You are on page 1of 6

EDISI PRA-SUNTING UNTUK JURNAL INDOPROGRESS SETELAH MASA DEPAN DIAGUNKAN: tentang Logika Hutang dan implikasinya Oleh:

Hizkia Yosie Polimpung Peneliti dan Direktur Riset PACIVIS, Center for Global Civil Society Studies Universitas Indonesia Dont worry about your future, you dont have one Franco "Bifo" Berardi, Precarious Rhapsody

Jika diperhatikan baik-baik kompleksitas fenomena ekonomi finansial hari ini dari analisis kapitalisme, yaitu dengan menekankan sentralisasi logika internalnya dalam mengakumulasi profit, terutama dalam kaitannya dengan krisis finansial yang melanda Amerika dan Eropa lima tahun belakangan, maka setidaknya dapat dilihat sekurangnya dua kejanggalan (uncanny) yang sebenarnya sederhana: pertama, penerbitan (issuance) surat hutang negara kepada publik maupun internasional dalam rangka menghimpun kekuatan finansial bagi negara tersebut sebenarnya justru melemahkan negara itu sendiri secara eksistensial. Surat hutang tadi, oleh para pembelinya (investor dan/atau trader), diperjual-belikan lagi dan menjadi obyek spekulasi. Singkat cerita, seperti pengetahuan spontan kita tentang krisis, spekulasi ini hanya memiliki satu ujung: krisis. Dan krisis ini tentu akan membawa petaka bagi negara tersebut. Kejanggalan pertama, dengan demikian: bukankah dengan mengeluarkan surat hutang, negara berinvestasi terhadap kehancurannya sendiri? Hikmah kejanggalan pertama adalah bahwa privatisasi uang akan selalu bermuara pada krisis. Kedua, saat krisis terjadi, semua pihak menekan negara untuk menyelamatkan ekonomi dengan mengucurkan suntikan dana, atau yang dikenal secara populer dengan sebutan dana talangan (bailout). Tapi, dari mana kah dana yang dipakai negara untuk dana talangan ini? Tentu saja dana publik, dana masyarakat yang dipegang negara melalui berbagai cara (pajak, dst.). Dengan ini, masyarakat dibuat bertanggung-jawab untuk menolong kerugian akibat kesalahan yang sebenarnya tidak mereka lakukan. Mengaca pada krisis-krisis finansial sebelumsebelumnya dan mengakui bahwa krisis adalah suatu hal yang niscaya saat ekonomi finansial berjaya, maka bukankah bisa dikatakan bahwa dalam eknonomi finansial yang sudah dianut seluruh dunia ini, seluruh masyarakat telah selalu berhutang atas dana yang sebenarnya tidak pernah ia pinjam? Hikmah kejanggalan kedua adalah saat meluncurkan dana talangan, negara sedang melakukan nasionalisasi hutang, dan dengan menggunakan dana publik sebagai talangan, negara sedang melakukan suatu demokratisasi hutang terhadap seluruh masyarakatnya. Dua kejanggalan ini membuat saya tergoda untuk merumuskan drama krisis kapitalisme finansial ini: privatisasi keuangan melalui perdagangan surat-surat berharga akan selalu berujung kepada krisis; krisis akan menggoda negara untuk melakukan nasionalisasi hutang; dan nasionalisasi hutang adalah cadar yang menutupi kenyataan demokratisasi hutang yang menjadikan seluruh masyarakat sebagi pengutang.

