You are on page 1of 9

untuk menulis mengenai hal tersebut akan tercengang dan sangatlah sulit untuk memilih topik ini.

Dengan mempertimbangkan kebutuhan masa kini, bagaimanapun, saya berharap dapat mengangkat sisi kehidupan Nabi Muhammad Saw., mengenai cara beliau membebaskan dunia dari perbudakan yang terang-terangan, yang menjadi kutukan bagi kemanusiaan. Saya maksudkan disini adalah, perbudakan terhadap wanita. Sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw., seluruh wanita di seluruh bagian dunia berada dalam posisi sebagai budak dan dianggap sebagai barang yang bisa dimiliki, dan perbudakan terhadap mereka menjadi bumerang bahkan terhadap laki-laki, dalam hal anak laki-laki dari seorang budak perempuan tidak memiliki spirit kebebasan yang sama. Tidak ada keraguan, wanita, baik karena kecantikannya ataupun karakternya yang berkilau, mampu, dalam kasus2 perorangan, mendominasi laki-laki, namun kebebasan yang diperoleh tersebut tidak dapat diartikan sebagai kebebasan sebenarnya, untuk alasan sederhana bahwa wanita tidak memiliki hak terhadap kebebasan. Ini hanya merupakan pengecualian dari aturan yang berlaku umum, dan kebebasan yang sesungguhnya luarbiasa, sulit untuk dapat menjadi budaya dari aspirasi yang sesungguhnya. Rasulullah Saw., datang sekitar 1.350 tahun lalu (ketika tulisan ini dibuat. terj). Sebelum itu, tidak ada agama ataupun negara yang memberikan kebebasan kepada wanita sebagai sebuah hak. Tentu saja, di negara2 dimana tidak ada hukum yang berlaku, wanita bebas dari segala ketidakberdayaan. Namun, tetap saja kebebasan semacam inipun tidak dapat dikatakan sebagai kebebasan sejati. Lebih dapat diartikan sebagai ijin. Kebebasan sejati adalah yang muncul dari peradaban dan sesuai dengan hukum. Kebebasan yang kita dapatkan pada saat kita melanggar hukum bukanlah kebebasan sama sekali, karena kebebasan semacam ini tidak menghasilkan kekuatan karakter. II

Pada masa Rasulullah Saw., dan sebelumnya, wanita ditempatkan pada kondisi dimana dia bukan pemilik dari harta yang ia miliki, suaminya dianggap sebagai pemilik harta istrinya. Wanita tidak memiliki bagian dari harta ayahnya. Dia juga tidak dapat mewarisi harta dari suaminya, walaupun dalam beberapa kasus, dia dapat mengelola harta tersebut selama suaminya masih hidup. Pada saat telah menikah, seorang wanita dianggap sebagai harta suaminya, tidak dimungkinkan untuk berpisah darinya, atau sebagai alternatif, suaminya memiliki hak untuk menceraikannya namun wanita tidak diberi hak untuk memisahkan diri dari suaminya, bagaimanapun sulitnya masalah yang ia hadapi. Apabila suaminya meninggalkannya, mengabaikan kewajibannya terhadapnya, ataupun melarikan diri dari istrinya, tidak ada hukum yang melindungi wanita. Menjadi kewajiban bagi wanita untuk menerima konsekuensinya, bekerja untuk menghidupi diri dan anak-anaknya. Sang suami, memiliki hak, ini diluar masalah tempramen yang tinggi, untuk memukul istrinya, dan istrinya bahkan tidak boleh meninggikan suara untuk melawan hal tersebut. Apabila suami meninggal, istri, di beberapa negara, diberikan kepada kerabat suami, yang dapat menikahinya, atau kepada siapapun yang mereka inginkan, baik sebagai sumbangan ataupun balas jasa dari keuntungan yang diterima. Di beberapa tempat, dilain pihak, wanita lebih dianggap sebagai properti suaminya. Beberapa suami akan menjual istrinya apabila mereka kalah berjudi, dan pada saat mereka melakukan itu, mereka menganggap hal tersebut adalah merupakan hak suami. Seorang wanita tidak memiliki hak terhadap anak-nya baik dalam posisinya sebagai seorang istri,

