You are on page 1of 8

Rp. 2.

000

Edisi IX / JULI-AGUSTUS 2012

MERDEKA 100%

Sorak-sorak bergembira Bergembira semua Sudah bebas negeri kita Untuk slama-lamanya Indonesia merdeka! (Merdeka!) Menuju bahagia! (Bahagia!) Itulah tujuan kita Untuk slama-lamanya

arangkali kita tidak merasa asing dengan lagu Sorak-sorai Bergembira, yang biasa kita dengar atau nyanyikan dalam suasana perayaan HUT RI. Lagu ini singkat, namun penuh gelora kegembiraan, harapan, dan tekad. Kegembiraan karena merasa telah merdeka. Harapan akan apa yang terjanji di seberang jembatan emas yang bernama kemerdekaan. Tekad un-

tuk merealisasikan janji kemerdekaan. Tapi, setelah sekian lama merdeka bukan tidak mungkin lagu ini telah kehilangan geloranya. Atau lebih tepat, banyak orang tidak merasakan lagi gelora Sorak-sorak Bergembira. Tentu bukan tanpa alasan. Boleh jadi rakyat Indonesia sudah sedemikian terbiasa dengan kata merdeka, meski kata tersebut tidak berarti apa-apa kecuali tidak adanya lagi pemerintahan kolonial yang bercokol di negeri ini. Atau, bisa juga kebanyakan rakyat Indonesia sudah merasa apatis dengan istilah merdeka, kemerdekaan, atau yang sejenisnya. Biasanya orang-orang yang bergelut dengan realitas kemiskinan yang berpangkal pada kesewenangwenangan, penindasan, dan penghisapan

mengerti betul apa artinya kemerdekaan. Bagi mereka, istilah merdeka atau yang sejenisnya yang memenuhi udara setiap Agustusan tak lebih dari ungkapan-ungkapan ironis yang tidak memiliki makna kecuali menutupi kenyataan yang sesungguhnya: rakyat Indonesia masih terjajah dan belum merdeka.

Kemerdekaan: Kaum Moralis Burjuis


Para moralis burjuis sering berkata bahwa selama kemiskinan masih ada, selama itu pula rakyat Indonesia belum sungguh-sungguh merdeka. Sepintas, pernyataan mereka kedengaran benar. Tapi ketika mereka berbicara tentang ... Bersambung ke halaman 4

EDITORIAL
HUT RI ke-67 dan Pembebasan Nasional
Enam puluh tujuh tahun yang lalu, Indonesia membebaskan dirinya dari penjajahan Belanda. Kemerdekaan sudah kita proklamasikan dan kita rayakan setiap tahunnya, tetapi buruh dan tani masih terbelenggu. Yang ada adalah kemerdekaan bagi para kapitalis untuk menindas rakyat pekerja. Dalam kesempatan ini, koran Militan ingin mengulas apa arti kemerdekaan bagi kaum buruh dan tani, dan bagaimana kita bisa mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya. Berikut ini kami sajikan saduran dari dokumen Militan Perspektif Revolusi Indonesia: Sebuah Estimasi Pertama mengenai masalah kebangsaan di Indonesia dan bagaimana kaum buruh dapat menjadi pelopor untuk menyelesaikan ini. Indonesia telah menjadi sebuah rumah penjara bagi kelompok-kelompok nasional. Kesatuan Indonesia ada di bawah ancaman yang riil dengan prospek untuk berubah menjadi Balkan baru. Kaum borjuasi telah gagal untuk mempertahankan kesatuan Indonesia. Ia telah gagal memenuhi tugas utama dari revolusi borjuis demokratik. Kesatuan yang datang dari perjuangan melawan Belanda telah dihabiskan oleh kapitalisme. Inilah titik tolak kita. Di beberapa propinsi, aspirasi pembebasan nasional di antara rakyat pekerja telah menjadi sebuah realitas, terutama di Aceh dan Papua. Kita menentang segala macam penindasan terhadap kelompok-kelompok nasional, budaya, bahasa, dan agama. Kita berdiri dengan solidaritas penuh untuk kelompok-kelompok nasional yang tertindas dalam perjuangan mereka untuk membebaskan diri dari rumah penjara Indonesia. Secara konkrit ini berarti kita mendukung tanpa syarat hak demokratis dari kelompok-kelompok nasional tertindas untuk menentukan nasib mereka sendiri, termasuk sampai hak memisahkan diri. Akan tetapi kita berdiri dengan jelas untuk kebijakan kelas. Ini berarti bahwa adalah tugas kita untuk memberitahukan kepada saudara-saudari kita di Aceh dan Papua bahwa sekutu sejati mereka adalah kelas pekerja Indonesia. Kelas borjuasi di Aceh dan Papua tidak bisa dipercayai dan diandalkan untuk memimpin gerakan pembebasan nasional. Ketika para pemimpin borjuis Aceh dan Papua berbicara mengenai kemerdekaan dari Jakarta, mereka hanya berharap untuk dapat mengeksploitasi rakyat mereka sendiri tanpa campur tangan dari Jakarta, mereka hanya ingin kue eksploitasi yang lebih besar. Satu-satunya cara untuk memenangkan kepercayaan kamerad-kamerad tertindas kita, untuk memotong masalah kebangsaan dengan garis kelas, adalah dengan mengatakan kepada mereka bahwa kita mendukung hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, bahkan hak untuk berpisah, bahwa kita akan berjuang untuk membentuk sebuah pemerintahan buruh yang akan memberikan mereka hak penuh untuk menentukan nasib sendiri. Dengan posisi ini, kita mengatakan kepada kamerad-kamerad kita di Aceh dan Papua bahwa buruh Indonesia tidak punya kepentingan untuk menindas mereka. Pengalaman Timur Leste adalah sebuah bukti bahwa pembebasan yang sejati tidak dapat dicapai di bawah kapitalisme, dan bahwa pembebasan sejati dari kelompok-kelompok nasional di Indonesia terikat dengan perjuangan untuk sosialisme di Indonesia. Sudah lebih dari 10 tahun setelah kemerdekaan, populasi Timor Leste masih di antara yang termiskin di dunia. Ia telah menjadi sumber intrik antara kekuatan-kekuatan imperialis (Australia, Portugal, Tiongkok, AS, dan lainnya) untuk akses ke cadangan gas dan minyaknya yang besar dan sedang menghadapi represi yang semakin besar dari pemerintahan nasionalnya sendiri. Tanpa perubahan sistem politik di Indonesia, propinsi-propinsi yang terbebaskan masih akan ada di bawah dominasi ekonomi dan politik dari imperialisme Indonesia. Satu-satunya jalan ke depan adalah pembentukan sebuah persatuan sukarela dari Federasi Sosialis Indonesia, sebagai satu langkah menuju Federasi Sosialis Asia Tenggara dan Federasi Sosialis Dunia. Kaum borjuis dan nasionalis Indonesia telah membuktikan diri mereka tidak mampu memajukan masyarakat. Mereka bahkan tidak bisa memenuhi tugas-tugas revolusi borjuis demokratik: reforma agraria, kemerdekaan nasional sejati, dan demokrasi. Lebih dari 60 tahun telah berlalu sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia, dan tidak satupun dari tugas ini yang telah terselesaikan. Masalah tanah untuk kaum tani masih merupakan masalah yang mendesak. Kaum borjuasi sekarang, karena posisi ekonominya, tidak dapat diharapkan untuk melaksanakan reforma agraria. Sementara di masa lalu kaum borjuasi punya kepentingan untuk menghancurkan feodalisme dengan menyita tanah mere-

