You are on page 1of 3

Dunia Pendidikan Menapaki Tatanan Baru

Oleh

Widiatmoko
E.: moko.geong@gmail.com
W.: http://widiatmoko.blog.com
Jakarta, Indonesia

Pengantar
Carl R. Rogers dalam bukunya Freedom to Learn for the 80’s pernah mengungkapkan
gagasan-gagasannya yang menyentuh masyarakat intelektual, baik pada jamannya maupun pada
masa sekarang. Rogers dengan berani mengupas dengan bahasa yang sederhana dan lugas
perihal kisaran masalah pendidikan sebagai akibat dari perubahan keadaan yang berlangsung
pada saat itu. Begitu pula kajian terhadap fenomena di dunia pendidikan yang saat ini muncul
merupakan bagian yang tidak lepas dari kejeliannya untuk dikupas dengan menerjemahkan
setiap kata dalam terminologi pendidikan yang transparan dan mudah dipahami oleh kalangan
pendidik.
Tidak segan Rogers menyebutkan ketidakberhasilan suatu sistem pendidikan yang dia
jumpai di dalam pengimplementasiannya dengan kebutuhan nyata masyarakat. Sebagaimana dia
jumpai bahwa secara umum institusi pendidikan yang berkembang menganut sistem tradisional,
dengan model peraturannya yang diberlakukan.
Dia mengarahkan sasaran garapannya secara teoretik dan empirik dengan tujuan
menciptakan iklim saling percaya, membawa bentuk pada pembuatan keputusan dengan segala
aspek yang bertalian dengan pendidikan, membantu siswa untuk menghargai dirinya dan
membangun harga dirinya, mengembangkan performansi guru, dan membangun kesadaran
tentang kebebasan dirinya untuk menentukan arah hidupnya melalui pendidikan yang
ditempuhnya.

Fenomena Pendidikan
Rogers merupakan seorang yang menganut keyakinan bahwa sebuah institusi pendidikan
bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat birokratis, tradisional, konservatif dan enggan untuk
berubah. Hal yang secara nyata dijumpai bahwa masyarakat menghendaki pemenuhan
kebutuhan perubahan sebagai sebuah dinamika. Keyakinannya tidak lain adalah untuk
menawarkan suatu bentuk sekolah alternatif dengan kelas yang lebih bermakna dan memberikan
kesempatan untuk belajar secara independen serta mendorong dan membantu mereka untuk bisa
belajar secara lebih mendalam dan luas. Suasana manusiawi dalam belajar diupayakan agar
memberikan pengalaman dan rasa senang, menimbulkan rasa tanggung jawab, mempunyai
kompensasi pengetahuan dan keterampilan serta rasa percaya diri tentang masa depannya.
Ada dua jenis belajar, menurutnya, yaitu yang hanya melibatkan kemampuan otak dengan
memfokuskan pada optimalisasi kemampuan kognitif dan yang melibatkan sistem belajar yang
lebih bermakna dan berpijak pada pengalaman. Elemen yang ada pada jenis yang kedua ini
adalah pada kualitas keterlibatan personal, aspek kognitif, dan perasaan.
Pendidikan sebagaimana diketahui akan bermuara pada pemberdayaan otak kiri yang
digunakan untuk berpikir tentang hal-hal yang linear, lurus, dan logis. Ini lebih bersifat
algoritmik. Di samping itu, pendidikan juga memberikan kesempatan pada belahan otak kanan
yang digunakan untuk membuat hal-hal yang bersifat kreatif, intuitif, dan estetik. Secara empirik,
di dalam pendidikan ada kutub yang saling berseberangan yaitu pendidikan yang diatur secara
tradisional atau konvensional dan pendidikan yang berpusat pada manusia (person-centered) di
mana keduanya memungkinkan pemberdayaan otak kanan dan otak kiri.
Pendidikan konvensional memiliki karakteristik-karakteristik, seperti: guru adalah
profesor pengetahuan dan siswa adalah penerima yang diharapkan, pembelajaran dan buku teks
serta alat pengajaran intelektual merupakan metoda utama dalam memperoleh pengetahuan,
guru adalah profesor kekuasaan dan siswa adalah orang yang mengabaikannya, aturan
merupakan kebijakan yang diterima di kelas, siswa diatur dalam keadaan yang menakutkan, dan
demokrasi dan nilai diabaikan dalam praktik dan hanya intelek yang mendapat tempat dalam
pendidikan. Sedangkan pendidikan yang berpusat pada diri individu memiliki karakteristik-
karakteristik, seperti: seorang pemimpin adalah seorang yang dianggap sebagai figur dalam suatu
keadaan tertentu; guru mampu dan biasa berkomunikasi dengan siswa; orang tua atau anggota
masyarakat lainnya memiliki tanggung jawab di dalam proses balajar; guru merupakan fasilitator
yang menyediakan sumber belajar baik dari dalam dirinya atau dari pengalaman eksternalnya
yang berasal dari buku materi dan dari pengalaman masyarakat; siswa mengembangkan program
belajarnya sendiri atau dengan kelompok lainnya; suasana belajar fasilitatif disediakan;
memfokuskan pada peningkatan proses belajar; disiplin diperlukan untuk mencapai sasaran; dan
belajar cenderung mendalam.