Pertanyaan kemudian adalah: bagaimana kita bisa sampai pada titik kondisi seperti ini? Tidak ada jawaban mudah dan sederhana. Namun demikian, buku The Making of Indebted Man yang ditulis oleh Maurizio Lazzarato merupakan salah satu upaya sistematis yang tepat untuk memulai menelusuri pertanyaan tersebut. Artikel singkat ini akan mengulas argumentasi Lazzarato di situ dan menunjukkan bagaimana ia telah memberikan arahan tentang dimana situs perjuangan kelas sebaiknya dilakukan dalam konteks kapitalisme finansial kontemporer pasca-Krisis. Secara umum, Lazzarato ingin menandaskan bahwa fondasi dasar dari kehidupan sosial bukanlah pertukaran, melainkan hutang/kredit. Relasi debitur/kreditur adalah relasi fundamen yang mendasari seluruh relasi sosial, termasuk relasi sosial yang dibutuhkan oleh kapitalisme, yaitu relasi kerja/kapital (labor/capital). Kebaruan kapitalisme kontemporer adalah dengan membuat kondisi keberhutangan (indebtedness) yang sudah inheren dalam kehidupan sosial, menjadi suatu keberhutangan abadi. Dari pandangan ini, kemudian Lazzarato menggariskan teori ekonominya yang non-ekonomistik: yaitu bahwa fondasi ekonomi bukanlah pertukaran (apalagi investasi, spekulasi, atau malah konspirasi sebagai mana yang mewarnai anggapan umum hari-hari ini), melainkan produksi subyektivitas. Dan subyektivitas yang fundamental bagi dan terus diproduksi oleh kapitalisme kontemporer adalah apa yang disebutnya manusia berhutang (the indebted man). Subyektivitas ini cocok dengan kondisi keberhutangan abadi yang menjadi fitur sosial di kapitalisme finansial hari ini. Lainnya, Lazzarato juga menorehkan kontribusi pada teorisasi tentang uang, lagi-lagi secara non-ekonomistik: yaitu bahwa uang merupakan manifestasi dari kenyataan bahwa relasi sosial adalah berlandaskan pada kredit, sekaligus pertanda bahwa relasi sosial kredit tersebut adalah asimetrisantara debitur dengan kreditur. Teorisasi ini nampaknya merupakan hasil racikan Lazzarato dengan mengkolaborasikan limakarya: Genealogy of Morals karya Friedrich Nietzsche, artikel Marx (muda) Comments on James Mill, lments Dconomie Politique1dan Capital, vol III., The Birth of Biopolitics karya Michel Foucault, dan Anti-Oedipus karya Gilles Deleuze dan Flix Guattari. Lazzarato menggunakan dan mengembangkan teori kredit Nietzsche dan kaitannya dengan subyektivisasi dan apropriasi masa depan. Dari Marx, teori uangnya untuk kemudian dikembangkan menjadi teorisasi mengenai hutang subyektif dan obyektif. Dari Foucault, teori kekuasaan di era neoliberalnya yang beroperasi melalui etika dan moralitas enterprenerial. Dari Deleuze-Guattari, Lazzarato menunjukkan peran hutang seagai penyatu multiplisitas bentuk-bentuk produksi kapitalis, dan menjadikan ekonomi hari ini sebagai suatu univositas produksi di bawah hutang. Namun demikian, penulisan dan diskusi di buku The Making ini tidaklah mensyaratkan pembacanya untuk telah membaca keempat buku terlebih dahulu sehingga pembaca yang belum pernah membaca kelimanya tidak akan menjumpai kesulitan berarti. Dalam membangun argumentasi bagi klaim utamanya, yaitu bahwa hutang merupakan basis dasar relasi sosial dan bahwa produksi subyektivitas adalah aktivitas utama dalam ekonomi, Lazzarato nampak cukup agresif. Ia menyerang teori-teori besar yang relatif sudah mapan: teori pertukaran simbolik (39)2dan teori kontrak (43). Tidak hanya itu, ia juga menyerang teori kapitalisme kognitif teman-teman Autonomisnya sendiri (50). Tidak cukup itu, ia pun merevisi
Untuk edisi lain, lihat Excerpts from James Mills Elements of Political Economy (1844),dalam Karl Marx, Early Writings, terj, R. Livingstone & G. Benton (London: Penguin, 1992), 2 Angka dalam kurung merupakan halaman dalam buku Lazzarato yang sedang diulas.
1