asalah kebangsaan masih merupakan sebuah isu utama. Secara historis, pembentukan sebuah negara-bangsa yang tersatukan adalah tugas dari kelas borjuasi. Di Indonesia, negara-bangsa diciptakan melalui perjuangan melawan Belanda. Akan tetapi, di bawah kerangka kapitalisme, negara-bangsa tertekan dengan sangat besar. Persatuan sukarela dari semua kelompok-kelompok nasional dan suku bangsa menjadi kebalikannya: persatuan yang dipaksakan untuk eksploitasi ekonomi di bawah slogan Bhinneka Tunggal Ika. Daerah-daerah di luar Jawa dirampas sumber dayanya dan trilyunan rupiah ditransfer ke Jakarta, pusat kekuasaan kapitalis. Kemiskinan adalah 10 kali lebih tinggi di luar Jakarta. Dari angka resmi tahun 1990, tingkat kemiskinan Jakarta adalah 1,3% sedangkan di NTT adalah 45,6%, NTB 27,6%, Papua Barat 12,6%, dst. Setiap kekecewaan dengan cepat dihancurkan dengan kekuatan bayonet. Bukan hanya eksploitasi ekonomi, kita juga melihat represi kebudayaan dan bahasa, dimana ratusan suku bangsa dipaksa berasimilisasi ke nasionalisme Indonesia dan kebudayaan mereka hanya menjadi atraksi turis dan pajangan steril di TMII.

ka dan membagikannya ke para petani, kaum borjuasi Indonesia sering adalah pemilik tanah juga. Tugas pembebasan nasional dari imperialisme juga adalah sesuatu yang tidak dapat diselesaikan oleh kelas borjuasi Indonesia. Mereka terlalu tergantung pada kapital asing. Semenjak kelahiran mereka, mereka telah bahagia menjadi pesuruh imperialisme. Kadang-kadang kaum borjuasi ini menggeliat dan menggonggong karena mereka merasa mereka patut mendapatkan kue penjarahan yang lebih besar, mengendarai kekecewaan rakyat untuk menggunakannya sebagai sebuah pentungan melawan tuan asing mereka. Secara politik impoten, kaum borjuasi nasional hanya dapat bersandar pada kekuatan rakyat pekerja; akan tetapi rasa takut mereka terhadap kebangkitan buruh dan tani adalah lebih besar daripada aspirasi mereka untuk kemerdekaan. Setelah mereka mendapatkan konsesi dari tuan mereka, mereka segera meletakkan retorika-retorika nasionalis dan tujuan mereka. Dalam masalah demokrasi, catatan sejarah kaum kapitalis Indonesia berbicara sendiri: 32 tahun kebungkaman dan bahkan partisipasi aktif ketika hak-hak demokrasi dasar diinjak-injak oleh Soeharto. Hak-hak demokrasi dasar seperti di negera-negara kapitalis maju masih jauh dari jangkauan bahkan setelah Reformasi 1998. Dari sinilah kita mendenisikan watak dari revolusi yang akan datang di Indonesia. Tugas-tugas borjuis demokratis yang belum selesai berarti bahwa revolusi selanjutnya di Indonesia adalah berkarakter borjuis demokratis, dalam arti bahwa ia harus menyelesaikan tugastugas historis dari revolusi borjuis: reforma agraria, demokrasi, dan pembebasan nasional dari imperialisme. Masalahnya kita tidak punya kelas borjuasi yang bisa melaksanakan tugas-tugas ini. Maka dari itu kelas buruh adalah satu-satunya kelas yang dapat menghantarkan revolu-

si borjuis demokratis ini. Akan tetapi, kelas buruh, setelah berkuasa guna menjalankan tugas-tugas ini, hanya dapat bergerak langsung ke tugas-tugas sosialis, dan maka dari itu menghubungkan revolusi borjuis demokratik dengan revolusi sosialis. Dalam perjalanan perjuangan ini, masalah kekuasaan akan dikedepankan dengan jelas di pabrik-pabrik dan di pemerintahan. Negara borjuis adalah sebuah mesin yang didesain secara khusus untuk kekuasaan kelas borjuis di atas rakyat pekerja, dan oleh karena itu rakyat pekerja supaya bisa berkuasa sejatinya tidak dapat menggunakan mesin yang sama. Oleh karena itu penghapusan negara borjuis dan pembentukan sebuah negara yang baru sebuah negara buruh akan menjadi agenda perjuangan. Ini adalah tugas sosialis. Kaum borjuasi juga akan menggunakan kekuatan ekonomi mereka untuk melawan buruh yang ingin berkuasa. Satu-satunya cara untuk melucuti kaum borjuasi adalah dengan menyita para kapitalis besar. Selain itu, implementasi luas dari kebijakan-kebijakan pro-buruh (kemandirian serikat buruh, 8-jam kerja, upah penghidupan, pensiun, dll.) oleh negara buruh yang baru akan dihadapi dengan sabotase ekonomi (misalnya pelarian kapital) oleh kapitalis. Di sini, slogan pabrik ditutup pabrik diokupasi akan menjadi konkrit. Okupasi pabrik-pabrik oleh buruh, pembentukan komite-komite pabrik, dan nasionalisasi pabrik-pabrik tersebut oleh pemerintahan buruh yang baru akan menjadi agenda perjuangan. Ini adalah tugas sosialis. Yang penting juga adalah perlunya penciptaan pekerjaan layak untuk 20 juta rakyat Indonesia yang menganggur dan 60 juta lainnya yang dipaksa bekerja di sektor informal. Tugas mendasar untuk menyediakan pekerjaan untuk semua orang memerlukan mobilisasi ekonomi yang luar biasa dari seluruh bangsa, yang tidak dapat dilakukan tanpa sebuah

