You are on page 1of 37

MAKALAH Kegawat Daruratan (KGD I) ASUHAN KEPERAWATAN GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS) Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata

Kuliah KGD I.

Disusun Oleh : Yohanes Eko Saputra (105140100)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN PERGURUAN TINGGI UMITRA 2013

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini penulis buat dengan tujuan memenuhi tugas Keperawatan KGD I Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada : 1. Team dosen mata kuliah KGD I selaku dosen pembimbing mata kuliah. 2. Teman teman dan berbagai pihak yang telah membantu terselasaikannya makalah ini. Penulis berharap agar setelah membaca makalah ini , para pembaca dapat memahami dan mendapatkan pengetahuan yang lebih baik, sehingga dapat di aplikasikan untuk mengembangkan kompetensi dalam bidang keperawatan. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu penulis membuka diri menerima berbagai saran dan kritik demi perbaikan di masa mendatang.

DAFTAR ISI

COVER KATA PENGANTAR BAB 1 1.1 1.2 1.3 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan

BAB 2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9

PEMBAHASAN Pengertian Guillain Barre Syndrome Etiologi Guillain Barre Syndrome Patofisiologi Guillain Barre Syndrome Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome Diagnosa Banding Guillain Barre Syndrome Pemeriksaan penunjang Guillain Barre Syndrome Komplikasi Guillain Barre Syndrome Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrome

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Guillain Barre syndrome (GBS) adalah penyakit neurologi yang sangat jarang, kejadiannya bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan ratarata insidensi 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Insidensi sindroma Guillain-Barre Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia ratarata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau. Penyakit ini sering menyebabkan kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik. GBS biasanya mempunyai prognosa yang baik yaitu sekitar 80% tetapi sekitar 15 % nya mempunyai gejala sisa/ defisit neurologis. Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.

1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 1.2.2 1.2.3 Apa itu Guillain Barre Syndrome? Bagaimana etiologi Guillain Barre Syndrome? Seperti apa patofisiologi Guillain Barre Syndrome?

1.2.4 1.2.5 1.2.6 1.2.7 1.2.8 1.2.9

Bagaimana Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome? Apa saja diagnosa banding Guillain Barre Syndrome? Apa saja pemeriksaan penunjang Guillain Barre Syndrome? Apa saja komplikasi Guillain Barre Syndrome? Bagaimana penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome? Bagaimana pencegahan Guillain Barre Syndrome?

1.2.10 Bagaimana Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrome?

1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Agar pembaca dapat memahami lebih jauh tentang penyakit Guillain Barre Syndrome.

1.3.2

Tujuan Khusus 1.3.2.1 Untuk mengetahui pengertian Guillain Barre Syndrome. 1.3.2.2 Untuk mengetahui etiologi Guillain Barre Syndrome. 1.3.2.3 Untuk mengetahui patofisiologi Guillain Barre Syndrome. 1.3.2.4 Untuk mengetahui Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome. 1.3.2.5 Untuk mengetahui diagnosa banding Guillain Barre Syndrome. 1.3.2.6 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Guillain Barre Syndrome. 1.3.2.7 Untuk mengetahui komplikasi Guillain Barre Syndrome. 1.3.2.8 Untuk mengetahui penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome. 1.3.2.9 Untuk mengetahui pencegahan Guillain Barre Syndrome. 1.3.2.10 Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrome.

1.4 Manfaat Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi baik bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum mengenai Guillain Barre Syndrome.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Guillain Barre Syndrome. Guillan Bare Syndrome adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.

Terdapat enam subtipe sindroma Guillain-Barre, yaitu: 1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann. 2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus. 3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN. 4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna. 5. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang; dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia.

6.

Ensefalitis batang otak Bickerstaffs (BBE), ditandai oleh onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski (menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.

2.2 Etiologi Guillain Barre Syndrome. Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain: 1. Infeksi 2. Iinfeksi Virus : Misal radang tenggorokan atau radang lainnya. : Misal Measles, Mumps, Rubela, Influenza A,

Influenza B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie) 3. Infeksi Lain : Mycoplasma Pneumonia, Salmonella Thyposa,

Brucellosis, Campylobacter Jejuni pada enteritis . 4. Vaksinasi 5. Pembedahan 6. Penyakit sistematik: a) Keganasan ; Hodgkins Disease, Carcinoma,Lymphoma. b) Systemic lupus erythematosus c) Tiroiditis d) Penyakit Addison 7. Kehamilan terutama pada trimester ketiga atau dalam masa nifas. : Rabies, Swine flu

GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus dengan Campylobacter Jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebih berat. Hal ini dikarenakan struktur biokimia dinding bakteri ini mempunyai

persamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibody yang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin. Pada dasarnya guillain barre adalah Self Limited atau bisa timbuh dengan

sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang meluas sehingga pada keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat bantu nafasnya. Telah diketahui bahwa infeksi Salmonela Thyposa juga dapat menyebabkan GBS. Kemungkinan timbulnya sindrom Guillain-Barre pada demam tifoid perlu lebih diketahui dan disadari, khususnya di Indonesia di mana demam tifoid masih merupakan penyakit menular yang besar.

