You are on page 1of 44

Kelainan Degeneratif Vertebra Cervical

Epidemiologi Perubahan degeneratif vertebra cervical biasanya disebut sebagai spondilosis cervical. Entitas ini merupakan kelompok campuran patologi yang melibatkan diskus intervertebralis, vertebra, dan/atau sendi yang berkaitan dan dapat disebabkan oleh penuaan ("keausan", degenerasi) atau sekunder terhadap trauma. Gejala klinis utama kelainan ini adalah nyeri leher, yang sering dikaitkan dengan nyeri bahu. Perubahan degeneratif yang terjadi dapat menyebabkan stenosis

sentral atau foraminal yang menekan radiks atau sumsum tulang belakang (Gambar 1). Kelainan ini masing-masing disebut dengan radikulopati spondilotik cervical (CSR) dan mielopati spondilotik cervical (CSM). CSR harus dibedakan dari radikulopati akibat herniasi diskus. Dalam sebuah survei nasional Belanda, terdapat 23,1 kejadian per 1.000 orang/tahun untuk nyeri leher dan 19,0 per 1.000 orang/tahun untuk gejala bahu [38]. Dokter umum Belanda memberikan konsultasi sekitar tujuh kali setiap minggu untuk keluhan yang berhubungan dengan leher atau ekstremitas atas, tiga di antaranya berupa keluhan baru atau episode baru [38]. Kejadian tahunan nyeri leher adalah 14,6% dalam penelitian kohort yang melibatkan 1100 Saskatchewan dewasa yang dipilih secara acak, 0,6% di antaranya mengalami nyeri leher yang menyebabkan disabilitas [66]. Perempuan lebih mungkin untuk mengalami nyeri leher dibandingkan laki-laki [66]. Pada sebuah penelitian yang melibatkan 4415 subyek di Swedia, diperoleh angka prevalensi nyeri leher sebanyak 14,5%. Lima puluh satu persen subyek dengan nyeri leher juga mengalami nyeri punggung bawah kronis [108]. Riwayat cedera leher dilaporkan oleh 25% pasien dengan nyeri leher [108]. Dalam penelitian prospektif longitudinal di Perancis, angka prevalensi dan insidensi nyeri leher dan bahu dinilai dalam situasi okupasional [48]. Peneliti menemukan bahwa prevalensi (laki-laki 7,8%, perempuan 14,8% pada tahun 1990) dan insidensi (laki-laki 7,3%, perempuan 12,5% untuk periode 1990-1995) nyeri leher dan nyeri bahu kronis meningkat sesuai dengan usia, dan lebih tinggi

pada perempuan daripada laki-laki. Angka hilangnya nyeri leher dan nyeri bahu kronis menurun seiring bertambahnya usia. Penelitian ini juga menegaskan bahwa kondisi kerja yang merugikan (misalnya pekerjaan berulang-ulang di bawah tekanan waktu, pekerjaan yang berat pada pria, pekerjaan berulang-ulang pada wanita) memberikan kontribusi terhadap terjadinya nyeri leher dan bahu, terlepas dari usia [48]. Radikulopati cervical lebih jarang terjadi daripada nyeri leher dan bahu dengan prevalensi 3,3 kasus per 1000 orang. Insidensi tahunan puncak adalah 2,1 kasus per 1000 orang dan terjadi pada dekade ke-4 dan ke-5 kehidupan [278]. Pada populasi Sisilia yang terdiri dari 7653 subyek [237], terdapat radikulopati spondilotik cervical dengan prevalensi sebanyak 3,5 kasus per 1000 orang, yang memuncak pada usia 50-59 tahun, dan menurun setelahnya. Prevalensi spesifik usia secara konsisten lebih tinggi pada perempuan [237]. Sebuah survei epidemiologi radikulopati serviks di Mayo Clinic di Rochester [222] mengungkapkan bahwa rata-rata angka insidensi tahunan yang disesuaikan menurut umur per 100.000 populasi untuk radikulopati cervical adalah 83,2 (107,3 untuk laki-laki, 63,5 untuk perempuan). Angka insidensi tahunan spesifik usia per 100.000 penduduk mencapai puncak pada kelompok usia 50-54 tahun yaitu sejumlah 202,9 kasus. Riwayat aktivitas fisik atau trauma sebelum timbulnya gejala terjadi pada hanya 14,8% kasus. Durasi median dari gejala sebelum diagnosis adalah 15 hari. Monoradikulopati yang melibatkan radix nervus C7 merupakan yang paling sering, diikuti oleh C6. Protrusi diskus bertanggung jawab untuk terjadinya radikulopati cervical pada 21,9% pasien, pada 68,4% pasien berkaitan dengan spondilosis. Selama median durasi follow up 4,9 tahun, terjadi rekurensi pada 31,7% pasien dan 26% pasien menjalani operasi untuk radikulopati cervical. Pada follow up terakhir, 90% pasien menjadi asimtomatik atau hanya mengalami disabilitas ringan akibat radikulopati cervical [222]. Data epidemiologi mielopati spondilotik cervical belum dieksplorasi dengan baik. Hasil proses penuaan pada perubahan degeneratif tulang cervical, pada stadium lanjut, dapat menyebabkan kompresi sumsum tulang belakang. Hal ini merupakan penyebab paling sering dari disfungsi sumsum tulang belakang

pada orang tua [300]. Suatu bentuk khusus dari mielopati cervical disebabkan oleh osifikasi ligamentum longitudinal posterior. Penyakit ini adalah penyakit multifaktorial di mana faktor genetik dan lingkungan yang kompleks berinteraksi. Penyakit ini terutama ditemukan di populasi Asia [134]. Pada populasi Jepang, angka prevalensi yang dilaporkan berkisar dari 1,8% hingga 4,1% [169, 196, 254]. Angka prevalensi osifikasi ligamentum longitudinal posterior vertebra cervical secara signifikan lebih rendah pada populasi Cina (0,2%) dan Taiwan (0,4%) [169]. Penilaian radiografik pada film vertebra cervical di Rizzoli Orthopaedic Institute di Bologna, Italia, menunjukkan angka prevalensi 1,83% dengan puncaknya pada kelompok usia 45-64 (2,83%). Prevalensi ini lebih tinggi daripada prevalensi yang dilaporkan sejauh ini pada populasi ras kulit putih [266].

Patogenesis Perubahan berkaitan dengan usia pada diskus intervertebralis memulai kaskade degeneratif dan menyebabkan kerusakan progresif dari segmen gerak (lihat Bab 4). Penurunan ketinggian diskus menyebabkan pembengkakan diskus akibat perubahan progresif pada matriks ekstraseluler diskus. Mikroinstabilitas mengakibatkan hiperostosis reaktif dengan pembentukan osteofit pada lempeng vertebra yang dapat menembus ke dalam kanalis spinalis dan menekan medulla spinalis dan radiks (Gambar 1 ). Osteofit pada sendi facet dan sendi uncovertebra mengurangi mobilitas segmen. Ketidakstabilan segmen menyebabkan hipertrofi ligamen kuning dan menyebabkan penyempitan kanalis spinalis dan foramen spinal. Selama stadium degenerasi segmental berikutnya, dapat terjadi kifosis dari vertebra cervical dan selanjutnya dapat menekan radiks dan medulla spinalis [250] . Meskipun spondilosis cervical dapat menyebabkan gejala seperti nyeri leher, radikulopati spondilotik cervical dan mielopati spondilotik cervical, perlu ditekankan bahwa sebagian besar perubahan tidak menunjukkan gejala (asimptomatik) [29].

Nyeri Leher Penyebab paling umum dari nyeri leher subaxial adalah faktor muskuler dan ligamen yang berhubungan dengan postur yang tidak benar, ergonomi yang buruk dan kelelahan otot [223]. Diskus intervertebralis dan sendi facet memiliki banyak persarafan [51, 81, 176]. Oleh karena itu, perubahan degeneratif dapat menyebabkan timbulnya nyeri (lihat Bab 4, 5)

yang menunjukkan penyebab spesifik dari nyeri leher. Namun pada sebagian besar kasus, tidak dapat ditemukan adanya kelainan struktural yang berkorelasi untuk menjelaskan nyeri leher aksial, misalnya nyeri leher paling sering adalah non-spesifik.

Herniasi Diskus Cervical Radikulopati cervical karena herniasi biasanya terjadi selama tahap awal degenerasi segmen gerak dan terutama mempengaruhi individu pada dekade ke-4 dan ke-5 kehidupan [222]. Penyebab utama herniasi diskus adalah perubahan yang berkaitan dengan usia pada diskus intervertebralis yang menyebabkan anulus fibrosus rentan terhadap robekan (lihat Bab 4). Yang disebut "herniasi lunak" menunjukkan kemampuan resorpsi spontan terutama pada kasus dengan ekstrusi dan sekuestrasi diskus. Suplai vaskular mungkin berperan dalam mekanisme resorpsi. Tahap dan posisi ekstrusi dianggap sebagai faktor penting yang mempengaruhi resorpsi herniasi diskus cervical [177]. Patofisiologi radikulopati melibatkan deformasi mekanik dan iritasi kimiawi dari radiks [232]. Pelepasan sitokin proinflamasi dan faktor pertumbuhan saraf (NGF) akhir-akhir ini diidentifikasi memiliki peran besar dalam perkembangan nyeri lengan radikuler [27]. Pemahaman kita saat ini tentang patogenesis herniasi diskus terkait radikulopati terutama didasarkan pada studi tentang vertebra lumbal. Oleh karena itu, penulis lebih memilih untuk memberikan gambaran rinci masalah ini dalam Bab 18.

Radikulopati Spondilotik Cervical Radikulopati spondilotik terjadi selama tahap akhir dari degenerasi segmen gerak dan disebabkan oleh osteofit pada lempeng, sendi facet dan uncovertebral yang mempersempit kanalis spinalis dan neuroforamen (Gambar 1). Penjepitan radiks ini (sering disebut sebagai "herniasi keras") tidak secara spontan membaik dan biasanya menunjukkan kerusakan progresif perlahan-lahan. Humphreys et al. [130] menunjukkan bahwa pada pasien simptomatik, tinggi, lebar, dan luas foramen lebih kecil daripada kelompok kontrol asimptomatik. Stenosis foramen dapat menyebabkan iritasi radiks secara permanen atau intermiten dan dapat menyebabkan hipoksia dari radiks saraf dan ganglion radiks dorsalis. Pelepasan sitokin proinflamasi dan NGF berikutnya bertanggung jawab atas pembentukan nyeri radikuler [272]. Resolusi spontan dari proses inflamasi ini dapat terjadi dan menjelaskan mengapa beberapa pasien dapat mengalami periode asimtomatik yang lama. Hal ini didukung oleh temuan bahwa kejadian radikulopati tidak berkorelasi erat dengan usia meskipun terdapat perubahan radiologis yang meningkat sesuai usia [278].