teorinya sendiri mengenai pengorganisasian kerja imaterial sebagai sumber produksi dan distorsi subyektivitas, dan kemudian mengkualifikasi posisi tersebut dan suatu hipotesis komplementer: yaitu bahwa sumber produksi subyektivitas adalah hutang dan relasi debitur/kreditur (38). Nampaknya, hutang benar-benar memainkan peran krusial bagi Lazzarato. Tapi apa itu hutang? Apa spesialnya bagi analisis kapitalisme? Hutang, atau kredit, sejatinya adalah sebuah janji. Janji mengenai pembayaran, janji mengenai sejumlah nilai di masa depan. Kredit, dalam bahasa Yunaninya kredo yang artinya percaya. Di pandang dari sini maka suatu komunitas akan diisi dengan orang-orang yang saling menjanjikan dan saling mengatakan aku percaya. Masyarakat dengan demikian bertujuan membentuk orang-orang yang mampu berjanji, atau dengan kata lain menjadi penjamin bagi dirinya sendiri terhadap orang lain yang dijanjikannya sesuatu. Tapi, janji saja tidak lah cukup. Ia butuh manifestasi kongkritnya: surat tanda janji, surat yang menyatakan bahwa si pemegang berhak mengklaim sesuatu dari si pemberi surat pada jangka waktu yang ditentukan: surat hutang. Uang, adalah salah satu bentuk surat hutang tersebut yang paling signifikan dalam relasi sosial. Dalam memberikan hutang, jelas orang tidak serta-merta melakukannya. Orang tidak serta merta langsung percaya. Oleh karena itu hutang akan selalu mensyaratkan suatu evaluasi terhadap calon pengutangnya, agar ia bisa dipercaya (trustworthy). Percaya di sini bermakna spesifik, yaitu semata-mata suatu kepercayaan terhadap suatu kemampuan untuk menjanjikan sejumlah nilai sebagai pembayaran di masa depan. Status dapat dipercaya (trust-worthy), dengan demikian musti diartikan jelas sebagai dapat dipercaya sebagai kreditur (credit-worthy). Untuk dapat dipercaya, bahkan dipercaya secara finansial, seseorang harus melakukan suatu kerja pada dirinya sendiri (work on the self) sedemikian rupa sehingga ia dapat tampil sebagai seseorang yang dapat dipercaya bagi orang lain. Itulah mengapa hutang tidak akan pernah lepas dengan etika. Inilah sumbangsih penting Nietzsche yang diangkat Lazzarato. Untuk memahami ini, figur Shylock dalam The Merchant of Venice karya Shakespeare tidak akan pernah gagal menjadi pengantar paling baik. Saya kutipkan dialognya: Shylock Bassanio Shylock Bassanio Shylock : Three thousand ducats for three months, and Antonio bound. : Your answer to that? : Antonio is a good man : Have you heard any imputation to the contrary? : Ho no, no, no, no: my meaning in saying he is a good manis to have you understand me that he is sufficient.3

Jelas bahwa dalam melakukan evaluasi, dalam mencoba mengekstrak perasaan percaya dari Antonio, Shylock menilai baik buruknya Antonio: ia adalah orang baik! Frasa ini harus dimaknai semata-mata secara finansial: yaitu ia berkecukupan, 4 dengan kata lain, ia mampu menjanjikan pembayaran di masa yang akan datang Di sini kita memasuki ranah etika.
Saya menggunakan edisi seri The New Cambridge Shakespeare, lih. William Shakespeare, The Merchant of Venice, peny., M. M. Mahood (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), babak 1, adegan 3, hal. 83. Untuk memberikan kesan sastrawi khas Shakespearian, saya biarkan kutipan dalam bahasa aslinya. 4 Di edisi lain, bahkan, lebih mencolok dikatakan Shylock terkait Antonio, yaitu bahwa he is a good credit.
3

