You are on page 1of 28

BAB I PENDAHULUAN I.

1 Latar Belakang Tulisan ini berisi mengenai peran dari Mallaca Strait Sea Patrol dalam menanggulangi Perompakan di Selat malaka. Selat Malaka merupakan wilayah yang sebagian besar terbentang antara Indonesia dan Malaysia juga Singapura, yang

memanjang antara Laut Andaman di barat laut dan Selat Singapura di tenggara sejauh kurang lebih 520 mil laut dengan lebar yang bervariasi 11-200 mil laut. Sedangkan Selat Singapura terapit antara Indonesia dan Singapura, terbentang

menurut arah barat-timur sejauh 30 mil laut dengan lebar sekitar 10 mil laut. Daerah yang tersempit dari jalur ini adalah Phillips Channel yang berada di Selat

Singapura, yaitu hanya mempunyai lebar 1,5 mil laut. Selat Malaka memiliki nilai strategis dari sisi ekonomi, politik, dan keamanan. Selain dari posisi dan historis, selat ini merupakan jalur perniagaan internasional yang sangat ramai dan padat. Oleh karena letaknya yang strategis, maka selat ini rawan akan ancaman kejahatan maritim. Rawan yang tidak hanya terfokus pada hal-hal yang bersifat militeristik, tetapi telah berkembang mengarah pada berbagai aspek seperti perlindungan lingkungan, hak asasi manusia, perluasan perdagangan dan investasi, pemberantasan kejahatan internasional, atau perdagangan barang terlarang. Maka, strategi pertahanan dan keamanan daerah ini memerlukan suatu perhatian khusus terutama dari littoral states yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura dengan mengadakan kerjasama untuk mengatasi ancaman kejahatan di Selat Malaka. Selat Malaka yang merupakan jalur strategis yang berada dibawah kedaulatan tiga negara di Asia yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura, sangat rentan dengan berbagai aksi kejahatan seperti yang disebutkan diatas. Indonesia, Malaysia dan Singapura, yang merupakan littoral states atau dalam istilah lain dari Negara pantai, yaitu Negara-negara yang memiliki suatu kawasan yang sama, dan bertanggung jawab penuh terhadap segala hal yang terjadi di kawasan tersebut. Dalam pembahasan penulisan ini, littoral states yang dimaksud adalah Indonesia dan

Singapura, yang secara geografis,

bertanggung jawab terhadap keadaan apapun

termasuk keamanan di Selat Malaka. Kedua negara ini memiliki peranan penting dalam menjaga keamanan di perairan Selat Malaka. Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang terhadap Selat Malaka, sedangkan Singapura merupakan negara yang kuat dalam sistem pertahanan dan keamanan terhadap Selat Malaka dan tidak dipungkiri lagi bahwa Singapura memiliki kepentingan yang besar terhadap jalur perdagangan yang strategis ini. Lokasi geografis Selat Malaka menjadikannya rapuh terhadap praktik perompakan dan aksi kejahatan. Selat Malaka sejak lama merupakan sebuah jalur penting yang menghubungkan Cina dan India, dan seringkali digunakan untuk tujuan perdagangan. Di era modern, Selat ini merupakan jalur antara Eropa, Kanal Suez, dan negara-negara penghasil minyak di Teluk Persia; serta pelabuhan-pelabuhan Asia Timur yang sibuk. Terdapat ribuan pulau kecil di selat sempit ini, selain itu selat ini juga menjadi muara banyak sungai. Dua hal ini menjadikan Selat Malaka tempat yang ideal bagi para perompak untuk bersembunyi dan menghindari penangkapan.1 Ancaman kejahatan di Selat Malaka biasanya berupa pembajakan kapal, perampokan kapal, penculikan awak kapal, perdagangan manusia dan

penyelundupan senjata. Ada juga kemungkinan serangan teroris yang bertujuan melumpuhkan arus perdagangan internasional dan berniat menghancurkan fasilitas perhubungan laut di perairan Selat Malaka.2 I.2 Rumusan Masalah Makalah ini akan membahas beberapa hal yang menjadi acuan perumusan masalah dalam penulisannya, yaitu : 1. Bagaimana efektivitas Malacca Strait Sea Patrol terhadap Perompakan di Selat Malaka ?

1 2

http://id.wikipedia.org/wiki/Perompakan_di_Selat_Malaka, Akses 28-10-2013 Kebijakan Terpadu Pengelolaan Keamanan Selat Malaka Medan, 19-20 Juli 2005. Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Departemen Luar Negeri RI.

I.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk menjelaskan efektivitas dari Malacca Strait Sea Patrol dalam menanggulangi Perompakan di Selat malaka, serta bertujuan menjadi bahan baca untuk matakuliah yang mengkaji tentang Politik dan Pemerintahan Asia Tenggara. I.4 Metode Penelitian Penyelesaian penulisan makalah ini melalui tinjauan studi pustaka dengan mengumpulkan berbagai bahan dari berbagai literatur yang relavan dengan masalah perompakan di Selat malaka yang ada.

BAB II PEMBAHASAN II.1 PROFIL SELAT MALAKA Selat Malaka adalah sebuah selat yang terletak di antara Semenanjung Malaysia (Thailand, Malaysia, Singapura) dan Pulau Sumatra(Indonesia).Dari segi ekonomi dan strategis, Selat Malaka merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia, sama pentingnya seperti Terusan Suezatau Terusan Panama. Selat Malaka membentuk jalur pelayaran terusan antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta menghubungkan tiga dari negara-negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia: India, Indonesia dan Republik Rakyat Cina. Sebanyak 50.000 kapal melintasi Selat Malaka setiap tahunnya, mengangkut antara seperlima dan seperempat perdagangan laut dunia. Sebanyak setengah dari minyak yang diangkut oleh kapal tanker melintasi selat ini; pada 2003, jumlah itu diperkirakan mencapai 11 juta barel minyak per hari, suatu jumlah yang dipastikan akan meningkat mengingat besarnya permintaan dari Tiongkok. Oleh karena lebar Selat Malaka hanya 1,5 mil laut pada titik tersempit, yaitu Selat Phillips dekat Singapura, ia merupakan salah satu dari kemacetan lalu lintas terpenting di dunia. Selat Malaka merupakan perairan di kawasan Asia Tenggara yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selat Malaka terletak di antara Pulau Sumatra dan Semenanjung Melayu. Oleh kerena itu selat ini di sebut sebagai jalur pelayaran internasional, beberapa negara menggunakan selat ini sebagai jalur perlintasan kapal pengangkut bahan bakar dan bahan industri berbagai negara, hingga menyebabkan beberapa negara bergantung pada kondisi keamanan serta keselamatan di Selat malaka. Disepakati dan ditandatanganinya Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama (Treaty of Amity and Cooperation) menunjukkan bahwa negara-negara wajib meletakkan dasar-dasar perjanjian tersebut sebagai pedoman untuk menghindari ancaman maupun penggunaan kekerasan (renunciation of the threat or the use of force). Dengan berpegang pada pedoman-pedoman tersebut, diharapkan negara-negara yang terlibat perjanjian mampu menyelesaikan setiap ketegangan atau perselisihan paham melalui langkah prosedural yang logis dan