Mielopati Spondilotik Cervical (CSM) Berbeda dengan vertebra lumbal, penyempitan kanalis spinalis oleh herniasi diskus atau osseus spurs dapat menyebabkan defisit neurologis berat karena penekanan langsung medulla spinalis mengakibatkan sindrom klinis mielopati. Mielopati spondilotik cervical biasanya dapat menyebabkan berbagai gangguan neurologis seperti gaya berjalan spastik, ataksia, hiperefleksia, gangguan sensorik, gangguan sfingter, dan defisit motorik. Derajat dan kombinasi setiap gejala dapat bervariasi secara luas dan tidak ada hubungan erat antara derajat kompresi dan gejala klinis. Patofisiologi CSM melibatkan [16, 32, 80]: Faktor statis Faktor dinamis Faktor biologis dan molekuler

Faktor Statis Diameter sagital normal kanalis spinalis (C3-7) adalah 14-22 mm [44, 74, 119, 207] dengan cukup ruang untuk elemen saraf, ligamen dan lemak epidural. Medulla spinalis menempati sekitar tiga perempat ukuran kanalis spinalis di vertebra subaxial [80]. Penyempitan ukuran kanalis spinalis dapat terjadi akibat degenerasi diskus, osseus spur vertebra, pembentukan osteofit pada tingkat sendi facet, dan hipertrofi, kalsifikasi atau osifikasi ligamen kuning [205]. Pasien dengan kanalis spinalis sempit secara kongenital (< 13 mm) memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gejala mielopati servikal [9, 74]. Penning et al. [209] menunjukkan bahwa kompresi konsentris medulla spinalis mengakibatkan tanda long tract hanya setelah luas penampang medulla spinalis berkurang sekitar 30% menjadi sekitar 60 mm2 atau kurang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Teresi dkk. [267], yang melaporkan bahwa kompresi medulla spinalis ditemukan pada tujuh dari 100 pasien asimtomatik. Persentase pengurangan daerah medulla spinalis tidak pernah melebihi 16% dan rata-rata sekitar 7%. Ogino et al. [194] menemukan bahwa tingkat kompresi medulla spinalis berkorelasi baik dengan rasio diameter anteroposterior dan diameter transversal, yang disebut sebagai rasio kompresi anteroposterior.

Faktor Dinamis Kompresi dinamis tampaknya berperan penting dalam mielopati spondilotik cervical . Fleksi vertebra cervical menyebabkan pemanjangan medulla spinalis yang dapat diregangkan melebihi spondilosis vertebra posterior. Pada kanalis spinalis yang telah mengalami penyempitan gerakan ini dapat merusak struktur medulla spinalis anterior [80]. Ekstensi vertebra cervical menyebabkan ligamentum flavum melengkung dengan kompresi dorsal medulla spinalis, ditambah lagi dengan kompresi anterior akibat bulging diskus posterior dan/ atau osteofit corpus vertebra [80]. Hal ini mengakibatkan efek jepitan yang berisiko besar pada neuron medulla spinalis [40, 201, 205]. Degenerasi diskus tahap lanjut dan penurunan tinggi badan memungkinkan gerakan translatif dengan spondilolisthesis pada arah anterior atau posterior mempersempit kanalis spinalis

2-3 mm. Penurunan ketinggian diskus dan hipermobilitas dari sendi facet dapat menyebabkan hilangnya lordosis dan akhirnya kyphosis. Perubahan dinamis dan kifosis yang memberat menyebabkan regangan dan gaya geser pada medulla spinalis [16].

Faktor Biologis dan Molekuler Faktor vaskuler dapat berperan penting dalam pembentukan mielopati. Mekanisme mekanik dan vaskuler dapat menambahkan satu sama lain. Medulla spinalis yang terkompresi tidak akan mentolerir berkurangnya perfusi dan medulla spinalis yang memiliki vaskularisasi sedikit tidak akan mentolerir kompresi [98, 252]. Pada medulla spinalis akan berdampak pada pola iskemia yang terjadi dan juga pada degenerasi aksonal. Pembuluh darah melintang yang masuk muncul melalui sulcus anterior dari system arterial sangat rentan terhadap tekanan dan sangat mungkin mengakibatkan iskemia awal dan degenerasi dari substansia grissea dan bagian medial substansia alba (sindrom medulla spinalis anterior). Iskemiaa medulla spinalis terutama berdamak pada oligodendrosit yang mengakibatkan terjadinya demyelinisasi sehingga muncul gejala gangguan degenerasi kronis (seperti multiple sklerosis). Pada umumnya traktus kortikospinalis sangat rentan dan mengalami demyelinisasi awal yang menginisiasi dari perubahan patologis dai myelopati cervical. Mekanisme statis mengakibatkan kompresi, pencukuran dan distraksi, dan akibat dari repetisi dinamis tersebut terlihat sebagai luka awal dimana iskemia dan mekanisme setelahnya terlihat pada tingkat molecular dan selular sehingga dianggap sebagai luka sekunder. Mekanisme sekunder tersebut terdiri dari : Toksisitas glutamatergis Perlukaan sel yang dimediasi radikal bebas Perlukaan sel yang dimediasi oleh kation Apoptosis

Perubahan sekunder tingkat selular dan molecular yang mempengaruhi fungsi medulla spinalis Trauma dan iskemia mengakibatkan peningkatan kadar glutamate ekstraselular yang dianggap bersifat eksitotoksik yang mengakibatkan kematian neuron. Pembentukan radikal bebas dan reaksi peroksidase lipid memperburuk sensitivitas neuron terhadap efek eksitotoksik dari glutamate. Kegagalan pompa Natriumkalium adenosine triphospatase mengakibatkan penumpukan dari Na-aksonal melalui kanal Natrium yang aktif. Kanal natrium dapat mengakibatkan masuknya Kalsium yang mengaktifkan berbagai enzim (misalnya calpain, fosfologase dan protein kinase C) yang mengakibatkan perlukaan pada sitoskeletal. Apoptosis nampak sebagai proses biologis yang mendasari deficit neurologis progresif yang diamati pada spondilitis cervicalis myelopaty. Temuan umum dari berbagai pengamatan dari gangguan medulla spinalis adalah bahwa oligodendrosit nampaknya menjadi sensitive terhadap berbagai perlukaan oleh karena proses oksidatif, kimiawi, dan mekanis. Semuanya mengakibatkan ologodendrosit menjadi apoptosis. Apoptosis dari oligodendrosit dianggap sebagai awal dari degenerasi aksonal dan berperan terhadap ekspresi dari deficit neurologis yang ireversibel oleh karena perubahan destruktif medulla spinalis patologis dibawah kompresi mekanis kronis yang terlihat pada CSM.

Polimorfisme gen terkait dengan OPLL Salah satu kesatuan adalah Osifikasi dari ligamentum longitudinalis Posterior (Ossification of the posterior longitudinal ligament /OPPL), yang berdampak sebagian pada orang Jepang dan mengakibatkan pada stenosis progresif pada kanalis spinalis cervivalis dan sebagian CSM. OPPL merupakan penyakit multifactor dimana terdapat kompleks genetic dan faktor-faktor lingkungan yang berperan penting terhadap penyakit tersebut. Analisis genetic telah

mengidentifikasikan kolagen spesifik polimorfisme gen yang mungkin terkait dengan OPLL, yang mengkode matriks protein ekstraselular. Baru-baru ini, terlihat bahwa polimorfisme dari gen-gen pyrophatase nukelotida (NPPS) berperan penting pada pathogenesis OPLL. NPPS meruakan suatu glikoprotein

yang terikat dengan membrane yang dianggap memproduksi pyrophospatase yang berperan seperi inhibitor utama dari proses kalsifikasi dan mineralisasi. Lebih jauh lagi, terlibatnya berbagai faktor seperti sitokin sitokin termasuk protein morfogenetik dan faktor pertumbuhan q, telah teridentifikasi pada berbagai analisis histokimia dan sitokimia. Penelitian epidemiologis terbari

mengkonfirmasi temuan awal dimana penyakit Diabetes Mellitus merupakan faktor nyata dari penyakit OPLL.

Gejala klinis Pasien dengan gangguan cervicalis degenerative dapat menunjukkan berbagai gejala mulai dari yang bersifat rigan, nyeri leher yang terbatas pada hingga nyeri ekstremitas atas dengan deficit neurologis progresif. Tujuan utama dari penilaian klinis adalah untuk mendifferensiasikan gangguan servikal spesifik (semisal dengan adanya korelasi patomorfologikal) dengan gangguan servikal non spesifik dimana tidak terdapat korelasi patomorfologikal. Pada gangguan servikal spesifik, korelasi patoorfologikal dapat ditemukan dimana konsisten dengan gejala klinis. Sedangkan pada gangguan servikalis non spesifik sulit ditemukan korelasi. Pasien hanya dapat diklasifikasikan pada grup non spesifik setelah pasien tersebut menjalani pemeriksaan klinis dan diagnostic. Pasien seringnya menunjukkan sindroma nyeri pada leher dan bahu, dimana kadang sulit untuk membedakan apakah keluhan tersebut berasal dari leher atau bahu. Sebelum diagnosis nyeri leher non spesifik dapat dibuat, perlu menyingkirkan diferensial diagnosis lainnya seperti gangguan pada bahu, atau sindrom jepitan saraf. Pada bab ini, kami akan fokus pada pendekakan berorientasi patologi. Aspek umum dari anamnesis dan pemeriksaan fisk akan dijelaskan di bab 8.

Anamnesis Membedakan nyeri pada leher dan lengan Gejala yang predominan yang muncul pada pasien dengan gangguan servikalis degenerative adalah nyeri. Jarang sekali pasien mengeluh gejala neurologis tanpa disertai nyeri. Pertanyaan kunci untuk membedakan asal nyeri terdapat di tabel 2. Pada pasien dengan gejala predominan nyeri lengan, maka gejala tersebut seringnya merupakan bagian dari sindrom radiks atau myelopati (lihat tabel 3) Kunci untuk menemukan pasien dengan sindrom radikular adalah nyeri radikular semisal nyeri yang menjalar dengan distribusi dermatomal. Deficit pada saraf sensoris, motoris dan refleks tergantung pada akar saraf yang terlibat. Perlu dicatat bahwa nyeri tidak hanya menjalar pada kuit (dermatom) tapi juga pada otot (miotom) dan tulang (sklerotom)

Perbedaan antara nyeri alih lengan yang kadang sulit dibedakan Nyeri alih kadang sulit untuk dibedakan dari nyeri menjalar yang tidak spesifik, yang tidak disebabkan karena gangguan radiks saraf. Nyeri radikular dapat diawali dari nyeri leher dari herniasi diskus semisal oleh karena penarikan atau penekanan pada annulus.

Faktor Biologis dan Molekular Faktor vaskular memainkan peran penting dalam perkembangan myelopati. Faktor mekanis dan vaskular sama-sama berperan dalam proses ini. Corda spinal yang tertekan sangat membutuhkan pasokan nutrisi dan jika vaskularisaasinya berkurang maka corda spinalis akan rentan terhadap kompresi. Radikulopati servikal dapat terjadi karena : herniasi diskus spondilosis stenosis

Berbeda dengan radikulopati, sindroma myelopati akan memberikan gambaran klinis yang jelas, seperti mati rasa, ras abaal, bahkan nyeri pada tangan. Pemeriksa sebaiknya memeriksa fungsi motorik halus pasien, seperti memeriksa kemampuan menulis pasien. Derajat nyeri leher sangat bervariasi. Kelainan patoanatomis

penyebab myelopati akan memberikan gambran klinis yang berbeda. Pasien dengan servikal myelopati akan mengeluhkan beberapa gejala. Servikal

myelopati merupakan sindroma klinis yang ditandai dengan disfungsi saraf spinalis, tergantung dari kronisistasnya. Gejala awal dapat ditandai dengan berkurangnya ketepatan gerakan ekstremitas dan gangguan gait maupun keseimbangan. Kesulitan dalam memegang benda-benda kecil seperti kancing maupun jarum sering dijumpai. Myelopati dapat disertai dengan radikuloati

karena stenosis sentral sering ditemui bersamaan dengan stenosis foraminal. Pasien dengan nyeri leher predominan, semua gejalanya dapat disebut sindroma spondilosis (tabel 4). Sindroma spondilosis belum diketahui mekanisme secara lebih lanjut jika dibandingkan dengan radikular atau sindroma myelopati. Nyeri yang timbul dapat diakibatkan oleh degenerasi segmental dan disebabkan oleh kelainan anatomis, seperti : degenerasi disc osteoartritis facet joint instabilitas segmental