Tabel 1: Jenis - jenis infeksi yang sering menjadi penyebab GBS

2.3 Patofisiologi Guillain Barre Syndrome. Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah: 1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi 3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.

a.

Teori-teori Imun. Faktor humoral (antibodi terhadap gangliosid) - respon seluler (aktivasi makrofag). Berbagai laporan melaporkan adanya antibodi terhadap glikolipid, termasuk GM1, GQ1b, berbagai gangliosid lain, seluruh komponen membran akson Histologi saraf tepi menunjukkan infiltrasi monosit perivaskuler endoneurial dan demielinasi multifocal. Saraf-saraf tepi dapat terkena dari radiks sampai akhiran saraf distal (poliradikuloneuropati) . Gullain Barre Syndrome diduga juga disebabkan oleh kelainan system imun lewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen.Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus terganggu. Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP). Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun.

b. Peran Imunitas Seluler. Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen. Sumber lain mengatakan ,infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin bahkan kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon. Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di invasi oleh antigen tersebut.

Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh.

c.

Patologi Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran

pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila

peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson. Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain-Barre Syndrome menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada saraf tepi. Baik pada pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih ujung (distal). Pada umumnya yang terserang akar saraf tulang belakang bagian depan (anterior root nerves of spinal cord), tetapi tidak menutup kemungkinan akar saraf bagian belakang (posterior root nerves of spinal cord). Uniknya selaput myelin yang terserang dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf tepi yang lebih tinggi (Fredericks et all 1996, dan Nolte 1999). Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh karenanya hancurnya selaput ini mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf, bahkan mungkin terhenti sama sekali (Nolte 1999). Sehingga penderita GBS mengalami gangguan motor dan sensorik. Kelambatan kecepatan konduksi otot bisa dilihat dari hasil pemeriksaan EMG. Disamping itu, hancurnya selaput myelin mungkin juga menyerang cranial nerves (Pryor & Webber 1998) termasuk diantaranya

nervus vagus, yang merupakan bagian dari sistem saraf otonomik. Oleh karena itu, bila saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, sistem saraf otonomik mungkin saja terganggu. Selain nervus vagus, cranial nerves yang lain mungkin saja terserang, misalnnya saraf ke-XI. Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot bagian bawah. Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese), bila berlanjut menjadi lumpuh (plegia). Diawali dari gangguan berjalan, seperti misalnya kaki 'terseret', hingga tidak bisa berdiri. Perlahan-lahan kelemahan 'naik' otot lebih tinggi, seperti lutut dan paha, sehingga penderita tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut kelemahan otot bisa terjadi pada otot di sepajang tulang punggung, punggung dan dada. Terus hingga ke tangan dan lengan. Bila otot-otot pernafasan terganggu, akan terjadi kelemahan dalam bernafas. Penderita merasa nafasnya berat. Kadang-kadang gejala GBS juga disertai gangguan saraf otonomik, sehingga akan terjadi gangguan saraf simpatik dan para simpatik. Yang tampak adalah gejala naik-turunnya tekanan darah secara tiba-tiba, atau pasien berkeringat di tempat yang dingin (Pryor & Webber 1998). Bila terjadi gangguan cranial nerves akibatnya adalah tidak bisa menelan, berbicara atau bernafas, atau kelemahan otot-otot muka. Uniknya kelemahan otot biasanya simetris, artinya anggota badan yang kiri mengalami kelemahan yang sama dengan anggota badan kanan. Selain gangguan motorik, biasanya juga disertai gangguan sensorik. Gangguannya bisa berupa rasa kesemutan, 'terbakar', tebal, atau nyeri. Pola penyebaran gangguan sensorik biasanya tidak sama dengan gangguan motorik. Gangguan sensorik bisa berpindah dari waktu ke waktu (Fredericks et all 1996). Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem saraf otonomik, terjadi gangguan kardiopulmonari. Berawal dari nafas berat, oleh karena kelemahan otot pernafasan (baik otot intercostal maupun diafragma), hingga gangguan ritmik oleh karena gangguan saraf otonomik. Akibatnya fungsi paru menjadi terganggu. Paru tidak bisa mengembang secara maksimal akibatnya kapasitas vital menurun, dan bisa menimbulkan atelektasis. Bila kondisi ini berlanjut, bisa terjadi infeksi paru, pneumonia, yang akan memperburuk kondisi. Ditambah kenyataannya pasien dalam kondisi seperti di atas biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya akan menurunkan fungsi paru (Pryor & Webber 1998). Bila fungsi glotis terganggu, akibat terganggunya sistem otonomik, penderita mungkin akan

