You are on page 1of 15

Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak

Andy Santoso Hioe 102011314 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara no.6 - Jakarta Barat selfoneria@gmail.com Pendahuluan Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang ditandai dengan proteinuria yang banyak dan edema. Penyakit ini sering terjadi pada anak usia kurang dari 14 tahun dan masih belum diketahui penyebab pastinya. Secara garis besar, sindrom nefrotik dibagi menjadi 2, yaitu sindrom nefrotik primer dan sindrom nefrotik sekunder. Sindrom nefrotik primer merupakan sindrom nefrotik yang tidak diketahui penyebabnya, sedangkan sindrom nefrotik sekunder merupakan komplikasi dari penyakit-penyakit berat. Pada tinjauan pustaka ini, penulis akan menjelaskan sindrom nefrotik primer yang dialami pada anak. Anamnesis Anamnesis pada pasien anak yang diduga mempunyai gangguan pada ginjal dan saluran kemih dilakukan secara alloanamnesis. Perlu ditanyakan pula pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut identitas anak, riwayat imunisasi, riwayat perinatal, dan riwayat tumbuh kembang.1,2 Pertanyaan-pertanyaan terkait yang dapat diajukan dalam anamenesis kepada pasien antara lain:1,2 Pendekatan umum Identitas pasien (nama, umur, alamat). Keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata, perut,

tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan. Riwayat penyakit dahulu
1

Dapat ditanyakan apakah sebelumnya anak pernah menderita gejala seperti yang dikeluhkan dan penyakit-penyakit yang pernah diderita anak sebelumnya. Riwayat pengobatan Tanyakan mengenai kebiasaan dalam pembuangan urin dan konsistensi urin : Air seni yang berwarna merah atau keruh, rasa nyeri yang menyertai saat buang air kecil, frekuensi pembuangan air seni serta jumlahnya, dan tanyakan pancaran air seni yang terbuang. Keluhan tambahan lainnya dan pola makan pasien Rasa nyeri pada daerah pinggang atau daerah lain, gejala konstitusi (mual, muntah, keringat dingin, lemas), pola makan anak, dan alergi. Riwayat imunisasi dan tumbuh kembang Imunisasi apa saja yang sudah diberikan kepada anak dan bagaimana riwayat tumbuh kembangnya, untuk mengetahui adanya gagal tumbuh atau tidak. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik hal pertama yang dapat dinilai adalah keadaan umum, keadaan sakit, kesadaran, berat dan panjang badan, status gizi, lingkaran lengan atas, serta tingkat perkembangan pada umumnya. Kemudian hal yang tidak kalah penting adalah memeriksa TTV berupa tekanan darah, suhu, nadi dan pernapasan. Pada sindrom nefrotik biasa didapatkan tekanan darah meningkat. Selanjutnya kita juga harus melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pada inspeksi akan terlihat adanya edema di kedua kelopak mata, tungkai, adanya asites dan edema skrotum/labia.1-3 Pemeriksaan Penunjang Langkah pertama dalam mengevaluasi anak dengan edema adalah untuk memastikan apakah anak tersebut menderita sindrom nefrotik atau tidak, karena hipoalbuminemia dapat terjadi tanpa adanya proteinuria (pada protein-losing enteropathy), dan edema dapat terjadi tanpa adanya hipoalbuminemia (sepserti pada angioedema, insufisiensi venosa, gagal jantung kongestif, dan lain sebagainya). Untuk memastikan diagnosis sindroma nefrotik, pada pemeriksaan laboratorium didapatkan : proteinuria, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia. Pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan diantaranya :1-3 Urinalisis.