rasional, efektif, dan fleksibel dengan mereduksi kecurigaan yang berimplikasi pada terhambatnya kerjasama maupun perdamaian . Dalam mewujudkan pertahanan negara, Indonesia masih mengalami sejumlah kendala, misalnya kebijakan dan strategi pertahanan yang belum komprehensif, partisipasi masyarakat yang rendah dalam upaya membangun pertahanan, sarana dan prasarana yang masih minim, masih rendahnya tingkat kesejahteraan anggota TNI, minimnya kepemilikan alutsista dan pemeliharaan yang kurang memadai akibat anggaran pertahanan yang rendah, dan lainnya. Geostrategi pertahanan yang telah diupayakan Indonesia antara lain: (1) perjanjian Military Training Area (MTA) dengan Singapura; (2) latihan militer bersama dengan Malaysia (KEKAR MALINDO, MALINDO JAYA, ELANG MALINDO, AMAN MALINDO, dan DARSASA); (3) Joint Commission for Bilateral Cooperation bersama Filipina terkait masalah Moro dan isu perbatasan; (4) kerjasama dengan Thailand untuk menangani isu separatism; (5) penguatan kerjasama pertahanan dengan ASEAN; (6) kerjasama dengan Eropa, Australia, China, dan Rusia terkait pelatihan militer dan fasilitas perlengkapan TNI, dan lain sebagainya (Universitas Indonesia, n.d: 40-41). Geopolitik Malaysia adalah mempertahankan keutuhan wilayahnya yang dipisahkan Laut Natuna. Wilayah semenanjung dengan wilayah Sabah dan Serawak juga dianggap menjadi salah satu tantangan geopolitik yang harus dihadapi Malaysia di masa depan. Malaysia memiliki sejumlah hubungan yang cukup intim dengan negara tetangganya, namun tidak bisa dipungkiri bahwa ia masih menyimpan kecurigaan dan belum sepenuhnya percaya terhadap negara-negara sekitarnya tersebut. Salah satu kecurigaan Malaysia dilatarbelakangi oleh sengketa batas maritim wilayahnya dengan Singapura dan Indonesia yang hingga kini masih belum ditemukan solusinya. Geopolitik Malaysia juga mendapat ancaman terkait The Rising China yang mengklaim Laut China Selatan yang meliputi gugusan Spratly Island. Geostrategi yang dilakukan Malaysia antara lain penguatan alutsista kapal permukaan dan kapal selam yang dipasok dari negara lain; pembangunan pangkalan baru Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM) di Lumut dan Sabah; dan pengembangan pangkalan Angkatan Laut di Teluk Sepanggar (Sabah) demi memperkuat pertahanan maritim di kawasan Laut Sulu, Laut Sulawesi, dan Laut China Selatan.

Perluasan dan penguatan pertahanan di atas dilatarbelakangi oleh dua isu krusial, yakni isu politik keamanan dan isu ekonomi. Dari segi isu politik keamanan, tugas TLDM adalah menjaga dan menjamin agar SLOC (sea lines of

communication) Malaysia, yakni Laut Natuna, tetap terbuka, mengingat Serawak dan Sabah adalah kawasan integral dari Malaysia. Kawasan perairan Sulu dan Sulawesi yang rawan aksi terorisme harus dijaga agar tidak mengganggu keamanan wilayah Sabah dan lainnya (Yudhoyono, n.d: 13). Singapura juga memiliki geopolitik yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia dan Malaysia, yakni untuk mempertahankan wilayahnya. Sejak merdeka dan berdiri sebagai sebuah negara, Singapura selalu merasa dalam posisi geopolitik yang tidak menguntungkan akibat diapit oleh dua negara yang cukup potensial, yakni Indonesia dan Malaysia. Posisi Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia dan Malaysia yang banyak dihuni etnis Melayu dipandang Singapura dapat mengancam eksistensi negaranya. Pergerakan ekonomi Singapura bergantung dari pergerakan arus barang dan jasa, sehingga kepentingan geopolitik negara ini tidak akan jauh-jauh dari kepentingan pengamanan SLOC. Titik SLOC yang cukup vital adalah Selat Malaka dan Laut China Selatan yang mendekatkan Singapura dengan kawasan Asia Timur dan Samudera Hindia (Yudhoyono, n.d: 6). Menyadari bahwa luas negaranya kecil, Singapura berupaya mengembangkan postur militernya. Hingga kini, Singapura tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki anggaran militer terbesar dan postur pertahanan terkuat di dunia. Geostrategi Singapura dikenal dengan porcupine strategy yang dikembangkan daripoisonous shrimp strategy. Porcupine strategy merupakan strategi pertahanan yang berasumsi bahwa Singapura tidak akan bisa mendestruksi secara total negara agresornya, namun pihak agresor memiliki kewajiban untuk membayar kompensasi tinggi terkait tindakan agresinya ke Singapura (Yudhoyono, n.d: 13). Strategi ini merupakan basis pengembangan Angkatan Laut Singapura. Pertahanan negara ini begitu kuat dengan kepemilikan kapal perang yang melebihi kebutuhan pertahanan domestik. Pengembangan Angkatan Laut ini bertujuan untuk menjaga keamanan SLOC Singapura di Selat Malaka, Laut China Selatan, Teluk Persia, dan Laut Merah

Ketiga negara di atas memiliki peranan yang cukup signifikan terhadap pengamanan Selat Malaka. Selat Malaka yang berada diantara Samudera Hindia dan Pasifik merupakan jalur transportasi yang vital bagi sejumlah negara di sekitarnya. Hal ini tidak mengherankan karena hampir 72% kapal tanker seluruh dunia dan lebih dari 500 kapal berlayar melewati kawasan ini setiap harinya (Universitas Indonesia, n.d: 42). Selat Malaka memiliki ukuran panjang sekitar 800 km, lebar 50 hingga 320 km, dan kedalaman minimal 32 meter. Selat ini merupakan selat terpanjang di dunia yang digunakan sebagai jalur pelayaran internasional. Sekitar 30% dari perdagangan dunia dan 80% dari impor minyak Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, melalui selat ini, yakni sekitar 11,0 Mb/d pada tahun 2003. (Rodrigue, 2004: 13). Posisi yang strategis ini dinilai dapat mengundang kejahatan, misalnya peredaran barang ilegal dan aksi perompakan laut. Sejarah mengatakan bahwa Selat Malaka yang menjadi basis perdagangan kawasan sekitarnya telah memainkan peran signifikan dalam pembentukan kawasan pesisir seperti Sriwijaya, Aceh, Malaka, dan Johor. Selat Malaka juga memberi andil besar terhadap pembangunan ekonomi dan sosial negara-negara pantai seperti Indonesia, Singapura, Malaysia dan Thailand. Jika perdamaian dan stabilitas di selat ini terjaga, maka pembangunan daerah, pasokan energi, dan perdagangan internasional antara Uni Eropa dan Asia Timur otomatis akan mengalami peningkatan. Peran krusial Selat Malaka yang paling utama adalah sebagai SLOC terpenting setelah Selat Hormuz, jalur perdagangan, dan jalur pergerakan angkatan laut dari berbagai negara. Menyadari akan pentingnya keamanan Selat Malaka, ketiga negara Indonesia, Malaysia, dan Singapura pun sepakat

meresmikan Malsindo Trilateral Coordinated Patrol pada tanggal 20 Juli 2004 di Batam, dimana kegiatan yang diusung adalah patroli terkoordinasi antar ketiga negara. Semua faktor tersebut menyebabkan kawasan itu menjadi sebuah target pembajakan dan kemungkinan target terorisme. Pembajakan di Selat Malaka menjadi masalah yang mendalam akhir-akhir ini, meningkat dari 25 serangan pada 1994 hingga mencapai rekor 220 pada 2000. Lebih dari 150 serangan terjadi