tersedak. Sehingga makanan masuk ke saluran pernafasan, dan akan menambah infeksi paru. Akibat terganggunya saraf otonomik, irama jantung juga terganggu. Sehingga tekanan darah bisa naik-turun secara mendadak, atau 'flushing', yaitu muka memerah secara mendadak. Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu maksimal 2 minggu. Sesudah itu akan berhenti, hingga proses penyembuhan terjadi sekitar 2 sampai 4 minggu sesudah kelemahan berhenti.

Gambar 1: Sistem imunopathologi saraf pada SGB 4

Kasifikasi Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu: 1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) 2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy 3. Acute motor axonal neuropathy (AMAN) 4. Acute motor sensory axonal neuropathy 5. Fishers syndrome 6. Acute pandysautonomia.

Gambar 2: Skema klasifikasi SGB

2.4 Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih kembali.Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase: 1. Fase progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai titik nadir. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan

mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.

2. Fase plateau. Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.

3. Fase penyembuhan . Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.

Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan otonomik biasanya bermanifestasi sebagai takikardia tetapi bisa menjadi gangguan yang lebih serius yaitu disfungsi saraf otonom.termasuk aritmia, hipotensi, hipertensi, dan

dismotilitas Gastrointestinal. Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu: I. Gejala Utama: II. Terjadinya kelemahan yang progresif. Hiporefleksi

Gejala Tambahan: a. Ciri-ciri klinis: Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu. Relatif simetris Gejala gangguan sensibilitas ringan Gejala saraf kranial 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai beberapa bulan. Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan gejala vasomotor. Tidak ada demam saat onset gejala neurologis

b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa: Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial. Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3 Varian: a. Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala. b. Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3 c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:

Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.

d.

Gejala yang menyingkirkan diagnosis. Kelemahan yang sifatnya asimetri Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul Gejala sensoris yang nyata

Kelemahan ascenden dan simetris. Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu dari anggota gerak atas. Kelemahan otot proksimal lebih dulu terjadi dari otot distal, kelemahan otot trunkal ,bulbar dan otot pernafasan juga terjadi.Kelemahan terjadi akut dan progresif bisa ringan sampai tetraplegi dan gangguan nafas. Penyebaran hiporefleksia menjadi gambaran utama, pasien GBS biasanya berkembang dari kelemahan nervus cranial, seringkali kelemahan nervus fasial atau faringeal. Kelemahan diaframa sampai nervus phrenicus sudah biasa. Sepertiga pasien GBS inap membutuhkan ventilator mekanik karena kelemahan otot respirasi atau orofaringeal. 1. Puncak defisit dicapai 4 minggu 2. Recovery biasanya dimulai 2-4minggu 3. Gangguan sensorik biasanya ringan bisa parasthesi, baal atau sensasi sejenis 4. Gangguan Nn cranialis: facial drop, diplopia disartria, disfagia (N. VII, VI, III, V, IX, dan X) 5. Banyak pasien mengeluh nyeri punggung dan tungkai Menurut Maria Belladonna terdapat beberapa tanda abnormalitas a. Abnormalitas motorik (kelemahan) Mengikuti gejala sensorik, khas: mulai dari tungkai, ascenden ke lengan 10% dimulai dengan kelemahan lengan - Walaupun jarang, kelemahan bisa dimulai dari wajah (cervical-pharyngeal-brachial) Kelemahan wajah terjadi pada setidaknya 50% pasien dan biasanya bilateral - Refleks: hilang / pada sebagian besar kasus b. Abnormalitas sensorik Klasik : parestesi terjadi 1-2 hari sebelum kelemahan, glove & stocking sensation, simetris, tak jelas batasnya - Nyeri bisa berupa mialgia otot panggul,

nyeri radikuler, manifes sebagai sensasi terbakar, kesemutan, tersetrum - Ataksia sensorik krn proprioseptif terganggu - Variasi : parestesi wajah & trunkus.

c.

Disfungsi Otonom 1) Hipertensi - Hipotensi - Sinus takikardi / bradikardi 2) Aritmia jantung - Ileus - Refleks vagal 3) Retensi urine

Gambar 2: fase perjalan klinis.

Fase-fase serangan GBS Maria Belladonna a. b.


