You are on page 1of 15

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Gambaran Kejadian Hipertensi pada Lansia di Kecamatan Turen Hasil penelitian Riskesdas (2007) menyebutkan bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan kasus minum obat atau terdiagnosis oleh tenaga kesehatan yakni sebesar 65,2% pada lansia (usia 55 tahun keatas) lebih besar dibandingkan pada usia orang dewasa (usia <55 tahun) sebesar 22,7%. Hipertensi adalah suatu keadaan dimana terjadinya peningkatan tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg. Saat ini cutoff point yang biasa digunakan untuk menentukan seseorang menderita hipertensi adalah berdasarkan The Seventh Report of Joint National Committee (JNC-7) tahun 2003 adalah dikatakan hipertensi derajat 1, jika TDS 140-159 mmHg dan TDD 90-99, serta dikatakan hipertensi derajat 2, jika TDS 160 mmHg dan TDD 100 mmHg (Yogiantoro, 2006). Hasil penelitian di Kecamatan Turen diketahui bahwa proporsi lansia yang menderita hipertensi sebanyak 223 orang (58,1%), sedangkan lansia yang tidak menderita hipertensi sebanyak 161 orang (41,9%) Menurut data 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Turen tahun 2011, total dari 17 desa dalam kecamatan Turen, angka kejadian hipertensi primer menduduki peringkat ketiga yaitu sebanyak 2.677. Pada tahun 2012 jumlah pasien yang menderita hipertensi primer meningkat menjadi 2.911 yang terdiri dari 551 pasien berusia 15-44 tahun, 1.816 pasien dengan rentan usia 45-64, 544 pasien dengan usia > 69 tahun ( Puskesmas Turen, 2012).

77

Dari data yang diuraikan diatas menunjukkan bahwa hipertensi merupakan masalah kesehatan yang banyak di masyarakat khususnya populasi lanjut usia di wilayah Kecamatan Turen. Menurut teori terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian hipertensi pada seseorang diantaranya yaitu jenis kelamin, riwayat keluarga, merokok, olahraga, konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak, dan obesitas. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat beberapa faktor diatas yang berhubungan dengan hipertensi pada lansia di Kecamatan Turen. 6.2 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Hipertensi pada Lansia di Kecamatan Turen Dalam Depkes (2006), hipertensi lebih banyak didapatkan pada laki-laki dibandingkan perempuan, karena laki-laki memiliki gaya hidup yang cenderung meningkatkan tekanan darah dibanding wanita, seperti merokok. Namun setelah memasuki masa menepouse, prevalensi hipertensi pada wanita meningkat. Menurut Kumar, et all, (2005), wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL) sehingga mencegah terbentuknya aterosklerosis. Sebelum memasuki masa menepouse, wanita mulai kehilangan hormon estrogen sedikit demi sediki dan sampai masanya hormon estrogen harus mengalami perubahan sesuai dengan umur wanita, yaitu dimulai sekitar umur 45-55 tahun. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap kerusakan dan proteksi pembuluh darah. Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa proporsi lansia hipertensi berjenis kelamin perempuan (63,8%) lebih banyak dibandingkan dengan lansia berjenis kelamin laki-laki (49,7%). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Gray

