. Dalam ragam nonstandar, kita akan menggunakan kata gue. Penggunaan kata tertentu merupakan ciri lain yang sangat menandai perbedaan ragam baku dan ragam non baku. Dalam ragam baku, digunakan kata-kata yang merupakan bentuk baku atau istilah dan bidang ilmu tertentu. Penggunaan imbuhan adalah ciri lain. Dalam ragam baku kita harus menggunakan imbuhan secara jelas dan teliti. Contoh : ~ Ayah ngajak adik ke kota (TB) ~ Ayah mengajak adik ke kota (B) ~ Ia lihat kejadian itu (TB) ~ Ia melihat kejadian itu (B) Penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi) merupakan ciri pembeda lain. Dalam ragam nonstandar, sering kali kata sambung dan kata depan dihilangkan. Kadang kala, kenyataan ini mengganggu kejelasan kalimat. (1) Ibu mengatakan, kita akan pergi besok (1a) Ibu mengatakan bahwa kita akan pergi besok Contoh : (2) Mereka bekerja keras menyelesaikan pekerjaan itu. (2a) Mereka bekerja keras untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Kalimat (1) kehilangan kata sambung (bahwa), sedangkan kalimat (2) kehilangan kata depan (untuk). Kelengkapan fungsi merupakan ciri terakhir yang membedakan ragam baku dan nonbaku . Artinya, ada bagian dalam kalimat yang dihilangkan karena situasi sudah dianggap cukup mendukung pengertian. Dalam kalimat-kalimat yang nonbaku, predikat kalimat dihilangkan. Seringkali pelesapan fungsi terjadi jika kita menjawab pertanyaan orang. Misalnya, Hai, Ida, mau ke mana? Pulang. Sering kali juga kita menjawab Tau. untuk menyatakan tidak tahu. Sebenarnya, pembedaan lain, yang juga muncul, tetapi tidak disebutkan di atas adalah intonasi. Masalahnya, pembeda intonasi ini hanya ditemukan dalam ragam lisan dan tidak terwujud dalam ragam tulis. Contoh :

F.

Diglosia dan Ragam Baku Meskipun sudah dikatakan di dalam sebuah bahasa hanya ada sebuah ragam baku, ditemukan ada situasi unik dalam beberapa bahasa, yaitu ditemukannya dua ragam baku yang sama-sama dihormati dan diakui. Hanya saja fungsi dan pemakaiannya berbeda. Situasi semacam ini disebut diglosia. Istilah ini pertama kali dimunculkan oleh Marcais dan menjadi terkenal karena dipakai oleh Ferguson (1959) ketika ia berbicara tentang bahasa Arab. Ia melihat adanya ragam bahasa Arab dalam Al Quran yang berbeda bentuk dan fungsinya dengan ragam sehari-hari yang dipakai dalam percakapan. Menurut Ferguson diglosia adalah sejenis pembakuan bahasa yang khusus dimana dua ragam berada berdampingan di dalam keseluruhan masyarakat bahasa dan masing-masing ragam bahasa itu diberi fungsi sosial tertentu. Ada ragam bahasa tinggi yang dibakukan (ditandai denga H =High) dan ragam bahasa rendah yang dibakukan (ditandai L=Low). Kedua ragam bahasa itu mendapat pengakuan secara terbuka dalam masyarakat. Ciri situasi diglosia yang paling penting adalah pengkhususan fungsi masing-masing ragam bahasa itu. Ragam bahasa tinggi khusus digunakan dalam khutbah, surat-surat resmi, pidato-pidato politik,kuliah, siaran berita, tajuk rencana dalam surat kabar, dan pada penulisan puisi bermutu tinggi. Sebaliknya, ragam bahasa rendah digunakan dalam percakapan sesama anggota keluarga, antara teman, cerita bersambung radio, sastra rakyat, dan film kartun. Ada kemungkinan, satu fungsi kebahasaan yang sama digunakan ragam yang berbeda dalam masyarakat yang berbeda. Misalnya, untuk menulis surat pribadi, orang Yunani menggunakan ragam rendah, sedangkan orang Jerman dan Swiss menggunakan ragam tinggi. Kita dapat menjumpai adanya tingkat-tingkat bahasa dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, seperti bahasa Jawa, Bali, Sunda, Madura,dll., yang masing-masing mempunyai nama. Di Jawa dikenal ada bahasa ngoko (tingkat paling rendah),karma(tengah) dan karma inggil (tingkat tinggi). Di Bali kita kenal istilah sor (tingkat rendah) dan singgih (tingkat atas). Situasi diglosia dapat dilihat di berbagai wilayah di Indonesia. Contoh, di sebuah kota besar, ada beberapa suku bangsa dengan bahasa daerah masing-masing, disamping bahasa Indonesia. Kita melihat fungsi bahasa daerah berbeda dengan fungsi bahasa Indonesia, dan masing-masing mempunyai ranah yang berbeda pula. Bahasa daerah membangun suasana kekeluargaan, keakraban, kesantaian, dan dipakai dalam ranah kerumahtanggaan, ketetanggaan, kekariban, sedangkan bahasa Indonesia membangun suasana formal, keresmian, kenasionalan, dan dipakai misalnya dalam ranah persekolahan(sebagai bahasa pengantar), ranah kerja (sebagai bahasa resmi dalam rapat; alat komunikasi antar pegawai, dan antara pegawai dengan tamu kantor), ranah keagamaan (dalam khotbah). Permasalahan diglosia ini bisa dikembangkan kepada masalah-masalah lain yang juga akhir-akhir ini menjadi kajian sosiolinguistik. Misalnya muncul masalah pilihan bahasa (language choise), pergeseran bahasa (language shift), pemertahanan bahasa (language maintenance), kemunduran bahasa (language decline) dan kepunahan bahasa (language death). Dalam situasi seperti di kota besar, orang harus tahu memilih ragam bahasa apa yang cocok untuk ranah atau situasi tertentu. Kalau masyarakat dalam berbagai ranah lebih menyukai untuk memakai bahasa X secara terus- menerus misalnya, maka bahasa bahasa- bahasa lain (misalnya bahasa Y dan Z) menjadi tergeser , mundur,dan kemudian punah, sebaliknya X bertahan. Kemudian ada usaha untuk mempertahankan dan menghidupkan kembali bahasa Y dan Z.

G. Kesimpulan Dari paparan diatas dapat disimpullkan bahwa bahsa selain fungsinya utama sebagai alat komunikasi memiliki fungsi-fungsi lain terkait dengan fungsi sosial . Bahasa merupakan perwujudan perilaku individu dalam suatu kelompok masyarakat. Bahasa juga menjadi identitas dari suatu kelompok masyarakat. Dampak dari hal tersebut adalah adanya ragam-ragam bahasa di masyarakat. Diglosia adalah adanya dua ragam berada berdampingan di dalam keseluruhan masyarakat bahasa dan masing-masing ragam bahasa itu diberi fungsi sosial tertentu. Ada ragam bahasa tinggi yang dibakukan (ditandai denga H =High) dan ragam bahasa rendah yang dibakukan (ditandai L=Low). Kedua ragam bahasa itu mendapat pengakuan secara terbuka dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Chaer, Abdul. 1988. Tata Bahasa Praktis. Bhratara. Jakarta Dadan Wahidin. 2009. RAGAM DAN LARAS BAHASA.http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2009/03/11/ragam-dan-larasbahasa/. Di akses pada tanggal 15 Oktober 2011. Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics :Learning about Language - 2nd ed. Pearson Education Limited. England. Soemarsono. 2007. Sosiolingiostik. Pustaka pelajar. Yogyakarta.

You might also like