pada 2003. Jumlah ini mencakup sekitar sepertiga dari seluruh pembajakan pada 2003. Frekuensi serangan meningkat kembali pada paroh awal 2004, dan angka total dipastikan akan melebihi rekor tahun 2000. Sebagai tanggapan dari krisis ini, angkatan laut Indonesia, Malaysia dan Singapura meningkatkan frekuensi patroli di kawasan tersebut pada Juli 2004. Ketakutan akan munculnya aksi terorisme berasal dari kemungkinan sebuah kapal besar dibajak dan ditenggelamkan pada titik terdangkal di Selat Malaka (kedalamannya hanya 25 m pada suatu titik) sehingga dengan efisien menghalang lajur pelayaran. Apabila aksi ini berhasil dilancarkan dengan sukses, efek yang parah akan timbul pada dunia perdagangan. Pendapat antara spesialis keamanan berbedabeda mengenai kemungkinan terjadinya serangan terorisme. II.2 PENGERTIAN PEROMPAKAN Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization) memberikan definisi perompakan sebagai unlawful acts as defined in article 101 of the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea-tindakan ilegal sebagaimana termaktub dalam pasal 101 Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut 1982. Dan berdasarkan pasal 2.2 dari International Maritime Organization Maritime Security Commite-Organisasi Maritim Internasional Komite Keamanan Maritim (IMO MSC) Circular No. 984 tentang the Draft Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery Against Ships-Naskah kode praktek Investigasi terhadap Kejahatan Perompakan dan Perampokan bersenjata terhadap kapal, Armed robbery against ship-Perompakan terhadap kapal didefinisikan sebagai berikut: Armed robbery against ships means any unlawful act of violence or detention or any act of depredation, or threat thereof, other than an act of piracy, directed against a ship or against persons or property on board such a ship, within a States jurisdiction over such offenses perompakan bersenjata terhadap kapal merupakan suatu ancaman atau tindak kekerasan yang tidak sesuai dengan hukum, selain dari tindak perompakan, atau pembunuhan terhadap tawanan,

terhadap kapal, individu, harta kekayaan, yang dilakukan didalam wilayah yurisdiksi suatu negara (IMO Draft Code of Practice). Dalam definisi yang dijelaskan oleh IMO di atas semakin mempertegas perbedaan dari aksi perompakan, yaitu sebagaimana tercantum dalam UNCLOS 1982 bahwa perompakan terjadi diluar yurisdiksi suatu negara. Sedangkan aksi kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah yurisdiksi suatu negara disebut sebagai armed robbery-perampokan bersenjata. International Maritime Bureau (IMB), mempunyai definisi piracyperompakan yang lebih luas dari pada yang diatur dalam UNCLOS 1982 pasal 101. Dalam laporan IMB dikatakan bahwa perompakan hendaknya diartikan sebagai: act of boarding any vessel with the intent to commit theft or any other crime and with the intent or capability to use force in the furtherance thereoftindakan menumpang terhadap kapal dengan tujuan untuk mencuri atau tindakan kejahatan lainnya dengan dorongan untuk menggunakan kekerasan (Beckmean, 2002).

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, segala tindakan ataupun itikad untuk melakukan tindakan kejahatan di laut wilayah maupun di perairan kepulauan suatu negara dianggap sebagai tindakan piracy. Definisi ini juga berlaku bagi kapal-kapal yang sedang berada di pelabuhan untuk maksud bongkar muat. Lebih luasnya definisi piracy yang digunakan oleh IMB dapat dipahami, mengingat IMB sebagai suatu organisasi maritim (non government) yang didirikan oleh International Chambers of Commerce (ICC) dan didukung oleh suatu industri maritim yang mempunyai kepentingan besar terhadap keselamatan pelayaran di laut. Sehingga walaupun masalah definisi ini masih ada perbedaan satu sama lain, data-data IMB selalu dijadikan rujukan di dunia maritim internasional.

II.3 KEJAHATAN TRANSNASIONAL Kejahatan transnasional pada dasarnya merupakan kejahatan yang melibatkan lintas negara sebagai tempat terjadinya sebuah kejahatan. Brown dalam jurnal ilmiahnya lebih senang menggunakan istilah international

crime daripada transnational crime yang berarti sebuah aktivitas yang dilakukan pada lebih dari satu negara dimana tempat tersebut dilakukan aktivitas melanggar hukum dari salah satu negara-negara yang terkait.3Kejahatan transnasional merupakan salah satu dampak dari globalisasi dimana terdapat seorang individu atau kelompok yang merasa tidak mampu bersaing secara legal dalam memenuhi kebutuhannya sehingga mereka mencari jalan illegal sebagai solusinya. Ditambah lagi dengan kemajuan teknologi yang membuka peluang baru bagi kelompok yang merasa tertantang untuk mencoba dunia kejahatan baru sehingga lengkap sudah mengapa kejahatan transnasional terjadi. Kejahatan transnasional sangatlah bermacam-macam seperti perdagangan narkoba, penyelundupan benda langka, pornografi anak, carding, pembajakan di laut, dan kejahatan lain lintas negara. Seringkali muncul permasalahan ketika hukum negara tidak dapat menjerat kasus kejahatan internasional. Hal ini terjadi karena hukum yang berlaku tidak berasal dari satu negara tetapi negara lain yang bersangkutan juga memiliki hukum tersendiri. Hal ini menimbulkan masalah yuridiksi ketika seorang melakukan kejahatan namun harus berhadapat dua hukum negara yang berbeda. Selain yuridiksi, permasalahan alat bukti kadang juga menjadi masalah ketika era teknologi semakin berkembang. Dengan era digital, semua alat bukti menjadi mudah dimanipulasi tanpa diketahui oleh pihak-pihak lain. Kejahatan internasional sebenarnya sudah menjadi isu internasional, namun masalahnya belum adanya kesepakatan untuk membuat hukum yang berlaku secara internasional inilah yang belum terwujud. Adapun upaya internasional oleh International Criminal Court masih sebatas konvensi-konvensi atau sebuah panduan internasional yang harus dianut oleh negara-negara yang meratifikasi, sedangkan negara yang tidak meratifikasi tidak memiliki kewajiban untuk menganut.

Brown, S. D. (2008). The Longer Arm of the Law: An Introduction. Combating International Crime , hal.3-7.

10

II.4 PEROMPAKAN DI SELAT MALAKA Perompakan di Selat Malaka merupakan sebuah sejarah panjang yang tak terselesaikan bagi para pemilik kapal dan pelaut yang melintasi Selat Malaka, jalur laut sepanjang 900 KM di Asia Tenggara ini. Dalam beberapa tahun terakhir, patroli laut oleh Indonesia,Malaysia dan Singapura berhasil mengurangi perompakan, menurut Kantor Maritim Internasional (IMB).4 Lokasi geografis Selat Malaka menjadikannya rapuh terhadap praktik perompakan. Selat Malaka sejak lama merupakan sebuah jalur penting

yangmenghubungkan Cina dan India, dan seringkali digunakan untuk tujuan perdagangan. Di era modern, Selat ini merupakan jalur antara Eropa, Terusan Suez, dan negara-negara penghasil minyak di Teluk Persia; serta pelabuhan-

pelabuhan Asia Timur yang sibuk. Terdapat ribuan pulau kecil di selat sempit ini, selain itu selat ini juga menjadi muara banyak sungai. Dua hal ini menjadikan Selat Malaka tempat yang ideal bagi para perompak untuk bersembunyi dan menghindari penangkapan. TABEL. II.4.1 Perompakan & Pembajakan di Selat Malaka Tahun 2007 (Versi International Maritime Organisation) No. 1 2 3 4 5 6 7 Waktu 21/01/2007 22/01/2007 28/03/2007 25/05/2007 29/04/2007 10/05/2007 24/05/2007 Nama Kapal SINAR MERAK ARENDAL HEINRICH OLDENDORFF ECHIGO MARU SHOKO MARU ALAM CEPAT KUDAM Jenis Piracy/ Armed Robbery Piracy/ Armed Robbery Piracy/ Armed Robbery Piracy/ Armed Robbery Piracy/ Armed Robbery Piracy/ Armed Robbery Piracy/ Armed Robbery

Watchdog hails improved security in Malacca Strait; Increased patrols and other measures have cut number of pirate attacks", The Straits Times, January 23, 2007.