Kebebasan dalam Belajar


Kebebasan untuk balajar atau belajar mandiri adalah konsep yang dimunculkan oleh ahli
tingkah laku yang percaya bahwa manusia adalah produk dari lingkungannya. Pertanyaan yang
muncul adalah apakah konsep kebebasan personal mempunyai arti dalam dunia ilmiah dewasa
ini.
Arti kebebasan yang pertama adalah sesuatu yang ada dalam diri seseorang yang terpisah
dari hal-hal luar, sedangkan pengertian yang kedua adalah sesuatu yang berada bukan sebagai
kontradiksi keadaan jiwa sebagai sebab akibat, tetapi sebagai pelengkap tehadap alamnya. Dan
kebebasan dipahami sebagai pemenuhan oleh seseorang terhadap serangkaian kehidupannya
yang teratur. Manusia yang bebas adalah manusia yang bergerak secara suka rela, bebas,
bertanggung jawab dan memainkan peranan yang ditentukan oleh pilihan dan kemauan spontan.
Akhirnya Rogers menyatakan bahwa kebebasan untuk belajar didasarkan pada fakta di
mana pendekatan manusiawi adalah faktor penting yang menentukan untuk menghasilkan
manusia yang bertanggungjawab dan mampu mandiri.

Kesenjangan Pendidikan
Sekarang yang timbul dan menjadi persoalan baru bagi dunia pendidikan adalah adanya
kesenjangan pendidikan yang sangat terasa dan perlunya perbaikan manajemen pendidikan yang
ada sekarang. Kesenjangan pendidikan yang sangat kentara ini sebagai akibat belum terjadinya
pemerataan dari sektor pendidikan untuk semua warga sehingga ketika sebuah departemen
hendak menerapkan pola yang sama sekali baru harus menunggu adanya pemerataan bagi
seluruh warga. Di sisi lain, yang terjadi adalah keterbelakangan sebagian warga untuk
mengenyam informasi aktual yang tidak pernah dijumpai warga.
Masalah manajemen pendidikan juga belum sepenuhnya mendukung pendidikan yang
berkualitas untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas dan dibutuhkan oleh masyarakat. Ini
berarti bahwa keluaran yang dihasilkan mampu memberi solusi yang ada di tengah masyarakat
sebab bagaimanapun juga sebuah negara juga akan diukur dari orang-orang yang mempunyai
kompetensi dan apa yang pernah dikatakan Plato bisa dan terulang pada periode yang berbeda
jamannya.
Apabila masalah manajemen pendidikan terus dibiarkan berlanjut dalam keadaan yang
sedemikian sehingga memungkinkan sekolah dan manajemen asing sudah mulai menyebar di
seantero negeri ini, bisa dipastikan warga negara yang di dalamnya terdapat kaum terdidik
benar-benar menjadi underbow yang tidak bisa berkembang dan mandiri sebagaimana Rogers
idealkan.
Sekitar tahun 1985-an sebuah gagasan pendirian kerjasama pendidikan di kawasan ASEAN
dicetuskan. Akhirnya terbentuklah sebuah kerjasama antaruniversitas se-ASEAN di mana
Indonesia diwakili oleh Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia. Tujuan dari
pendirian kerjasama ini tidak lain adalah untuk menyatukan kesamaan pandang di bidang sains
dan teknologi dan memberlakukan standar mutu yang sama bagi alumninya untuk secara
marketable memasuki era global di kawasan ini.