ekonomi terencana di bawah kontrol demokratis rakyat pekerja. Di dalam era kapital nansial dan monopoli, ekonomi terencana hanya dapat dilakukan dengan nasionalisasi bank-bank dan bisnis-bisnis besar. Ini adalah tugas sosialis. Proletariat Indonesia adalah minoritas di antara rakyat pekerja Indonesia. Oleh karena itu buruh harus bisa membawa sektor-sektor tertindas lainnya (tani miskin, nelayan, kaum miskin kota, penganggur) ke panji mereka. Satu cara untuk melakukan ini adalah dengan secara serius merangkul perjuangan mereka dan menunjukkan bahwa solusi dari masalah-masalah mereka adalah melalui program kelas buruh. Tugas menciptakan pekerjaan untuk para penganggur dan kaum miskin kota hanya bisa dilakukan dengan ekonomi ternasionalisasi yang terencana. Reforma agraria sejati hanya bisa dilakukan dengan nasionalisasi pemilik tanah raksasa. Kredit murah hanya dapat diberikan kepada petani dan nelayan miskin bila bankbank dinasionalisasi. Industri-industri nasional milik negara akan mampu menyediakan traktor murah, pupuk murah, dsb. kepada petani. Dalam esensinya, ini adalah realisasi konkrit dari slogan Buruh Berkuasa Rakyat Sejahtera. Untuk memenangkan sektor tertindas lainnya, buruh harus memberikan kepemimpinan yang teguh. Maka dari itu, kita sudah melihat secara konkrit bagaimana tugas-tugas borjuis terhubung secara langsung dengan tugas-tugas sosialis. Laju dan cakupan dari tumbuhnya revolusi borjuis ke revo-lusi sosialis didikte oleh dua hal utama: pertama, tingkat kesiapan kaum proletar, dan terlebih lagi tingkat kesiapan pelopornya, kepemimpinannya; kedua, prospek revolusi sosialis di Asia Tenggara dan dunia. Sebuah kelas buruh yang sadar akan tugas historis ini dan siap dengan program yang jelas, inilah yang perlu kita bangun. [ ]

Kirimkan saran dan komentar Anda ke: militanindonesia@yahoo.com

www.militanindonesia.org
3

... Merdeka 100% (dari hal. 1) sebab-musabab kemiskinan dan solusi untuk mengatasinya, terungkaplah bias klas yang disadari atau tidak menelanjangi kemunakan mereka. Bagi para moralis konservatif, akar kemiskinan adalah kemalasan. Memerdekakan orang miskin berarti mengubah mentalitasnya, dari malas menjadi rajin. Dengan itu orang terbebas dari kemiskinan. Bagi para moralis liberal, akar kemiskinan adalah kebodohan. Memerdekakan orang miskin berarti memberinya pendidikan, supaya pandai, inovatif, dan kreatif. Dengan itu, orang terbebas dari kemiskinan. Dalam kenyataannya, para moralis konservatif dan liberal harus membuka mata terhadap kenyataan yang justru berkebalikan dengan pandangan mereka tentang akar kemiskinan dan solusinya. Meski ada beberapa orang kerja keras dan kepandaiannya berhasil meloloskan mereka dari kemiskinan, toh jauh lebih banyak orang yang meski pandai dan bekerja mati-matian dari pagi hingga petang yang tetap hidup dalam kemiskinan! Bukankah seharusnya semua orang yang suka bekerja keras dan pandai menjadi kaya? Atau haruskah kita membawa-bawa takdir, konsep relijius yang teramat sering digunakan untuk menjelaskan bahkan membenarkan suatu ketimpangan dan dengan demikian bercorak reaksioner? Bagi kaum Marxis, struktur masyarakat, yang bertumpu pada hubungan produksi, di situlah letaknya akar dan solusi terhadap kemiskinan. Segelintir orang yang memiliki alat-alat produksi sudah barang tentu memiliki peluang yang sangat besar untuk menumpuk kekayaan. Segelintir orang yang tidak memiliki alat-alat produksi mungkin beruntung untuk luput dari kemiskinan. Tapi sebagian terbesar justru harus merelakan dirinya dieksploitasi untuk memperkaya segelintir pemilik dan menikmati kemiskinan abadi. Justru struktur masyarakat kelas itulah yang diabaikan oleh para moralis burjuis! Mengapa? Ini: bila struktur masyarakat, yang terpilah ke dalam klasklas berdasarkan hubungan produksi, dilihat sebagai akar sekaligus solusi terhadap kemiskinan, maka kesimpulannya tidak bisa tidak selain mentransformasi hubungan-hubungan produksi itu. Itu berarti mengakhiri masyarakat klas dan membangun masyarakat baru tanpa klas. Dalam konteks Indonesia dan negeri-negeri lainnya sekarang ini, memerdekakan rakyat berarti mengakhiri kapitalisme dan mendirikan sosialisme!

Tepat pada titik inilah para moralis konservatif dan liberal, betapapun santun pembawaan mereka, akan berkata tegas: Tidak! Mereka yang terbiasa hidup dari jatah yang disisihkan burjuasi dari nilai lebih yang diperoleh dari cucuran keringat buruh tentulah tidak akan suka bila hubungan-hubungan produksi yang menjamin kenyamanan mereka harus diakhiri dan digantikan dengan hubunganhubungan produksi yang justru akan membuat moralisme idealistik mereka tidak laku di telinga rakyat pekerja!