11

(Sumber: Reports on Acts of Piracy And Armed Robbery Against Ships Annual Report 2006,International Maritime Organisation, 28 Oktober 2013) Ancaman kejahatan di Selat Malaka biasanya berupa pembajakan kapal, perampokan kapal, penculikan awak kapal, perdagangan manusia dan

penyelundupan senjata. Ada juga kemungkinan serangan teroris yang bertujuan melumpuhkan arus perdagangan internasional dan berniat menghancurkan fasilitas perhubungan laut di perairan Selat Malaka.5 Sejauh ini ancaman keamanan yang dilaporkan International Maritime Bureau (IMB),4 bahwa terjadi 75 kasus perompakan (piracy) dan perampokan bersenjata (armed robbery) pada tahun 2008. Kasus ini menurun pada tahun 2009 menjadi 17 kasus dan menurun lagi menjadi 16 kasus pada tahun 2010. Akan tetapi, pada tahun 2011 meningkat dari 16 kasus sebelumnya menjadi 28 kasus.6 Selanjutnya laporan IMB bahwa di Indonesia, kasus perompakan dan perampokan bersenjata di laut pada tahun 2008 sebanyak 119 kasus dan mengalami penurunan menjadi 91 kasus pada tahun 2009. Akan tetapi, naik menjadi 103 kasus pada tahun 2010 dan terus naik 121 kasus pada tahun 2011. Sehingga pada tahun 2003, Indonesia berada di urutan pertama untuk kasus perompakan dan pembajakan di laut, disusul Bangladesh dengan 58 kasus dan Nigeria dengan 39 kasus. Angka-angka kejahatan perompakan di laut yang dicatat IMB maupun MIMA sungguh fantastis terutama bagi wilayah perairan Indonesia. Negara manapun di dunia tidak menghendaki perompakan dan pembajakan tersebut terus berlangsung. Akan tetapi, menyangkut tanggungjawab keamanan dan pengelolaan di Selat Malaka, tak mungkin hanya diberi tugas kepada satu negara saja, seperti Indonesia. Dalam hal ini, Malaysia dan Singapura harus turut bertanggung jawab. Apalagi

Kebijakan Terpadu Pengelolaan Keamanan Selat Malaka Medan, 19-20 Juli 2005. Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Departemen Luar Negeri RI. 6 Ibid

12

Singapura dan Malaysia lebih banyak mengambil keuntungan dan memanfaatkan jasa Selat Malaka untuk membangun perekonomiannya.7 Memang di kalangan pelaut, Selat Malaka sejak dahulu dikenal rawan perompakan. Perompakan biasanya terjadi terhadap kapal-kapal besar, seperti kapal kontainer dan kapal tanker pembawa minyak. Tempat-tempat yang rawan berada di sekitar Aceh dan Belawan. Berdasarkan asumsi dan publikasi IMB, akhirnya memicu anggapan bahwa negara pantai (Indonesia, Malaysia, dan Singapura) tidak mampu mengelola dan menanggulangi perompakan di Selat Malaka.8 Akan tetapi, hal tersebut tidaklah sepenuhnya dapat dibenarkan. Berbagai upaya telah dilakukan, baik secara internal dalam bentuk menggelar operasi keamanan laut maupun kerjasama eksternal dengan negara penjaga selat. Kerjasama eksternal dilakukan dengan patroli terkoordinasi MALINDO (Malaysia dan Indonesia) serta patroli INDOSIN (Indonesia dan Singapura) yang telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun. Selanjutnya, menurut Bantarto Bandoro, The Malacca Straits Sea Patrols (MSSP) diluncurkan sebagai sebuah aksi konkrit untuk menjaga keamanan Selat Malaka. Dalam pengaturan demikian, negara-negara pantai melakukan patroli terkoordinasi, sambil tetap mempertahankan komunikasi dan pertukaran informasi. Pada bulan September 2007, sebuah pendekatan baru untuk mendukung keamanan di Selat Malaka juga diluncurkan, yaitu Eyes in the Sky Initiative (EIS). Inisiatif ini menggabungkan patroli udara maritim dengan langkah-langkah keamanan di laut. Patroli Laut Selat Malaka (Malacca Strait Sea Patrols - MSSP) dan Eyes In the Sky

Coba bandingkan dengan Pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti pada Ulang Tahun Ke-30 Otorita Batam di Hotel Melia Panorama, 28 Oktober 2013, ...menjaga dan memanfaatkan Selat Malaka bukan hanya sekadar menjaga kedaulatan negara. Lebih dari itu, Selat Malaka mempunyai perspektif ekonomi seperti kerajaan-kerajaan masa lalu, seperti kerajaan Malaka-Riau-Lingga yang memanfaatkannya sebagai jalur perdagangan ke berbagai belahan dunia. Jika kita mampu memanfaatkan Selat Malaka menjadi pusat-pusat pertumbuhan, bukan tidak mungkin krisis ekonomi yang dialami Indonesia saat ini akan teratasi. Sumber: www.kompas.co.id. 8 www.kompas.com. diakses 20 Oktober 2013.

13

adalah bagian dari kerangka besar untuk mengatasi masalah keamanan Selat Malaka.9 Fenomena lain yang membahas tentang isu-isu Selat Malaka dilakukan di Malaysia yakni melalui pertemuan Kuala Lumpur on the Straits of Malacca and Singapore: Enhancing Safety, Security and Environmental Protection pada tanggal 1820 September 2006. Dalam pertemuan tersebut, IMB memberikan apresiasi terhadap penurunan jumlah perompakan di Selat Malaka. Pertemuan ini sesungguhnya merupakan kerjasama tiga negara pantai yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura dengan International Maritime Organization (IMO). Sebelum di Kuala Lumpur, pertemuan yang sama diawali di Jakarta tanggal 78 September 2005 dengan menghasilkan Jakarta Statement Pertemuan tersebut dihadiri delegasi negara pantai atau littoral states (Indonesia, Malaysia dan Singapura), 32 negara-negara pengguna atau user states termasuk Amerika Serikat, Jepang, China serta pengamat dari berbagai organisasi internasional di bidang pelayaran dan perkapalan. Dalam hal keamanan, secara teknis ketiga negara sudah sepakat membentuk sistem pengamanan yang lebih terpadu, melalui pembentukan komite pengamanan bersama tentang Selat Malaka. Komite bersama ini menjadi payung bagi seluruh kerjasama pengamanan yang telah ada. Perlu diketahui bahwa pada tahun 2005, telah disepakati kerjasama regional untuk keamanan laut. Dari 14 negara Asia yang terlibat, Indonesia dan Malaysia belum mau menjadi anggota. "Semua tahu bahwa Indonesia memainkan peran yang sentral di kawasan Selat Malaka, makanya kami ingin terus melanjutkan pembicaraan dengan Indonesia mengenai partisipasinya untuk kerjasamanya dalam memerangi pembajakan di laut dan juga penyelundupan senjata di laut". Sesungguhnya, isu Selat Malaka sudah sering kali dibahas namun penyelesaiannya terus tertunda. Indonesia dan Jepang telah sepakat bahwa kerjasama dilakukan sejalan dengan Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982, yang tetap menghargai kedaulatan dan hak berdaulat atas negara-negara pantai terhadap teritorial maupun zona ekonomi eksklusif. Bahkan Presiden RI Susilo Bambang
9

Sumber : www.dephan.go.id., Bantarto Bandoro Selat Malaka: Fakta Pergulatan Kekuatan dan Fear Factor.