Pada hasil urinalisis pasien dengan syndrome nefrotik dapat ditemukan hematuria. Hasil tersering adalah hematuria mikroskopis. Hematuria makrsokopis jarang ditemukan pada kasus syndrome nefrotik. Proteinuria dapat ditemukan antara 3+ atau 4+, yang menunjukkan kandungan protein urin sekitar 300 mg/dL.1-3 Protein urin kuantitatif dengan menghitung protein/kreatinin urin pagi, atau dengan protein urin 24 jam.1-3 1. Protein/kreatinin urin pagi lebih mudah dilakukan dan dapat mengeksklusi proteinuria orthostatik. 2. Nilai protein/kreatinin urin lebih dari 2-3 mg/mg. 3. Nilai protein urin 24 jam > 40 mg/m2/jam atau nilai protein urin sewaktu >100mg/dL, terkadang mencapai 1000mg/dL. 4. Sebagian besar protein yang diekskresi pada SN adalah albumin. Pemeriksaan darah1-3 1. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematocrit, LED) 2. Albumin dan kolesterol serum 3. Ureum, kreatinin serta bersihan kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus Schwartz 4. Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA Biopsi Ginjal Biopsi ginjal tidak diindikasikan bagi pasien SN primer dengan awitan pada usia 1-8 tahun, kecuali jika riwayat klinis, temuan pada pemeriksaan fisik, maupun hasil dari pemeriksaan laboratorium mengindikasikan adanya kemungkinan SN sekunder atau SN primer selain tipe lesi minimal. Biopsi ginjal diindikasikan bagi pasien usia < 1 tahun, dimana SN kongenital lebih sering terjadi, dan pada pasien usia > 8 tahun dimana penyakit glomerular kronik memiliki insidensi yang lebih tinggi. Biopsi ginjal hendaknya juga dilakukan bila riwayat, pemeriksaan, dan hasil uji laboratorium mengindikasikan adanya SN sekunder.1-3 Radiografi Pemeriksaan ultrasonografi atau venografi ginjal sekiranya dicurigai adanya trombosis vena ginjal. Gambaran USG pada thrombosis vena ginjal yaitu:1-3
3

Pembesaran ginjal dengan korteks hipoekoik dari edema pada fase awal. Pengurangan ukuran dan meningkatnya ekogenesitas. Pada Doppler ditemukan aliran arterial diastolic terbalik, absennya aliran vena, visualisasi thrombus dengan lumen, resistensi tinggi pada arteri renalis dengan peningkatan indeks resistif.

Diagnosis Working Diagnosis Sindrom Nefrotik Idiopatik Sindrom nefrotik idiopatik merupakan penyakit ginjal dengan gejala proteinuria masif >
1-3

g/hari,

hipoalbuminemia

<

g/dl,

edema,

hiperlipidemia,

lipiduria

dan

hiperkoagulabilitas terkait kelainan glomerulus akibat penyakit tertentu atau tidak diketahui.

Untuk menegakkan diagnosis anak dengan sindrom nefrotik, ada beberapa keadaan yang dapat ditemukan. Analisis urin menunjukkan proteinuria +3 atau +4; mungkin ada hematuria mikroskopis, tetapi jarang ada hematuria makroskopis. Fungsi ginjal mungkin normal atau menurun. Bersihan kreatinin rendah karena terjadi penurunan perfusi ginjal akibat penyusutan volume intravaskuler dan akan kembali ke normal bila volume intravaskuler membaik. Ekskresi protein melebihi 2 g/24 jam, kadar kolesterol dan trigliserid serum naik, kadar albumin serum biasanya kurang dari 2 g/dL, dan kadar kalsium serum total menurun, karena penurunan fraksi terikat-albumin. Kadar C3 normal.1-3 Anak dengan awitan sindrom nefrotik antara usia 1 sampai 8 tahun agaknya menderita penyakit lesi-minimal yang berespons terhadap steroid, dan terapi kortikosteroid harus dimulai tanpa biopsi ginjal. Penyakit lesi-minimal tetap lazim pada anak di atas usia 8 tahun yang datang dengan sindrom nefrotik, tetapi glomerulonephritis membranosa dan membranoproliferatif menjadi semakin sering; biopsi ginjal dianjurkan pada kelompok ini untuk menegakkan diagnosis pasti sebelum mempertimbangkan terapi.1-3 Differential Diagnosis Sindrom Nefrotik Primer

Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik). Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak dari pada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. 1-3 Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus per 100.000 anak pertahun sedangkan pada dewasa 3 per 1000.000 pertahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus. 1-3 Pada sindrom nefrotik primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau melakukan biopsi ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai terapi. Selain itu terdapat perbedaan dalam regimen pengobatan sindrom nefrotik dengan respon terapi yang bervariasi dan sering terjadi kekambuhan setelah terapi dihentikan. 1-3 Pada anak-anak dengan sindrom nefrotik, ginjal tampaknya merupakan satu-satunya organ utama yang terlibat dan dapat disebut sebagai sindroma nefrotik primer. Sindroma nefrotik dapat pula berkembang dalam perjalanan suatu penyakit sistemik disini sindroma nefrotik dianggap sekunder. 1-3 Yang termasuk golongan primer : 1-3 Sindrom nefrotik lesi minimal (MCNS = minimal change nephrotic syndrome) Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) (85% dari kasus sindrom nefrotik pada anak), glomerulus terlihat normal atau memperlihatkan peningkatan minimal pada sel mesangial biasanya dan matrixnya. dan Penemuan mikroskop pada mikroskop hanya

immunofluorescence

negative,

electron

memperlihatkan hilangnya epithelial cell foot processes (podosit) pada glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan SNKM berespon dengan terapi kortikosteroid. Sindroma nefrotik dengan proliferasi mesangial difus Ditandai dengan adanya peningkatan sel mesangial yang difus dan matriks pada pemeriksaan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluoroscence dapat

memperlihatkan jejak 1+ IgM mesangial dan/atau IgA. Mikroskop electron memperlihatkan peningkatan dari sel mesangial dan matriks diikuti dengan menghilangnya sel podosit. Sekitar 50% pasien dengan lesi histologis ini berespon dengan terapi kortikosteroid.
5

Sindroma nefrotik dengan glomerulosklerosis fokal Glomerulus memperlihatkan proliferasi mesangial dan jaringan parut segmental pada pemeriksaan dengan mikroskop biasa. Mikroskop

immunofluorescence menunjukkan adanya IgM dan C3 pada area yang mengalami sklerosis. Pada pemeriksaan dengan mikroskop electron, dapat dilihat jaringan parut segmental pada glomerular tuft disertai dengan kerusakan pada lumen kapiler glomerulus. Lesi serupa dapat terlihat pula pada reflux vesicoureteral, dan penyalahgunaan heroin intravena. Hanya 20% pasien dengan FSGS yang berespon dengan terapi prednison. Penyakit ini biasanya bersifat progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua glomeruli, dan menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (end stage renal disease) pada kebanyakan pasien. Sindrom Nefrotik Sekunder Sindrom nefrotik sekunder adalah sindrom nefrotik yang berhubungan dengan penyakit/kelainan sistemik, atau disebabkan oleh obat, alergen, maupun toksin. Secara histopatologis sindrom nefrotik sekunder dapat berupa kelainan minimal, glomerulosklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membranosa maupun glomerulonefritis

membranoproliferatif. Penyakit sistemik yang sering menyebabkan sindrom nefrotik sekunder adalah purpura Henoch-Schonlein, lupus eritematosus sistemik, infeksi sistemik seperti hepatitis B, penyakit sickle cell, diabetes melitus, ataupun keganasan. 1-3 Etiologi Berdasarkan etiologi, sindrom ini dapat dibagi menjadi sindrom nefrotik primer (idiopatik) dan sindrom nefrotik sekunder.1-3 Sindrom nefrotik primer tetap belum diketahui penyebabnya. Keberhasilan awal dalam mengendalikan sindrom nefrotik dengan obat-obat imunosupresif memberi kesan bahwa penyakitnya diperantarai oleh mekanisme imunologis yang klasik belum ada, dan sekarang agaknya jelas bahwa obat-obat imunosupresif mempunyai banyak pengaruh selain dari penekanan pembentukan antibody. Sebagian kecil penderita mempunyai bukti bahwa penyakit ini diperantarai oleh IgE, tetapi bukti semakin banyak mengesankan bahwa sindrom ini mungkin diakibatkan dari kelainan fungsi limfosit yang berasal dari timus (selT), mungkin melalui produksi faktor yang meningkatkan permeabilitas vaskuler.1-3