78

(2005) bahwa di usia 45 tahun keatas wanita dipengaruhi oleh hormon estrogen yang dapat melindungi tubuh dari penyakit kardiovaskuler. Berdasarkan hasil uji statistik chi square didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi pada lansia (p<0,05; PR:4,402). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Yuliarti (2007) diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi. Namun hasil penelitian ini berlawanan dengan penelitian Herke (1995) yang tidak dapat membuktikan bahwa perempuan mempunyai resiko hipertensi yang lebih besar daripada laki-laki, walaupun diperoleh proporsi hipertensi lebih tinggi pada perempuan. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh telah menebalnya dinding arteri akibat dari akumulasi menumpuknya zat kolagen pada lapisan otot selama bertahun-tahun, yang berdampak pada penyempitan dan pengerasan pembuluh darah. Selain itu, dapat pula disebabkan oleh penurunan refleks baroreseptor dan fungsi ginjal. Sehingga hal-hal tersebut dapat memicu timbulnya hipertensi tanpa memandang jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan (Kumar, et all, 2005). Price dan Wilson (2002) menambahkan bahwa penyebab hipertensi dapat disebabkan pula oleh penurunan elastisitas pembuluh darah sehingga pembuluh darah menjadi kaku. Pembuluh darah tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik untuk mengembang pada saat jantung memompa darah melalui pembuluh darah tersebut. Sehingga jantung harus meningkatkan denyutnya pada pembuluh darah yang menyempit agar aliran darah dapat didistribusikan keseluruh tubuh. Hal ini menyebabkan naiknya tekanan darah.

79

Selain itu, adanya faktor lain yang mendukung adalah adanya faktor psikologis. Salah satu contohnya adalah baik perempuan maupun laki-laki pada ketika memasuki usia lansia kecenderungan mengalami depresi atau stres. Disebabkan oleh status pekerjaan ataupun sudah tidak bekerja lagi

(pengangguran). Selain itu, seseorang yang pendapatannya rendah kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada sehingga kurang mendapatkan pengobatan yang baik ketika seseorang menderita hipertensi (Sutanto, 2010 dan Baliwati, 2004). 6.3 Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Hipertensi pada Lansia di Kecamatan Turen Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium. Individu dengan orang tua hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga (Rohaendi, 2008). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga dengan kejadian hipertensi (p=0.663). Dari 222 lansia dengan riwayat keluarga hipertensi diketahui bahwa 59% (131) lansia menderita hipertensi sedangkan 41% (91) tidak menderita hipertensi. Hal tersebut menunjukkan bahwa orang dengan riwayat keluarga menderita hipertensi berisiko lebih besar terkena hipertensi. Menurut Sheps (2002), hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua kita mempunyai

80

hipertensi

maka

sepanjang

hidup

kita

mempunyai

25%

kemungkinan

mendapatkannya pula. Jika kedua orang tua kita mempunyai hipertensi, kemungkunan kita mendapatkan penyakit tersebut 60%. Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala (Chunfang Qiu, dkk, 2003). Faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga tersebut memiliki risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar natrium intraseluler dan rendahnya rasio antara kalium terhadap natrium. Penelitian yang dilakukan oleh Androgue dan Madias mengenai patogenesis kalium dan natrium pada hipertensi, menyebutkan faktor keturunan berpengaruh terhadap hipertensi primer melalui beberapa gen yang terlibat dalam regulasi vaskuler dan reabsorpsi natrium oleh ginjal. 6.4 Hubungan antara Olahraga dengan Hipertensi pada Lansia di Kecamatan Turen Aktifitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama beraktifitas, otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk menyuplai zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa, 2001). Berolahraga teratur baik