14

Yudhoyono menegaskan, tanggung jawab dan otoritas pengamanan Selat Malaka adalah urusan Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Posisi Jepang adalah sebagai negara pengguna selat. Memang, tidak dapat dipungkiri isu keamanan Selat Malaka adalah sebuah masalah yang kompleks. Kompleksitas ini mengandung tiga dimensi yakni: keamanan keselamatan pelayaran, keamanan lingkungan, dan keamanan teritorial. Pengelolaannya diharapkan melibatkan berbagai pihak serta akan memberikan implikasi positif yang berbeda. Karena itu, dibutuhkan pandangan yang holistik dan respon yang komprehensif. Secara faktual permasalahan keamanan maritim di Selat Malaka adalah pembajakan dan perompakan. Hal lainnya adalah masalah kerusakan lingkungan, keselamatan penumpang dan pelayaran serta isu-isu sosial ekonomi.10

II.5 PERAN TRILATERAL (INDONESIA, MALAYSIA, DAN SINGAPURA) PENANGGULANGAN SEA PIRACY Berikut upaya yang telah dilakukan dari masing-masing negara. Dengan mengambil konsep dari Singla maka terdapat lima tolak ukur upaya penegakan hukum demi mencegah upaya kejahatan maritim.11 1. Peningkatan pengawasan laut Pengawasan dalam hal ini dapat diwujudkan dengan meningkatkan intensitas patroli di laut. Hal ini dapat dilakukan di perbatasan antar negara dan pelabuhan. Di perbatasan negara, di Indonesia pengawasan dilakukan oleh angkatan bersenjata sedangkan di pelabuhan dapat dilakukan oleh petugas imigrasi, bea cukai, maupun polisi air di bawah Badan Kordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA) . Hal yang senada juga dilakukan oleh Malaysia dan Singapura. 2. Menggunakan satelit pengawas

Fajriayansah Rahman. Perompakan Kapal di Indonesia Fakta atau Konspirasi Opini, Surabaya. PT. Java Pustaka Utama. 2007.
11

10

Singla, S. (2011, September 7). 9 Types of Maritime Crimes. 26 Oktober 2013, dari Marine Insight: http://www.marineinsight.com/misc/marine-safety/9-types-of-maritime-crimes/

15

Seiring perkembangan teknologi, Indonesia menggunakan citra satelit inderaja Modis, NOAA dan sea wif diharapkan sebagai salah satu pendukung data utama dalam rangka sistem pengawasan laut terutama di Indonesia (Hariyanto, 2008). Selain itu Indonesia memiliki radar kemanan yang merupakan hibah dari Amerika Serikat demi keamanan

regionalnya (Indonesia Maritime Institute, 2012). Malaysia memiliki radar pengaman yang sama seperti Indonesia. Di Singapura tentunya sistem radar sudah lebih canggih karena diketahui perkembagan teknologi negara tersebut sangat pesat sehingga tidak diragukan lagi. Terlebih sekarang ini Singapura lebih tahu dan sering memberitahu negara Indonesia dan Malaysia jika terdapat gangguan keamanan.

3.

Memperketat regulasi dan penegakan hukum

4. Regulasi diperketat namun regulasi diperketat saja belum cukup. Pengetatan regulasi juga harus dibarengi oleh personel yang profesional dalam implementasi regulasi dalam rangka penegakan hukum tersebut. Untuk tiga negara sudah melakukannya, tetapi untuk memperkuat hukum harus memperkuat unsur legislasi supaya hukum tidak dapat ditembus. 5. Pengawasan kapal dan pelabuhan diperketat Pengawasan kapal dan pelabuhan dapat dilakukan patroli, razia atau operasi pada kurun waktu tertentu. Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh petugas bea cukai dan polisi air. Hal ini telah dilakukan oleh ketiga negara. 6. Pelayanan dan penjaminan yang lebih baik Pelayanan dan penjaminan yang lebih baik merupakan sebuah wujud tanggung jawab nyata dari pembangunan yang dihasilkan dari pajak dan segala pemasukan aktivitas legal. Jika pelayanan dan penjaminan tidak dijaga dengan baik maka masyarakat cenderung menggunakan jasa-jasa ilegal dengan cara menyuap, menyelundupkan dan bentuk kegiatan illegal lainnya. Untuk hal ini Malaysia dan Singapura sudah dinilai baik dalam sisi pelayanan namun sayangnya Indonesia masih terbelit dengan masalah birokrasi yang rumit. 7. Latihan Bersama: Upaya Bersama Dalam Penanggulangan Sea Piracy

16

8. Meningkatkan koordinasi dengan memperbaiki sistem komunikasi Komunikasi sering terjadi dari ketiga negara. Namun untuk masalah ini Singapura yang seolah menjadi koordinator untuk masalah komunikasi, terbuktu Singapura lebih sigap dan cepat tahu jika terdapat masalah keamanan. 9. Latihan militer bersama Seringkali ketiga negara mengadakan latihan mititer bersama biasanya berupa latihan bersama pasukan khusus yang merupakan pasukan terbaik dari satuan militer masing-masing negara. 10. Yuridiksi Universal dan Tanggung Jawab Penanganan Pembajakan di Laut Yuridiksi universal adalah batas wilayah berlakunya hukum secara internasional khususnya negara yang meratifikasi konvensi internasional. Adapun hal ini diatur oleh UNCLOS pasal 14 Convention High Seas 1958 dan Pasal 100 UNCLOS 1982 dimana hukum yang berlaku adalah hukum negara tempat kejadian berada. Sehingga siapapun pelakunya dari kewarganegaraan dan kebangsaan manapun maka mereka harus tunduk pada hukum yang berlaku di negara tempar mereka berada (Yudhoatmojo, 2010). Maka dari itu dalam konteks Selat Malaka, terdapat tiga hukum yang berlaku dalam wilayah yuridiksinya masing-masing. Jika seseorang pembajak asing berada di wilayah Indonesia dan tertangkap, maka pembajak tersebut harus ditangani oleh penegak hukum Indonesia dan hukum yang berlaku di Indonesia, hal yang sama juga dilakukan oleh Malaysia dan Singapura. Adapun hukum yang berlaku ini mencangkup dari pertanggungjawaban atas penahanan tanpa dasar yang sesuai, hak pengejaran pelaku, hak pemeriksaan, dan proses penahanan. 11. Pertanggungjawaban atas penahanan tanpa dasar yang sesuai Dalam pasal 106 UNCLOS 1982, disebutkan bahwa negara yang menahan seseorang tanpa dasar yang jelas dan ternyata tidak dinyatakan bersalah, maka negara wajib memberikan ganti rugi kepada orang tersebut. Adapun mekanisme penggantian tersebut harus berdasarkan pada tingkat kerusakan dan kerugian yang dialami kapal. Misalkan sebuah kapal nelayan Malaysia

17

ditangkap oleh Satuan Polisi Air Indonesia dan dinyatakan tidak bersalah maka Indonesia harus mengganti rugi nelayan Malaysia tersebut. 12. Hak pengejaran pelaku Diatur di pasal 111 UNCLOS, dimana pengejaran akan terus berlanjut ke laut lepas. Namun hak tersebut akan hilang ketika telah memasuki perairan teritorial negara lain. Maka dari itu perlu adanya kordinasi dengan negara lain supaya pelaku dapat ditangkap. Sekelompok pembajak dari Malaysia, ketika mereka kabur dan masih dalam wilayah Singapura maka hak pengejaran masih milik Singapuran namun akan hilang ketika mereka masuk ke wilayah Indonesia. 13. Hak pemeriksaan Dijelaskan pada pasal 110 UNCLOS 1982, bahwa pemeriksaan dapat dilakukan apabila terdapat sangkaan sebuah kapal melakukan tindakan pembajakan. Namun jika ternyata tidak terbukti, pemeriksa harus membayar ganti rugi kepada tersangka. Dalam konteks Selat Malaka, seorang polisi air Malaysia harus mengganti rugi kepada kapal Indonesia ketika kapal Indonesia terbukti tidak melakukan pelanggaran hukum khususnya

pembajakan di wilayah yuridiksi Malaysia. 14. Proses penahanan

Dijelaskan di pasal 107 UNCLOS 1982, bahwa yang memiliki kewenangan untuk menahan seseorang pelaku adalah adalah awak dari kapal angkatan bersenjata negara atau pemerintahan yang memiliki garis yudiridiksi. Maka dari itu jika terdapat pembajak Indonesia yang berada di Singapura dan tertangkap maka yang dapat melakukan penahanan adalah kepolisian Air Singapura atau instansi pemerintahan Singapura. Kapal privat dilarang melakukan penahanan terhadap pelaku kecuali kapal privat tersebut diserang para pelaku khususnya pembajak dan terpaksa para awak kapal menahan pelaku dengan alasan pembelaan diri.