Berbeda dengan kelainan pada segmen lumbal, lebih sulit untuk menilai penyebab nyeri pada sindroma spondilosis. Oleh karena itu peneliti menggeneralisirnya menjadi nyeri spondilotik. Nyeri dapat diakibatkan oleh gerakan dan posisi tubuh tertentus, sperti saat membaca, menggunakan komputer, dan menyetir mobil. Jika nyeri dirasakan pada mala hari dapat dijadikan indikasi telah terjadi osteoartritis facet joint. Pasien sering menegluh mati rasa, hilangnya sensasi suhu, dan kesemutan. Selain itu juga sering ditemukan nyeri kepala, sehingga dapat merancukan dengan penyakit lain. Oleh karena itu, diperlukan anamnesa yang lengkap meliputi : skor nyeri dengan VAS atau skor Likert gejala temporal variasi nyeri diurnal posisi dan aktivitas yang dapat menyebabkan nyeri gangguan aktivitas

Gangguan aktivitas dapat dinilai dengan menggunakan kuesioner (bab 40)

Temuan Fisik Bahkan meskipun pasien datang hanya dengan keluhan nyeri lengan, pemeriksaan menyeluruh pada semua syaraf tulang belakang tetaplah direkomendasikan. Pemeriksaan umum untuk syaraf tulang belakang akan diperinci pada Bab 8. Perlunya pemeriksaan neurologis menyeluruh memang tergantung pada masingmasing pasien. (Bab 11). Pasien dengan radikulopati, temuan yang umum dijumpai adalah: -. defisit sensorik -. defisit motorik -. defisit reflex -. tes Spurling positif -. tes abduksi atau depresi bahu positif -. tes traksi aksial positif Tes provokasi sangat membantu dalam mendiagnosa radikulopati. Tes Spurling atau tes kompresi dilakukan dengan pasien dalam posisi duduk (lihat Bab 8). Leher diekstensikan dan dirotasikan ke arah sisi nyeri. Kemudian, kompresi aksial yang hati-hati diberikan pada kepala; jika positif, pasien akan melaporkan nyeri yang meradiasi sepanjang akar syaraf yang memang terganggu. Beberapa pasien melaporkan gangguan vegetati tambahan seperti merasakan dingin pada tangan atau lengan dan perubahan trofik/ukuran. Secara umum, tes Spurling menunjukkan sensitivitas dari derajat rendah hingga menengah dan spesifitas yang tinggi, seperti halnya pada distraksi traksi/leher, serta manuver Valsava. Tes tarikan anggota gerakan atas (upper limb tension test/ULTT) menunjukkan sensitivitas yang tiggi dengan spesifitas yang rendah, sedangkan tes abduksi bahu menunjukkan sensitivitas yang rendah hingga menengah dan spesifitas moderat hingga tinggi. Pada pasien dengan myelopati servikal, temuan yang sering adalah: -. atrofi otot interosseus

-. gangguan gait dan ataksia -. spastisitas, hiperrefleksia, dan klonus -. refleks patologis, tanda Babinski positif -. defisit sensorik dan vibratorik -. kelemahan otot dengan tanda Lhermitte positif Gait myelopatik sangatlah luas, aneh, dan kadang-kadang palsu. Myelopati spondilotik adalah kombinasi gejala akibat dari gangguan yakni kerusakan neural segmental dan gangguan traktus panjang. Kerusakan segmental meliputi defisit sensorimotor yang konsisten dengan defsit radikular. Gejala awal adalah kebas, tangan yang lemah dan kemudian atrofi otot iteroseus. Good et al., melaporkan sekelompok pasien dengan myelopathy servikal di mana keluhan utamanya adalah kehilangan sensasi pada tangan. Pada konteks ini, hilangnya kekuatan aduksi dan ekstensi pada sisi ulnar dengan dua atau tiga jari serta ketidakmampuan untuk menggenggam dan melepas genggaman dengan cepat pada jemari tersebut dapat diamati. Pasien-pasien telah mengalami penurunan penginderaan getaran dan posisi, serta hilangnya gerak halus pada tangan. Gangguan gait terjadi kemudian pada myelopati spondilotik servikal. Gangguan gait bermanifestasi sebagai spastisitas dan disfungsi paretik pada ekstremitas bawah. Gejala tambahan adalah kehilangan keseimbangan, tidak dapat tenang, kekakuan ketika digerakkan, dan komplain hilangnya kekuatan pada ekstremitas bawah.. Gait myelopatik pada dasarnya luas dengan gangguan gerakan terkadang lebh sering terjadi dan nyata.

Gait didalami dengan meminta pasien untuk berjalan pada gari dan berjalan dengna mata tertutup. Ataksia spinal muncul pada kasus tes Rhomberg positif (Bab 11) atau ketika gait pasien yang tak baik akan memburuk dengan mata tertutup. Perubahan-perubahan sensorik bervariasi secara luas sesuai denga lokasi dan luas dari disfungsi corda spinalis. Temuan lesi upper motor neuron seperti spastisitas, klonus, dan hiperrefleksia mungkin akan muncul pada ekstremitas atas dan bawah. Tanda traktus panjang seperti Babinski, Oppenheimer, dan Gordon juga adanya klonus adalah indikasi ke arah lesi upper motor neuron. Gangguan

sensorik pada myelopati servikal meliputi hilangnya sensasi nyeri dan temperatur, propiosepsi, dan getaran di bawah tinggi lesi, di mana sensasi sentuhan seringkali masih bisa dirasakan. Pengindraan getaran yang terganggu dan perubaha propioseptif seringkali muncul pada kasus dengan myelopati kronik atau berat. Refleks akan meningkat di atas lesi dan menurun setinggi lesi anatomisnya. Tanda Lhermitte (yakni nyeri pada fleksi kepala yang tiba-tiba menyebabkan suatu syok elektrik sepanjang spine dan ekstremitas) mungkin akan muncul pada kasus dengan stenosis akut. Perlibatan upper motor neuron juga meliputi disfungsi usus dan kandung kemih yang dapat ditemukan pada hampir 50% pasien dengan CSM. Pada penelitian dengan melibatkan 55 pasien dengan myelopati spondilotik, Gregorius et al. menemukan abnormalitas gait, kelemahan ekstremitas bawah, defisit sensorik, dan gangguan sfingter pada lebih dari 60% kasus. Pada pasien dengan sindroma spondilotik, temuannya adalah: -. kekakuan leher dengan range of motion servikal yang terbatas-. nyeri leher saat ekstensi dan rotasi -. nyeri alih pada gerakan (oksiput, bahu, anggota gerak atas) -. myalgia trapeziu kronik

Assessment/Pendalaman Fungsional Suatu metode pendalaman fungsional diperlukan untuk memperkirakan keluaran terapi. Salah satu pendalaman keluaran pertama pada gangguan cervical spinal adalah yang diajukan oleh Odom dan masih sering digunakan. Odom membedakan hasilnya ke dalam empat kategori (yakni sempurna, baik, memuaskan, buruk). Walau demikian, terdapat konsensus yang mana pendalaman kasar seperti ini adalah tak memadai dan tak berbasis pasien. Kemudian maka dari itu direkomendasikan untuk menggunakan skala penilaian diri seperti Kuesioner Nyeri dan Disabilitas Leher dan Indeks Disabilitas Leher (Bab 40). Dengan tujuan pendalaman CSM, pengembangan lebih dalam yang mendetil pada fungsi-fungsi yang terganggu juga diperlukan. Sistem grading melibatkan enam derajat (0

hingga 5) dengan disabilitas progresif untuk gerakan (tak berpengaruh terhadap chairbound/bedridden). Japanese Orthopaedic Association (JOA) mengajukan suatu sistem grading yang lebih komprehensif (skor JOA) untuk mendalami keparahan dari myelopathy, merekam fungsi motorik dari ekstremitas atas dan bawah, fungsi sensorik dari ekstremitas atas dan bawah serta badan, juga fungsi kandung kemih. Walau demikian, aplikasi skor ini untuk pasien non-Asia dibatasi fakta bahwa satu assessment memerlukan kemampuan penggunaan sumpit. Modifikasi kemudian diajukan oleh Benzel et al, dan Keller et al. Di Eropa, sesuatu yang disebut dengan European Myelopathy Score telah dikembangkan dan dapat dibandingkan sesuai dengan keluaran dengan perangkan assessment CSM lainnya Tindakan Diagnostik Penulusuran riwayat menyeluruh dan pemeriksaan fisik membuat diagnosis radiculopati dan myelopati tegak pada sebagian besar kasus. Dalam hal ini, pencitraan sangat membantu dalam menentukan tinggi pasti dari gangguan neural yang terjadi. Sebaliknya, tindakan diagnostik untuk nyeri leher tetap menantag karena perubaha degeneratif sering ditemui pada individu yang asimtomatis. Korelasi perubahan struktural pada nyeri leher seingkali memerlukan penelitian lebih jauh. Bahkan dengan injeksi spinal, sumber dari nyeri leher aksial tak dapat diidentifikasi dengan pasti. Pencitraan Radiographs provide an excellent initial appraisal of cervical spondylosis Radiografi memberikan pendekatan awal untuk spondilosis servikal. Walaupun MRI telah menjadi modalitas pilihan, radiografi standar masih tetap membantu karena memberikan pendalaman yang lurus mengenai spondilosis servikal. Walau demikian, tak adanya tanda radikulopati atau myelopati, pencitraan tak perlu dilakukan dalam 4-6 minggu pertama setelah onset gejala dan terapi konservati awal diindikasikan.

Radiografi Standar Radiografi standar pada servikal spine pada posisi anteroposterior dan lateral menunjukkan -. profil sagittal (yakni tak adanya lordosis, kyphosis) (Gambar 2a) -. diameter canal spinal sagittal (Gambar 2a, b) -. spinal alignment dan bony relationship (yakni spondylolisthesis) (Gambar 2c) -. penyempitan rongga discus (Gambar 2c) struktur vertebra tulang (kolaps vertebral, osetofit) -. anomali perkembangan (osodontoideum, sindroma Klippel-Feil) Diameter sagittal canalis spinalis diukur dari aspek posterior dari bedan midvertebral pada linea spiolaminer dan 14-22 mm pada subjek yang normal. Pasien dengan diameter canalis spinalis kurang dari 10 mm dianggap sebagai subjek berisiko tinggi untuk CSM. Rasio canalis spinalis terhadap diameter sagital badan vertebral (indeks Pavlov) (Gambar 2a) sebesar 0,8 atau kurang dianggap berkaitan dengan peningkatan risiko pembentukan myelopathy. Walau demikian, dengan penemuan MRI pengukuran ini telah menjadi kurang penting, karena luas dari gangguan neural dapat secara langsung digambarkan. Radiografi oblik membuat gambaran alligment sendi faset, sendi faset OA dan stenosis foraminal dapat didalami (Gambar 2e). Di mana penggunaan radiografi standar anteroposterior dan lateral dari cervical spine diterima degan baik, nilai fleksi dan ekstensi radiografik tetap kontroversial. Debat berlanjut pada definisi radiologis mengenai instabilitasnya. White et al, telah menunjukkan kriteria untuk instabilitas subaksial (Gambar 2f,g) tapi menekankan bahwa interpretasinya tetap subjektif. Serupa dengan lumbar spine, pencitraan telah gagal untuk memberikan diagnosis terpercaya dan maka dari itu instabilitas tetap menjadi diagnosis klinis. Sudut pandang fleksi/ekstensi seringkali tak merubah strategi terapi. White et al secara retrospektif menganalisis radiografi 258 pasien. Mereka mendiagnosis spondylolisthesis pada 23 pasien dari pencitraan lateral netral, 6 dimana (3%) menunjukkan perubahan 2-4 mm pada fleksi dan ekstensi. Hanya dua pasien (1%) menunjukkan spondylolisthesis pada fleksi-ekstensi tak terlihat pada radiografi lateral netral. Penulis menyimpulkan bahwa spondylolisthesis

