Professional Documents
Culture Documents
Pemilu legislatif yang baru saja dilalui membuat elit-elit yang hendak
maju menuju RI-1 dan RI-2 menimbang dan mulai berhitung.Berbekal
dengan hasil perhitungan sementara dari berbagai lembaga survei yang
melakukan quick count,mulai terlihat fragmentasi peta kekuatan. Hasil
sementara real count KPU menempatkan Partai Demokrat bertengger di
puncak,kemudian disusul oleh Golkar,PDI-P,PKS dan PAN ke dalam lima
besar.Hasil ini cukup berbeda dengan pemilu 2004 dimana pemenangnya
adalah partai besar yakni Golkar,PDI-P,PKB,PPP,PD. Namun,yang menjadi
persamaan adalah tidak ada satupun partai yang perolehannya mencapai
50 persen untuk menjadi modal strategis di parlemen. Untuk mengisi
ruang–ruang inilah kemudian koalisi dibutuhkan untuk menciptakan
pemerintahan yang kuat.
Wacana koalisi ini mendapat tempat dalam era demokrasi pasca orde
baru. Sebelumnya,demokrasi yang terjadi hanya demokrasi semu yang
pemenangnya sudah diketahui sebelum pemilu berlangsung.Hari ini dengan
banyaknya partai politik yang ikut pemilu,membuat suara mayoritas sulit
untuk dicapai. Ditambah lagi adanya syarat menjadi presiden diatur dalam
undang-undang dimana dapat dilakukan oleh partai atau gabungan partai
dengan perolehan suara pemilu legislative di atas 20% kursi DPR atau 25%
suara sah.
Koalisi yang tidak berdasar platform yang sama memang akan rentan
pecah dan berpotensi menggadaikan suara pemilih. Sangat jelas bahwa apa
solusi yang ditawarkan PKS dengan PDS berbeda dalam menghadapi
sebuah permasalahan sosial.Partai tersebut dipilih oleh konsituennya
karena menganggap bahwa solusi atau ideologi yang dimiliki partai bisa
membawa jalan keluar permasalahan sehari-hari pemilih.Namun,dengan
mudahnya sekian persen suara partai “dibajak” oleh elit partai sesuai
dengan peluang berkuasa.Partai tidak peduli dengan koalisi yang bertolak
belakang satu sama lainnya dari segi ideologi dan program
kerja.Kekuasaanlah yang menjadi satu-satunya kesamaan partai-partai
yang berkoalisi tersebut.