Fase Prodromal Fase sebelum gejala klinis muncul. Fase Laten

a. Waktu antara timbul infeksi/ prodromal yang b. Mendahuluinya sampai timbulnya gejala klinis. c. Lama : 1 28 hari, rata-rata 9 hari c. Fase Progresif a. Fase defisit neurologis (+) b. Beberapa hari - 4 mgg, jarang > 8 mgg. c. Dimulai dari onset (mulai tjd kelumpuhan yg d. Bertambah berat sampai maksimal

e. Perburukan > 8 minggu disebut chronic inflammatory-demyelinating polyradiculoneuropathy (CIDP) d. Fase Plateau a. Kelumpuhan telah maksimal dan menetap. b. Fase pendek :2 hr, >> 3 mg, jrg > 7 mg e. Fase Penyembuhan a. Fase perbaikan kelumpuhan motorik b. beberapa bulan

Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. GBS ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.

Tabel 2: Gejala klinis GBS

GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat ekstremitas yang bersifat asendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral. Refelks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali. Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif , dalam hitungan jam, hari maupun minggu,ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat , muncul pada 50 % kasus, biasanya berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan dan bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas. Anak anak biasanya menjadi mudah terangsang dan progersivitas kelemahan dimulai dari menolak untuk berjalan, tidak mampu untuk berjalan, dan akhirnya menjadi tetraplegia . Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada extremitas distal. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi. Terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak anak yang dapat menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis. Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest , facial flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat.Hipertensi terjadi pada 10 30 % pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara,dan yang paling sering ( 50% ) adalah bilateral facial palsy.Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur (blurred visions).

2.5 aDiagnosa Banding Guillain Barre Syndrome a. Kelainan batang otak Trombosis arteri basilaris dengan infark batang otak* Ensefalomielitis batang otak

b.

Kelainan medulla spinalis Mielitis transversa. Mielopati nekrotik akut. Kompresi neoplasma pada medulla spinalis servikal / foramen magnum. Mielopati akut lain.

c.

Kelainan sel kornu anterior Poliomielitis Rabies Tetanus

d.

Poliradikulopati. Difteri Paralisis Tick Logam berat : arsen, timbal, thallium, emas. Keracunan organofosfat. Heksakarbon (neuropati penghirup lem). Perhexiline. Obat-obatan : vincristine, disulfiram, nitrofurantoin. Critical illness polyneuropathy

e.

Kelainan transmisi neuromuskuler Myastenia gravis Botulismus Hipermagnesemi Paralisis yang diinduksi antibiotika Bisa gigitan ular

f.

Miopati Polimiositis Miopati akut lain, misalnya akibat induksi obat

g.

Abnormalitas metabolik Hipokalemi Hipermagnesemia Hipofosfatemia

h.

Lain-lai Histeri Malingering

2.6 Pemeriksaan penunjang Guillain Barre Syndrome a. LCS a. Disosiasi sitoalbumin. Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l, tanpa peningkatan dari sel < 10 limposit/mm3 - Hitung jenis pada panel metabolik tidak begitu bernilai 5 Peningkatan titer dari agent seperti CMV, EBV, membantu menegakkan etiologi. a. Antibodi glicolipid b. Antibodi GMI

b.

EMG a. b. Gambaran poliradikuloneuropati Test Elektrodiagnostik dilakukan untuk mendukung klinis bahwa paralisis motorik akut disebabkan oleh neuropati perifer. c. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat dan respon F dan H abnormal.

c.

Ro: CT atau MRI Untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti mielopati.

d.

Cairan serebrospinal (CSS). Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan

lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm.

e.

Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG). Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.

f.

Pemeriksaan Darah . Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.

g.

Elektrokardiografi (EKG) Menunjukkan adanya perubahan gelombang Tserta sinus

takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.

h.

Tes Fungsi Respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) akan menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).

i.

Pemeriksaan Patologi Anatomi Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf

kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.

2.7 Komplikasi Guillain Barre Syndrome a. Paralisis menetap b. Gagal nafas c. Hipotensi d. Tromboembolisme e. Pneumonia f. Aritmia Jantung g. Ileus h. Aspirasi i. Retensi urin j. Problem psikiatrik
k. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic. l. Tetraparese oleh karena penyebab lain.

m. Hipokalemia

n. Miastenia Gravis o. Adhoc commite of GBS p. Tick Paralysis q. Kelumpuhan otot pernafasan. r. Dekubitus

GBS dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien dalam jangka waktu yang lama, dapat sampai 3 sampai 6 tahun setelah onset penyakit. Kesembuhan biasanya berlangsung perlahan dan dapat berlangsung bertahun-tahun. Baik pasien maupun keluarga pasien harus diberitahu tentang keadaan pasien yang sebenarnya untuk mencegah ekspektasi yang berlebihan atau pesimistik. Kesembuhan pasien berlangsung selama tahun tahun pertama, terutama enam bulan pertama, tetapi pada sebagian besar pasien dapat sembuh sempurna pada tahun kedua atau setelahnya. Kecacatan yang permanen terlihat pada 20% - 30% pasien dewasa.tetapi lebih sedikit pada anak-anak. Disabilitas yang lama pada dewasa lebih umum pada axonal GBS dan GBS yang berbahaya, misalnya pada pasien dengan ventilator. Gangguan fungsi otonomik yang serius dan fatal termasuk aritmia dan hipertensi ekstrim atau hipotensi terjadi kurang lebih 20% dari pasien dengan GBS.gangguan lain yang signifikan adalah ileus dinamik, hipontremia, dan defisiensi dari fungsi mukosa bronchial.