ataupun dalam posisi dia tidak tergantung pada suaminya. Dalam urusan rumah tangga ia tidak memiliki hak istimewa. Bahkan dalam agama dia tidak memiliki status. Dalam ikatan sipiritual-pun wanita tidak memiliki bagian. Sebagai konsekuensinya, para suami terbiasa menghamburkan harta istri-istri mereka dan meninggalkan mereka tanpa memberikan sedikitpun untuk keperluan istrinya. Si Istri, tidak dapat, walaupun itu harta mereka sendiri, memberikan sebagai sumbangan atau untuk menolong kerabatnya, tanpa persetujuan suaminya, dan suami yang serakah tidak akan memberikan ijin untuk hal tersebut. Mengenai harta milik orangtua seorang wanita, dimana ada ikatan kasih sayang yang dalam, wanitapun tidak memiliki bagian. Dan anak-anak perempuan memiliki hak yang sama atas orangtuanya sebagaimana anak laki-laki. Orangtua yang memiliki rasa keadilan, selama hidupnya akan memberikan sebagian hartanya kepada anak-anak perempuan mereka, dan menyisakan hanya untuk nafkah keluarga mereka. Hal ini tidak berlaku untuk anak laki-laki, karena setelah kematian orangtua, mereka akan mewarisi seluruh harta (dan karenanya seharusnya tidak boleh berkeberatan apabila saudara perempuan mereka menerima pemberian dari orangtua mereka); yang menjadi pertimbangan mereka adalah, saudara perempuan mereka pada saat itu memiliki lebih banyak dari mereka. Mengenai harta suaminya, dimana seorang istri memiliki hubungan yang total, wanita juga tidak memiliki hak. Kerabat jauh dari suami dapat meminta bagian, namun tidak seorang istri. Seorang istri, sebenarnya, adalah orang yang menjaga harga diri suami, seorang pasangan hidup, yang pengabdian dan kasih sayangnya tentunya sangat berkontribusi terhadap pendapatan seorang suami. Disisi lain, disaat seorang istri mengelola harta suaminya, dia tidak memiliki hak dan bagian sedikitpun dari harta tersebut. Bila seorang istri dapat membelanjakan pendapatan dari harta tersebut, ia tetap tidak boleh mengatur bagiannya. Dalam hal untuk sedekah, karenanya, ia tidak diperbolehkan untuk menentukan sesuai keinginannya. Apabila suami berlaku kejam terhadap istrinya, ia tidak dapat berpisah dari suaminya. Pada masyarakat dimana perpisahan dimungkinkan, adalah pada kondisi dimana wanita yang menghargai diri sendiri memilih kematian sebagai cara perpisahan. Sebagai contoh, sebuah perpisahan harus memberikan bukti kesalahan dari salah satu pihak, termasuk juga bukti perlakuan buruk dari suami. Lebih buruk lagi, pada kasus-kasus demikian, dimana pihak istri sudah tidak mungkin lagi hidup dengan suaminya, ia tetap tidak dapat berpisah dari suaminya, namun ia hanya diijinkan untuk tinggal terpisah, yang merupakan salah satu bentuk penyiksaan juga, karena dengan demikian ia dipaksa untuk menjalani kehidupan yang kosong dan tidak memiliki tujuan. Pada beberapa kasus terjadi dimana suami dapat menceraikan istrinya kapanpun ia suka, sementara seorang istri tidak dimungkinkan untuk meminta cerai. Apabila seorang suami meninggalkan istri, atau meninggalkan negaranya tanpa memberi tunjangan, istri wajib untuk tetap menjalani kehidupan tanpa hak untuk mengabdikan dirinya pada negara atau masyarakat. Kehidupan perkawinan, alih-alih memberikan suatu kebahagian, malah menjadi kehidupan yang penuh penderitaan untuk seorang istri. Kewajiban istri tidak hanya melaksanakan kewajiban suami dan dirinya namun ia juga wajib untuk menunggu suaminya. Kewajiban suami, sebutlah untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga menjadi tanggung jawab istri, belum lagi kewajibannya sendiri untuk mengasuh dan membesarkan anakanaknya. Beban mental disatu sisi, dan kewajiban menyediakan materi di sisi lain. Semuanya ini, singkat kata, ditoleransi dalam kasus yang melibatkan mahluk malang dan tidak dilindungi ini. Wanita dipukuli, dan dianggap sebagai properti suami. Ketika suami meninggal, jandanya dipaksa untuk menikah dengan kerabat suaminya atau dijual untuk mendapatkan uang. Kenyataanya, para suami sendiri juga menjual istrinya. Pangeran bangsa India seperti Panawas kehilangan istri mereka di meja judi dan untuk melawan hukum kepemilikan tanah, seorang Puteri terhormat seperti Drupadi, tidak dapat sedikitpun bersuara.