81

untuk menambah kekuatan jantung dalam memompa darah yang berefek pada pengontrolan tekanan darah, dan cukup dilakukan dengan olahraga ringan atau sedang sehari tiga hinga lima kali dalam seminggu dan minimal 30 menit (Sutanto, 2010). Pada penelitian ini diketahui bahwa lansia cenderung tidak melakukan aktifitas atau kegiatan olahraga. Diperoleh pula hasil bahwa lansia yang tidak melakukan kegiatan olah raga cenderung menderita hipertensi (61,8%) dibandingkan dengan yang melakukan kegiatan olahraga. Artinya adalah resiko hipertensi akan lebih tinggi pada seseorang yang tidak olahraga daripada yang melakukan olahraga. Hal ini sependapat dengan Cahyono (2008) bahwa berolahraga memiliki beberapa keuntungan yaitu: dapat menurunkan frekuensi denyut nadi, kelebihan lemak dan berat badan, serta menormalkan tekanan darah. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara olahraga dengan kejadian hipertensi pada lansia (p<0,05; PR:1,693). Hasil penelitian ini sejalan dengan Sanusi (2002) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara aktifitas fisik dengan kejadian hipertensi lansia. Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan Wijayanti (2010) diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aktifitas fisik dengan hipertensi. Selain itu pada penelitian ini juga didapatkan koresponden yang melakukan olahraga namun mengalami hipertensi. Hal ini dapat dimungkinkan karena olahraga yang dilakukan lansia masih belum sepenuhnya dengan mekanisme yang baik. Maksudnya adalah pada saat mereka melakukan olahraga, jenis, waktu, intensitas serta frekuensinya kurang tepat sehingga tidak sesuai dengan standar kesehatan. Cahyono (2008) memaparkan bahwa olahraga yang

82

tidak sesuai dengan standar kesehatan tidak akan memberikan efek kesehatan. Selain itu, olahraga isotonik yang memanfaatkan gerakan kaki seperti jalan lebih baik daripada olahraga isometrik yang memanfaatkan tangan seperti angkat beban. Karena efek dari olahraga isotonik adalah meningkatkan ketahanan pernafasan jantung atau menekan menyempitnya pembuluh darah. Sedangkan olahraga isometrik kurang menguntungkan pada sistem pernafasan jantung atau dapat meningkatkan tekanan darah. 6.5 Hubungan antara Merokok dengan Hipertensi pada Lansia di Kecamatan Turen Menurut Depkes RI Pusat Promkes (2008) dan Winniford (1990), telah dibuktikan dalam penelitian bahwa dalam 1 batang rokok mengandung berbagai zat kimia. Bahan utama rokok terdiri dari tiga zat, yaitu 1) Nikotin, berdampak pada jantung dan sirkulasi darah maupun pembuluh darah. 2) Tar, mengakibatkan kerusakan sel paru-paru dan menyebabkan kanker. 3) Karbon Monoksida (CO), yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen. Zat-zat kimia tersebut dapat merusak lapisan dalam dinding arteri sehingga menyebabkan penumpukan plak dan lama-kelamaan akan terjadi peningkatan tekanan darah atau munculnya penyakit hipertensi. Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa proporsi lansia yang tidak merokok (218 orang) lebih besar daripada lansia yang merokok (166 orang). Akan tetapi, didapatkan bahwa lansia yang tidak merokok memiliki kecenderungan menderita hipertensi (59,2%). Didapatkan pula informasi bahwa kebanyakan lansia mulai merokok usia 15 19 tahun. Selain itu, 50 % lansia yang merokok rata-rata menghabiskan satu sampai lima batang rokok setiap harinya. Mangku

83

Sitepoe (1997) dalam Suheni (2007) memaparkan bahwa merokok sebatang setiap hari akan meningkatkan tekanan sistolik 10 - 25 mmHg dan menambah detak jantung lima sampai 20 kali/menit Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara merokok dengan kejadian hipertensi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hasirungan (2002) didapatkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara merokok dengan kejadian hipertensi. Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sanusi (2002) yaitu diketahui terdapat hubungan yang bermakna antara merokok dengan kejadian hipertensi. Tidak terdapatnya hubungan antara merokok dengan kejadian hipertensi kemungkinan disebabkan oleh responden yang tidak pernah merokok dulunya memiliki riwayat terpapar rokok ataupun asapnya. Dari hasil analisis diketahui terdapat lansia yang merokok pada usia remaja. Smet (1994) menambahkan bahwa arterosclerosis dan risiko kematian akan meningkat sejalan dengan usia dini merokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi. Winniford (1990) berpendapat bahwa peningkatan denyut jantung pada perokok terjadi pada menit pertama merokok dan sesudah 10 menit peningkatan mencapai 30%. Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan

mengkonsumsi satu batang rokok saja seseorang memiliki risiko meningkatnya tekanan darah. Lansia yang dahulunya pernah merokok, tidak diketahui dalam penelitian ini berapa banyak rokok yang dikonsumsinya dimasa lampau. Selain itu bagi lansia perempuan yang tidak merokok kemungkinan besar terpapar oleh asap rokok yang dikonsumsi oleh sanak keluarganya. Sehingga berdampak pada kesehatannya dalam waktu beberapa tahun kemudian setelah memasuki usia tua.