18

II.6 EFEKTIVITAS MALACCA STRAIT SEA PATROL Menurut Bantarto Bandoro, The Malacca Straits Sea Patrols (MSSP) diluncurkan sebagai sebuah aksi konkrit untuk menjaga keamanan Selat Malaka. Dalam pengaturan demikian, negara-negara pantai melakukan patroli terkoordinasi, sambil tetap mempertahankan komunikasi dan pertukaran informasi. Pada bulan September 2007, sebuah pendekatan baru untuk mendukung keamanan di Selat Malaka juga diluncurkan, yaitu Eyes in the Sky Initiative (EIS). Inisiatif ini menggabungkan patroli udara maritim dengan langkah-langkah keamanan di laut. Patroli Laut Selat Malaka (Malacca Strait Sea Patrols - MSSP) dan Eyes In the Sky adalah bagian dari kerangka besar untuk mengatasi masalah keamanan Selat Malaka.12 Menurut data yang dikumpulkan International Maritime Bureau (IMB) sebuah organisasi nirlaba di bawah International Chamber of Commerce (ICC) yang memiliki IMB Piracy Reporting Centre, dan menangani laporan perompakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal-kapal laut rata-rata kejahatan terhadap kapalkapal laut di perairan Selat Malaka terjadi pada jarak 11,2 km dari garis pangkal negara pantai. Dengan demikian, kejahatan laut yang terjadi tidak dapat dikategorikan sebagai piracy sesuai Konvensi Hukum Laut PBB karena tidak terjadi di laut bebas tapi di laut teritorial. Upaya yang dilakukan oleh negara pantai Selat Malaka tersebut berhasil menekan jumlah insiden keamanan hampir ke tingkat nol (close to zero level), yaitu antara lain melalui joint patrol oleh angkatan laut Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Telah terjadi penurunan jumlah perampokan di laut secara drastis; dari 38 kasus pada tahun 2011 menjadi hanya 9 kasus pada tahun 2012. Pada tahun 2013 IMB bahkan melaporkan ancaman perampokan laut di Selat Malaka hampir nol. Meskipun demikian, perlu dicatat masih adanya ancaman terorisme dan kejahatan laut lainnya yang perlu diwaspadai. Selat Malaka dilintasi 50.000 kapal berbagai tipe setiap tahunnya, dengan 30% kapal merupakan kapal niaga yang mengangkut barang-barang perdagangan
12

Sumber : www.dephan.go.id., Bantarto Bandoro Selat Malaka: Fakta Pergulatan Kekuatan dan Fear Factor.

19

dunia. Selat Malaka juga merupakan jalur pelayaran yang digunakan oleh kapal tanker untuk mengangkat separuh pasokan energi dunia. Strategisnya serta padatnya jalur pelayaran di Selat Malaka menyebabkan selat ini rawan akan terjadinya gangguan keamanan dan tindak kejahatan di laut. Gangguan keamanan yang sering terjadi di selat ini adalah pembajakan/ perompakan, penyeludupan serta terorisme, dalam penulisan karya ilmiah ini menitik beratkan pada masalah pembajakan (piracy). Tercatat pada tahun 2004 terjadi peningkatan yang signifikan terhadap kasus pembajakan di selat ini yaitu berjumlah 38 kasus, berdasarkan laporan IMB (international maritime bureau), lalu terbentuklah patroli terkoordinasi tiga negara Indonesia, Malaysia, dan Singapura dalam mengatasi keamanan di Selat Malaka. Persepsi isu ancaman keamanan sangat memengaruhi hubungan dan kebijakan keamanan negara penjaga selat yaitu, Singapura, Malaysia dan Indonesia. Dalam perspektif ini, jika ancaman di Selat Malaka terjadi secara periodik dan terusmenerus, walaupun bernilai rendah dapat berkembang menjadi ancaman nyata dalam konteks keamanan maritim regional. Hal ini tentunya akan menjadi kajian istimewa terhadap masalah-masalah keamanan di Selat Malaka. Selain itu, perspektif pertahanan-keamanan Indonesia menyatakan bahwa ancaman demikian termasuk kategori sebagai ancaman potensial.Dapat dimaksudkan bahwa, ancaman potensial dapat mengubah tatanan dan persepsi keamanan sampai pada level tertinggi yaitu bahaya perang, jika tidak dapat diakumulasikan secara baik dan benar dalam lingkup diplomasi atau agenda pertemuan antarnegara pantai maupun negara pengguna selat. Oleh sebab itu, menguatnya kecenderungan isu kejahatan transnasional terlebih tindakan terorisme akan semakin menambah agenda dan isu keamanan di Selat Malaka. Indonesia, Malaysia dan Singapura, sebagai negara penjaga selat yang wajib menjaga keamanan dihadapkan pada dua pilihan utama. Pertama, yakni menolak agenda sekuritisasi. Kedua, adalah mengutamakan kerjasama patroli untuk menangkal dan mencegah tingkat kerawanan kejahatan transnasional secara bersama-sama.

20

Konsep keamanan terpadu di Selat Malaka sudah dilakukan oleh ketiga negara pantai yakni Indonesia, Malaysia dan Singapura. Dalam perkembangan keamanan terpadu, J.N. Mak (2006) mengemukakan bahwa kerjasama maritim antara negara-negara anggota ASEAN akan memberikan kontribusi bagi pelaksanaan ASEAN Security Community. Hal ini berarti untuk masalah di Selat Malaka membutuhkan unilateralisme dan regionalisasi baik isu-isu keamanan, konsep kerjasama maupun pelibatan negara-negara di luar ASEAN.13 Namun kendala utama yang dihadapi adalah posisi ketiga negara pantai dalam melakukan kerjasama keamanan di Selat Malaka yang mengambil sikap berbeda. Contohnya, Singapura cenderung memaksakan unilateral atau collective security bagi keamanan di Selat Malaka, sedangkan Indonesia dan Malaysia memilih joint patrol tanpa melibatkan banyak pihak terutama Amerika Serikat. Tamara Renee Shie juga mengungkapkan hal yang sama dalam studinya mengenai Pembajakan di Laut dan Kerjasama Regional di Kawasan ASEAN. Shie (2006) menyatakan bahwa ada tiga kendala utama dalam menyinggung kerjasama regional di ASEAN. Pertama, adalah masalah kedaulatan (souvereignty), kedua, adalah tendensius mengarah pada multilateral cooperation dan ketiga, adalah fokus permasalahan kerjasama keamanan tersebut di Selat Malaka. Sementara itu, dalam pandangan politisi dan argumen pemerintah RI bahwa keamanan terpadu dilakukan untuk mencegah upaya sekuritisasi di Selat Malaka oleh negara pengguna selat dengan dalih pengamanan armada niaganya dari tindak kejahatan perompakan. Keamanan terpadu pada prinsipnya merupakan bagian dan strategi yang mengerahkan seluruh aset nasional untuk menjamin dan melindungi kepentingan nasional. Dalam konteks Selat Malaka, kepentingan nasional Indonesia adalah melindungi lintasan SLOC yang merupakan jalur transportasi dan komunikasi. Oleh karena itu, Indonesia harus memiliki kemampuan penindakan Tulisan ini memiliki hasil bahwa patroli terkorrdinasi tiga negara tersebut berhasil meminimalisir tindak kejahatan pambajakan di Selat Malaka. Keberhasilan patroli terkoordinasi ini tercipta kerena adanya kekompakan dan mementingkan
13