terungkap pada radiografi fleksi-ekstensi tak berakibat pada perubahan perawatan setelah meninjau data medis, dan menganggap paparan radiasi dan radiografi yang harganya tak tentu ini tak lagi dianggap bermanfaat pada kelainan servikal degeneratif. MRI Citra T2W sangat memperjelas kompresi korda spinalis. MRI adalah modalitas pilihan untuk pencitraan karena tak invasif, baik dalam kontras jaringannya dan multiplanar (Gambar 3a-c). Beberapa keterbatasan ditemui ketika ditujukan untuk mendalami dengan rinci perubahan susunan tulang. MRI adalah modalitas pencitraan yang amat sensitif tapi spesifitasnya diganggu oleh tingginya perubahan yang ditemui pada individu asimtomatis. MRI mengungkap herniasi discus pada 20-35% dan pembesaran discus pada 56% dewasa yang asimtomatis dengan usia kurang dari 60 tahun. MRI seringkali mendemonstrasikan perubahan endplate (Modic) (lihat Bab 9) yang telah menunjukkan sebagai degenerasi discus simtomatis pada lumbar spine. Aspek penting pada pendalaman CSM adlaah citra CSFA T1W mengoverestimasi kompresi corda spinalis pada anterior dan posteriornya. Pendalaman ini harus dilakukan dengan menggunakan metode T1W, karena T2W cenderung terlalu dalam mencitrakan kompresi. (Gambar 3a, b) MRI juga memberikan pendalaman sempurna untuk sambungan cranioservikal (C0-C2). Walau demikian, perubahan pada struktur ligamennya dan khususnya abnormalitas rotasional seringkali terlihat sama dengan mereka yang asimtomatis. Perubahan intensitas sinyal MR dalam corda spinalis diperkirakan membentuk lesi structural dari corda spinalis. Berdasarkan investigasi histopatologis, Oshiho et al, menemukan bahwa sinyal citra T2W yang secara abnormal tinggi adalah tidak spesifik pada lesi yang berubah secara sedang atau area dengan edema. Pada substansia gricea, citra dengan T1W rendah dengan konjungsi dengan intensitas tinggi citra T2W muncul pada lesi yang parah dengan necrosis, myelomalacia, atau perubaha spongiform. Pada substancia alba, intensitas citra T1W yang tinggi secara abnormal muncul pada lesi yang parah. Walau demikian kontroversi mengenai signifikansi prognostic untuk perubahan ini tetaplah ada. Perhatian

harus diberikan dengan pertimbangan pada diagnosis kasus-kasus di mana rentang perubahan sinyal tak berkaitan dengan besarnya kompresi. Pada kasus-kasus tersebut penyebab neurologis lain, yakni multiple sclerosis harus dipertimbangkan (Gambar 3d). Myelografi CT CT myelografi biasanya menggambarkan guratan, ossifikasi, dan stenosis foraminal. Sebelum MRI, CT myelografi sering digunakan, dan masih lebih disukai oleh beberapa ahli bedah karena baiknya penggambaran struktur tulang (yakni osteofit, OPLL) dengan kaitan terhadap radix nervus spinali dan cordanya (Gambar 4a, b). reformasi citra pada potongan foraminal sangat membantu untuk perencanaan preoperative dekompresi CSR (Gambar 4c). Myelografi CT masih memiliki indikasinya untuk kasus-kasus di mana MRI dikontraindikasikan (yakni penempatan pacemaker) atau pada kondisi adanya implant. Citra pada keadaan fleksi dan ekstensi membantu untuk menggambarkan kompresi dinamis corda spinalis tapi relevansinya tetap tak dapat ditentukan. Penelitian Injeksi Diskografi dan blockade sendi faset adalah kontroversial untuk seleksi tinggi fusi. Masalah dalam mengobati nyeri leher aksial adalah lokalisasi pasti dari sumber nyeri. Adalah sangat sulit untuk menentukan nyeri leher diskogenik dari MRI saja. Diskografi pada discus servikal degeneratif memiliki penggunaan yang tebatas, karena provokasi nyeri terlihat pada berbagai discus. Keputusan operatif mengenai discus mana yang harus dioperasi adalah sulit karenanya. Mirip, akurasi dan keterpercayaan blockade facet adalah kontroversial (lihat Bab 10)

Assessment Neurologis Pemeriksaan neurofisiologis diindikasikan untuk situasi di mana gambaran klinis tak berkaitan dengan temuan radiologis. Penelitian neurofisiologis (Bab 12) sangat membantu dalam mengeksklusikan kerusakan syaraf perifer, yakni sindorma nervus ulnaris dan sindroma carpal tunnel. Penelitian neurofisiologis mungkin membuat pemahaman mengenai lesi neurogenik tapi seringkali

memberikan gambaran positif palsu (yakni temuan tanpa relevansi klinis). Pada CSM, pendalaman neurofisiologis memberi suatu peran yang lebih pentin dibandingkan pada radikulopati. Somatosensory evoked potential (SSEP) yang abnormal adalah berkaitan amat erat dengan myelopati klinis, tapi tidak dengan radikulopati. Pada kompresi corda subklinis, abnormalitas SSEP dan motor evoked potential (MEP) ditemukan pada setengah individual dengan dugaan CSM dan sepertiga memberikan gambaran myelopati yang memang nyata pada follow-up selama 2 tahun. Mungkin, peran paling penting dari pendalaman neurofisiologis adalah untuk memantau progresi myelopati servikal, yang dapat ditambahkan pada keputusan untuk melaksanakan operasi. Walau demikian, SSEP dan MEP dibatasi penggunaannya untuk mengevaluasi hasil dari terapi pada individu pasien tapi sangat berguna pada kumpulan pendalaman dari hasil terapi dan melabeli subgroup pasien dengan keluaran pasca operasi yang berpotensi baik. Diagnosis Banding Diagnosis banding sangatlah penting karena sejumlah besar patologi lain mungkin memberi gambaran radikulopati dan myelopati servikal (lihat Bab 11). Diagnosis banding yang paling sering adalah Nerve entrapment syndrome Thoracic outlet syndrome Pleksitis/neuritis brachial (yakni herpes zoster) Kelainan shoulder girdle (robekan pada rotator cuff, impingement syndrome, tendinitis) Pleksopati brachial akut (Parsonage-Turner syndrome, amyotrophy neuralgic) Amyotrophic lateral sclerosis Tumor (missal tumor Pancoast) Penyakit jantung koroner

Diagnosis banding tersebut dapat dihapus satu persatu dengan pemeriksaan fisik dan pendalaman neurofisiologis (lihat Bab 11,12) Perlakuan Non-Operatif

Spektrum dari gejalapada kelainan servikal degeneratif berentang dari nyeri benigna yang self limiting hingga kondisi nyeri yang progresif dengan tetraparese seperti pada CSM. Karenanya, keputusan tindakan sangat bergantun pada patologi yang mendasarinya. Secara umum, tujuan dari perlakuan ada pada Tabel 5. Riwayat Alamiah Nyeri Leher Nyeri leher seringkali berrekurensi dan menjadi tingkat menengah atau berat pada sepertiga kasus. Sebagian besar kasus nyeri leher akut non spesifik akan sembuh dalam beberapa hari atau minggu setelah onset. Riwayat alamiah dari nyeri leher tak dieksplorasi dengan baik sejak pasien dengan nyeri tetap menerima tindakan non operatif. Walau demikian, penelitian epidemiologis besar pada 1100 dewasa Saskatchewan mengungkap bahwa di antara subjek dengan nyeri leher prevalen pada garis batas, 37% melaporkan masalah menetap dan 9,9% mengalami agravasi selama followup. Dua puluh tiga persen dari pasien-pasien tersebut dengan nyeri leher yang prevalen pada garis batas, melaporkan episode yang berekurensi. Insidensi tahunan untuk nyeri leher yang sangat mengganggu adlaah 6%. Cote et al menyimpulkan bahwa berlawanan dengan keyakinan sebelumnya, sebagian besar individu dengan nyeri leher tak mengalami resolusi komplit dari gejala dan disabilitasnya. Pada suatu penelitian dengan follow-up selama 10 tahun terhadap 205 pasien, Gore et al mengamati bahwa 79% memiliki penurunan dalam sakitnya, dan 43% bebas dari nyeri. Walau demikian, 32% tetap memiliki nyeri residual yang moderat hingga berat. Pasien terluka dan awalnya menderita karena nyeri berat adlaah yang paling mungkin mengalami perubahan morfologis adalah pasien yang tak berkaitan erat dengan gejala untuk keluaran pengobatan yang tak memuaskan. Kemunculan atau keparahan nyeri, tak berkaitan dengan perubahan degeneratif, diameter sagittal dari canalis spinalis, atau derajat lordosis servikal. Herniasi Discus Servikal dan Radikulopati Riwayat alamiah CSR adalah jinak. Mochida et al menganalisis resorpsi spontan dari herniasi discus servikal, menggunakan MRI. Penulis menemukan bahw pada sekitar sepertiga pasie, ukuran material yang terherniasi menurun seiring waktu.

Pasien dengan migrasi discus menunjukkan regresi yang lebih dibandingkan pasien dengan protrusion. Discus lunak yang terherniasi spertinya adalah komponen statis satu-satunya faktor kompresi statis yang hilang secara spontan seiring waktu. Pasien dengan migrasi discus menunjukkan regresi yang lebih dibanding pasien dengan protrusion. Herniasi discus lunak seperitnya adalah faktor kompresi statis satu-satunya yang hilng secara spontan. Tap I radikulopati sangatlah unik. Pada survey epidemiologis mengenai radikulopati servikal di Rochester, 90% dari 561 pasien bersifat asimtomatis atau tak terkapasitasi secara ringan karena radikulopati servikal ketika di follow up selama 5 tahun. Myelopati servikal Diameter canalis servikalis adalah faktor risiko paling penting. Perkembangan ukuran canalis spinalis adlaah salah satu faktor risiko paling penint dalam mendahului CSM. Humphreys et al menunjukkan bahw tinggi foraminal, lebarnya, dan areanya adalah lebih lebar pada pasien asimtomatis dibanding pasien simtomatis. Alah satu laporan pertama dari riwayatalamiah CSM diberikan oleh Clark dan Robinson. Penulis melaporkan bahwa saat kelainan telah didiagnosa, remisi lengkap menjadi normal tak pernah terjadi, dan remisi spontan ke normal juga jarang terjadi. Pada 75% pasien, pemburukan episodic dengan penurunan neurologis terjadi, 20% memiliki progresi yang lambat dan tetap, di mana 5% memiliki progresi onset yang cepat. Lees dan Turner melaporkan bahwa terdapat perkembangan penurunan neurologis, tapi kejadiannya tak dapat diprediksi. Riwayat alamiah dari myelopati servikal dapat diikuti dengan beberapa episode penurunan neurologis, tapi hal ini tak dapat diprediksi. Riwayat alamiah dari myelopati servikal memiliki kondisi klinis yang bervariasi dengan periode panjang dengan disabilitas stabil yang dapat diikuti oleh periode penurunan yang progresif. Pada penelitian oleh Symon dan Lavender, dua pertiga pasien menunjukkan suatu perkembangan yang cenderung linear, bukannnya progresi episodic. Phillips mengamati suatu perkembangan pada 50% pasien dengan gejala untuk kurang dari 1 tahun dan 40% pasien dengan gejala antara 1 hingga 2 tahun, di mana pasien dengan gejala selama lebih dari 2 tahun tak memiliki perkembangan yang dapat dipastikan. Yonenobu melaporkan bahwa trauma minor

dapat secara signifikan merubah riwayat alamiah dari OPLL. Pada penelitian oleh komite penyelidikan Jepang mengenai OPLL, 21% pasien mengalami penurunan akut untuk gejala neurologis pada saat trauma sehari-hari seperti terpeleset. Pada suatu seri kecil dengan follow up pendek, Kadankan et al. menemukan bahwa pasien dengan tanpa progresi atau progresi yang sangat lambat dan tak diduga serta durasi yang relatif lama memiliki perjalanan yang tak lebih baik atau lebih buruk dibandingkan dengan pembedahan. Dua puluh tiga tahun lalu, Henry LaRocca menerangkan bahwa penentu perjalanan klinis tidaklah diketahui dengan cukup baik untuk menentukan perjalanan yang mungkin terjadi pada pasien yang baru ada. Pernyataan ini masih dipegang hingga kini. Modalitas Terapi Konservatif Bukti ilmiah untuk sebagian besar modalitas terapi adalah buruk. Nyeri leher nonspesifik dan nyeri leher terkait spondylosis paling baik dirawat dengan tindakan non operatif karena strukturnya yang jelas bisa dioperas tidaklah ada. Pada kasus radikulopati, perawatan non-operatif awal sangatlah disarankan walaupun tak ditemukan deficit motorik yang relevan (MRC Grade >3). Herniasi pada soft discs berespon lebih baik terhaap terapi konservatif CSR. Walau demikian, inidikasi bedah harus diajukan setelah kegagalan suatu pendekatan non operatif sebagai percobaan. Pendekatan non operatif tak disarankan pada bentuk ringan dari CSM, tapi kasus dengan pemburukan kompresi corda spinalis melingkar di bawah perhatian konservatif harus diperkirakan. Untuk banyak modalitas terapi, data ilmiah yang tak mencukupi untuk bisa dibuat pedoman terapi berbasis bukti. Medikasi Oral Terapi obat untuk nyeri leher terdiri atas Analgesic NSAID Muscle relaxant Obat psikotropika