Kemerdekaan: Burjuasi Nasional


Bagi kaum burjuis nasional, kemerdekaan berarti kekuasaan atas sejengkal tanah berikut penduduknya. Kekuasaan itu, yang tertubuh dalam wujud negara yang berdaulat mutlak penting bagi burjuasi nasional. Dengan itu kaum burjuis nasional bisa mengejar kepentingan ekonomi-politinya atas sejengkal tanah berikut penduduknya. Dengan kekuasaan itu, sejengkal tanah berikut penduduknya dimasukkan ke dalam hubungan-hubungan produksi kapitalis. Sejengkal tanah berfungsi sebagai lahan, yang dari dalamnya ia bisa berinvestasi, menggali tambang, atau beroleh bahan mentah untuk produksi. Sedangkan penduduknya berfungsi sebagai pemasok tenaga kerja sekaligus pasar yang menyerap komoditi. Di atas bangunan dasar hubunganhubungan produksi kapitalis ini, melalui para cendikiawannya burjuasi nasional memproduksi sejumlah konsep ideologis. Di antaranya: nasionalisme, yang menuntut kedaulatan suatu bangsa atas tanah airnya sendiri. Betapapun kedengaran benar, konsep ini bersayap. Rakyat

perang-perang kemerdekaan), padahal sesungguhnya membela kepentingan ekonomi-politik burjuasi. Dalam kasus burjuasi Barat, nasionalisme merupakan salah satu senjata ideologis yang ampuh untuk menumbangkan feodalisme. Nasionalisme juga yang menjadi dalih perebutan koloni-koloni sebagai lahan investasi, sumber bahanbahan mentah dan tenaga kerja, dan pasar produk para kapitalis. Dengan kata lain, perang-perang imperialis. Nasionalisme juga bertransformasi menjadi fasisme ketika burjuasi nasional berusaha menyelamatkan kapitalisme mereka dari keruntuhan. Satu bangsa, satu negara, satu pemimpin. Dalam kasus burjuasi negeri-negeri dunia ketiga, nasionalisme pernah menjadi daya pikat ideologis yang ampuh untuk menarik dukungan rakyat pekerja. Di Indonesia, nasionalisme mendorong rakyat pekerja mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), mendukung pemerintah membatalkan persetujuan Konferensi Meja Bundar, menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing (1957, yang kemudian dikuasai oleh petinggipetinggi militer), merebut Irian Barat dari Belanda, dan berkonfrontasi dengan negara boneka Inggris -- Malaysia. Akan tetapi burjuasi nasional negerinegeri dunia ketiga, termasuk Indonesia, dalam keterlambatannya muncul di panggung sejarah, terikat beribu benang dengan imperialisme dan feodalisme. Secara khusus di Indonesia, burjuasi nasional lahir dari perkawinan dua sistem yang eksploitatif: birokrasi kolonial dengan hirarki feodal. Hasil-nya adalah burjuasi nasional yang cacat, yang berwatak komprador (menghamba kepada

Maksud Tan Malaka jelas, Kemerdekaan 100% tidak terpisahkan dari kekuasaan proletariat dan transformasi hubungan-hubungan produksi dari yang bercorak kapitalistik menjadi sosialistik
pekerja akan memandang diri mereka sebagai bangsa, dan demikian mereka turut berdaulat atas tanah air mereka. Tapi bagi burjuasi, bangsa adalah istilah hegemonik. Sejatinya, burjuasilah yang berdaulat atas sejengkal tanah. Namun dengan mencakupkan rakyat pekerja ke dalam konsep bangsa, burjuasi beroleh keuntungan berlipatganda. Dengan itu, burjuasi bisa menggalang solidaritas (persatuan nasional) dan menggerakkan rakyat pekerja untuk memerdekakan dan mempertahankan tanah air mereka (misalnya dalam imperialisme), kapitalis-birokrat yang korup dan manipulatif, dan kapitaliskroni yang nepotistik dan kolusif. Sementara Indonesia telah menjadi negeri kapitalis dengan pertumbuhan ekonomi yang terbilang tinggi (rata-rata 6% pertahun) karena membuka diri lebar-lebar untuk dijarah-rayah oleh imperialisme, Indonesia juga tergolong di antara negeri yang paling korup dengan tingkat manipulasi hukum yang tinggi dan kesenjangan kaya-miskin yang semakin melebar. Tapi dalam batasan cakrawala pe-

mikiran dan mentalitas burjuasi nasional Indonesia, yang memahami kemerdekaan sebagai kekuasaan atas sejengkal tanah berikut rakyatnya, kenyataan itu tidaklah menjadi soal. Kendati mereka harus berbagi dengan imperialis di negeri mereka sendiri, toh watak cacat mereka terakomodir. Klas penguasa nasional ini hidup mewah di tengah penderitaan rakyat pekerja yang semakin tak tertanggungkan.

Merdeka Seratus Persen


Tanpa bermaksud menakan Revolusi Agustus 1945, dari perspektif Sosialis kiranya jelas bahwa kemerdekaan Indonesia tak kurang tak lebih dari berdirinya kekuasaan burjuasi nasional di atas sejengkal tanah berupa arkipelago Nusantara alias eks Hindia Belanda berikut penduduknya. Di atas sejengkal tanah itu berlakulah hubunganhubungan produksi kapitalis. Di sanalah para komprador, kapitalis birokrat, dan kapitalis kroni menjarah raya negeri ini, menghisap dan menindas rakyat pekerja, seraya menghamba pada imperialisme. Almarhum Bapak Republik Indonesia, Tan Malaka, mencetuskan Indonesia yang merdeka seratus persen. Maksud Tan Malaka jelas, kemerdekaan seratus persen tidak terpisahkan dari kekuasaan proletariat dan transformasi hubungan-hubungan produksi dari yang bercorak kapitalistik menjadi sosialistik. Sebagaimana dikemukakan Lenin dalam Negara dan Revolusi, transformasi hubungan-hubungan produksi mengisyaratkan penggantian mesin negara sebagai pelembagaan kekuasaan, dari negara kapitalis-kolonial birokrasinya menjadi negara klas pekerja. Hanya dengan jalan itulah rakyat pekerja benarbenar merdeka. Dalam risalah yang ditulisnya pada tahun 1930-an, Mencapai Indonesia Merdeka, Bung Karno berkata-kata tentang kekuasaan Marhaen alias wong cilik Indonesia. Menggambarkan kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju masa depan Marhaen yang adil dan makmur, Bung Karno menandaskan bahwa di seberang jembatan emas itu hanya ada dua kemungkinan bagi Marhaen: masa depan yang bahagia karena terwujudnya keadilan dan kemakmuran, atau masa depan yang celaka karena tidak terwujudnya keadilan dan kemakmuran. Menurut Bung Karno, keadilan dan kemakmuran tidak akan terwujud bagi Marhaen bila di seberang jembatan emas, bukannya Marhaen melainkan kaum burjuis yang berkuasa. Sebaliknya, keadilan dan kemakmuran akan terwujud bagi Marhaen bila kekuasaan negara ada di tangan