Dalam hal pendidikan anak-anak, para ibu tidak diajak diskusi dan mereka tidak memiliki hak terhadap anak-anak mereka. Apabila ayah dan ibu berpisah, anak-anak diserahkan kepada ayah. Wanita tidak memiliki hak apapun terhadap rumah tangga. Kapanpun suami menghendaki, ia dapat melempar istrinya dari rumah dan hingga mesti terlunta-lunta tanpa tempat berteduh. III Kedatangan Rasulullah Saw. menghapuskan seluruh kebiadaban ini dengan satu sapuan. Beliau menyatakan bahwa Tuhan telah mempercayakan kepadanya tugas untuk menjaga hak-hak wanita. Beliau menyatakan dengan nama Allah bahwa sebagai manusia pria dan wanita adalah sama, dan pada saat mereka hidup bersama, sebagaimana laki-laki memiliki hak-hak tertentu terhadap wanita, demikian pula sebaliknya, wanita memiliki hak-hak tertentu terhadap laki-laki. Wanita dapat memiliki hak terhadap hartanya sebagaimana laki-laki. Seorang suami tidak memiliki hak untuk menggunakan harta istrinya, selama si istri, dengan kehendaknya sendiri, tidak memberi ijin. Untuk mengambil paksa hak miliknya ataupun dimana wanita malu untuk menunjukkan penolakannya, adalah salah. Apapun yang diberikan oleh suami dengan ikhlas, akan menjadi hak istri dan suami tidak boleh mengambilnya lagi. Ia juga berhak mewarisi harta orangtuanya sebagaimana saudara lelakinya. Namun dengan menimbang bahwa kewajiban menanggung keluarga adalah pada laki-laki, dan wanita dianggap hanya perlu menanggung dirinya sendiri, maka bagiannya adalah separuh dari bagian laki-laki, dari seluruh harta orang tua mereka yang meninggal. Sama halnya, seorang ibu juga berhak mewarisi harta dari anak laki-lakinya yang meninggal sebagaimana juga ayah anak laki-laki tersebut. Namun mengingat situasi yang berbeda2 dan tanggungjawab yang ia emban dalam kasus-kasus tertentu, bagiannya bisa sama bisa juga kurang dari bagian ayahnya. Apabila suaminya meninggal istri berhak mendapat warisan, baik ia memiliki atau tidak memiliki anak, karena ia dianggap tidak tergantung dengan hal lainnya. Pernikahannya (sudah dianggap lazim) adalah, tanpa ragu lagi, merupakan ikatan suci, dimana, setelah suami istri menikmati keintiman yang paling dalam, sehingga perpisahan suami istri adalah suatu hal yang sangat dibenci. Namun bagaimanapun, separah apapun perbedaan diantara duabelah pihak, dalam masalah agama, fisik, ekonomi, sosial ataupun mental, mereka haruslah memiliki komitmen kuat untuk mempertahankan keutuhan perkawinan mereka, dan tidak boleh menghancurkan hidup mereka dan menghancurkan tujuan keberadaan mereka. Apabila perbedaan ini muncul, dan suami dan istri sepakat bahwa mereka tidak dapat hidup bersama, mereka (telah diajarkan) dapat dengan persetujuan bersama mengakhiri kebersamaan. Namun apabila hanya suami yang memiliki pandangan ini dan istri tidak, dan mereka gagal untuk saling menyesuaikan diri satu sama lain, urusan ini haruslah di bantu oleh dua orang hakam, yang satu mewakili suami dan yang satu mewakili istri. Apabila hakam ini memutuskan bahwa kedua belah pihak harus berupaya untuk tetap hidup bersama, maka sebaiknya masing-masing pihak berusaha menyelesaikan masalah sesuai dengan rekomendasi hakam. Apabila kesepakatan tidak dapat dicapai, suami dapat menceraikan istri, namun dalam kasus ini, ia tidak memiliki hak untuk mengambil kembali apapun yang telah ia (sebelum bercerai) berikan kepada istrinya, termasuk seluruh mas kawin (mahar). Apabila di lain pihak istri yang menginginkan perpisahan dan bukan sang suami, istri harus mengajukan permohonan kepada hakim, dan apabila hakim telah yakin bahwa tidak ada motif buruk dari permohonan tersebut maka hakim dapat memutuskan perpisahan. Hanya pada kasus tertentu saja istri harus