Berlawanan dengan lumbar spine, pengobatan oral umumnya digunakan pada praktik klinis (NSAID, antidepressant trisiklik, agen neuroleptik dan analgesic

opioid) kurangnya bukti akan efektivitas untuk nyeri leher mekanis. Tak ada analisis komprehensif yang ada untuk nyeri leher akut dan nyeri leher radikuler. Cervical collar Efek terapi untuk cervical collar tidaklah terbukti. Pada episode nyeri leher akut, tak ada manfaat dari cervical collar di atas penggunaan biasanya atau mobilisasi akut yang didapat. Di sisi lain, penggunaan cervical collar tak lebih baik atau lebih buruk dibandingkan dengan terapi untuk radikulopati (yakni fisioterapi atau operasi). Tak ada rekomendasi berbasis bukti dapat diberikan untuk penggunaan cervical collar. Terapi manipulative Terdapat bukti yang cukup baik untuk efektivitas terapi manipulative. Terapi manipulative masih tetap sebagai terapi utama atau terapi konservatif untuk kelainan degeneratif pada cervical spine. Khususnya, traksi telah dilaporkan berakibat pada perbaikan jangka pendek dari radikulopati. Debat berlanjut pada keamanan terapi manipulative untuk cervical spine.Berdasarkan survey nasional terhadap 19122 pasien, efek samping minor (nyeri kepaal, bingung/pusing, mati rasa/kesemutan) tak banyak ditemukan hingga 7 hari setelah intervensi, dengan rentang insidensi berentang dari 4 hingga 15/1000. Efek simpang serius (berakibat pada hospitalisasi atau disabilitas permanen) adalah sangat jarang (1/10.000). Walau demikian, ini tak menghapuskan perjalanan penyakit yang merusak pada individu pasien. Rubinstein et al. menyimpulkan bahwa manfaat dari perawatan chiropraktik dari nyeri leher sepertinya mengalahkan potensi manfaatnya. Terdapat bukti cukup bahwa terapi manipulative spinal (SMT) dan mobilisasi lebih unggul pada penanganan oleh dokter umum untuk pengurangan nyeri jangka pendek dari nyeri leher kronis. Walau demikian, SMT menawarkan manfaat pemulihan nyeri yang hampir sama dengan exercise rehabilitative teknologi tinggi baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Pada nyeri leher campuran akut dan kronis, terdapat bukti menengah bahwa mobilisasi lebih baik dibandingkan dengan terapi fisik dan perawatan oleh dokter keluarga. Terdapat sedikit penelitian dalam nyeri leher aku dan bukti masih tak konklusif. Aktivitas FIsik

Bukti yang cukup mendukung fisioterapi untuk nyeri leher kronis. Terdapat bukti cukup dalam mendukung efektivitas baik olahraga dinamis juga tahanan isometric jangka panjang untuk otot-otot bahu dan leher untuk gangguan leher yang kronis atau yang sering. Tak ada bukti mendukung efektivitas jangka panjang untuk olahraga postural dan propioseptif atau olahraga dengan intensitas sangat rendah lainnya. Program Rehabilitasi Multidisiplin Berlawanan dengan lumbar spine, terdapat bukti yang tak cukup sejauh ini mengenai efektivitas nyeri leher dan bahu dari program rehabilitasi multidisiplin dibandingkan dengan metode rehabilitasi lain. Walau demikian, ini karena rendahnya kualitas trial klinis yang dilakukan. Pijatan Tak ada rekomendasi praktik klinis yang dapat dibuat untuk efektivitas pijatn pada nyeri leher. Injeksi Spinal Injeksi transforaminal dengan penggunaan steroid epidural dapat berakibat pada perbaikan nyeri pada pasien yang menderita radikulopati servikal, walaupun injeksi untuk anestesi local sepertinya memiliki efek serupa. Walau demikian, artikel terkini telah mendorong perhatian penting mengenai keamanannya karena kasus dengan cedera yang merusak pada spinal cord. Untuk nyeri leher kronis, injeksi intramuscular lidocaine lebih baik dari pada placebo atau penusukan dengan jarum kering saat follow up, tapi hampir serupa dengan ultrasound. Terdapat bukti yang terbatas mengenai efektivita injeksi epidural

metilprednisolone dan lidocaine untuk nyeri leher kronis dengan gejala radikuler. Denervasi Radiofrekuensi Walaupun beberapa penelitian melaporkan hasil yang memuaskan, terdapat bukti yang terbatas bahwa denervasi radiofrekuensi menawarkan pemulihan nyeri jangka pendek untuk nyeri leher kronis dengan sumber sendi zygapophysial dan untuk nyeri cervicobrachial Akupuntur

Bukti akupuntur untuk terapi ini tidaklah konklusif dan sulit untuk diinterpretasikan. Elektroterapi Telaah sistematis oleh Kroeling et al tak dapat memberik kesimpulan definitif mengenai elektroterapi pada nyeri leher. Adanya bukti terkini untuk arus galvanic (langsung atau pulsasi), iontrophoresis, electromuscle stimulation (EMS), transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), pulsed electromagnetic field (PEMF) dan magnet permanen, bukti ini masih sedikit, terbatas, atau bahkan berlawanan. Terapi Laser Inframerah Telaah oleh Chow memberikan bukti terbatas dari satu RCT saja dalam penggunaan inframerah laser sebagai terapi untuk nyeri leher akut dan 4 RCT nyeri leher kronis. Terapi Operatif Prinsip Umum Kelainan degeneratif dari cervical spine adalah suatu kelompok patologi

heterogen dengan spectrum modalitas terapi yang luas. Untuk mayoritas entitas klinis, bedah tak hanya diindikasikan setelah terapi non operatif percobaan yang adekuat telah gagal. Seperti yang diterangkan pada paragraph awal, bukti ilmiah untuk berbagai tindakan konservatif adalah sangat terbatas. Mirip, bukti juga terbatas untuk pilihan pembedahan. Sedangkan bedah untuk nyeri leher kronis tak didukung secara luas, sepertinya pasien dengan CSR dan CSM dapat mengambil manfaat dari bedah setelah terapi non bedah telah gagal. Indikasi untuk CSR dan CSM meliiputi (Tabel 6) Tabel 6. Indikasi Operasi Deficit motorik yang progresif, penting secara fungsional Bukti definitif untuk kompresi radix nervi Gejala tambahan dan tanda untuk radikulopati Nyeri terus menerus walau diberi terapi non operatif selama 6-12 minggu Myelopati progresif terjadi meski diberi terapi non operatif Onset akut, penurunan atau progresi dari deficit neurologis

Bukti definitif untuk kompresi nervus spinalis dengan gejala myelopati moderat hingga berat Kifosis progresis dengan deficit neurologis

Tujuan terapi CSM utamanya adalah untuk menghentikan progresi. Pembedahan untuk radikulopati servikal umumnya direkomendasikan ketika semua kriteria yang disebut tadi ada. Tujuan utama untuk pembedahan pada terapi CSM adalah untuk menghentikan progresi dari gejala neurologis karena perubahan myelopatik yang menetap adalah langka. Salah satu aspek penting dalam pengobatan CSM adalah menginformasikan kepada pasien secara preoperative bahwa tujuan dari bedah utamanya adalah untuk menghentikan progresi penyakit. Pasien seringkali kecewa dengan hasil pembedahan ketika pemulihan neurologis tak ada walaupun sebagian besar pasien memang memberikan perbaikan. Maka dari itu adalah masuk akal untuk menjelaskan secara gamblang kepada pasien mengenai tujuan dan ekspektasi realistic dari operasi. Teknik Pembedahan Terdapat perdebatan yang sedang berlangsung mengenai pendekatan untuk berurusan dengan herniasi discus terkait radikulopati, CSR atau CSM, yakni Pendekatan anterior Pendekatan posterior

Patologinya harus diberi tindakan tepat di lokasinya Setiap teknik memiliki keunggulan dan kelemahan. Kontroversi mengenai mana dari kedua teknik ini yang lebih baik tak dapat digeneralisir tapi harus selalu dikaitkan dengan patologi target. Adalah penting untuk mengenali apakah struktur yang terkompresi terletak di anterior atau posterior. Paotologinya harus diatasi tepat dilokasinya. Maka, kompresi anterior lebih baik diatasi dari anterior dan kompresi posterior multisegmen dapat diatasi dari pendekatan posterior. Dalam kasus dengan tiga atau lebih stenosis, pendekatan posterior disukai kecuali tak ada kompresi anterior substansial yang juga ada. Diskektomi Servikal Anterior dan Fusi Diskektomi Servikal Anterior dan Fusi tetap menjadi baku emas untuk CSR.

Pada tahun 1955, Robinson dan Smith melaporkan suatu teknik utuk mengangkat diskus dan fusi servikal dengan graft berbentuk tapal kuda yang kemudian menjadi baku emas untuk pengobatan herniasi discus dan radikulopati spondilotik servikal. Cloward membangun suatu pendekatan anterior serupa, yakni dengan membuat lubang pada pada spasium intervertebralis dan vertebra terekat untuk memasukkan suatu bonedowel. Berlawanan dengan teknik Robinson-Smith, Cloward menghilangkan struktur yang mengkompresi setinggi ligament longitudinal posterior. Robinson dan Smith tak mendekompres struktur neural, tapi mempercayai bahwa dengan mengimobilisasi segmen osteofit dan discus yang terherniasi akan direabsorbsi. Beberapa tahun kemudian, beberapa variasi teknik ini kemudian terbentuk. Diskektomi servikal anterior dan fusi (ACDF) dengan graft tulang trikortikal yang diambil dari crista iliaca adalah teknik yang paling esering dipakai dan telah menjadi baku emas untuk penatalaksanaan radikulopati servikal. Tingkat fusi radiologis bergantung pada jumlah level yang berfusi. Bohlmann et al. melaporkan suatu fusi solid untuk fusi 1 level, 2 level, atau multilevel dengan angka 89%, 73%, dan 67%, urut. Cauthen et al, menganalisis keluaran dari diskektomi servikal anterior dan fusi antar corpus (teknik Cloward) pada 348 pasien follow up rerata selama 5 tahun. Angka fusi adalah 88% untuk satu level dan 75% untuk fusi multilevel. Emery et al melaporkan suatu fusi dengan angka hanya 56% untuk fusi tiga tingkat. Keluaran hasil operasi utamanya bergantung pada efek dekompresi. Keluarang klinis dari ACDF untuk servikal radikulopati adalah bersifat baik hingga sempurna pada 70-90% pasien dan utamanya bergantung pada dekompresi pada kara syaraf yang terganggu. Walau demikian, Bohlmann dkk telah melaporkan suatu hubungan signifikan antara adanya nyeri leher atau lengan non union dan posoperatif. Autograf vs Allograf Autograf lebih baik dibandingkan allograf untuk ACDF. Penggunaan allograf untuk fusi spinal dalam kaitan dengan dekompresi anterior untuk kelainan servikal degeneratif, memiliki tradisi yang panjang. Cloward

menggunakan allograft dari tahun 1950. Walau demikian, terdapat penelitian yang jumlahnya kecil bila dibandingkan dengan autograph yang dianalisis secara metaanalisis. Floyd dan Ohnmelss menyimpulkan dari meta analisis bahwa untuk kedua diskektomi dan fusi servikal anterior dengan satu dan dua tingkat, autograph menunjukkan angka penyatuan radiografik dan insidensi kolaps cangkok yang lebih rendah. Walau demikian, tidaklah mungkin memastikan apakah autograft secara klinis lebih baik dibanding allograft. Penulis menasihatkan bahwa pengambilan keputusan untuk bone graft tak hanya didasari oleh hasil radiografik tapi juga donornya, morbiditas lokasi, transmisi penyakit infeksius, kualitas autograft (osteoporosis) dan keinginan pasien yang juga harus dipertimbangkan. Fiksasi Plat Teknik fusi konvensional tak berhasil secara universal. Komplikasi menyebabkan nyeri yang tetap meliputi Non union (khususnya fusi multilevel) Pemindahan graft Graft yang kolaps Kegagalan penempatan secara sagittal (kifosis).

