You are on page 1of 21

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. . Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak spesifik sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.

B. Tujuan 1. Tujuan Penulisan a. Tujuan Umum Untuk mengetahui patofisiologi, diagnosis dan penatalaksanaan demam tifoid.

b. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui pengertian dari penyakit demam tifoid 2. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit demam tifoid 3. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari penyakit demam tifoid 4. Untuk mengetahui patofisologi dari penyakit demam tifoid 5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari penyakit demam tifoid 6. Untuk mengetahui penatalaksanaan dan pencegahan dari penyakit demam tifoid 2. Manfaat Penulisan Makalah ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan tentang patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan demam tifoid.

BAB II PEMBAHASAN A. Scenario Tuan L, 30 tahun, datang ke klinik pengobatan dengan keluhan demam berkelanjutan selama 8 hari berturut-turut. Demam naik turun, naik saat malam tiba dan mulai menurun saat pagi hari namun tidak pernah mencapai normal. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada epigastrik, mual, rasa pahit di lidah dan kostipasi sejak 5 hari yang lalu disertai keluhan sangat pusing dan lemah. Nafsu makan pasien dirasakan mulai menurun. Sebelumnya pasien sempat berobat sendiri dengan menggunakan parasetamol dan panas sedikit menurun namun beberapa saat setelahnya kembali naik. Pada pemeriksaan fisik ditemukan rash pada kulit, suhu tubuh 39oC, denyut nadi 88x/menit, tekanan darah 110/80mmHg, dan nyeri pada epigastrik saat palpasi. B. Status Pasien 1. Nama : Mr.X 2. Usia : 30 tahun 3. Keluhan utama : demam berkelanjutan a. Onset : 8 hari b. Kronologi : Demam naik turun, naik saat malam tiba dan mulai menurun saat pagi hari namun tidak pernah mencapai normal 4. Keluhan penyerta : a. mual b. nyeri pada epigastrik c. rasa pahit di lidah . d. kostipasi e. serta nafsu makan menurun 5. Riwayat Pengobatan : pasien sempat berobat sendiri dengan menggunakan parasetamol dan panas sedikit menurun namun beberapa saat setelahnya kembali naik. 6. Pemeriksaan Fisik : a. rash pada kulit,
3

b. suhu tubuh 39oC, c. denyut nadi 88x/menit, d. tekanan darah 110/80mmHg e. nyeri pada epigastrik saat palpasi

C. Terminologi D. Permasalahan E. Diagnosis Banding 1. Demam Tifoid a. Definisi Demam tifoid ialah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi. Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia, dan disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh tinja. b. Epidemiologi Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang No. 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakitpenyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Walaupun demam tifoid tercantum dalam undangundang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologisnya belum diketahui secara pasti c. Etiologi Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B dan S. paratyphi C.

Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi. Sdangkan demam paratifoid disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies Salmonella enteritidis, yaitu S. enteritidis bioserotipe paratyphi A, S. enteritidis bioserotipe paratyphi B, S. enteritidis bioserotipe paratifi C. Kuman ini mempunyai 3 antigen yaitu: a. b. c. Antigen O: antigen pada bagian soma/tengah Antigen H: antigen pada bagian flagel. Antigen VI: antigen pada bagian kapsul.

Cara perpindahan kuman melalui cara 5 F, yaitu; a. b. c. Food and fluid, yaitu melalui makanan dan minuman yang tercemar. Flies, melalui lalat yang membawa kuman tersebut. Finger, melalui jari atau tangan yang kotor atau terkontaminasi kuman. d. e. Faeces, melalui kuman yang terdapat pada faeces. Fomites, kontaminasi melalui alat makan/minum yang kurang bersih.