Spesifiknya, etika hutang. Di alam perhutangan, etika selalu berkaitan dengan kerja pada diri untuk menunjukkan pada orang lain tentang kemampuannya membayar hutang (solvency). Dan ini berlaku tidak hanya di alam Shylock, melainkan juga di masa kita saat ini. Bagi orang pada umumnya, saat ia mengajukan kredit tentu bank akan mengevaluasi: pekerjaan, tempat tinggal, dst. Demikian pula bagi perusahaan dan bahkan negara: lembaga rating internasional seperti Standard & Poors, Moodys, dan Fitch Group untuk menyebut tiga yang paling berpengaruh. Sang subyek evaluasi harus mampu menunnjukkan pada evaluatornya bahwa ia adalah dapat dipercaya, dan untuk itu mereka harus benar-benar bekerja keras terhadap diri mereka sendiri., benar-benar mengkultivasi diri mereka, melatih diri mereka, untuk menjadi credit-worthy. Lazzarato tidak berhenti di sini saja. Ia memproblematisasi lebih jauh dengan menunjukkan kaitannya dengan waktu, terutama waktu yang akan datangmasa depan. Memberi kredit berarti menorehkan memori kepada pengutang akan masa depannya, yaitu masa-masa jatuh temponya. Sayangnya janji untuk mengingat saja tidaklah cukup. Janji ingatan itu harus diikat di masa kini melalui suatu jaminan/kolateral. Sehingga apabila sang pengutang gagal memenuhi janjinya: penalti! jaminan itu menjadi miliki si pemberi hutang. Kolateral bisa berbentuk benda yang dimiliki saat ini, bisa berupa aset seperti dalam bentuk EBA (Efek Beragun Aset, atau AssetBacked Securities),atau bisa juga berupa hal yang lebih longgar seperti ancaman digebuk debt collector yang garang, atau bisa juga seperti permintaan Shylock kepada Antonio bahwa kolateralnya be nominated for an equal pound of your fair flesh, to be cut off and taken in what part of your body pleaseth me.5 Dalam skema ini nampak jelas bahwa kolateral di satu sisi merupakan sebentuk ancaman bagi sang pengutang, bagi masa depannya, namun di sisi yang lain ia juga merupakan suatu upaya untuk mengurangi ketidak-pastian pahit di masa-depan, yaitu gagal bayar si pengutang. Kolateral adalah suatu paradigma penaklukan masa depan dalam alam perhutangan. Penaklukan masa depan ini bahkan nampaknya menjadi fitur fundamental bagi perkembangan inovasi finansial (baca: ekspropriasi nilai lebih melalui modus produksi keuangan). Sebut saja: sekuritisasi, Collateral Debt Obligation (CDO), derivatif, Credit Default Swap (CDS), options, futures, dst. semua ini adalah upaya untuk menaklukan masa depan yang pahit yang sebenarnya tidak ada yang bisa tahu pasti: resiko.6 Di masa neoliberal saat ini, penaklukan masa depan, atau bahasa populernya manajemen resiko, amat berbeda dengan masa sebelumnya. Kerja ini tidak hanya dilakukan oleh si kreditur dengan rupa-rupa inovasi akrobatik finansialnya, melainkan telah dialih-dayakan, di-outsource, ke si pengutang itu sendiri. Si pengutang dikondisikan untuk memanggul biaya dan juga resiko ekonomi yang fleksibel dan terfinansialisasi ini, yaitu akan ketidak-pastian, kemiskinan, pengangguran, kegagalan sistem kesehatan, rumah, dst. (51). Sebelum dialih-dayakan ke si pengutang, bukannkah hal ini adalah tugas dari negara dan perusahaan? Kini, sang pengutang harus mengarahkan masa depannya, mengatur hidupnya, mengoordinasikan jadwalnya, menyesuaikan pemikirannya, hasratnya, imajinasinya, bahkan doannya, tidak hanya dirinya sendiri, tapi juga sekelilingnya: anaknya, pasangannya, saudaranya, temannya, tetangganya,
Shakespeare, Merchant, babak 1, adegan 3, hal. 89. Dua karya seminal yang menunjukkan ini dengan sangat baik: Nassim N. Taleb, The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable (NY: Random House, 2007) dan Elie Ayache, The Blank Swan: The End of Probability (Sussex: Wiley, 2010).
6 5