Marhaen. Kedengarannya visi Bung Karno sangat mirip dengan visi Tan Malaka. Meski demikian, perbedaannya sangat besar. Bung Karno tidak mengemukakan bagaimana Marhaen bisa berkuasa. Dalam kenyataannya, negara yang lahir melalui Revolusi Agustus 1945 sekadar mengambilalih mesin negara kapitalis kolonial dengan birokrasinya dengan pegawai dan aparat yang berbeda, semula berkulit putih sekarang berkulit sawo matang. Sebaliknya, sejalan dengan Lenin, Tan Malaka menggagaskan Indonesia Merdeka dalam wujud Republik yang mesin negaranya bertulangpunggungkan soviet-soviet atau dewan-dewan pekerja. Jadi bukan sekadar buruh berkuasa, tapi juga mesin negara yang dikemudikannya haruslah merupakan mesin negara yang baru, negara buruh, lengkap dengan demokrasinya, demokrasi pekerja, demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang sejati. Dengan jalan itulah, kemerdekaan seratus persen akan menjadi milik rakyat Indonesia: masyarakat yang adil dan makmur.

Lalu Bagaimana?
Kita mengerti bahwa Revolusi Agustus tidak bertransformasi menjadi revolusi sosialis. Revolusi tersebut bermuara pada negara burjuis. Dalam negara ini, kemerdekaan tinggal menjadi wacana para moralis, atau sarana burjuasi nasional mengeksploitasi sejengkal tanah berikut penduduknya. Karena itu, bila kita ingin memberi makna yang sejati pada kemerdekaan, kita perlu melihat prospek revolusi sosial yang tidak sekadar bermuara pada penyelesaian tugastugas demokratik (yang toh gagal dis-

elesaikan oleh burjuasi nasional karena terikat beribu benang dengan imperialisme dan feodalisme). Revolusi sosial itu harus bermuara pada konsekuensi yang paling jauh dan taat asas dari tugas-tugas demokratik, yakni tugas-tugas sosialis. Dengan kata lain, revolusi sosial bertransformasi menjadi revolusi sosialis. Dengan semakin mengglobalnya kapitalisme, krisis parah yang sedang melanda kapitalisme Barat akan menjalar ke seluruh dunia. Indonesia bukan pengecualian, mengingat Eropa sebagai pasar bagi ekspor bahan mentah Indonesia di satu sisi, sementara Indonesia merupakan salah satu lahan besar bagi investasi kapitalis Barat di sisi lain. Krisis yang kelak akan menghantam Indonesia akan menjadi kondisi obyektif meletusnya revolusi sosial. Kondisi obyektif itu akan meledakkan faktor subyektif yang semakin mendidih karena kemiskinan yang parah, kesenjangan sosial yang semakin melebar, dan korupsi yang merajalela. Revolusi sosial tidak dengan sendirinya menjadi revolusi sosialis. Ada kekuatan-kekuatan yang, seturut dengan kepentingan faksi kelasnya, akan membajak revolusi sosial. Burjuasi nasional yang sudah kehilangan pamor di mata rakyat akan berusaha mati-matian untuk mengarahkan revolusi sosial pada reformasi seperti yang terjadi sejak Mei 1998 dengan mengorbankan orangorang tertentu di pihaknya sembari melakukan tambal sulam terhadap sistem yang telah memberikan banyak privilese kepada mereka. Di pihak lain burjuasi Islamis yang akhir-akhir ini semakin berani unjuk gigi dengan perda-perda shariah, intoleransi, bahkan kekerasan atas nama agama, tentu akan berupaya

sekuat tenaga untuk menggelar konterrevolusi dengan menyingkirkan faksi burjuis nasional dari kekuasaan tanpa mengubah hubungan-hubungan produksi kapitalis. Dalam kedua kemungkinan itu, revolusi sosial akan gagal menjadi jalan pemerdekaan rakyat pekerja. Revolusi sosial akan menemukan muara sejatinya bila klas buruh tampil dengan garis kepemimpinan revolusioner dengan dukungan rakyat pekerja lainnya: kaum tani, kaum miskin kota, dan para pemuda. Untuk itu, proletariat harus didampingi oleh sebuah partai pelopor revolusioner dengan ide, program, metode, dan tradisi perjuangan yang tepat. Suatu partai klas buruh revolusioner, suatu partai yang sungguh-

sungguh bertipe Bolshevik, suatu partai para kader yang mempunyai interaksi yang intens dengan massa rakyat pekerja, akan sanggup memperlengkapi proletariat secara ideologis, strategis, dan taktis untuk menunaikan tugas sejarahnya: memerdekakan rakyat pekerja. Sekarang, bila Saudara tergugah untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang sejati, bergeraklah bersama kami! Mari kita mendidik diri kita dengan teori dan praksis revolusioner proletariat, yang tak lain adalah Marxisme revolusioner. Mari kita perkenalkan teori dan praksis ini kepada temanteman kita sesama rakyat pekerja. Mari kita bangun organisasi perjuangan yang berusaha mengejewantahkan teori dan

praksis revolusioner itu: Militan. Dengan mengepalkan tinju ke udara, mari kita bergerak untuk mewujudkan kemerdekaan yang sejati! Jadikan gelora lagu Sorak-sorak Gembira hidup kembali dan menggetarkan hati sanubari segenap rakyat pekerja Indonesia dengan kegembiraan, harapan, dan tekad memenangkan kemerdekaan yang sejati, kemerdekaan seratus persen! Di bawah kibaran panji proletariat revolusioner, rakyat pekerja Indonesia bersatulah! Merdeka! Pandu Jakasurya, Batam, Juni 2012