Berlainan dengan sindrom nefrotik primer, sindrom nefrotik sekunder jelas diketahui penyebabnya, biasanya merupakan komplikasi dari penyakit berat. Beberapa penyakit atau kelainan yang dapat menyebabkan sindrom nefrotik antara lain penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit familial, toksin, transplantasi ginjal, thrombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, serta obesitas masif.1-3 Sindrom nefrotik dengan proteinuria berat yang diakibatkan oleh glomerulonephritis, diabetes mellitus ataupun amyloidosis merupakan penyakit dengan prognosis buruk. Pada kasus berat, sebagian pasien akan masuk dalam kondisi end-stage renal failure (ESRD) dimana terjadi kegagalan fungsi ginjal.1-3 Epidemiologi Insiden terjadinya sindrom nefrotik bervariasi dari umur, ras, dan letak geografis. Insidens SN pada anak di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.1-3 Perbedaan geografis dan/atau etnik juga mempengaruhi insidensi dari sindrom nefrotik. Contohnya, insiden sindrom nefrotik 6 kali lipat lebih besar pada anak-anak di Asia daripada di Eropa. Sindrom nefrotik jarang terjadi di daerah Afrika.1-3 Patofisiologi Kelainan patogenetik yang mendasari sindrom nefrotik adalah proteinuria, akibat dari kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus. Mekanisme dari keniakan permeabilitas ini belum diketahui tetapi mungkin terkait, setidak-tidaknya sebagian, dengan hilangnya muatan negatif glikoprotein dalam dinding kapiler. Pada status nefrosis, protein yang hilang biasanya melebihi 2 g/24 jam dan terutama terdiri dari albumin; hipoproteinemianya pada dasanya adalah hipoalbuminemia. Umumnya, edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 g/dL (25 g/L).4 Mekanisme pembentukan edema pada nefrosis tidak dimengerti sepenuhnya. Kemungkinannya adalah bahwa edema didahului oleh timbulnya hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan
7

transudasi cairan dari ruang intravaskuler menurunkan tekanan perfusi ginjal; mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang merangsang reabsorbsi natrium di tubulus distal. Penurunan volume intravaskuler juga mereangsang pelepasan hormon antidiuretic, yang mempertinggi reabsorbsi air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik plasma berkurang, natrium dan air yang telah direabsorbsi masuk ke ruang interstisial, mamperberat edema. Adanya faktor-faktor lain yang juga memainkan peran pada pembentukan edema dapat ditunjukkan melalui observasi bahwa beberapa penderita sindrom nefrotik mempunyai volume intravaskuler yang normal atau meningkat, dan kadar renin serta aldosterone plasma normal atau menurun. Penjelasan secara hipotesis meliputi defek intrarenal dalam eksresi natrium da air atau adanya agen dalam sirkulasi yang menaikkan permeabilitas dinding kapiler di seluruh tubuh, serta dalam ginjal.1,4 Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserida) dan lipoprotein serum meningkat. Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang memberikan sebagian penjelasan: 1. Hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein; dan 2. Katabolisme lemak menurun, karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.1,4 Sindrom nefrotik idiopatik terjadi pada 3 pola morfologi. Pada lesi-minimal (85%), glomerulus tampak normal atau menunjukkan penambahan minimal pada sel mesangial dan matriks. Temuan-temuan mikroskop imunofluoresens khas negatif. Mikroskop electron menampakkan retraksi tonjolan kaki sel epitel. Lebih dari 90% anak dengan penyakit lesiminimal berespons terhadap terapi kortikosteroid.1,4 Kelompok proliferative mesangium (5%) ditandai dengan peningkatan difus sel mesangial dan matriks. Dengan imunofluoresens, frekuensi endapan mesangium yang mengandung IgM dan C3 tidak berbeda dengan frekuensi yang diamati pada penyakit lesiminimal. Sekitra 50-60% penderita lesi histologis ini akan berespons terhadap terapi kortikosteroid.1,4 Pada biopsi penderita yang menderita lesi sclerosis setempat (10%), sebagian besar glomerulus tampak normal atau menunjukkan proliferasi mesangium. Yang lain, terutama glomerulus yang dekat dengan medulla (jukstamedulare), menunjukkan jaringan parut segmental pada satu atau lebih lobulus. Penyakitnya seringkali progresif, akhirnya melibatkan semua glomerulus, dan menyebabkan gagal ginjal stadium-akhir pada kebanyakan penderita.