bawahannya, partner kerjanya, pelanggannya, teman minum-birnya, dst.: semuanya ke arah kapital. Hidup, akhirnya menjadi: cari uang, cari uang dan cari uang. Tidak akan ada masa depan selain masa depan yang berkaitan dengan mencari uang. Inilah kebaruan neoliberalisme di era kapitalisme finansial hari ini, yaitu ia mampu merasuk dan menguasai setiap inci kehidupan dan mengorientasikannya demi sentosanya kapital. Tujuannya tetap, penguasaan masa depan pengutang, oleh pengutang itu sendiri hanya saja demi kepentingan profit si pemberi hutang. Sampai di sini Lazzarato menarik suatu simpulan berupa formulasi hutang dalam kaitannya dengan waktu. Yaitu bahwa hutang, berikut inovasi-inovasinya, selalu memiliki ambisi untuk mengatur, memerintah, menaklukan, dan menjinakkan masa depan, agar ia menjadi sesuatu yang sesuai dengan prediksinya, kalkulasinya, ramalannya. Untuk ini, hutang mengobyektivikasi waktu dan mengakuisisinya di masa kini. Masa depan yang tidak menentu, dijadikan sematamata kemewaktuan kronologis yang terprediksi dan terukur. Di sini jelas, hutang berupaya mengakuisisi kedua bentuk waktu: yaitu waktu sebagai ukuran waktu kerja dan aktivitas, dan waktu sebagai kemungkinan, sebagai pilihan, sebagai suatu pertaruhan. Mengenang diskusi Antonio Negri di Time for Revolution, yang pertama adalah kronos, dan yang kedua adalah kairos. Singkatnya, kapitalisme finansial telah sukses menyita kemungkinan-kemungkinan baru di masa depan yang tidak ramah baginya, dan nampaknya kita semua telah mengagunkan masa depan revolusioner itu untuk membiayai kehidupan kita di masa kini. Kita semua, siapapun kita, apapun ras, jender, agama, kewarganegaraan, hobi, pendidikan, jabatan, orientasi seksual, kemachoan, keseksian, ke-alay-an, dst., yang pasti, dihadapan kapitalisme finansial yang berjaya hari ini, kita tidak lebih sebagai subyek-subyek neoliberal yang dinamai Lazzarato sebagai homo debitor, manusia pengutang (the indebted man). Lalu bagaimana ini berkaitan dengan relasi kuasa? Untuk ini saya kira kita cukup perlu mempertanyakan setiap detil adegan dalam drama perhutangan yang telah dituturkan di atas: siapa yang berhak mengevaluasi pengutang? Dari mana ia mendapat hak tersebut? Dan atas dasar apa ia berhak menghukum? Apapun jawabannya, pertanyaan-pertanyaan ini jelas berujung pada kenyataan bahwa relasi sosial berbasiskan kredit, yaitu semua relasi sosial, tidak pernah dibasiskan pada suatu pertukaran yang simetris/setara. Teori kontrak pun juga menjadi kempis di sini saat ternyata ia hanyalah hipokrisi penguasa untuk menguasai rakyatnya, mempekerjakannya, dan akhirnya mengorbankannya (dalam adegan nasionalisme/patriotisme atau eksploitasi kerja). Relasi hutang, dengan demikian, adalah relasi kekuasaan yang asimetris. Dan inilah basis fundamental ekonomi hari ini, yang di atasnya seluruh bentuk aktual produksi bisa dilakukan: (menggunakan tritunggal Marx di Capital volume III) industrial, komersial dan finansial itu sendiribentuk produksi mana yang tidak butuh pendanaan hari-hari ini? Mungkin ini mengapa Marx menggunakan metafora darah untuk menjelaskan uang di alam kapitalisme. Tanpa darah, organ-organ tubuh tidak akan hidup dan berfungsi; tanpa uang, seluruh mesin kapitalis tidak akan berjalan. Sebagai penutup, saya ingin memberikan refleksi sedikit. Jika mengikuti karya Lazzarato, terutama teorisasinya mengenai kerja imaterial, mulai dari versi Trontian sampai ke Tardeo-neoLeibniziannya dan sampai di buku di mana ia mulai meninggalkannya, nampaknya kita perlu mepertahankan teori kerja imaterial dari si penteori itu sendiri. Sebagaimana di buku Les Rvolutions du Capitalisme,7 Lazzarato sudah menunjukkan bagaimana kerja material (produksi
7