2.8 Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome A. Fisioterapi Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal, yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi. Yang pertama adalah fase ketika gejala masih terus berlanjut hingga berhenti sebelum kondisi pasien terlihat membaik. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah mempertahankan kondisi pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun. Sedangkan yang kedua adalah pada fase penyembuhan, ketika kondisi pasien membaik. Pada fase ini pengobatan fisioterapi ditujukan pada penguatan dan pengoptimalan kondisi pasien. Pada fase pertama penekanan pada semua problem menjadi sangat penting. Sedangkan pada fase kedua hanya problem

muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi penekanan. Secara keseluruhan penatalaksanaan fungsional. Meskipun ada 4 komponen problem dari sudut fisioterapi, penatalaksanaannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh karenanya sulit memisahkan satu masalah dengan masalah yang lain. Penulis berusaha memisahkan penatalaksanaan fisioterapi berdasarkan tiap problem, sesuai dengan penguraian problem di atas supaya lebih detail. Tetapi pada prakteknya, pemberian fisioterapi tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. a. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting baik pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik adalah masalah utama penderita GBS, tetapi juga skeletal sebagai akibat dari gangguan motorik. Pada fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan bahwa kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu maksimal 2 minggu. Bila panjang otot dan LGS terus terjaga pada fase pertama, fisioterapi pada fase kedua ditekankan peningkatan kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan jumlah motor unit yang kembali bekerja. b. Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah latihan aktif, bila memungkinkan. Bila penderita tidak mampu menggerakkan sendiri anggota badannya, sebaiknya bantuan diberikan (=aktif asistif). Bila kemudian kondisi kelemahan otot sangat menonjol, latihan pasif harus diberikan; artinya fisioterapis yang menggerakkan angota badan penderita. Oleh karena dalam fase ini, kondisi penderita akan menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan fisioterapis kepada pasien semakin banyak dari waktu ke waktu. Sebaiknya seorang fisioterapis mempunyai sistematis dalam fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan kemampuan

menggerakkan anggota tubuh pasien, sehingga tidak ada bagian yang terlewati. Selain itu fisioterapis juga akan bisa sekaligus mengamati perkembangan motorik pasien bila dilakukan secara sistematis. Dianjurkan menggerakkan anggota tubuh dari bawah, sehingga akan diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Secara psikis hal ini juga akan sangat membantu motivasi pasien.

Selain menggerakkan bagian tubuh secara sistematis, juga sebaiknya arah gerakan tiap sendi dibuat secara sistematis, sehingga tidak ada gerakan otot yang tertinggal. Dalam menggerakkan anggota badan, sebaiknya fisioterapis mengamati tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Jangan sampai pasien dibiarkan terlalu lelah atau memaksa menggerakkan anggota tubuh, karena akan merusak motor unit. Berikan kesadaran kepada pasien bahwa pada waktunya ototnya akan kembali bergerak, asalkan dilakukan gerakan secara rutin. Bagi pasien GBS, frekuensi latihan seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah kelelahan, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas. Intensitas latihan dalam sehari bisa ditingkatkan dengan melakukan lebih banyak sesi dalam sehari. Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase sebelumnya. Sasaran utama pada fase ini adalah peningkatan kekuatan otot. Meskipun demikian latihan yang diberikan masih harus tidak boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit yang aktif terbatas. Program latihan aktif seharusnya ditingkatkan bila penderita sudah mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa kesulitan. Latihan kemudian meningkat menjadi aktif resistif, artinya menggunakan beban unntuk meningkatkan kekuatan otot. Jenis latihan bisa bervariasi, bisa menggunakan beban manual, artinya fisioterapis memberikan beban secara manual, hingga latihan dengan alat, seperti misalnya quadricep bench. Dalam memberikan program latihan, hendaknya selalu diingat bahwa tujuan akhir program fisioterapi adalah memaksimalkan kemampuan fungsional. Jadi dalam meningkatkan kekuatan otot, perlu diingat otot-otot mana saja yang diperlukan dalam beraktivitas, atau mensiasati bila ada keterbatasan. Untuk mengukur perubahan kondisi pasien, bisa digunakan pengukuran kekuatan otot (MMT- manual muscles testing). Tentu saja pada fase pertama kekuatan pasien tidak akan mengalami kenaikan, sesuai dengan perjalanan penyakit. Tetapi pengukuran kekuatan terakhir pasien, saat kekuatan biasanya berhenti sebelum kemudian membaik, bisa dijadikan titik balik pengukuran pada tahap berikutnya. Sebaiknya pengukuran dilakukan secara berkala, misalnya tiap minggu, atau tiap 3 hari. Dengan demikian fisioterapis maupun