84

Depkes (2008) menambahkan bahwa asap dari rokok juga berdampak terhadap orang yang menghirupnya (disebut perokok pasif) untuk terjadinya penyakit. Para ilmuwan membuktikan bahwa zat-zat kimia didalam rokok juga mempengaruhi kesehatan seseorang yang tidak merokok disekitar perokok. Dampak yang akan ditimbulkan oleh rokok tersebut untuk menderita hipertensi akan terakumulasi dalam beberapa tahun kemudian yaitu sekitar usia 40 tahun ke atas. 6.6 Hubungan antara Konsumsi Makanan Asin dengan Hipertensi pada Lansia di Kecamatan Turen Analisis bivariat menggunakan uji chi-square didapatkan hasil bahwa kebiasaan mengkonsumsi makanan asin terbukti sebagai faktor risiko hipertensi dengan nilai nilai p=0.000. Setelah dilakukan analisis multivariat menggunakan regresi logistik berganda dengan metode Backward Stepwise (Likelihood Ratio), diketahui bahwa orang yang suka mengkonsumsi makanan asin berisiko menderita hipertensi 4,620 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak suka makan makanan asin. Menurut Almatsier (2001) dan (2006), natrium adalah suatu komponen dalam darah. Sumber utama natrium adalah garam dapur atau NaCl. WHO menganjurkan untuk mengkonsumsi garam kurang dari enam gram/hari setara dengan 2400 mg/hari. Salah satu dari fungsi natium dalam tubuh, yaitu mengatur osmolaritas volume darah yang menjaga cairan tidak keluar dari darah dan masuk ke dalam sel-sel serta membantu transmisi kontraksi otot. Hull (1996) diketahui bahwa meningkatnya asupan garam dapat menyebabkan penumpukan cairan

85

dalam tubuh karena menarik cairan di luar sel ke intravaskuler, sehingga berdampak pada peningkatan volume dan tekanan darah. Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa proporsi lansia yang konsumsi natriumnya berlebih jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan lansia yang konsumsi natriumnya cukup. Akibat proses menua, seseorang mengalami penurunan sensitifitas indera pengecapan dan perasa yang

mengakibatkan berkurangnya nafsu makan. Hal tersebut mengakibatkan penggunaan bumbu masak atau garam dalam jumlah yang lebih banyak (Arisman, 2004 dan Sari, 2006). Diketahui pula bahwa lansia yang konsumsi natriumnya berlebih cenderung menderita hipertensi. Almatsier (2006) memaparkan bahwa kelebihan natrium yang berkepanjangan bisa mengakibatkan keracunan, edema serta hipertensi. Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi natrium dengan kejadian hipertensi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Widiastuti (2006) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan natrium dengan hipertensi pada usia lanjut. Menurut Williams (1991) dalam Aisyiyah (2009) dan Cahyono (2008), pada penderita hipertensi maupun non hipertensi, pengaturan, pencegahan maupun perbaikan pola makan, salah satunya dapat dilakukan dengan mengurangi konsumsi natrium sebanyak 1.500 mg/hr (2/3 sendok teh sehari). Karena setiap individu memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap jumlah natrium yang dikonsumsinya di dalam tubuh. Pengaturan keseimbangan natrium dalam darah diatur oleh ginjal. Asupan natrium yang terlalu tinggi secara terus menerus atau