Penularan yang paling sering di daerah endemik adalah melalui makanan yang tercemar oleh karier, yaitu orang yang sembuh dari demam typoid dan masih mengekskresi kuman salmonella dalam tinja dan urine selama lebih dari 1 tahun. Karier ini terjadi akibat pengobatan yang tidak tuntas selama menderita demam typhoid.

d. Patofisiologi
5

Penularan kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi terjadi melalui makanan dan minuman yang tercemar yang tertelan melalui mulut. Sebagian kuman, oleh asam lambung, dimusnahkan dalam lambung. Kuman yang dapat melewati lambung selanjutnya masuk ke dalam usus dan

selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa ( IgA ) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel ( terutama sel-M ) dan selanjutnya ke lamina propia. Dilamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah ( mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik ) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk lagi ke dalam sirkulasi darah dan mengakibatkan bakteremia kedua dengan tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk dalam kandung empedu, berkembang biak, dan diekskresikan ke dalam lumen usus melalui cairan empedu. Sebagian dari kuman ini dikeluarkan melalui feses dan sebagian lainnya menembus usus lagi. Proses yang sama kemudian terjadi lagi, tetapi dalam hal ini makrofag telah teraktivasi. Kuman salmonella di dalam makrofag yang sudah teraktivasi ini akan merangsang makrofag menjadi hiperaktif dan melepaskan beberapa mediator ( sitokin ) yang selanjutkan akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. Sepsis dan syok septik dapat terjadi pada stadium ini. Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan, S.typhi di dalam makrofag dapat merangsang reaksi

hipersensitivitas tipe lambat yang dapat menimbulkan hiperplasia dan nekrosis organ. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah plague peyeri yang mengalami hiperplasia dan nekrosis atau akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ lainnya. e. Manifestasi klinis Demam tinggi lebih dari 7 hari, dengan sakit kepala kenaikan temperatur mencapai 40-41C Sakit kepala Malaise Menggigil Bertahan 4-8 minggu (bila tidak diobati) Nyeri otot, anoreksi Mual, muntah Obstipasi, diare Perut tak enak Demam/bradikasi relatif Lidah kotor di tengah, tepi dan ujung merah, tremor Stupar, delirium, somnolen, koma/psikosis

f.

Diagnosis Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari tidak

terdiagnosis hingga gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi hingga kematian. Secara umum gejala klinis penyakit ini pada minggu pertama ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hari hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif, lidah yang berselaput ( kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor ), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang indonesia. Bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1 derajat celcius tidak diikuti dengan peningkatan denyut nadi 8 kali per menit.

2. Demam Paratifoid 3. Malaria a. Definisi Malaria merupakan suatu penyakit akut maupun kronik, yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium dengan manifestasi klinis berupa demam, anemia dan pembesaran limpa.

b. Etiologi Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke dalam genus Plasmodium. Plasmodium ini merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat 4 spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Penularan pada manusia dilakukan oleh nyamuk betina Anopheles ataupun ditularkan langsung melalui

transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar serta dari ibu hamil kepada janinnya.

c.

Patofisiologi Pada waktu nyamuk anopheles infektif mengisap darah manusia, sporozoit yang berada dalam kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dsalam peredaran darah selama kurang lebih 30 menit. Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari 10.000 sampai 30.000 merozoit hati. Siklus ini disebut siklus eksoeritrositer yang berlangsung selama kurang lebih 2 minggu. Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke dalam peredaran darah dan menginfeksi sela darah merah. Di dalam sel darah merah, parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon (8-30 merozoit). Proses perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainnya. Siklus inilah yang disebut dengan siklus eritrositer. Setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang meninfeksi sel darah merah dan membentuk stadium seksual yaitu gametosit jantan dan betina.

d. Manifestasi klinis 1. Masa inkubasi Masa inkubasi biasanya berlangsung 8-37 hari 2. Keluhan-keluhan prodromal. Keluhan-keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa: malaise, lesu, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang dan otot, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di punggung. 3. Gejala-gejala umum Gejala-gejala klasik umum yaitu terjadinya trias malaria (malaria proxym) secara berurutan: Periode dingin Dimulai dengan menggigil, kulit dingin, dan kering, penderita sering membungkus dirinya dengan selimut atau sarung pada saat menggigil,
9

sering seluruh badan gemetar, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur(4,11,`2). Periode panas Wajah penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas tubuh tetap tinggi, dapat sampai 40oC atau lebih, penderita membuka selimutnya, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri

retroorbital, muntah-muntah dan dapat terjadi syok. Periode ini berlangsung lebih lama dari fase dingin dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat(4,11,12). Periode berkeringat Penderita berkeringan mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, penderita merasa capek dan sering tertidur. Bial penderita bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa e. Diagnosis 1. Anamnesis Keluhan utama, yaitu demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot dan pegal-pegal. 2. Pemeriksaan Fisik Demam (37,5oC) Kunjunctiva atau telapak tangan pucat Pembesaran limpa Pembesaran hati