penderita bisa melihat perkembangan yang terjadi, yang mungkin juga akan menjadi motivasi keduanya. c. Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS) Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita, bisa dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat bahwa pada fase pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu menggerakkan LGS secara penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu membantu penderita untuk menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal yang fungsional. Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi sebaiknya juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal. Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk mempertahankan LGS. Berbeda dengan program untuk kekuatan otot, untuk mempertahankan sendi sama pada fase pertama dan kedua. Ukuran yang dipergunakan untuk mengukur luas gerak sendi adalah pengukuran sudut setiap sendi. Alat yang digunakan adalah goniometer. Pengukurannya dilakukan dengan satuan derajat. Dalam satu institusi biasanya disepakati sistem apa yang digunakan, posisi penderita dan posisi goniometer pada setiap sudut pengukuran. Seharusnya tidak akan ada perubahan LGS dari waktu ke waktu, agar pada akhirnya penderita masih mempunyai kemampuan fungsional yang maksimal. d. Penatalaksanaan pada Panjang Otot Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS, sebagian besar otot juga terpelihara panjangnya. Kecuali beberapa otot yang panjangnya melewati dua sendi. Untuk otot-otot tersebut, perlu gerakan khusus untuk mempertahankan panjangnya. Otot-otot seperti quadricep, iliotibial band, sartorius adalah contoh otot yang melewati dua sendi. Otot-otot tersebut penting dalam kegiatan sehari-hari, misalnya duduk, bersila atau bersimpuh. Sehingga bila panjang ototnya tidak terpelihara, maka akan berpengaruh pada aktivitas penderita bila sembuh nanti. Agak sulit membuat pengukuran panjang otot, oleh karena panjang otot tiap individu akan berbeda tergantung pada aktivitas dan keturunan. Karenanya untuk mengetahui panjang otot yang normal, secara nalar, berarti

fisioterapis harus tahu penderita sebelum menderita GBS. Kenyataannya hal itu tidak mungkin terjadi. Sehingga salah satu cara untuk mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas penderita, apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan kaki atau bersimpuh. Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang bersangkutan cukup untuk kembali melakukan kembali aktivitasnya. Cara lain yang bisa digunakan adalah membandingkan otot sebelah kiri dan kanan, karena biasanya keduanya mempunyai panjang otot yang sama. Pencatatannya baru dilakukan bila ada keterbatasan panjang otot. e. Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada kasus GBS yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal disebabkan karena berkurangnya jumlah motor unit yang terkonduksi. Akibatnya tidak dapat melakukan inspirasi secara penuh, sehingga kapasitas vital menjadi berkurang. Seperti yang telah disebutkan di atas, menurunnya kemampuan batuk, akan menurunkan kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan. Sehingga saluran pernafasan semakin menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang juga. Sehingga pada akhirnya kembali terjadi penurunan kapasitas vital. f. Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif tidak bisa dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli menjadi meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu juga memelihara kelenturan jaringan-jaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk terpelihara. Dengan demikian bila kekuatan otot interkostal sudah kembali membaik, rongga dada sudah siap kembali mengembang.Bila otot intercostal dan diafragma sudah menigkat, maka latihan penguatan harus segera diberikan. Oleh karena tekanan positif yang diberikan lewat ventilator dan manual hyperinflation bisa memberikan efek samping, seperti barotrauma. Maka latihan aktif harus segera diberikan. Pemberian latihan masih harus memperhatikan aturan rendah frekuensi dalam satu sesi dan banyak sesi dalam