Untuk lesi traumatis servikal, fiksasi plat anterior mendapatkan suatu penerimaan dengan skala luas karena memberikan stabilitas dan angka fusi yang tinggi. Serupa, fusi terinstrumentasi juga diperkenalkan untuk kelainan servikal degeneratif. Pemasangan plat tambahan teorinya meningkatkan angka fusi, mempertahankan lordosis servikal, dan mencegah pergeseran graft dan migrasi graft khususnya saat dua level atau lebih yang terlibat. Fiksasi plat meningkatkan angkat fusi untuk fusi multilevel. Walau demikian, tiga RCT gagal untuk menunjukkan superioritas dari fiksasi plat tambahan untuk satu level fusi dalam hal keluaran radiologis klinis. Untuk fusi multilevel, terdapat beberapa bukti bahwa plating sepertinya akan memberi hasil lebih baik untuk tingkat fusinya. Fiksasi plat anterior tak memadai untuk fusi tiga tingkat.

Wang et al mengindikasikan bahwa fusi tiga tingkat masih berkaitan dengan angka non union yang tinggi, walaupun penggunaan plat servikal menurunkan angka pseudoarthrosis. Bolesta melaporkan bahwa diskektomi dan fusi Robinson dengan modifikasi tiga tingkat dan empat tingkat memberi hasil pseudoarthrosis dengan tingkat cukup tinggi yang tak dapat diterima, di mana hal ini tak diperbaiki dengan pemasangan plat cervicak spine saja. Fiksasi posterior tambahan diajukan pada tingkat fusi tiga atau lebih untuk menurunkan angka non union. Fusi dengan Rangka Salah satu kelemahan dari fusi konvensional (Smith-Robinson atau Cloward) yang tak dapat diatasi oleh pemasangan plat adalah nyeri sisi donor bone graft. Nyeri yang menetap dari Krista iliaca anterior dilaporkan pada 31% pasien. Selama decade terakhir, rangka telah mulai popular dalam menstabilisasi dan menyatukan cervical spine setelah diskektomi anterior. Dibandingkan dengan teknik fusi konvensional, manfaat teoritis dari rangka adalah Mengembalikan tinggi discus Mengembalikan lordosis servikal Mencegah kolaps graft Menghindari nyeri sisi donor Mengurangi waktu operasi

Berbagai desain rangka (silindris, bertautan, cincin, atau kotak) dan materialnya (titanium, karbon, polietereterketon, hidroksiapatit) telah diperkenalkan. Debat terus berlangsung mengenai fakta bahwa pengisia rangka dengan tulang (autograft atau allograft), pengganti bone graft atau hasil buruk atau baik telah dilaporkan dari setiap teknik. Fusi dengan rangka tak lebih baik dari ACDF konvensional Penelitian dengan randomisasi sejauh ini belum dapat mengungkap keluaran klinis yang lebih baik secara signifikan dari pasien yang menjalani fusi rangka dibandingkan dengan teknik konvensional walaupun angka gagal menyatu tampak lebih tinggi dan nyeri lokasi donor graft akan lebih rendah. Corpectomi anterior

Pada pasien yang menderita CSM, diskesktomi anterior dan osteofiektomi mungkin tak cukup untuk mendekompresi corda spinalis dengan baik. Corda spinalis mungkin hanya dapat diganggu dengan protrusion discus dan oleh sponilofit, tapi juga oleh gagal penempatan (kifosis) atau canalis spinalis yang menyempit. Pada kasus ini, korpektomi subtotal diperlukan. Reseksi corpus vertebra dan dekompresi pada awalnya digunakan untuk mengobati kelainan servikal yang traumatis dan kemudian diadopsi untukpenanganan penyakit degeneratif. Dibandingkan dengan ACDF, suatu korpektomi median memberi kelebihan dalam Memperbesar canalis spinalis Meningkatkan tingkat fusi

Corpectomy membuat dekompresi lebih baik dan memberi angka fusi yang lebih tinggi. Berbagai teknik dikembangkan untuk menstabilisasi cervical spine setelah dekompresi melalui vertebrectomy. Perkembangan hingga di mana dekompresi harus dilakukan berdasar pada patologi dan ukuran canalis spinalis. Sebagian besar penulis mendorong untuk mengangkat seluruh osteofit posterior dan PLL untuk mencapai dekompresi maksimal (Gambar 5). Dibandingkan dengan ACDF, korpektomi menawarkan manfaat dalam menurunkan reaksi host-graft. Swank et al telah menunjukkan bahwa angka gagal menyatu untuk ACDF dua level adalah 36% sedangkan satu level adalah 10% (Kasus Pembelajaran 2). Hasil serupa didapat oleh Hillibrand et al yang melaporkan angka non union sebesar 34% untuk ACDF (satu dari empat level) dan 7% untuk corpectomi. Corpectomi satu level terbaik direkonstruksi menggunakan autograft crista iliaca. Angulasi crista iliaca akan membatasi kemanfaatannya pada rekonstruksi anterior. Maka dari itu, allograft topangan fibula telah digunakan dengan hasil memuaskan. Walau demikian, tingkat penyatuan fibula entah bagaimana lebih rendah dibandingkan dengan autograft. Keterbatasan ini dapat diatasi dengan fusi instrumentasi posterior. Baru-baru ini, kerangka pembentuk telah digunakan untuk rekonstruksi kolumna anterior. Kekurangan kerangka untuk rekonstruksi servikal

anterior meliputi subsidensi, keterbatasan dalam pendalaman status fusi, dan sulit untuk pembedahan perbaikan karena seringnya kegagalan penyatuan parsial. Korpektomi tiga tingkat memerlukan fiksasi anteriorposterior. Pemasangan Plat Anterior sampai saat ini masih direkomendasikan untk meningkatkan angka penyatuan dan menurunkan insidensi dislokasi graft. Walau demikian, kemampuan fiksasi plat untuk menstabilkan corpectomy tiga tingkat adalah terbatas dan stabilisasi posterior tambahan direkomendasikan untuk mengurangi kegagalan implant dan kegagalan menyatu. Diskekomi anterior tanpa Fusi Kekurangan dari metode klasik Robinson-Smith adalah bahwa discus

interverbralis akan diangkat untuk mencapai lokasi gangguan neural. Usaha maka dari itu telah dilakukan untuk mengangkat herniasi discus tanpa benar-benar mengangkat seluruh discus. Indikasi teknik ini adalah Herniasi soft disc Penyerapan discus Individu muda Tanpa spondilosis Tanpa instabilitas segmental

Kumpulan kasus retrospektif tak melaporkan keluaran klinis yang lebih buruk dari fusi dan diskektomi. Kekurangan metode ini adalah Herniasi rekurens Degenerasi segmen gerak Instabilitas segmental Nyeri leher kronis Fusi spontan

Keluaran diskektomi tanpa fusi tak lebih rendah dibandingkan degnan ACDF. Pada penelitian prospektif dengan pengacakan pada 91 pasien dengan kompresi akar servikal, Savolainen et al menganalisis tiga kelompok perlakuan berbeda: diskektomi tanpa fusi, fusi dengan bone graft autolog, dan fusi dengan bone graft autolog dengan pemasangan plat. Keluaran klinis adalah baik untuk 76%, 82%, dan 73% pasien, urut. Kifosis ringan ditemui pada 62,5% pasien yang menjalani

diskektomi, 40% pada fusi, dan 44% pada fusi plus pemasangan plat. Penelitian ini menunjukkan bahwa diskektomi tanp fusi tak lebih jelek dibanding ACDF. Teknik dikembangka untuk mempertahankan discus intervertebralis, yang seringkali tak terdegenerasi secara substansial dan maka dari itu dapat dipertahankan. Verbiest mengajukan suatu pendekatan lateral sedangkan Hakuba menggambarkan suatu pendekatan trans-unco-discal. Pendekatan trans-uncodiscal adalah kombinas dari pendekatan anterior dan lateral dari discus servikal. Fusi antar korpus tak dilakukan kecual untuk kasus khusus dengan kifosis yang signifikan atau instabilitas. Teknik invasif minimal diajukan oleh Jho dan Saringer et al yang melaporkan suatu pembedahan foraminotoi anterior yang memberikan suatu dekompresi anatomis langsung pada akar syaraf yang terkompresi dengan menghilangkan tekanan spondilotik atau fragmen discus. Saringer et al memodifikasi teknik ini dengan menggunakan pendekatan endoskopi. Penulis lain menghilangkan discus yang terherniasi melalui pandangan endoskopi

menggunakan rute trasdiscus. Artroplasti Total Discus Degenerasi segmen yang berdekatan adalah argument utama dari metode ini. Degenerasi segmen yang berdekatan (Gambar 6) telah disebut sebagai argument utama melawan fusi spinal dan maka dari itu memerlukan artoplasti total discus (TDA). Walau demikian, data pada degenerasi segmen yang berdekatan masihlah kabur. Hilibrand et al mengikuti 374 pasien yang menjalani total 409 fusi servikal anterior selama maksimal 20 tahun. Kelainan simtomatis segmen yang berdekatan terjadi dengan insidensi 2,9% setiap tahunnya selam 10 tahun setelah operasi. Sekitar seperempat pasien yang menjalanifusi servikal anterior berada dalam risiko pembentukan penyakit simtomatis terkait discus yang berdekatan dalam 10 tahun. Sautu arthrodesis level tunggal melibatkan C5/6 atau C6/7 dan bukti radiografik sebelumnya mengenai degenerasi pada level yang berdekatn sepertinya adalah faktor risiko untuk penyakit baru. Penting, tak ada penelitian sejauh ini yang dapat membedakan efek dari riwayat alamiah penyakit terhadap efek dari atrhodesis pada perkembangan degenerasi segmen yang berdekatan. Lebih dari 15 desain kini berada pada evaluasi pre klinis dan klinis (Prestige II,

Bryan, PCM, ProDisc-C, Cervicore, Discover). Desain TDA terkini meliputi sepotong implant dan implant lain dengan glider artikulasi tunggal atau ganda dengan bahan permukaan kontak metal-metal atau metal-polimer. Indikasi dan kontraindikasi terkini untuk TDA adalah meliputi (Tabel 7). Tabel 7. Indikasi dan kontraindikasi TDA. Indikasi Penyakti servikal simtomatis Satu atau dua perlibatan (C3-T1) Korelasi structural (yakni nucleus pulposus yang terherniasi, spondilosis servikal) Kegagalan terapi konservatif 6 minggu Usia antara 20 dan 70 tahun Tak ada kontraindikasi Kontraindikasi Tiga level vertebra memerlukan penanganan Instabilitas servikal (translasi >3mm dan/atau >11 derajat untuk perbedaan angulasi) Fusi servikal dekat level target Pembedahan sebelumnya/fraktur pada level target Diketahui memiliki alergi terhadap material implant Spondilosis berat (osteofit bridging, hilangnya tinggi discus >50%, dan tak adanya pergerakan <2 derajat pada sendi faset OA) Nyeri leher aksial sebagai gejala soliter yang ada Penyakit metabolik dan sistemik (AIDS, HIV, hepatitis B atau C, diabetes tipe IDDM, obesitas, BMI >40) Keluaran TDA tak lebih baik dibandingkan dengan teknik ACDF konvensional anterior maupun posterior. Data keluaran awal menunjukkan bahwa TDA mempertahankan gerakan segmental dalam jangka pendek dan dapat dibandingkan lebih baik dari ACDF dalam hal keluaran klinis. Walau demikian, tak ada data meyakinkan yang ada sejauh ini bahwa TDA akan mencegah degenerasi segmen yang berdekatan.