Sekarang bisa dibayangkan, apa yang terjadi kelak apabila dunia pendidikan di Indonesia
berhadapan dengan kondisi pada era global nanti. Bisakah dengan tanpa mengadakan perubahan
secara mendasar dengan sistem yang ada mampu memberi jawaban bagi kebutuhan konsumen
pada jamannya nanti? Format seperti apakah yang bisa menentukan nasib pendidikan ini untuk
berbenah diri, sehingga pada saatnya nanti bisa memberikan kontribusi yang mendalam dalam
menyentuh semua kalangan dan bisa bertahan hidup di tengah suasana kompetitif tersebut?
Mungkinkah pemerintah akan berupaya menata kembali sistem pendidikan dengan mengadakan
deregulasi pendidikan? Harapannya tentu saja adalah untuk memberi batasan bagi keleluasaan
pendidikan asing masuk ke negeri ini dengan menerapkan sistem yang jauh lebih unggul dari
sistem yang diterapkan pemerintah Indonesia yang bisa berakibat pada dampak yang
ditimbulkan yaitu berupa matinya dunia pendidikan Indonesia.
Oleh karena itu, pola yang perlu diterapkan bagi sistem pendidikan di Indonesia adalah
pola yang menganut dasar filosofis keindonesiaan seperti konsep Ki Hadjar Dewantara sebagai
perlawanan terhadap penjajah Belanda pada waktu dulu yang konsepnya sampai sekarang masih
dianut. Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah sampai kapankah konsep Ki Hadjar
Dewantara tersebut bisa bertahan. Adakah faktor-faktor di abad sekarang yang bisa
menimbulkan distorsi konsepnya?
Hal paling penting adalah dikuranginya intervensi pemerintah dalam bidang pendidikan
secara menyeluruh dan pemerintah seyogyanya menempatkan diri pada posisi sebagai penentu
kebijakan yang bersifat makro dan memberi garis-garis besar program pelaksanaannya. Namun
yang menjadi hal yang perlu digarisbawahi dewasa ini adalah bahwa pemerintah tidak pernah
memberikan keleluasaan bagi institusi pendidikan di Indonesia untuk berkreasi menentukan
nasib dan arah kualifikasi yang dimaui.
Jelaslah bahwa fenomena pendidikan di Indonesia sekarang ini sedang mengalami suatu
masa transisi. Satu sisi sistem pendidikan berada di pihak yang mempertahankan sistem
ketradisionalannya dengan masih menerapkan atau masih berlangsungnya aspek budaya
nasional yaitu adanya prinsip kepatuhan total di kelas dalam suasana pembelajaran (principles of
total obedience), adanya budaya tidak melontarkan pertanyaan ketika belajar di kelas sedang
berlangsung (unquestioning mind), adanya pandangan bahwa yang tua mengetahui segalanya
(elders know all), dan adanya pandangan bahwa guru tidak mungkin berbuat salah (teachers can
do no wrong). Pada sisi lain sistem pendidikan yang berlangsung sekarang sedang
mempersiapkan diri untuk menghadapi era global yang menuntut inovasi secara pasif demi
penciptaan keluaran yang mempunyai nilai jual tinggi. Hal ini berarti bahwa ia tidak hanya
mempersiapkan manusia untuk keperluan mesin-mesin industri, tetapi juga meghindari prinsip
dehumanisasi dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan transformasi
ilmu pengetahuan bagi semua warga negara.

You might also like