sehari. Ini berarti harus diberikan kesempatan istirahat cukup bagi penderita diantara sesi latihan, untuk menghindari kelelahan. g. Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekresi saluran pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai bagian dari sistem pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian tertelan. Bila sekresi yang dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja cilia, maka diperlukan mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan. Agar bisa meletupkan batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume udara. Sehingga seorang penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang menonjol tidak mampu melakukan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Bila sekresi dibiarkan menumpuk, maka diameter saluran pernafasan akan menyempit. Ini berarti volume udara yang bisa masuk ke paru berkurang, sehingga kemampuan ventilasi menjadi berkurang. Pada fase awal, pada penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang menonjol, pembersihan saluran pernafasan bisa dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan teknik tertentu, maka panjang ekspirasi bisa diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu ekspirasi bisa meningkat. Dengan demikian sekresi saluran pernafasan bisa dikeluarkan. Selain menggunakan bantuan ventilator dan manual hyperinflation, bisa dilakukan postural drainage untuk membantu memindahkan sekresi dari saluran pernafasan yang distal ke yang lebih proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan, penderita harus mampu batuk, atau bila tidak harus dilakukan suction. Selama melakukan postural drainage, haruslah diwaspadai tanda-tanda gangguan otonomik, seperti kecepatan nafas permenit, nadi permenit, atau saturasi penderita agar selalu dalam batas normal. Jelaslah bahwa melatih batuk sejak dini sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan pembersihan saluran pernafasan. Hal ini biasanya bisa terlaksana pada fase kedua, ketika otot-otot pernafasan mulai menguat. Atau pada fase pertama bila kelemahan otot-otot pernafasan masih mampu menghasilkan batuk, sehingga latihan batuk berguna untuk mempertahankan kekuatan otot.

h. Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada semakin tinggi. Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke saluran pernafasan menjadi lebih besar. Benda tersebut kemudian akan menjadi sumber infeksi dada. Dalam hal ini ada dua masalah dalam sistem respiratori, yakni benda itu sediri, dan sekresi yang berlebihan akibat adanya benda asing yang masuk ke saluran pernafasan. Bila kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien mampu mengeluarkan benda asing dari saluran pernafasan dan membersihkan sekresi. Sayangnya, biasanya gangguan menelan disertai kelemahan otot pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk. Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya menerima makanan melalui slang yang langsung masuk ke lambung, sehingga tidak perlu dikawatirkan akan masuk ke saluran pernafasan. Pada fase pertama tidak banyak fisioterapi yang bisa dilakukan. Tetapi pada fase ke dua program fisioterapi yang bisa diberikan adalah segera memberikan latihan batuk, bila otot-otot pernafasan sudah bertambah kuat. Sehingga pada saatnya penderita belajar menelan, resiko masuknya benda asing ke saluran pernafasan sudah teratasi. i. Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul, bila kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih tinggi, yakni cranial nerves. Pada umumnya gangguann saraf otonnomik tersebut adalah hal yang perlu dicermati dalam melakukan tindakann fisioterapi. Gangguangangguan tersebut antara lain labilnya tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai keadaan, atau postural hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan mejadi masalah, biasanya pada waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi, misalnya dari berbaring ke duduk, tubuh memerlukan berbagai adaptasi, oleh karena terjadi perbedaan pengaruh terhadap tubuh. Tanpa gangguan saraf otonomik pun, seseorang yanng berbaring lama memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap tekanan darah. Adaptasi tersebut teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan darah mendapatkan input, kemudian tekanann darah meningkat atas pengaruh saraf otonnom. Bila terjadi gangguan saraf otonnomik, maka adaptasi tersebut akan terganggu.

Maka, dalam memberikan tindakan fisioterapi harus selalu dicermati tekanan darah dari waktu ke waktu. Oleh karena yang diukur adalah tekanan darah, maka yang dijadikan aturan adalah tekanan darah. Bila memungkinkan digunakan spirometer elektronik yang terus bisa dimonitor setiap saat. Disamping tekanan darah, bisa dicermati kemampuan komunikasi penderita, atau warna muka sebagai indikator tekanan darah. j. Penatalaksanaan pada Problem Sensasi Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa terbakar, kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar, atau kesemuta. Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian TNS. Rasa nyeri bisa disebabkan murni oleh karena gangguan sensasi. Tetapi nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh kurangnya gerakan pada sendi-sendi tulang belakang. Bila sesudah peregangan sendisendi tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya, rasa nyeri berkurang, maka rasa nyeri tersebut disebabkan oleh kurangnya gerakan. Tetapi bila rasa nyeri tersebut tidak hilang, maka gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan sensasi. Seringkali rasa nyeri yang timbul karena kombinasi keduanya. Jadi bila sesudah peregangan rasa nyeri berkurang, tetapi tidak hilang sama sekali. Bila rasa nyeri disebabkan oleh kuranngnya gerakan sendi, tindakan yang bisa dilakukan adalah peregangan lebih lanjut, atau lebih spesifik bisa dilakukan manipulasi atau mobilisasi pada tulang belakang tertentu. Selain ketidaknyamanan, rasa tebal juga bisa menimbulkan komplikasi, yaitu dekubitus. Rasa tebal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan kasur pada penonjolan-penonjolan tulang, sehingga memungkinkan terjadi lecet dan akhirnya dekubitus. Oleh karenanya perubahan posisi harus selalu dilakukan sebagai usaha pencegahan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2 jam, dan setiap penonjolan tulang harus selalu mendapat perhatian.