Laminektomi Posterior Laminektomi servikal pertama kali dilakukan oleh Sir Victor Horsley (18571916) untuk penanganan pada tumor terkait myelopati. Laminektomi ini sangat rapuh dan secara teknis adalah pendekatan yang sulit untuk melakukan dekompresi corda spinalis. Indikasi laminektomi utamanya adalah penatalaksanaan untuk Myelopati servikal Kompresi neural posterior yang sangat Pasien CSM geriatric dengan komorbid CSM dengan lordosis servikal

Laminektomi memberikan hasil yang baik pada beberapa kasus. Pada pasien geriatric yang menderita karena komorbid yang signifikan dan CSM karena kompresi corda spinalis multilevel, laminektomi adalah prosedur singkat dan efektif untuk menghentikan atau meningkatkan deficit neurologis. Pada adanya kifosis, walau demikian, laminektomi hanya memiliki efek yang terbatas karena corda spinalis tak dapat bergeser ke belakang dan menjauh dari osteofit atau discus yang menekan spine ke anterior. Hasil yang baik hingga sempurna telah dilaporkan pada 56-85% pasien setelah laminektomi. Ekstensi lateral dari laminektomi harus tidak melibatkan lebih dari 50% sendi faset. Reseksi lebih dari 50% akan mengganggu kekuatan sendi secara signifikan dan dapat berakibat pada instabilitas segmental dan kifosis. Pada laminektomi multilevel, bahkan 25% reseksi dari faset dapat menurunkan stabilitas servikal yang dapat diarahkan dan memerlukan fusi. Laminektomi dan Fusi dengan Instrumentasi Fusi dengan instrumentasi mencegah deformitas posoperatif dan instabilitas posoperatif. Kekurangan utama dari laminektomi adalah deformitas posoperatif progresif dan instabilitas, yang mungkin berakibat pada penurunan neurologis. Keterbatasan ini dapat diatasi dengan fusi terinstrumentasi tambahan. Paling sering adalah fiksasi baut terhadap massa lateral yang digunakan untuk membuat stabilitas biomekanis yang baik pada segmen yang didekompresi dan angka yang tinggi untuk fusi yang

kokoh. Teknik penggunaan baut ini ditelaah pada Bab 13. Dengan teknik yang tepat, risiko komplikasi (cedera arteri vertebralis atau radix nervi spinalis) adalah minimal. Fiksasi baut servikal pedikel (lihat Bab 13) adalah alternatif tapi jarang diperlukan pada kelainan degeneratif dengan kualitas tulang yang baik. Untuk kasus di mana koreksi deformitas kifosis dilakukan, fiksasi baut pedikel sangat disarankan untuk pembentukan tulang yang lebih baik. Foraminotomy Posterior Foraminotomi posterior tetap merupakan terapi alternatif untuk CSR. Foraminotomi posterior untuk penanganan kompresi radix nervi spinalis pertama kali dijelaskan oleh Frykholm (Gambar 7) dan kemudian oleh Scoville dan

Murphey. Selain hasil yang baik, pendekatan ini tak lebih baik karena keterbatasn dalam mengobati kompresi neural anterior dari patologi medianus. Maka banyak ahli bedah yang memilih menggunakan pendekatan dengan diskektomi dan osteofitektomi dengan paduan fusi antar korpus. Walau demikian, foraminotomi posterior tetap merupakan opsi terbaik pada kasus dengan CSR yang utamanya disebabkan oleh reseis stenosis lateral dan herniasi discus lateralis. Otot leher sangat kaya akan propioseptor yang mengirim aferen langsung ke neuron vestibular dan opticus untuk mengendalikan posisi badan. Ini bisa menjadi penyebab utama untuk nyeri leher posoperatif yang persisten. Teknologi akses membuat pendekatan posterior lebih menarik. Baru-baru ini, prosedur invasif minimal diperkenalkan untuk meminimalisir trauma pada otot leher untuk menghindari pelepasan otot servikal ekstensor dari lamina dan processus spinosus. Burke dan Caputy melaporkan pada suatu teknik mikroendoskopik melalui suatu akses transmuskular dengan hanya pemisahan dan pelebaran otot. Boehm et al menggunakan suatu saluran kerja dengan diameter luar 11 mm untuk mengekspos daerah faset interlaminar dan melaporkan hasil yang baik dengan teknik ini. Clarke et al telah menunjukkan bahwa foraminotomi posterior dikaitkan degnan penyakit segmen yang sama atau berdekatan dengan tingkat rendah. Laminoplasti

Potensi destabilisasi, kesalahan penyesuaian sagittal (kifosis) dan kurangnya proteksi corda spinalis akibat laminektomi servikal membuat ahli Bedah Jepang membentuk teknik laminoplasti servikal. Maka, manfaat umum dari laminoplasti adalah Memperluas canalis spinalis Proteksi corda spinalis yang aman Mempertahankan stabilitas spinal Mempertahankan mobilitas spinal Penurunan risiko degenerasi segmen yang berdekatan

Laminoplasti telah dikembangkan untuk mengobati OPLL. Hirabayashi memperkenalkan teknik bedah baru dengan nama laminoplasti ekspansif open-door yang masih digunakan secara luas hingga kini. Sebagai alternatif, laminoplasti open-dorr gaya Prancis diperkenalkan oleh Hiroshi dan Kurokawa. Walaupun beberapa modifikasi metode operasi telah diajukan, konsep dasar dari sebagian besar prosedur adalah mirip dengan dua teknik tersebut. Manfaat dari laminoplasti belumlah banyak diungkap. Telaah klinis kritis terbaru menyimpulkan bahw literature telah mendukung manfaat dari laminoplasti. Ratcliff dan Cooper menyimpulkan bahwa keluran neurologis dan perubahan pada posisi corda spinalis sepertinya mirip dengan laminektomi dan laminoplasti. Pasien diobati dengan laminoplasti sepertinya membentuk suatu rentang gerak servikal yang terbatas (ROM) meirip dengan yang terjadi pada laminektomi dan fusi. Walau demikian, data amat terbatas untuk peran dari laminoplasti pada individu muda dengan myelopati servikal karena canalis spinalis yang menyempit secara kongenital dan di mana dekompresi multilevel dan fusi terinstrumentasi bukan merupakan alternatif yang disukai. Pembuatan Keputusan Pembedahan Ketika mempertimbangkan operasi untuk mengobati kelainan servikal, strategi bedah harus didasarkan pada pasien juga faktor morfologisnya (Tabel 8). Pertanyaan dasarnya adalah kapan waktu mengoperasi dan kapan tidak mengoperasi

Perubahan radiografik adalah umum ditemui pada pasien asimtomatis. Faktor paling penting adalah pemilihan pasien maka dari itu temuan klinis dan morfologis harus sesuai untuk mendapat keluaran yang memuaskan. Artikel yang tak terhitung jumlahnya telah menjelaskan keluaran dari tindakan bedah untuk kelainan servikal degeneratif. Hampir semua artikel memberi penjelasan mengenai aspek teknis, dan keamanan serta hasil klinis awal tanpa kelompok kontrol yang cukup. Banyak dari penelitian anecdotal merangkum berbagai indikasi, yang membatasi kesimpulan pada kelainan servikal degeneratif. Walau demikian, ketika literature ilimiah dikurangi hanya pada rekomendasi level A (bukti yang konsisten dengan banyak RCT, bukti level 1), hanya sedikit RCT dapat diidentifikasi. Pertanyaan mendasar mengenai pilihan terapi adalah selalu berkaitan degnan pilihan antara bedan dan perawatan non operatif. Walau demikian, literature juga tetap lemah dalam hal perbandingan seperti ini. Temuan ini secara nyata membatasi rekomendasi tindakan. Pada bagian ini, maka dari itu kami coba memberikan rekomendasi penanganan yang didukung bukti terbaik bukannya terapi dengan dasar bukti dan pembaca harus mengetahui keterbatasan ini. Tabel 8. Faktor penentu keputusan untuk strategi pembedahan Faktor klinis Gejala utama (nyeri leher vs nyeri lengan) Adanya gejala radikuler Luas dan lokalisasi kompresi neuraladanya gejala myelopatik Keparahan dan durasi gejala Onset gejala (akut, tak disangka) Kondisi umum pasien Usia komorbid

Faktor morfologis adanya kompresi neural Kompresi lunak dan keras Instabilitas segmental

Deformitas spinal (kifosis) Jumlah segmen/level yang terlibat Lebar canalis spinalis Perubahan sinyal MRI corda spinalis

Nyeri leher Bukti ilmiah untuk efektivitas bedah nyeri leher adalah buruk. Nyeri leher aksial bersifat multifaktorial dan seringkali kurang memiliki kaitan strutktural yang dapat diobati dengan bedah. Maka dari itu, bedah untuk nyeri leher jarang diindikasikan. Walau demikian, sebagian dari pasien ini yang datang dengan nyeri radikulr atipikal khusunya ketika radix nervus superior dilibatkan dan mungkin bisa mendapat perbaikan dengan pembedahan. Pada kondisi ini, kompresi dari akar nervus C4 telah dianggap sebagai sumber nyeri leher yang akan sukses diobati dengan pembedahan. Pada pasien dengan nyeri leher parah, berat yang gagal setelah usaah pengobatan konservatif yang adekuat, inidikasi untuk pembedahan dapat dieksplorasi dengan menggunakan pencitraan detail dan penelitian injeksi. Walau demikian, identifikasi sumber nyeri dan tinggi nyeri (missal dengan diskografi atau blockade sendi faset) tetap menantang dan seringkali tak dapat dipercaya. Tindakan untuk nyeri aksial leher oleh fusi hanya didukung oleh sedikit penelitian kohort. Walau tak tercatat, nyeri leher saja sebagai gejala utama ketika datang dianggap sebagai salah satu kontraindikasi untuk TDA. Jarang, pasien datang dengan osteoarthritis yang berat pada sambungan kranioservikal, yang mungkin memerlukan fusi. Pada kasus tertentu, fusi dapat berakibat pada perbaikan yang signifikan. Radikulopati Servikal Perawatan konservatif lebih baik bila dibandingkan degan pembedahan untuk CSR. Sejauh ini hanya satu penelitian yang secara sistematis membandingkan tindakan non-operatif dan pembedahan untuk mengobati radikulopati. Pada penelitian prospektif oleh Persson et al, 81 pasien yang dimasukkan ke penelitian adalah yang datang dengan nyeri servikobrakial setidaknya selama 3 bulan durasi karena