0 J.N. Mak, Unilateralisme and Regionalisme: Working Together and Alone in the Malacca Straits, ISEAS, Singapore, 2006

21

kepentingan bersama untuk mengamankan Selat Malaka dari pada kepentingan nasional (national interest) masing-masing negara anggota patroli terkoordinasi. Penelitian ini bersifat kualitatif dan di dukung oleh teori-teori dan juga data-data sekunder sehingga dalam penelitian ini di peroleh suatu bukti kebenaran hasil temuan. Patroli terkoordinasi tiga negara Selat Malaka sudah berhasil menurunkan tingkat kejahatan bajak laut di perairan Selat Malaka, terbukti dengan tingkat kejahatan yang menurun akibat dari intensifnya kegiatan patroli terkoordinasi yang dilakukan oleh tiga negara Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Selain itu, keberhasilan kerjasama keamanan yang beranggotakan tiga negara pantai Selat Malaka Indonesia, Malaysia dan Singapura membuat negara tetangga tertarik untuk bergabung dalam patroli tersebut contohnya seperti Thailand yang ikut bergabung dalam patroli tersebut karena posisi negaranya yang bersinggungan dengan Selat Malaka. II.7 ANALISA PENULIS Selat Malaka yang merupakan jalur strategis yang berada dibawah kedaulatan tiga negara di Asia yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura, sangat rentan dengan berbagai aksi kejahatan seperti yang disebutkan diatas. Indonesia, Malaysia dan Singapura, yang merupakan littoral states atau dalam istilah lain dari Negara pantai, yaitu Negara-negara yang memiliki suatu kawasan yang sama, dan bertanggung jawab penuh terhadap segala hal yang terjadi di kawasan tersebut. Dalam pembahasan penulisan ini, littoral states yang dimaksud adalah Indonesia dan Singapura, yang secara geografis, bertanggung jawab terhadap keadaan apapun

termasuk keamanan di Selat Malaka. Kedua negara ini memiliki peranan penting dalam menjaga keamanan di perairan Selat Malaka. Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang terhadap Selat Malaka, sedangkan Singapura merupakan negara yang kuat dalam sistem pertahanan dan keamanan terhadap Selat Malaka dan tidak dipungkiri lagi bahwa Singapura memiliki kepentingan yang besar terhadap jalur perdagangan yang strategis ini.

22

Memang, tidak dapat dipungkiri isu keamanan Selat Malaka adalah sebuah masalah yang kompleks. Kompleksitas ini mengandung tiga dimensi yakni: keamanan keselamatan pelayaran, keamanan lingkungan, dan keamanan teritorial. Pengelolaannya diharapkan melibatkan berbagai pihak serta akan memberikan implikasi positif yang berbeda. Karena itu, dibutuhkan pandangan yang holistik dan respon yang komprehensif. Secara faktual permasalahan keamanan maritim di Selat Malaka adalah pembajakan dan perompakan. Hal lainnya adalah masalah kerusakan lingkungan, keselamatan penumpang dan pelayaran serta isu-isu sosial ekonomi.14 Lokasi geografis Selat Malaka menjadikannya rapuh terhadap praktik perompakan dan aksi kejahatan. Selat Malaka sejak lama merupakan sebuah jalur penting yang menghubungkan Cina dan India, dan seringkali digunakan untuk tujuan perdagangan. Di era modern, Selat ini merupakan jalur antara Eropa, Kanal Suez, dan negara-negara penghasil minyak di Teluk Persia; serta pelabuhan-pelabuhan Asia Timur yang sibuk. Terdapat ribuan pulau kecil di selat sempit ini, selain itu selat ini juga menjadi muara banyak sungai. Dua hal ini menjadikan Selat Malaka tempat yang ideal bagi para perompak untuk bersembunyi dan menghindari penangkapan.15 Memang di kalangan pelaut, Selat Malaka sejak dahulu dikenal rawan perompakan. Perompakan biasanya terjadi terhadap kapal-kapal besar, seperti kapal kontainer dan kapal tanker pembawa minyak. Tempat-tempat yang rawan berada di sekitar Aceh dan Belawan. Berdasarkan asumsi dan publikasi IMB, akhirnya memicu anggapan bahwa negara pantai (Indonesia, Malaysia, dan Singapura) tidak mampu mengelola dan menanggulangi perompakan di Selat Malaka. Angka-angka kejahatan perompakan di laut yang dicatat IMB maupun MIMA sungguh fantastis terutama bagi wilayah perairan Indonesia. Negara manapun di dunia tidak menghendaki perompakan dan pembajakan tersebut terus berlangsung. Akan tetapi, menyangkut tanggungjawab keamanan dan pengelolaan di Selat Malaka, tak mungkin hanya diberi tugas kepada satu negara saja, seperti Indonesia.

Fajriayansah Rahman. Perompakan Kapal di Indonesia Fakta atau Konspirasi Opini, Surabaya. PT. Java Pustaka Utama. 2007. 15 http://id.wikipedia.org/wiki/Perompakan_di_Selat_Malaka, Akses 28-10-2013

14

23

Dalam hal ini, Malaysia dan Singapura harus turut bertanggung jawab. Apalagi Singapura dan Malaysia lebih banyak mengambil keuntungan dan memanfaatkan jasa Selat Malaka untuk membangun perekonomiannya.16 Hal ini tentunya akan menjadi kajian istimewa terhadap masalah-masalah keamanan di Selat Malaka. Selain itu, perspektif pertahanan-keamanan Indonesia menyatakan bahwa ancaman demikian termasuk kategori sebagai ancaman potensial.Dapat dimaksudkan bahwa, ancaman potensial dapat mengubah tatanan dan persepsi keamanan sampai pada level tertinggi yaitu bahaya perang, jika tidak dapat diakumulasikan secara baik dan benar dalam lingkup diplomasi atau agenda pertemuan antarnegara pantai maupun negara pengguna selat. The Malacca Straits Sea Patrols (MSSP) diluncurkan sebagai sebuah aksi konkrit untuk menjaga keamanan Selat Malaka. Dalam pengaturan demikian, negaranegara pantai melakukan patroli terkoordinasi, sambil tetap mempertahankan komunikasi dan pertukaran informasi. Pada bulan September 2007, sebuah pendekatan baru untuk mendukung keamanan di Selat Malaka juga diluncurkan, yaitu Eyes in the Sky Initiative (EIS). Inisiatif ini menggabungkan patroli udara maritim dengan langkah-langkah keamanan di laut. Patroli Laut Selat Malaka (Malacca Strait Sea Patrols - MSSP) dan Eyes In the Sky adalah bagian dari kerangka besar untuk mengatasi masalah keamanan Selat Malaka.17 Upaya yang dilakukan oleh negara pantai Selat Malaka tersebut berhasil menekan jumlah insiden keamanan hampir ke tingkat nol (close to zero level), yaitu antara lain melalui joint patrol oleh angkatan laut Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Telah terjadi penurunan jumlah perampokan di laut secara drastis; dari 38 kasus pada tahun 2011 menjadi hanya 9 kasus pada tahun 2012. Pada tahun 2013 IMB bahkan melaporkan ancaman perampokan laut di Selat Malaka hampir nol. Meskipun demikian, perlu dicatat masih adanya ancaman terorisme dan kejahatan laut lainnya yang perlu diwaspadai.

17

Sumber : www.dephan.go.id., Bantarto Bandoro Selat Malaka: Fakta Pergulatan Kekuatan dan Fear Factor.