Sekitar 20% penderita demikian berespons terhadap kortikosterois atau terapi sitotoksik ataupun keduanya. Penyakit ini dapat berulang pada ginjal yang ditransplantasikan. 1,4 Manifestasi Klinik Sindrom nefrotik idiopatik paling lazim muncul antara usia 2 dan 6 tahun. Sindrom terdini telah dilaporkan pada setengah tahun terakhir dan usia satu tahun dan lazim pada orang dewasa. Episode awal dan kekambuhan berikutnya dapat terjadi pasca-infeksi virus saluran pernapasan atas yang nyata. Penyakit ini biasanya muncul sebagai edema, yang pada mulanya ditemukan di sekitar mata dan pada tungkai bawah, dimana edemanya bersifat pitting edema. Semakin lama, edema menjadi menyeluruh dan mungkin disertai kenaikan berat badan, timbul asites dan/atau efusi pleura, penurunan curah urin. Edemanya berkumpul pada tempat-tempat tergantung dari hari-ke hari tampak berpindah dari muka dan punggung ke perut, perineum, dan kaki. Anoreksia, nyeri perut, dan diare lazim terjadi; jarang ada hipertensi.1-3 Penatalaksanaan Medika Mentosa Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan
1-3,5

diet,

penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.

Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut: 13,5

1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan 2. Pengukuran tekanan darah 3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein. 4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai. 5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).

Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon. 1-3,5 Terapi pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid. 1-3,5 Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik siklofosfamid (CPA) oral maupun siklofosfamid puls. Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). 1-3,5 Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis. 1-3,5 Siklofosfamid (CPA) Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin.1-3,5 Siklosporin (CyA)

10

Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.1-3,5 Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap: 1-3,5 1. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL 2. Kadar kreatinin darah berkala 3. Biopsi ginjal setiap 2 tahun Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif. 1-3,5 Metilprednisolon puls Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam. 1-3,5 Obat imunosupresif lain Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi di Indonesia. 1-3,5 Untuk mengurangi proteinuria yang terjadi pada sindrom nefrotik, dapat digunakan regimen untuk mengurangi pengeluaran protein di ginjal dengan mempengaruhi tekanan osmotik maupun tekanan onkotik. 1-3,5 Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I) dan angiotensin receptor blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACE-I juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya
11

glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar TGF-1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS. Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACE-I dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak. 1-3,5 Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk diberikan ACE-I saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah: 1-3,5 1. Golongan ACE-I: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal. 2. Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal. Non-Medika Mentosa Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah. 1-3,5 Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diet rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.
1-3,5

Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.1-3,5 Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25%
12

dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.1-3,5 Pasien sindrom nefrotik yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan sindrom nefrotik sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela.1-3,5 Prognosis Sebagian besar anak dengan sindrom nefrotik yang berespons terhadap steroid akan mengalami kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya menyembuh sendiri secara spontan menjelang usia akhir sekade kedua. Yang penting adalah, menunjukkan pada keluarganya bahwa anak tersebut tidak akan menderita disfungsi ginjal, bahwa penyakitnya biasanya tidak herediter, dan bahwa anak akan tetap fertil (bila tidak ada terapi siklofosfamid atau klorambusil). Untuk memperkecil efek psikologis sindrom nefrotik, ditekankan bahwa selama masa remisi anak tersebut normal serta tidak perlu pembatasan diet dan aktivitas. Pada anak yang sedang berada dalam masa remisi pemeriksaan protein urin biasanya tidak diperlukan.1-3,5 Komplikasi Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi pada anak dengan sindrom nefrotik antara lain infeksi dan thrombosis arteri dan vena.1-3,5 Infeksi adalah komplikasi sindrom nefrotik utama, komplikasi ini akibat dari meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteriselama kambuh. Penjelasan yang diusulkan meliputi penurunan kadar immunoglobulin, cairan edema yang berperan sebagai media perbiakan, defisiensi protein, penurunan aktivitas bakterisid leukosit, terapi imunosupresif,
13

penurunan perfusi limpa karena hipovolemia, kehilangan faktor komplemen (faktor properdin B) dalam urin yang mengopsonisasi bakteri tertentu. Belum jelas, mengapa peritonitis spontan merupakan tipe infeksi yang paling sering; sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi saluran kemih juga dapat ditemukan. Organisme penyebab peritonitis yang paling lazim adalah S. pneumoniae; bakteri gram-negatif juga ditemukan. Demam dan temuan-temuan fisik mungkin minimal bila ada terapi kortikosteroid. Oleh karenanya, kecurigaan yang tinggi, pemeriksaan segera (termasuk biakan darah dan cairan peritoneum), dan memulai terapi awal yang mencakup organisme gram-positif maupun gram-negatif adalah penting untuk mencegah terjadinya penyakit yang mengancam jiwa. Bila dalam perbaikan, semua penderita yang sedang menderita nefrosis harus mendapatkan vaksin pneumokokus polivalen.
1-3,5

Komplikasi lain dapat meliputi kenaikan kecenderungan terjadinya thrombosis arteri dan vena (setidak-tidaknya sebagian karena kenaikan kadar faktor koagulasi tertentu dan inhibitor fibrinolisis plasma, penurunan kadar anti-trombin III plasma, dan kenaikan agregasi trombosit); defisiensi faktor koagulasi IX, XI, dan XII; dan penurunan kadar vitamin D serum. 1-3,5 Penutup Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala yang ditandai dengan proteinuria massif disertai dengan hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan pitting edema. Berdasarkan etiologi dibagi menjadi dua, yaitu sindrom nefrotik primer dan sindrom nefrotik sekunder. Secara epidemiologi, anak berumur kurang dari 14 tahun sering mengalami sindrom ini dan anak laki-laki lebih sering terkena daripada anak perempuan. Oleh karena diduga oleh reaksi autoimun, pemberian obat-obat imunosupresif dapat mengendalikan kekambuhan dari sindrom ini sampai sembuh sempurna secara spontan. Prognosis dari penyakit ini cukup baik dan komplikasi yang dapat menyertai sindrom nefrotik yaitu infeksi dan thrombosis. Daftar Pustaka 1. Kliegman RM, Emerson NW. Nelson textbook of pediatrics. 19th ed. Philadephia: Elsevier Saunders. 2011. p.1801-6. 2. Avner ED, Harmon WE, Niaudet P. Pediatric nephrology. Springer. 2009. p. 667-91 3. Markum AH, Ismael S, Alatas H, et al. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2004.h.528-67.

14

4. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN. Robbins basic pathology. 8th ed. USA: Saunders Elsevier. 2007. p. 517-50. 5. Trihon PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus tata laksana sindrom nefrotik idiopatik pada anak. Ed. 2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. h. 2-15

15

You might also like