gangguan spondilotik dengan atau tanpa pembengkakan discus. Pasien dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan, yakni pembedahan (teknik Cloward), fisioterapi yang sesuai individu, atau cervical collar. Intensitas nyeri, kelemahan otot dan kehilangan sensorik dapat diharapkan membaik dalam beberapa bulan setelah bedah. Walaupun manfaat jangka pendek untuk pasien yang ditangani secara bedah telah diketahui, tak ada perbedaan dari visual analog scale, Sickness Impact Profile, dan Mood Adjective Check List pada kelompok pertama selama 1 tahun follow up. Penulis menyimpulkan bahwa cervical collar, fisioterapi, atau bedah adalah sama efektifnya untu terapi pada pasien dengan nyeri leher yang radikuler. ACDF tetap menjadi baku emas untuk penanganan CSR. Pada beberapa pasien, walau demikian, gejala radikuler adalah sangat berat dan menetap walaupun perawatan non-operatif yang mereka pilih dibandingkan solusi pembedahan. Sesuai dengan literature terkini, ACDF masih tetap menjadi baku emas untuk terapi pembedahan. Tak ada bukti bahwa fiksasi plat anterior tambahan mempengaruhi keluaran klinis untuk penyakit dengan satu level dan bukti yang terbatas bahwa pemasangan plat anterior meningkatkan angka fusi untuk penyakit dua level. Fusi rangka dan TDA hanya lebih baik dari ACDF pada lokasi nyeri donor. Bukti untuk superioritas fusi rangka atau TDA ketika dibandingkan dengan ACDF adalah terbatas kecuali pada nyeri donor crista iliaca. Khususnya, kelebihan TDA dalam hal degenerasi segmen yang berdekatan masih belum terbukti. Dekompresi minimum invasif (anterior atau posterior) untuk pasien radikulopati tertentu tetap menarik karena hanya mempertahankan gerakan segmental dan tak memerlukan instrumentasi (potensi hemat). Tapi, sejauh ini, bukti ilmiahnya masih terbatas untuk peran mereka pada radikulopati servikal. Keluaran terapi utamanya bergantung dekompresi radix nervus spinalis. Secara umum, keluaran terapi dari terapi bedah dari radikulopati servikal adalah lebih baik dengan hasil yang baik atau bahkan sempurna dan utamanya bergantung pada dekompresi akar syaraf dan tak terlalu bergantung pada jenis teknik operasi.

Myelopati Spondilotik Cervical Tak ada bukti melawan bedah pada kasus CSM moderat ke berat. Adalah tak diketahui apakah bedah memberi hasil dibandingkan dengan perawatan konservatif dari ringan ke moderat. Pada penelitian prospektif, Kadanka et al mengacak 48 pasien dengan CS ringan ke moderat ke dalam konservatif dan operatif. Tak ada perbedaan signifikan dalam skor OA yang dimodifikasi, rasio pemulihan, atau waktu berjalan 10 m dalam kedua kelompok selama follow up 2 tahun. Peneliti menyimpulkan bahwa terapi bedah dalam bentuk ringan hingga moderat dari CSM, terdiri atas pasien dengan perkembangan yang tak ada atau sangat lambat serta mendadak dan relatif lama durasi gejalanya, tak lebih baik dari rawatan konservatif. Walau demikian, tak ada kontroversi seperti apakah CSM berat atau progresif harus dirawat dengan dekompresi. Tujuan dari pembedahan adalah untuk mendekompresi corda spinalis secara menyeluruh. Tujuan utama pembedahan CSM adalah untuk menghentikan atau memperbaiki deficit neurologis dengan dekompresi corda spinalis. Pada penelitian prospektif, multisenter, pasien yang ditangani secara bedah memiliki perbaikan yang signifikan dalam status fungsional dan nyeri keseluruhan, dengan perbaikan pada status fungsional dan nyeri keseluruhan, dengan perbaikan juga diamatipada gejala neurologis. Pasien yang dirawat secara konservatif memiliki pemburukan dari kemampuan untuk melakukan aktivitas dari kehidupan sehari-hari, dengan pemburukan gejala neurologis. Suatu meta analisis dari 2000 pasien yang diterapi dengan laminoplasti mengungkap bahwa rerata perbaikannya pada angka 80%. Pilihan teknik bedah bergantung pada patologi target dan karakteristik pasien. Dekompresi corda spinalis dapat dicapai baik dengan Pendekatan anterior (ACDF multilevel atau corpectomy +- fiksasi plat) Pendekatan posterior (laminoplasti, laminektomi +- fusi terinstrumentasi) Pendekatan anterior/posterior yang dikombinasikan

Corpectomy dan fusi terinstrumentasi anteroposterior berakibat pada keluaran yang dipercaya.

Walaupun penelitian yang tak terhitung jumlahnya telah dilaporkan untuk setiap pendekatan ini, bukti ilmiah untuk rekomendasi perawatan masih terbatas. Hanya sedikit penelitian yang memberikan beberapa bukti yang sangat membantu untuk membuat keputusan pembedahan. Terdapat bukti moderat bahwa ACDF multilevel terkait dengan angka gagal menyatu yang tinggi dan bukti yang terbatas untuk korpektomi berakibat pada angka penyatuan yang lebih rendah untuk dekompresi multilevel. Pada ACDF dengan tiga atau lebih level atau korpektomi, fiksasi plat anterior tak memadai dan fikasis posterior tambahan adalah disarankan. Terdapat bukti yang terbatas bahwa korpektomi multilevel dan laminoplasti efektif secara seimbang dalam menahan progresi myelopati pada myelopati servikal multilevel dan dapat berakibat pada pemulihan neurologis yang signifikan dan penurunan nyeri pada mayoritas pasien. Pemulihan neurologis sepertinya tak beragntung pada teknik laminoplasti. Walau demikian, terdapat bukti yang terbatas bahwa pasien yang diobati degnan laminoplasti membentuk keterbatasan pada ROM servikal serupa dengan yang terlihat setelah laminektomi dan fusi. Faktor yang Mempengaruhi Keluaran Dimensi canalis spinalis dan intensitas perubahan sinyal dapat memprediksi hasil. Keluaran bedah sepertinya memang sangat bergantung pada luas stenosis canalis dan kompresi corda. Yamazaki et al menganalisis faktor menganalisis faktor prognostic dengan membandingkan kelompok pasien tua dan muda berdasar data klinis dan radiografik preoperative. Penulis menemukan bahwa untuk pasien tua, area transvers dari corda spinalis pada setinggi kompresi dan durasi gejala adalah faktor yang memprediksi kompresi maksimal dan durasi gejala di mana faktor yang memprediksi pemulihan yang sempurna. Usia, skor preoperative JOA, diameter canalis, dan perubahan intensitas pada corda spinalis tidak bernilai prediktif pada kedua kelompok usia. Fujiwara et al menunjukkan bahwa area transversa corda pada lokasi kompresi maksimal berhubungan dengan hasil pembedahan secara signifikan. Pada sebagian besar pasien dengan area spinal cord kurang dari 30 mm2, hasilnya buruk. Pasien dengan perubahan intrameduler yang tinggi pada pencitraan T2W yang tak memiliki klonus atau spastisitas

mungkin akan mengalami keluaran pembedahan yang baik jika diprediksi dengan adanya sinyal intrameduler yang rendah pada pencitraan T1W, clonus, atau spastisitas. Berdasarkan temuan ini, Alafifiet et al mendorong bahwa mungkin dapat ada suatu celah untuk kesempatan untuk mendapat keluaran pembedahan optimal pada pasien dengan CSM. Yonenobu telah mengindikasikan bahwa pembedahan yang dilakukan terlalu terlambat pada stadium dengan myelopati yang sudah berat umumnya memiliki prognosis yang buruk dan maka dari itu akan mengakibatkan pembedahan dini. Dekompresi anterior/posterior bertahap untuk myelopati adalah lebih aman. Beberapa perdebatan berlanjut mengenai pertanyaan apakah bedah kombinasi anterior/posterior untuk mendekompresi myelopati moderat hingga berat harus dilakukan secara bertahap atau pada satu pembedahan. Tak ada bukti untuk mendukung salah satu pendekatan di atas lainnya. Secara anecdotal, kami telah melihat pasien dimasukkan ke unit cedera corda spinalis kami yang mengalami penurunan neurologis nyata setelah pembedahan kombinasi. Kami maka dari itu merekomendasikan pelaksanaan dekompresi corda spinal anterior/posterior dalam tahapan untuk kasus myelopati moderat ke berat untuk meminimalisir edema dan membuat suplai darah ke corda spinalis beradaptasi ulang di antara tahapan pembedahan. Komplikasi Suatu telaah komprehensif dari komplikasi diberikan pada Bab 39. Secara umum, komplikasi pembedahan untuk CSR dan CSM tidaklah umum tapi dapat meliputi hal berikut Kebocoran cairan serebrospinal (0,2-0,5%) Cedera nervus recurens laringeus (0,8-3,1%) Disfagia (0,02-9,5%) Sindroma Horner (0,02-1,1) Cedera akar nervus servikalis (0,2-3,3%) Hematoma (0,2-5,6%) Kematian (0,1-0,8%) Infeksi (0,1-1,4%)

Perforasi esophageal (0,2-0,3%) Gagal menyatu (berdasarkan teknik) Kolaps atau pemisahan graft (bergantun teknik) Kegagalan instrumentasi (bergantung pada teknik)

Disfagia adalah komplikasi posoperatif yang umum ditemui. Disfagia adalah gejala yang cukup sering muncul setelah bedah servikal anterior dan dapat dialami oleh hingga 50% kasus pada periode sesaat setelah posoperatif. Disfagia bergantung pada jumlah level yang diobati. Pada 12 bulan setelah operasi, angka disfagia moderat hingga berat menurun hingga 13%. Etiologi komplikasi ini tak sepenuhnya dipahami. Cedera pada nervus laringeus superior telah dianggap sebagai penyebab potensial. Papavero et al telah melaporkan bahwa tak ada kaitan yang ada antara retraksi faring/esophagus dan gangguan penelanan posoperatif. Cedera RLN tak bergantung dari lokasi asal pendekatan. Palsi nervus rekurens laringeus (RLN) telah dilaporkan pada 2-11% pasien. Berlawanan dengan keyakinan pada umumnya, angka cedera diperkirakan tak berkaitan dengan sisi arah pendekatan. Laringoskopi posoperatif mengungkap bahwa insidensi sebenarnya untuk palsi RLN jenis awal dan jenis tetap setelah operasi cervical spine angkanya jauh lebih besar dibandingkan yang diperkirakan. Jung et al. melaporkan bahwa angka posoperatif untuk palsi RLN yang simtomatis secara klinis adalah 8,3%, dan insidensi palsi RLN tak berkaitan dengan suara serak (karena tak tampak secara klinis dengan laringoskopi) adalah sebesar 15,9%. Pada 3 bulan setelah operasi, angka ini menurun hingga 2,5% dan 10,8% urut. Radikulopati C5 adalah komplikasi serius untuk dekompresi corda spinalis. Suatu komplikasi yang tak sering adalah palsi C5 posoperatif yang dapat ditemui pada 3 hingga 5% pasien setelah dekompresi secara opeartif khusunya laminoplasti. Telah diajukan bahwa gangguan neural adalah akibat dari traksi pada akar nervus C5 karena migrasi posterior dari corda spinalis setelah operasi dekompresi posterior. Walau demikian, telaah sistematik tak mengungkap perbedaan signifikan antara pasien yang menjalani dekompresi dan fusi serta

laminoplasti, dan juga tak ada perbedaan nyata pada laminoplasti lateral dan laminoplasti French-door, atau di antara myelopati spondilotik servikal dan osifikasi ligament longitudinal posterior. Patogenesis dari palsi C5 masih bleum jelas hingga kini. Pasien dengan palsi C5 umumnya memiliki prognosis baik untuk pemulihan fungsional, tapi keparahan kasus kelumpuhan memerlukan waktu pemulihan yang lebih lama dibandingkan kasus yang lebih ringan.

You might also like