3. Pemeriksaan Laboratorium a. Pemeriksaan dengan mikroskopik Sebagai standar emas pemeriksaan laboratoris demam malaria pada penderita adalah mikroskopik untuk menemukan parasit di dalam darah tepi(13). Pemeriksaan darah tebal dan tipis untuk menentukan: Ada/tidaknya parasit malaria.
10

Spesies dan stadium Plasmodium Kepadatan parasit - Semi kuantitatif: (-) (+) : tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB : ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB

(++) : ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB (+++) : ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB (++++): ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB - Kuantitatif Jumlah parasit dihitung permikroliter darah pada sediaan darah tebal atau sediaan darah tipis. b. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test) Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan metoda immunokromatografi dalam bentuk dipstik. c. Tes serologi Tes ini berguna untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostic sebab antibodi baru terbentuk setelah beberapa hari parasitemia. Titer >1:200 dianggap sebagai infeksi baru, dan tes >1:20 dinyatakan positif. F. Diagnosis Pada pasien discenario di dapatkan beberapa pemeriksaan tambahan, yaitu : Pemeriksaan lanjut ada lapisan pada lidah (coated tongue). Pada tes laboratorium didapatkan hasil Hb: 12 mg/dl, WBC (White Blood Cells/sel darah putih): 4500/mm3, ESR (Erytrocyt Sedimen Rate/Kadar sedimen eritrosit): 12 mm/jam,

11

hematokrit 36 mg%, trombosit 100.000/mm3, Widal test Thypii O : 1/640, Parathypii H: 1/320 Jadi dari keluhan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien pada scenario dapat didiagnosis dengan Demam Tifoid.

G. Pembahasan Diagnosis 1. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap Pada pemeriksaan darah perifer lengkap dapat ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfepenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. Pemeriksaan SGOT dan SGPT SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Uji Widal Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid. Akibat infeksi oleh S.typhi, pasien membuat antibodi ( aglutinin ) yaitu :
12

1. Aglutinin O, yaitu dibuat karena rangsangan antigen O ( berasal dari tubuh kuman ) 2. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H ( berasal dari flagela kuman ) 3. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi ( berasal dari simapi kuman )

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Makin tinggi titernya makin besar kemungkinan menderita demam tifoid. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke empat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit.

2. Penatalaksanaan Tatalakasana Demam Tifoid Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu : 3

13

Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat pen yem uhan. Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif) dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.

Istirahat dan perawatan Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buangair kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan.

Dalam perawatan perlu sekali di jaga kebersihan tempat tidur,pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dandijaga.

Diet dan terapi penunjang Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demamtifoid, karena makanan yang kurang akan menyebabkan menurunnya keadaan umumdan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.3

Pemberian antimikroba Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah : 3,12 1. Kloramfenikol Dosis diberikan 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak di anjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. 2. Tiamfenikol Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol,akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan

terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis


14

tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demamrata-rata menurun pada hari ke 5 sampai hari ke 6. 3. Kotrimoksazol Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet ( 1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprin ) diberikan selama 2 minggu. 4. Ampisilin dan amoksisilin Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan antara 50-150 mg/KgBB dan digunakan selama 2 minggu. 5. Sefalosporin generasi ketiga Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke 3 yang tebukti efektif untuk demam tifoida dalah seftriakson, dosis yang dianjurkan antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikanselama jam per infus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari. 6. Golongan fluorokuinolon Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke 3 atau menjelang hari ke 4. Hasil penurunan demam sedikit lambat pada penggunaan norfloksasin yang merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian.

7. Kombinasi obat antimikroba Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antara laintoksik tifoid, peritonitis atau perforasi, septik syok, dimana pernah

15

terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman salmonella.