B.

Medikamentosa Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda tanda vital.Ventilator harus disiapkan disamping pasien sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam waktu 24 jam.

Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi dan vasoaktive juga harus disiapkan .Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa diberikan medikamentosa.Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat obatan berupa steroid. Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi maupun mempercepat penyembuhan. Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Regimen standard terdiri dari 5 sesi ( 40 50 ml / kg BB) dengan saline dan albumine sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE . Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan PE atau IVIg. Fisiotherapy juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas otot setelah paralisa.Heparin dosis

rendah dapat diberikan unutk mencegah terjadinya trombosis .

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).

1. Kortikosteroid Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.

2. Plasmaparesis Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).

3. Pengobatan imunosupresan: a. Imunoglobulin IV Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. b. Obat sitotoksik Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah: 6 merkaptopurin (6-MP) azathioprine cyclophosphamid Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala. 2

c. Terapi fisik: - alih baring 1) latihan ROM dini u/ cegah kontraktur 2) Hidroterapi d. e. Supportif: profilaksis DVT (heparin s.c). Analgesik Analgesic ringan atau OAINS mungkin dapat digunakan untuk meringankan nyeri ringan, namun tidak untuk nyeri yang

sangat,penelitian

random

control

trial

mendukung

penggunaan

gabapentin atau carbamazepine pada ruang ICU pada perawatan SGB fase akut. Analgesic narkotik dapat digunakan untuk nyeri dalam, namun

harus melakukan monitor secara hati-hati kepada efeksamping denervasi otonomik.terapi ajuvan dengan tricyclic antidepressant , tramadol, gabapentin, carbamazepine, atau mexilitene dapat ditambahkan untuk penatalaksanaan nyeri neuropatik jangka panjang. Pengobatan fase akut termasuk program penguatan isometric, isotonic, isokinetic, dan manual serta latihan secara progresif. Rehabilitasi harus difokuskan untuk posisi limbus, posture, orthotics,dan nutrisi yang sesuai.

C. Pemulihan 1. 80% pasien pulih dalam waktu 6 bulan 2. 15% pulih sempurna 3. 65% pulih dengan defisit neurologis ringan yg tak pengaruhi ADL 4. 5-10% mengalami kelamahan motorik menetap 5. Pada pasien dengan kelemahan motorik menetap, pemulihan dapat berlangsung >2 tahun 6. Mortalitas: 3-5% 7. Relaps: 2-10% 8. Perburukan: 6% menjadi CIDP (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy) 4

D. Prognosis Faktor yang mempengaruhi buruknya prognostik: 1. Penurunan hebat amplitudo potensial aksi berbagai otot 2. Umur tua 3. Kebutuhan dukungan ventilator 4. Perjalanan penyakit progresif & berat. Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain: a. pada pemeriksaan NCV- EMG relatif normal b. mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset

c. progresifitas penyakit lambat dan pendek d. pada penderita berusia 30-60 tahun

2.9

Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrome


1.

B1 (Breathing) Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.

2.

B2 (Bleeding) Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.

3.

B3 (Brain) Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan.

4.

B4 (Bladder) Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.

5.

B5 ( Bowel) Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.

6.

B6 (Bone) Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Guillain Bare Syndrom (GBS) secara khas digambarkan dengan kelemahan motorik yang progresif dan arefleksia. Mekanisme autoimun dipercaya

bertanggungjawab atas terjadinya sindrom ini. Terapi farmakoterapi dan terapi fisik, prognosis GBS tergantung pada progresifitas penyakit, derajat degenerasi aksonal, dan umur pasien. GBS merupakan penyakit serius dengan angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi. Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi imunomodulator spesifik, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat mengalami kematian dan 12% tidak dapat berjalan tanpa bantuan selama 48 minggu setelah gejala pertama muncul 20 % pasien akan tetap hidup dengan memiliki gejala sisa. Selama ini para peneliti tetap mencari alternatif yang paling baik dan paling efektif dari PE dan IVIg, dan para dokter harus dapat mengenali gejala GBS sehingga dapat menegakkan diagnosis sedini mungkin. Penegakan diagnosis lebih dini akan memberikan prognosis yang lebih baik.

3.2 Kritik Makalah ini masih belum cukup sempurna dan masih ada banyak kesalahan sehingga kami mohon kritik dan saran yang membangun guna untuk menyempurnakan makalah kami yang selanjutnya.

3.3 Saran Berusaha dan selalu bekerja sama akan membawa kita menuju keberhasilan dalam menyelesaikan masalah dan mengerjakan tugas.serta melakukan tugas dengan penuh tanggung jawab akan membuat kita semakin menjadi dewasa dan mandiri

You might also like