mengembalikan kepada suaminya, harta yang telah diberikan kepadanya, termasuk mahar/mas kawin. Apabila suami gagal untuk memenuhi kewajibannya dalam perkawinan, atau tidak mau berbicara lagi dengan istrinya atau ia meminta istrinya untuk pisah ranjang, ia tidak boleh melebihi batas waktu tertentu. Dalam waktu empat bulan setelah perlakuan tersebut ia harus menyatakan apakah akan mempertahankan perkawinannya atau menceraikan istrinya. Apabila suami menghentikan nafkah kepada istrinya atau meninggalkannya, atau tidak lagi mengurus istrinya, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. (Tiga tahun telah ditetapkan sebagai batas meninggalkan istri oleh para hakim muslim). Istri kemudian bebas untuk menikah lagi. Suami harus bertanggungjawab terhadap pemeliharaan istri dan anak-anaknya. Ia hanya boleh menerapkan disiplin yang sewajarnya, namun apabila untuk mendisiplinkan ini harus memberikan hukuman, ia harus memiliki saksi yang cukup dan mengungkapkan kesalahan istrinya dan mendasarkan penilaiannya pada bukti-bukti. Hukuman tersebut tidak boleh meninggalkan cacat yang menetap. Seorang suami tidak memiliki istrinya sebagai properti. Ia tidak boleh menjualnya, atau memaksanya dalam pekerjaan rumah tangga. Istri berbagi segala hal dalam rumah tangga, dan perlakuan suami terhadap istri akan menunjukkan posisi dimana ia berada. Sebuah perlakuan yang lebih rendah daripada yang seharusnya dilakukan oleh seorang laki-laki dengan status suami adalah tidak benar. Pada saat suaminya meninggal, keluarganya tidak memiliki hak terhadap istri. Istri boleh bebas dan apabila ada kesempatan maka ia memiliki hak untuk menikah lagi. Tidak seorangpun boleh menghalanginya. Seorang janda juga tidak harus ditempatkan ditempat tertentu. Ia boleh tinggal di rumah suaminya selama empat bulan sepuluh hari sampai semua hak istri dan hak keluarganya telah selesai diurus. Setahun setelah kematian suaminya seorang janda, apapun yang terjadi padanya, adalah berhak untuk menggunakan rumah suaminya, sehingga ia dapat menggunakan apa yang tertinggal untuk kebutuhannya dan ia memiliki tempat tinggal. Apabila suami cekcok dengan istrinya maka suami yang harus meninggalkan rumah, dan tidak boleh meminta istrinya untuk keluar, karena rumah menjadi hak istri. Dalam hal pengurusan anak-anak, wanita memiliki hak dan kewajibannya. Ia harus dilibatkan.

Dalam persoalan anak-anaknya, wanita tidak boleh diabaikan dalam hal apapun. Perihal menyusui, pengasuhan adalah tergantung pada pendapatnya. Apabila suami dan istri merasa tidak mungkin lagi untuk hidup bersama, dan menginginkan untuk berpisah, maka pengasuhan anak yang masih kecil harus diserahkan kepada sang ibu. Pada saat anak-anak dewasa, untuk tujuan pendidikan, anak boleh kembali kepada ayahnya. Selama anak-anak tinggal dengan ibunya, maka pemeliharaan harus disediakan oleh ayah. Ayah juga harus membayar waktu dan upaya yang dikeluarkan si ibu dalam mengurus anak-anaknya. Singkatnya, wanita memiliki status independen. Pahala spiritual juga terbuka untuknya. Ia juga dapat mencapai kemuliaan tertinggi dalam kehidupan akhirat, dan dalam kehidupan dunia ia dapat berperan serta dalam berbagai urusan kemasyarakatan. Dalam hal ini ia memiliki hak untuk diperlakukan sama dengan laki-laki. IV