Pancasila, Bung Karno-isme, dan Sosialisme


Sampai mana kita kaum revolusioner bisa menggunakan Pancasila dan Bung Karno-isme untuk mencapai sosialisme? Apa memang kita bisa mengunakan Pancasila sebagai jembatan menuju sosialisme?
____________
Teddy Sanjaya

i awal gerakan menentang Orde Baru dan kapitalisme, hampir semua aktivis Kiri alergi dengan Pancasila dan akan sulit sekali kita temui orang Kiri yang menggunakan Pancasila sebagai atribut ataupun slogan agitasi propaganda mereka. Ini sebagian besar karena rejim Orde Baru menggunakan Pancasila sebagai pembenaran kediktaturan mereka, dan kaum muda yang revolusioner tidak menemukan sama sekali daya pikat di dalam Pancasila. Pancasila dilihat sebagai lambang kediktaturan yang berlumuran darah, dan sama sekali tidak ada nilai inspirasi perjuangannya. Kaum muda Indonesia menemukan inspirasi mereka dari luar Pancasila, sebagian dari nilai-nilai demokratis liberal, sebagian lagi yang lebih radikal dari sejarah perjuangan komunis (PKI) di Indonesia. PRD dan simpatisansimpatisan mereka masuk ke kategori yang kedua ini. Oleh karenanya ketika PRD akhirnya memutuskan menggunakan Pancasila sebagai atribut agitasi dan propaganda mereka, ada reaksi dari dalam gerakan yang menuding mereka telah meninggalkan cita-cita sosialisme sejati. Ini terutama diperparah dengan manuver mereka sebelumnya: beraliansi dengan PBR pada pemilu 2009.

Perubahan orientasi PRD dan juga sejumlah elemen lain di dalam gerakan ke Pancasila dan Bung Karno-isme (Marhaenisme) membawa pergulatanpergulatan ideologi, strategi, taktik, dan organisasi yang penting di dalam gerakan. Apakah perubahan orientasi ini bentuk dari oportunisme? Atau justru mereka yang tidak melakukan ini justru jatuh ke dalam ultrakiri-isme dan tidak memahami karakter bangsa Indonesia? Sampai mana kita kaum revolusioner bisa menggunakan Pancasila dan Bung Karno-isme untuk mencapai sosialisme?

Apa memang kita bisa menggunakan Pancasila sebagai jembatan untuk mencapai sosialisme? Dalam risalah yang singkat ini, saya akan berargumen bahwa Pancasila tidak bisa digunakan sebagai jembatan untuk menuju sosialisme, bahwa Bung Karno-isme atau Marhaenisme bukanlah Sosialisme atau Marxisme ala Indonesia. Pancasila lahir dari revolusi nasional Indonesia, yakni perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lebih tepatnya revolusi itu adalah revolusi borjuis demokratik. Revolusi borjuis demokratik adalah suatu revolusi yang tujuan utamanya adalah pembentukan negara bangsa yang mandiri dan demokratis. Di Eropa, Revolusi Prancis 1789 adalah satu contoh revolusi borjuis demokratik paling megah di muka bumi. Revolusi ini menghancurkan feodalisme dan menegakkan Republik Prancis yang demokratik. Gagasan-gagasan dari Revolusi Prancis sejak itu telah menjadi ilham bagi semua pejuang demokrasi. Di dalam Pancasila terkandung nilainilai revolusi borjuis demokratik, yang dari sejarah Revolusi Prancis bisa disarikan menjadi Libert, galit, et fraternit (Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan). Kebebasan, yakni merdeka dari

penjajahan dan segala bentuk penindasan manusia atas manusia. Kesetaraan, yakni keadilan sosial, kesetaraan di mata hukum, dan kesetaraan hak. Persaudaraan, yakni persatuan di antara semua rakyat. Semua sila dalam Pancasila, kecuali sila pertama, mengandung nilai-nilai ini. Namun sejarah telah membuktikan, bahwa pada akhirnya, Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan yang dieluelukan oleh revolusi borjuis ini hanyalah untuk kaum borjuis penguasa saja. Untuk kaum buruh dan tani, Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan ini tidak berlaku sama sekali. Di sinilah letak keterbatasan Pancasila. Ini bukan karena tidak ada penghayatan dan pelaksanaan Pancasila yang sejati, dan kalau saja semua orang mengamalkan Pancasila (atau nilai-nilai Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan) maka semuanya akan menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Tetapi ini karena karakter dasar dari Pancasila itu sendiri, yakni yang lahir dari revolusi borjuis demokratik. Ia tidak bisa menjadi jembatan menuju sosialisme, menuju masyarakat tanpa kelas, karena Pancasila sendiri tidak mengandung perspektif kelas. Sementara, Bung Karno-isme atau Marhaenisme yang sering dianggap oleh sejumlah kaum Kiri sebagai Marxismenya Indonesia pada dasarnya hanyalah sebuah gagasan populisme yang mengambil irisan-irisan dari Marxisme. Tidak sedikit pemimpin-pemimpin radikal pada jamannya Soekarno yang menggunakan retorika-retorika Marxisme dan Sosialisme karena gagasan-gagasan tersebut sangat kuat pengaruhnya di antara massa rakyat tertindas yang sedang bergerak melawan. Pemikiranpemikiran radikal Bung Karno menemukan gaungnya di antara massa rakyat yang luas pada tahun 1950an dan 1960an karena saat itu masyarakat Indonesia sedang memasuki tahapan revolusioner. Pemikiran Bung Karno adalah gagasan yang ada di antara reformisme dan Marxisme revolusioner, dan ini sesuai dengan mood massa yang sedang meletup-letup. PKI saat itu justru mengekor Soekano dan tidak memberikan kepemimpinan yang mandiri untuk massa yang sedang bergerak cepat ke arah gagasan Marxisme. Kegagalan PKI ini adalah topik tersendiri yang membutuhkan artikel berbeda. Kalau kita cermati Marhaenisme, jelas bahwa ia tidak mengandung tiga program pokok untuk mewujudkan sosialisme: penghapusan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi, perencanaan ekonomi yang terpusat dan demokratis, dan penghancuran negara borjuis beserta apara-