86

adanya gangguan fungsi ginjal menyebabkan keseimbangan natrium terganggu. Hal ini menyebabkan natrium tidak dapat atau sedikit dikeluarkan, sehingga kadar natrium dalam darah tinggi. Penurunan pengeluaran natrium akan diikuti dengan penahanan air. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi menyebabkan peningkatan volume darah dalam tubuh, sehingga tekanan darahpun meningkat (Price dan Wilson, 2002). 6.7 Hubungan antara Konsumsi Makanan Berlemak dengan Hipertensi pada Lansia di Kecamatan Turen Analisis bivariat menggunakan uji chi-square didapatkan hasil bahwa kebiasaan mengkonsumsi makanan berlemak terbukti sebagai faktor risiko hipertensi dengan nilai nilai p=0.000. Kemudian dilakukan analisis multivariat menggunakan regresi logistik berganda dengan metode Backward Stepwise (Likelihood Ratio), diketahui bahwa orang yang suka mengkonsumsi makanan berlemak berisiko menderita hipertensi 7,402 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak suka makanan berlemak. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel konsumsi makanan berlemak merupakan faktor risiko hipertensi yang paling berpengaruh terhadap hipertensi pada penelitian ini. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sugihartono (2007) yang menunjukkan bahwa orang yang mempunyai kebiasaan

mengkonsumsi lemak akan berisiko terserang hipertensi sebesar 7,72 kali dibandingkan orang yang tidak biasa mengkonsumsi lemak. Almatsier (2001) memaparkan bahwa konsumsi lemak berlebih yang berasal dari hewani cenderung meningkatkan kolesterol yang berisiko terhadap hipertensi. Preuss (1996) juga menyatakan pada penelitian ditujuh negara, rata-

87

rata tekanan darah populasi berkorelasi signifikan dengan rata-rata konsumsi lemak jenuh. Diet tinggi lemak berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh polivalen secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian, dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah (Hull, 1996). Secara umum, asam lemak jenuh cenderung meningkatkan kolesterol darah, 25-60% lemak yang berasal dari hewani dan produknya merupakan asam lemak jenuh. Setiap peningkatan 1% energi dari asam lemak jenuh, diperkirakan akan meningkatkan 2.7 mg/dL kolesterol darah, akan tetapi hal ini tidak terjadi pada semua orang. Lemak jenuh terutama berasal dari minyak kelapa, santan dan semua minyak lain seperti minyak jagung, minyak kedelai yang mendapat pemanasan tinggi atau dipanaskan berulang-ulang. Kelebihan lemak jenuh akan menyebabkan peningkatan kadar LDL kolesterol. Sedangkan lemak tidak jenuh, meskipun mengkonsumsinya kadar kolesterol tidak meningkat dan tetap stabil (Almatsier, 2001). Komponen lemak polivalen tidak jenuh, yang disebut asam lemak esensial, merupakan rintangan untuk zat-zat yang mirip hormon di dalam darah yang disebut prostaglandin. Beberapa jenis prostaglandin membantu mengatur tekanan darah dengan melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan diameter dari arteri dan mengurangi jumlah darah yang harus dipompa oleh jantung. Tekanan darah berkurang bila asupan asam lemak esensisal dalam diet ditingkatkan. Lemak merupakan 42% dari kalori total yang dikonsumsi dalam diet