Maurizio Lazzarato, Les Rvolutions du Capitalisme (Paris: Empcheurs de Penser en Rond / Le Seuil, 2004).

barang dan jasa) hanya bisa terjadi saat kerja imaterial terjadi (produksi dan reproduksi relasi sosial). Di situ juga ditandaskan bagaimana peran fundamental kerja imaterial adalah menyediakan dunia (makna, relasi, struktur, bahkan kemungkinan) bagi produksi material. Mulai dari senyum pramusaji sampai intervensi kurikulum pendidikan, bailout, dan kebijakan perang, sepanjang ia menyediakan dunia bagi produksi material, haruslah dipahami sebagai suatu kerja imaterial. Begitu pula penciptaan relasi debitur-kreditur dalam buku Making ini, ia juga harus di lihat sebagai suatu kerja imaterial. Jika dalam kapitalisme finansial, atau yang Lazzarato bersikeras menyebutnya sebagai ekonomi hutang (debt economy), dikatakan Lazzarato (dan Marazzi) bahwa distingsi material dan imaterial kerja sudah tidak relevan, maka sebenarnya ia hanya tidak mampu melihatnya saja. Tidak terlihat, bukan berarti tidak ada. 8 Jika kerja adalah selalu mempekerjakan kapital, maka perlu dirumuskan konsepsi baru mengenai kapital yang hasil kerjanya adalah relasi krediturdebitur. Lalu jika mempekerjakan kapital selalu mensyaratkan buruh, maka perlu dirumuskan konsepsi baru mengenai buruh dan mengenai kerja yang bentukpekerjaannya adalah memainkan hutang, resiko dan masa depan. Tanpa ini kita tidak akan pernah bisa menjawab, seperti Lazzarato, tentang bagaimana relasi debitur-kreditur bisa ada? Mungkin kita perlu berani menjawab, misalnya, bahwa ia telah ada sejak dunia diciptakan. Dengan kata lain, Tuhan lah yang menjadikannya ada. Kita terjemahkan dalam analisis kapitalisme: adalah Tuhan yang menjadi pekerja imaterial kapitalisme finansial, dan ia sedang dieksploitasi kapitalisme, dan ia juga harus diajak mogok. Seruan buruh sedunia, bersatulah harus juga mengajak Tuhan. Hanya ini satu-satunya cara untuk kita merebut kembali masa depan non-kapitalistik kita.[HYP]

Untuk sampai di pemikiran ini, saya terinspirasi dari diskusi dengan seorang mahasiswa Universitas Al Azhar yang skripsinya saya supervisi, Riyadhi Soekasah, yang mengatakan bahwa siklus M-M yang ditunjukkan dalam kapitalisme finansial adalah ilusiia telah selalu menyembunyikan C tak terlihat di tengah-tengahnya. (Cat. M = Money; C = Capital).

You might also like