tus-aparatusnya, termasuk kesatuan angkatan bersenjata yang digantikan dengan sistem pemerintahan buruh yang baru dan yang berdasarkan kediktaturan proletar. Dan tentunya, aktor utama dari perwujudan sosialisme ini adalah kelas buruh dengan partai pelopornya. Kendati pidato-pidato dan tulisan-tulisan radikal dari Bung Karno, yang kalau dibaca dan didengar tampak 99% benar, namun dalam hal 1% yang di atas tersebut -- satu persen yang menentukan ini -- ia mengalami kekurangan. Inilah mengapa dengan begitu mudah gagasan Bung Karno-isme hancur berkeping-keping ketika dihantam kekuatan konterrevolusi. Kendati Bung Karno berbicara mengenai sosialisme, kepemilikan kolektif, dan berbagai hal yang radikal, ia menunda sosialisme ini dengan dalih bahwa Indonesia harus terlebih dahulu menyelesaikan revolusi nasional demokratik. Dalam kata lain, Indonesia harus terlebih dahulu menjadi sebuah negara kapitalis yang mandiri, bebas sepenuhnya dari feodalisme dan imperialisme, seperti negara-negara kapitalis Eropa lainnya. Oleh karenanya perjuangan kelas diletakkan di bawah perjuangan nasional. Kaum kapitalis nasional yang katanya progresif harus menjadi kawan dalam melawan feodalisme dan imperialisme, yang lalu mereka bisa menjadi kapitalis mandiri dan jaya seperti kapitalis-kapitalis Eropa dan memakmurkan negara. Setelah Indonesia menjadi negara kapitalis yang makmur dan maju, barulah tahapan revolusi sosialis bisa dilaksanakan. Patut dipertanyakan, ketika Soekarno dilengserkan, dimana para kawan kapitalis nasional progresif ini? Mereka berbaris rapi di belakang Letnan Jendral Soeharto. Yang gagal dipahami oleh Bung Karno adalah bahwa tugas-tugas revolusi nasional demokratik -- penghancuran feodalisme dan imperialisme -tidak bisa lagi menjadi tugas tersendiri yang terpisahkan dari revolusi sosialis, bahwa hanya perjuangan kelas yang bisa menuntaskan revolusi nasional demokratik. Juga bahwa tidak ada lagi yang namanya kelas kapitalis nasional yang progresif, dan oleh karenanya peran kepemimpinan revolusi jatuh di tangan kaum buruh yang beraliansi dengan tani. Ketika kaum buruh melangkah untuk menyelesaikan revolusi demokratik, ia terdorong juga untuk melangkah ke revolusi sosialis. Ini karena bahkan tugas revolusi demokratik yang paling dasarpun -- menyediakan sandang, pangan, papan yang layak untuk rakyat luas -- sudah tidak mungkin lagi terpenuhi

di bawah kapitalisme. Hanya nasionalisasi perekonomian dan sistem ekonomi terencana terpusat dan demokratis yang bisa memakmurkan rakyat. Dan untuk melakukan ini, hanya kekuasaan buruh yang mutlak yang bisa melaksanakan ini dengan konsisten dan tegas. Dari tahun 50an sampai 1965, Indonesia terombang-ambing di dalam pusaran revolusi tanpa bisa menuntaskannya karena gagasan Bung Karno menolak sosialisme sebagai tujuan yang segera. Revolusi bukanlah sesuatu yang bisa diperpanjang sesuka hati. Pada akhirnya harus ada satu pemenang. Kekuatankekuatan konter-revolusioner akhirnya menghantarkan pukulan maut mereka, dan mereka tahu siapa lawan utama mereka: kelas buruh dan partai mereka, Partai Komunis Indonesia. Gerakan buruh dibabat sampai ke akar-akarnya. Kekuatan-kekuatan konter-revolusioner mengenali perjuangan kelas, sementara Bung Karno dan PKI justru berusaha setengah mati menyangkal perjuangan kelas dan menolak melikuidasi kapitalisme. Inilah mengapa Pancasila dan Bung Karno-isme tidak bisa digunakan sebagai jembatan menuju sosialisme. Masa depan sosialisme di Indonesia tidak bisa dibangun di atas gagasan yang keliru. Sosialisme membutuhkan gagasan yang dalam totalitasnya konsisten dan tepat. Gagasan Marxisme memang harus disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Kita gunakan metode materialisme dialektika untuk melahirkan perspektif revolusi Indonesia. Untuk bisa melahirkan Marxisme ala Indonesia, maka tugas kaum muda adalah kembali lagi ke gagasan-gagasan dasar Marxisme: yakni membaca karya-karya Marx, Engels, Lenin, dan Trotsky. Kaum muda revolusioner hari ini harus memahami lsafat Marxisme dengan mendalam dan mendasar agar mereka lantas bisa memahami tugas revolusi Indonesia hari ini. Sejarah pemikiran para pejuang kemerdekaan seperti Bung Karno, Tan Malaka, dan yang lainnya harus kita pelajari dengan tekun juga, tetapi bukan dengan mengulang apa yang telah menjadi kekeliruan. Hari ini kita telah dilengkapi dengan banyak hal yang tidak dimiliki oleh gene-rasi sebelumnya: yakni sejarah. Bukan hanya sejarah perjuangan proletar Indonesia yang hampir berumur 100 tahun, tetapi juga sejarah perjuangan proletar dunia. Dengan ini kita semakin yakin akan kemenangan kita dan semakin teguh dalam perjuangan kita untuk menuju kemerdekaan kaum buruh dari belenggu kapitalisme. [ ]

