You are on page 1of 2

BLUSUKAN DAN SEMANGAT HIJRAH Oleh : H. E.

Nadzier Wiriadinata Blusukan adalah sebuah kosa kata yang belakangan ini begitu akrab di telinga masyarakat akibat seringnya para wartawan menuliskan istilah tersebut dalam berbagai berita yang mereka tulis terkait aktivitas salah seorang pemimpin daerah dan pelatih Timnas U-19. Blusukan sebenarnya bukanlah kosa kata yang baru, baik dari aspek peristilahannya maupun aktivitas yang terkandung didalam makna kosa kata tersebut. Blusukan yang dilakukan oleh kedua orang tersebut sebenarnya adalah aktivitas yag biasa dilakukan oleh peneliti sosial ketika ingin mengetahui hakekat permasalahan yang ditelitinya melalui survey atau observasi lapangan untuk kemudian dicarikan teori solusinya. Karenanya, tidak ada yang istimewa dengan kosa kata tersebut. Bahwa kemudian istilah tersebut menjadi istimewa dan semakin terkenal itu karena aktivitas blusukan lahir dari sebuah gaya kepemimpinan seseorang yang begitu banyak mengundang perhatian dan simpati masyarakat dan kebetulan menjadi kepala daerah. Kata blusukan semakin terkenal lagi tatkala pelatih Timnas U-19 melakukan hal yang sama, yaitu blusukan untuk mencari bibit-bibit pesepakbola handal. Dua orang sosok yang berbeda latar belakang profesi telah membuka kesadaran kita bahwa sudah saatnya bangsa ini memahami realitas disekitarnya tidak dengan duduk dan berdiskusi dibelakang meja, melainkan harus terjun ke lapangan. Blusukan yang dilakukan Jokowi dan Indra Sjafrie sebenarnya memiliki semangat yang sama yaitu tanggung jawab terhadap profesi. Seorang Jokowi tidak menghendaki permasalahan yang terjadi dilapangan hanya didengar dari bawahannya. Dia ingin menangkap realitas permasalahan dilapangan secara utuh berdasarkan logika profesi dia sebagai gubernur. Demikian juga halnya Indra Sjafri. Seorang Indra sjafrie pun melakukan blusukan untuk mengetahui realitas potensi terpendam yang dia yakini belum tereksplorasi dengan optimal oleh PSSI dan klub-klub sepakbola lainnya. Blusukan yang dilakukan oleh keduanya semata-mata didorong tanggung jawab profesinya masing-masing, bukan karena ingin dipuji atau mendapat simpati seperti yang biasa diinginkan oleh para politisi. Kedua orang itupun telah membuka mata kita akan pentingnya menggabungkan aktivitas dua dunia yang berbeda dan selama ini berjalan masing-masing, dunia akademis dan dunia birokrat. Seorang birokrat di era reformasi ini mau tidak mau dituntut untuk berjiwa akademis saat dia harus memutuskan sebuah kebijakan. Artinya, kebijakan itu benar-benar berbasis kebutuhan riil sebagaimana yang dia cermati melalui aktivitas blusukan dilapangan

Blusukan merupakan salah satu bentuk aktivitas dari gaya kepemimpinan yang tidak biasa dianut oleh umumnya pemimpin birokrat. Seperti kita ketahui, umumnya pemimpin birokrat, di era orde baru bahkan tidak sedikit di era reformasi pun, ketika akan memutuskan sebuah kebijakan sangat mengandalkan masukan atau bisikan dari bawahannya. Seringkali masukan atau bisikan tersebut oleh bawahannya dikemas dalam bingkai ABS (Asal Bapak Senang). Kalaupun pemimpin birokrat ini terkadang menggunakan jasa pihak lain dalam memperoleh masukan/informasi, katakanlah konsultan atau para peneliti, maka masukan atau hasil penelitian mereka seringkali sebelumnya sudah dikondisikan agar tidak bersebrangan dengannya, bahkan diupayakan bisa mendukung kebijakan yang akan diberlakukan olehnya. Akibatnya kemudian adalah munculnya produk kebijakan yang tidak tepat sasaran. Ujungujungnya, perilaku korup menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia birokrasi.. Berdasarkan uraian di atas, sudah sepatutnya saat ini kita harus mengubah mindset kita. Dengan kata lain, mindset kita harus berhijrah. Hijrah dari kebiasaan memutuskan kebijakan melalui informasi atau bisikan bawahan ke kebiasaan baru, yaitu berbasis informasi yang langsung ditangkap melalui aktivitas blusukan. Hijrah semacam ini seharusnya diapresiasi dan diadopsi sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas kinerja para pejabat maupun pemimpin birokrat. Mengapa demikian? Karena sekarang ini dan kedepan sepertinya masyarakat tidak butuh lagi pemimpin/pejabat atau pelatih yang cuma pandai bersilat lidah dan berdebat kusir dibelakang meja tanpa pernah sama sekali blusukan.

You might also like