8. Kortikosteroid Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.

Pemberian antimikroba menurut sumber lain : Tabel 1. Tatalaksana Demam tifoid

Tatalaksana Pengidap Tifoid (Karier) Tabel 2. Terapi Antibiotik Tifoid Karier Tidak Disertai dengan kasus kolelitiasis Pilihan regimen terapi selama 3 bulan : Ampisilin 100mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari
16

Amoksisilin 100mg/kgBB/hari + probenesid 30mg/kgBB/hari Trimetoprin-sulfametoksazol 2 tablet/2 kali/hari

Disertai dengan kasus kolelitiasis Kolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari, kesembuhan 80% atau kelosistektomi + salah satu regimen terapi di bawah ini: Siprofloksasin 750 mg/2 kali/hari Norfloksasin 400mg/2 kali/hari

Disertai infeksi Schistosoma Haematobium pada traktus urinarius Lakukan eradikasi S. Haematobium -Prazikuantel 40mg/kgBB dosis tunggal -metrifonat 7,5 10mg/kgBB bila diberikan 3 dosis, interval 2 minggu.

3. Komplikasi Komplikasi intestinal perdarahan intestinal Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukak / luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga pasien mengalami syok. Perforasi usus
17

Terjadi pada sekitar 3 % dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul padaminggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid denga perorasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yangkemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bisingusus melemah pada 50 % penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karenaadanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiridapat menyokong adanya perforasi.

Bila pada gambaran foto polos abdomen 3 posisi ditemukan udara pada rongga peritoneum, maka hal ini merupakan nilai yang cukup untuk menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa factor yang dapat

meningkatkan kejadian perforasi adalah umur, lama pengobatan, modalitas pengobatan, bertanya penyakit, dam mobilitas penderita. Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik pada flora usus.Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin / metronidazol. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang

cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.3 ileus paralitik pankreatitis

18

Komplikasi ekstra-intestinal Kardiovaskular : miokarditis Hepatitis tifosa: dapat terjadi pada pasien dengan system imun yang kuarang dan malnutrisi. Biasanya pada demam tifoid kenaikanenzim tranaminasse tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membandaingkan dengan hepatitis akibat virus) Tifoid toksik

4. Prognosis Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat

kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, ratarata 5,7%. 5. Pencegahan a. Preventif dan kontrol penularan Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid : 3 1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi pada pasien asimptomatik, karie atupun akut. 2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun karier yang dapat dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S.Typhi 3. Proteksi pada orang yang beresiko tinggi terinfeksi dengan cara vaksinasi

b. Vaksinasi Indikasi vaksinasi : Hendak mengunjungi daerah endemik, resiko terserang demam tifoid semakin tinggiuntuk daerah berkembang ( amerika latin, asia, afrika ) Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid Petugas laboratorium / mikrobiologi kesehatan

Jenis vaksin :
19

Vaksin oral Ty21a ( vivotif Berna ), belum beredar di Indonesia Vaksin parenteral VICPS ( Typhim Vi / Pasteur Merieux ), vaksin kapsul polisakarida

Kontraindikasi : Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan (karena sedikitnya data). Bila diberikan bersamaan dengan obat antimalarial dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat sulfonamide atau antimikroba lainnya.

Efeksamping : Pada vaksin oral Ty21a : demam dan sakit kepala. Pada vaksin parenteral ViCPS : demam, malaise, sakit kepala, rush , nyeri lokal. Efek samping terbesar pada parenteral adalah heatphenol inactivated, yaitu demam, nyeri kepala, dan reaksi local nyeri dan edema bahkan reaksi berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok. Efektivitas : Serokonversi ( peningkatan titer antibodi 4 kali ) setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari 3 minggu dan 90 % bertahan selama 3 tahun.Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik ( Nepal ) dan sebesar 60% untuk daerah hiperendemik.

20

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Demam tifoid ( enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya

terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, khususnya sore hingga malam hari yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penularan penyakit ini dapat melalui pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering adalah melalui pasien karier. Karena gejala klinis demam tifoid kurang spesifik maka dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Terdapat trilogi tatalaksana terhadap demam tifoid, yaitu : Istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang, serta pemberian antimikroba. Pencegahan dari demam tifoid yang perlu diperhatikan adalah menghindari transmisi, higienis lingkungan,sanitasi yang sesuai, dan proteksi berupa vaksinasi.

21

You might also like