Masalah Kebangsaan dan Peran Kaum Buruh Indonesia


____________
Sony Prasetyo
asalah kebangsaan di Indonesia hari ini menempati posisi yang signikan. Mengapa ini menjadi signikan untuk kita ulas? Indonesia adalah negara eks kolonial yang telah berhasil mencapai kemerdekaannya dengan serangkaian perjuangan panjangnya. Meskipun, Indonesia telah mencapai kemerdekaannya tidak lantas semua tugas demokratis nasionalnya telah terselesaikan. Secara historis, tugastugas demokratik nasional adalah reforma agraria, penyatuan pasar nasional yang independen, pembentukan parlemen yang demokratis, dan pembentukan negara-bangsa. Yang belakangan inilah yang menjadi salah satu masalah pelik di Indonesia. Masalah-masalah kebangsaan yang akhir-akhir ini mencuat ke permukaan, yaitu adanya gerakan dari sejumlah minoritas kecil bangsa kecil yang menuntut kemerdekaannya, misalnya Timor Leste yang telah mencapai kemerdekaan pada dekade lalu serta sekarang Aceh dan Papua, telah menambah sederetan persoalan nasional yang tak kunjung selesai. Karakteristik munculnya kesadaran nasional dari berbagai minoritas di dalam satu bangsa telah ada bahkan semenjak awal kelahiran kapitalisme. Kapitalisme telah menghancurkan partikularisme feodal dan menghancurkan batasan lokal untuk menjadi suatu pasar yang luas. Sebelum kapitalisme berkembang, masyarakat belum mengidentikasi dirinya sebagai sebuah entitas bangsa. Mereka mengidentikasikan dirinya sebagai sebuah kota, desa, dsb. Namun, ketika hubungan produksi lama sudah tidak bisa memenuhi cara produksi baru, entitas masyarakat pun berubah memenuhi corak produksi baru. Feodalisme adalah corak produksi yang bersifat lokal, sementara kapitalisme membutuhkan pasar yang luas. Oleh karenanya kapitalisme mendobrak berbagai lokalitas dan kedaerahan yang merupakan corak feodalisme dan menyatukan mereka ke dalam sebuah negara bangsa. Terbentuknya entitas bangsa adalah tugas sejarah progresif kaum borjuis di masa kelahirannya. Mereka menuntut sebuah pasar dan penyatuan wilayah nasional dan inipun bertentangan dengan feodalisme yang berbasis produksi ko-

moditas untuk kepentingan lokal. Atas kepentingan pasar inilah, kapitalisme berupaya untuk memenangkan dominasi di dunia dan menjadi sebuah mesin penindas bagi bangsa-bangsa yang lemah. Dan inilah apa yang disebut sebuah era imperialisme, dimana telah memicu gerakan nasional dari setiap bangsa yang telah dikolonisasi. Jadi, perjuangan nasional dari setiap bangsa mengalami berbagai tur. Pertama dalam era kelahiran kapitalisme dan yang kedua ialah di dalam era Imperialisme. Perjuangan nasional di era Imperialisme telah mengambil bentuknya ketika Imperialisme ingin memenangkan dominasinya atas negara-negara terbelakang dengan pergolakan invasi dan perang. Kondisi inilah yang telah memicu ledakan perjuangan nasional dari bangsa tertindas untuk mencapai kemerdekaannya. Di Indonesia, perjuangan nasional tidak terlepas dari kondisi ini. Dengan revolusi Agustus 1945, Indonesia telah mempersatukan ribuan pulau, suku, ras menjadi sebuah entitas bangsa. Setelah dipersatukan lewat revolusi kemerdekaan, mengapa di Indonesia sekarang muncul berbagai perjuangan kemerdekaan dari minoritas-minoritas seperti di Aceh dan Papua? Semenjak kelahirannya kapitalisme memberikan kemajuan bagi setiap pertumbuhan tenaga-tenaga produktif. Kompetisi dari pasar telah membuka pasar dan meluasnya perdagangan, dan semakin bertambah besar kapital yang dihasilkan dari dibukanya pasarpasar baru. Oleh karena itu kita tahu bagaimana kapitalisme merevolusionerkan hubungan produksi dan pertukaran. Namun sekarang kita temui kapitalisme tidak mampu lagi merealisasikan potensi kekuatan produksi manusia. Ia telah menjadi sebuah rem sejarah bagi perkembangan umat manusia. Krisis yang telah diramalkan sebelumnya oleh Marx telah menjadi momok bagi kehidupan manusia. Seluruh kehidupan manusia telah dipertaruhkan dalam spekulasi pasar. Munculnya kembali masalah kebangsaan di Indonesia mencerminkan kebuntuan kapitalisme dalam skala dunia, serta tidak adanya alternatif revolusioner yang sanggup untuk memberikan jalan keluar.

Kemiskinan dan keterbelakangan yang diakibatkannya memberikan kesimpulan pada kita bahwa permasalahan nasional adalah permasalahan tentang nasi. Di Papua, ini berakar dari eksploitasi Freeport yang mengangkut kekayaan Papua untuk kapitalis-kapitalis di Jakarta dan dunia. Di Aceh, ini juga berakar dari eksploitasi migas oleh kapitalis Indonesia dan dunia. Solusi dari masalah nasional tidak bisa diselesaikan dalam batasan sempit kapitalisme. Borjuis di negara-negara eks kolonial sudah tidak mampu lagi menyelesaikan masalah kebangsaan, atau masalah apapun di dalam masyarakat. Tugas menyelesaikan masalah kebangsaan terletak pada satu-satunya klas yang revolusioner, yakni klas buruh. Klas buruh Indonesia menghadapi tugas sejarah yang harus dipikulnya: menyelesaikan masalah kebangsaan di satu sisi, dan penggulingan kapitalisme di sisi lain. Dua tugas ini tidak terpisahkan karena pembebasan yang sejati dari minoritasminoritas yang tertindas tidak akan tercapai tanpa penggulingan kapitalisme. Perjuangan kemerdekaan Aceh dan Papua telah mengekspresikan keinginannya untuk membentuk tanah air mereka sendiri. Timor Leste telah menjadi contoh bahwa kemerdekaan formal adalah sebuah kemerdekaan semu yang tidak menyelesaikan masalah fundamental rakyat pekerja Timor Leste. Mereka jadi bulan-bulanan kapitalisme dunia, dan kondisi hidup mereka tidak mengalami perubahan fundamental. Hanya sebuah metode dan program sosialis yang mampu menyatukan klas pekerja Aceh, Papua, dan seluruh Indonesia. Kemerdekaan politik tidak akan ada artinya bila tidak ada kemerdekaan ekonomi bagi kaum buruh, yang secara konkrit mensyaratkan nasionalisasi pabrik dan perbankan di bawah kendali buruh dan dijalankan dengan sistem perekonomian terencana. Program ini juga harus disertai dengan seruan pembentukan Federasi Sosialis Asia Tenggara, yang akan menjadi alternatif riil dari dominasi imperialisme. Dengan Federasi ini, buruh dari berbagai negara dapat bahu membahu membangun sosialisme sedunia yang berdasarkan persaudaraan dan bukan penindasan manusia atas manusia. [ ]

You might also like