88

rata-rata orang Amerika. Tekanan darah menurun bila lemak dikurangi sampai 25% dari total kalori (Hull, 1996). Bila mengkonsumsi makanan berlemak, maka di dalam usus makanan tersebut akan diubah menjadi kolesterol. Kolesterol yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya ateroklerosis yaitu suatu kondisi dimana kolesterol menumpuk di dinding pembuluh darah arteri. Pembentukan ateroklerosis diawali dengan rusaknya pembuluh darah. Setelah pembuluh darah rusak, maka kolesterol yang dibawa LDL terperangkap pada dinding pembuluh darah tersebut dalam waktu bertahun-tahun Maka terjadilah pembentukan plak sehingga pembuluh darah makin sempit dan elastisitasnya berkurang (Cahyono, 2008). Kandungan lemak yang dapat mengganggu kesehatan jika jumlahnya berlebih lainnya adalah kolesterol, trigliserida, low density lipoprotein (LDL) (Almatsier 2001). 6.8 Hubungan antara Obesitas dengan Hipertensi pada Lansia di Kecamatan Turen Obesitas berkaitan dengan kegemaran mengkonsumsi makanan tinggi lemak serta meningkatkan risiko terjadinya hipertensi akibat faktor lain. Makin besar massa tubuh, makin meningkat volume darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Lalu dinding arteri mendapatkan tekanan yang lebih besar. Sehinggga jantung akan bekerja ekstra keras pula. Kemudian tekanan darah terjadi peningkatan (Sheps, 2005). Hasil analisis univariat diketahui bahwa proporsi lansia yang tidak obesitas lebih banyak daripada lansia yang obesitas. Selain itu, lansia yang tidak obesitas memiliki kecenderungan menderita hipertensi. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara obesitas

89

dengan kejadian hipertensi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian hasirungan (2002) bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara IMT atau obesitas. Namun, penelitian ini berlawanan dengan penelitian Yuliarti (2007) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara IMT dengan kejadian hipertensi. Tidak terdapatnya hubungan tersebut kemungkinan disebabkan oleh peningkatan sistem simpatis dan sistem renin-angiotensin. Sistem reninangiotensin ini sejalan dengan hasil tabulasi silang didapatkan bahwa lansia yang tidak obesitas cenderung mengkonsumsi natrium dalam jumlah lebih. Dalam darah renin mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin. Angiotensin ini dapat menyebabkan diameter pembuluh darah mengecil. Renin memicu produksi aldosteron. Aldosteron berfungsi untuk mengatur volume cairan ekstraseluler. Jika natrium meningkat maka aldosteron akan mengurangi pengeluaran natrium dengan cara meresbsorbsinya dari tubulus ginjal. Hal ini menyebabkan natrium dalam darah meningkat, Natrium mempunyai sifat menahan air sehingga menyebabkan volume darah menjadi naik dan hal itu secara otomatis menyebabkan tekanan darah menjadi naik (Price dan Wilson, 2002). Menurut Depkes (2006) diketahui rata-rata kasus hipertensi mengalami penurunan tekanan darah dengan mengurangi asupan garam. Jadi meskipun seseorang itu memiliki IMT yang kurus atau normal tetapi jika konsumsi natriumnya berlebih maka seseorang memiliki risiko hipertensi. 6.9 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian, antara lain:

90

1. Responden pada penelitian ini adalah usia lanjut, beberapa orang mungkin memiliki keterbatasan daya ingat atau cepat merasa jenuh dengan pertanyaan yang terlalu banyak sehingga pada saat menjawab responden terburu-buru atau semaunya. Maka dari itu, pewawancara harus memiliki kemampuan yang baik dalam mengatur jalannya wawancara sehingga responden tidak terlalu jenuh. 2. Peneliti belum menemukan standar baku untuk pembuatan kuesioner penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada lansia di Kecamatan Turen, sehingga instrumen penelitian dibuat berdasarkan pengetahuan dan pemahaman peneliti, serta dengan mengambil dari beberapa referensi. Untuk menghindari ketidaksepahaman antara

pengambil data kuesioner dengan responden, maka kami menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh responden. 3. Ketepatan diagnosis penyakit. Hal ini dapat menyebabkan bias, karena dalam penelitian ini untuk mendiagnosis seseorang terkena hipertensi hanya menggunakan pengukuran tekanan darah dan faktor-faktor yang berpengaruh laboratorium. terhadap tekanan darah tanpa adanya pemeriksaan

91

You might also like