24

Dapat disimpulkan hasil bahwa patroli terkorrdinasi tiga negara tersebut berhasil meminimalisir tindak kejahatan pambajakan di Selat Malaka. Keberhasilan patroli terkoordinasi ini tercipta kerena adanya kekompakan dan mementingkan kepentingan bersama untuk mengamankan Selat Malaka dari pada kepentingan nasional (national interest) masing-masing negara anggota patroli terkoordinasi. Penelitian ini bersifat kualitatif dan di dukung oleh teori-teori dan juga data-data sekunder sehingga dalam penelitian ini di peroleh suatu bukti kebenaran hasil temuan. Patroli terkoordinasi tiga negara Selat Malaka sudah berhasil menurunkan tingkat kejahatan bajak laut di perairan Selat Malaka, terbukti dengan tingkat kejahatan yang menurun akibat dari intensifnya kegiatan patroli terkoordinasi yang dilakukan oleh tiga negara Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Selain itu, keberhasilan kerjasama keamanan yang beranggotakan tiga negara pantai Selat Malaka Indonesia, Malaysia dan Singapura membuat negara tetangga tertarik untuk bergabung dalam patroli tersebut contohnya seperti Thailand yang ikut bergabung dalam patroli tersebut karena posisi negaranya yang bersinggungan dengan Selat Malaka. II.8 OPINI PENULIS Selain dari posisi dan historis, selat ini merupakan jalur perniagaan internasional yang sangat ramai dan padat. Oleh karena letaknya yang strategis, maka selat ini rawan akan ancaman kejahatan maritim. Rawan yang tidak hanya terfokus pada hal-hal yang bersifat militeristik, tetapi telah berkembang mengarah pada berbagai aspek seperti perlindungan lingkungan, hak asasi manusia, perluasan perdagangan dan investasi, pemberantasan kejahatan internasional, atau perdagangan barang terlarang. Maka, strategi pertahanan dan keamanan daerah ini memerlukan suatu perhatian khusus terutama dari littoral states yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura dengan mengadakan kerjasama untuk mengatasi ancaman kejahatan di Selat Malaka.

25

Selat Malaka yang merupakan jalur strategis yang berada dibawah kedaulatan tiga negara di Asia yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura, sangat rentan dengan berbagai aksi kejahatan seperti yang disebutkan diatas. Indonesia, Malaysia dan Singapura, yang merupakan littoral states atau dalam istilah lain dari Negara pantai, yaitu Negara-negara yang memiliki suatu kawasan yang sama, dan bertanggung jawab penuh terhadap segala hal yang terjadi di kawasan tersebut. Dalam pembahasan penulisan ini, littoral states yang dimaksud adalah Indonesia dan Singapura, yang secara geografis, bertanggung jawab terhadap keadaan apapun

termasuk keamanan di Selat Malaka. Kedua negara ini memiliki peranan penting dalam menjaga keamanan di perairan Selat Malaka. Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang terhadap Selat Malaka, sedangkan Singapura merupakan negara yang kuat dalam sistem pertahanan dan keamanan terhadap Selat Malaka dan tidak dipungkiri lagi bahwa Singapura memiliki kepentingan yang besar terhadap jalur perdagangan yang strategis ini. Selat Malaka dilintasi 50.000 kapal berbagai tipe setiap tahunnya, dengan 30% kapal merupakan kapal niaga yang mengangkut barang-barang perdagangan dunia. Selat Malaka juga merupakan jalur pelayaran yang digunakan oleh kapal tanker untuk mengangkat separuh pasokan energi dunia. Strategisnya serta padatnya jalur pelayaran di Selat Malaka menyebabkan selat ini rawan akan terjadinya gangguan keamanan dan tindak kejahatan di laut. Gangguan keamanan yang sering terjadi di selat ini adalah pembajakan/ perompakan, penyeludupan serta terorisme, dalam penulisan karya ilmiah ini menitik beratkan pada masalah pembajakan (piracy). Tercatat pada tahun 2004 terjadi peningkatan yang signifikan terhadap kasus pembajakan di selat ini yaitu berjumlah 38 kasus, berdasarkan laporan IMB (international maritime bureau), lalu terbentuklah patroli terkoordinasi tiga negara Indonesia, Malaysia, dan Singapura dalam mengatasi keamanan di Selat Malaka. Lokasi geografis Selat Malaka menjadikannya rapuh terhadap praktik perompakan dan aksi kejahatan. Selat Malaka sejak lama merupakan sebuah jalur penting yang menghubungkan Cina dan India, dan seringkali digunakan untuk tujuan perdagangan. Di era modern, Selat ini merupakan jalur antara Eropa, Kanal Suez,

26

dan negara-negara penghasil minyak di Teluk Persia; serta pelabuhan-pelabuhan Asia Timur yang sibuk. Terdapat ribuan pulau kecil di selat sempit ini, selain itu selat ini juga menjadi muara banyak sungai. Dua hal ini menjadikan Selat Malaka tempat yang ideal bagi para perompak untuk bersembunyi dan menghindari penangkapan.18 The Malacca Straits Sea Patrols (MSSP) diluncurkan sebagai sebuah aksi konkrit untuk menjaga keamanan Selat Malaka. Dalam pengaturan demikian, negaranegara pantai melakukan patroli terkoordinasi, sambil tetap mempertahankan komunikasi dan pertukaran informasi. Pada bulan September 2007, sebuah pendekatan baru untuk mendukung keamanan di Selat Malaka juga diluncurkan, yaitu Eyes in the Sky Initiative (EIS). Inisiatif ini menggabungkan patroli udara maritim dengan langkah-langkah keamanan di laut. Patroli Laut Selat Malaka (Malacca Strait Sea Patrols - MSSP) dan Eyes In the Sky adalah bagian dari kerangka besar untuk mengatasi masalah keamanan Selat Malaka.19 Penulis memandang bahwa konstelasi keamanan Selat Malaka masih diwarnai sejumlah konflik tapal batas dan kejahatan transnasional (terorisme, sea piracy). Seiring globalisasi, nilai Selat Malaka ini akan terus bertumbuh dengan intensitas perdagangan yang kian meningkat. Pertempuran kepentingan dan upaya perluasan sphere of influencediprediksi masih akan terjadi di selat ini, mengingat banyaknya keuntungan yang menggiurkan dari nilai strategis yang ditawarkannya. Hal ini merupakan tantangan bagi ASEAN agar semakin meningkatkan kiprahnya di kawasan. Sebagai organisasi regional, ASEAN harus menjalankan fungsinya secara maksimal dalam mereduksi setiap potensi konflik di kawasan ini agar tidak menjadi konflik terbuka

18 19

http://id.wikipedia.org/wiki/Perompakan_di_Selat_Malaka, Akses 28-10-2013 Sumber : www.dephan.go.id., Bantarto Bandoro Selat Malaka: Fakta Pergulatan Kekuatan dan Fear Factor.

27

BAB III PENUTUP III.1 KESIMPULAN Kesimpulan dari tulisan ini adalah Selat Malaka memiliki nilai strategis dari sisi ekonomi, politik, dan keamanan. Selain dari posisi dan historis, selat ini

merupakan jalur perniagaan internasional yang sangat ramai dan padat. Oleh karena letaknya yang strategis, maka selat ini rawan akan ancaman kejahatan maritim. Rawan yang tidak hanya terfokus pada hal-hal yang bersifat militeristik, tetapi telah berkembang mengarah pada berbagai aspek seperti perlindungan lingkungan, hak asasi manusia, perluasan perdagangan dan investasi, pemberantasan kejahatan internasional, atau perdagangan barang terlarang. Menurut Bantarto Bandoro, The Malacca Straits Sea Patrols (MSSP) diluncurkan sebagai sebuah aksi konkrit untuk menjaga keamanan Selat Malaka. Dalam pengaturan demikian, negara-negara pantai melakukan patroli terkoordinasi, sambil tetap mempertahankan komunikasi dan pertukaran informasi. Hasil patroli terkorrdinasi tiga negara tersebut berhasil meminimalisir tindak kejahatan pambajakan di Selat Malaka. Keberhasilan patroli terkoordinasi ini tercipta kerena adanya kekompakan dan mementingkan kepentingan bersama untuk mengamankan Selat Malaka dari pada kepentingan nasional (national interest) masing-masing negara anggota patroli terkoordinasi. Penelitian ini bersifat kualitatif dan di dukung oleh teori-teori dan juga data-data sekunder sehingga dalam penelitian ini di peroleh suatu bukti kebenaran hasil temuan. Patroli terkoordinasi tiga negara Selat Malaka sudah berhasil menurunkan tingkat kejahatan bajak laut di perairan Selat Malaka, terbukti dengan tingkat kejahatan yang menurun akibat dari intensifnya kegiatan patroli terkoordinasi yang dilakukan oleh tiga negara Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

28

You might also like