Inilah ajaran dari Rasulullah Saw. yang disebarkan pada saat standar perlakuan di seluruh dunia adalah kebalikannya. Melalui perintahnya, beliau membebaskan wanita dari perbudakan yang telah menjadi satu dengan kehidupan mereka selama ribuan tahun, dimana mereka dipaksa menerimanya di berbagai belahan dunia, belum lagi tekanan dari berbagai agama terhadap wanita. Seorang laki-laki dalam satu masa, menghapus seluruh rantai perbudakan ini! Membawa kebebasan bagi para ibu, dan beliau pada saat yang sama membebaskan anak-anak dari sentimen perbudakan dan menyemaikan dan memupuk ambisi dan harga diri yang tinggi. Namun demikian, dunia tidak menghargai nilai ajaran tersebut. Apa yang dianggap sebagai keuntungan diberi label sebagai tirani. Perceraian dan perpisahan dianggap sebagai masalah, warisan dianggap menghancurkan keluarga, independensi seorang wanita dianggap sebagai penghancuran kehidupan rumah tangga. Selama seribu tiga ratus tahun, hal tersebut terus dipraktikkan secara membabi buta, padahal apa yang disampaikan Rasulullah adalah untuk kebaikan umat manusia. Berlanjut dengan hujatan terhadap ajarannya yang menyatakan bahwa ajaran tersebut bertentangan dengan fitrah manusia. Lalu tiba satu masa dimana kalimat Tuhan (yang disampaikan melalui rasulnya) kemudian menjadi nyata. Orang-orang yang menganggap dirinya beradab, mulai mematuhi ajaran Rasulullah. Semua orang, kemudian mulai mengubah aturan mereka untuk menyesuaikan dengan ajaran Rasulullah. Undang-undang di Inggris, yang mempersyaratkan adanya perlakuan buruk dan sewenang-wenang, dan kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada salah satu pihak sebagai syarat perceraian, diubah pada tahun 1923. Perlakuan buruk sudah cukup memenuhi syarat perceraian pada undang-undang yang baru. Selandia Baru memutuskan, pada tahun 1912, bahwa bila seorang istri tidak waras selama tujuh tahun, perkawinannya dapat dibatalkan. Pada tahun 1925, lebih lanjut diatur bahwa apabila suami atau istri tidak dapat memenuhi kewajiban perkawinan mereka, maka mereka boleh bercerai atau berpisah. Apabila dalam waktu tiga tahun suami istri tidak memperdulikan satu sama lain, maka cerai dijatuhkan. Suatu peniruan yang bagus terhadap hukum Islam, tentunya, namun baru dibuat setelah 1.300 tahun penyerangan terhadap ajaran Islam. Di Negara bagian Australia, Queensland, ketidakwarasan selama lima tahun, dianggap cukup sebagai alasan untuk bercerai. Di Tasmania, sebuah undang-undang yang diberlakukan pada tahun 1919, yang mengatakan bahwa perlakuan buruk, meninggalkan selama empat tahun, kebiasaan mabuk, dan pengacuhan selama tiga tahun, masuk penjara, pemukulan, ketidak warasan, harus, baik salah satu maupun seluruhnya cukup menjadi alasan untuk bercerai. Di Victoria, undang-undang yang diberlakukan tahun 1923 menyatakan bahwa apabila seorang suami tidak mengurus istrinya selama tiga tahun, atau berlaku buruk, atau tidak memberi nafkah, menganiaya istrinya, maka perceraian dimungkinkan. Selanjutnya diatur bahwa apabila masuk penjara, pemukulan, perilaku buruk dari pihak istri, ketidakwarasan, perlakuan sewenang-wenang dan percekcokan terus menerus cukup menjadi alasan untuk perceraian atau perpisahan. Di bagian barat Australia, selain undang-undang yang mengatur hal tersebut diatas, pernikahan seorang wanita yang dalam keadaan mengandung juga dinyatakan tidak sah atau batal (Islam juga memiliki pandangan yang sama) Di Kuba, telah diputuskan pada tahun 1918 bahwa perilaku buruk, pemukulan, mencaci maki, berada dalam pemeriksaan polisi, kebiasaan mabuk, kebiasaan berjudi, tidak dapat memenuhi kewajiban, tidak menafkahi, penyakit menular atau kesepakatan bersama, dapat diterima sebagai syarat perceraian atau

perpisahan. Italy menyatakan pada tahun 1919 bahwa wanita harus memilik hak atas hartanya. Ia dapat memberikannya sebagai sumbangan atau menjualnya apabila ia menghendaki. (hingga saat ini di Eropa, wanita tidak diakui sebagai pemilik dari hartanya sendiri) Di Mexico juga, kondisi sebagaimana diatas dianggap cukup sebagai syarat untuk bercerai. Disamping itu, kesepakatan bersama juga dianggap cukup. Hukum ini diberlakukan tahun 1917. Portugal memberlakukan tahun 1915, Norwegia 1909, Swedia 1920, dan Swiss pada tahun 1912 telah memberlakukan undang-undang yang mengijinkan perceraian dan perpisahan. Di Swedia, hukum mengharuskan ayah untuk menunjang kebutuhan hidup anaknya sampai dengan usia delapan belas tahun. Di Amerika walaupun undang-undang mengharuskan untuk menjaga hak ayah terhadap anaknya, namun pada praktiknya, hakim mulai memperhatikan faktor kelemahan dari pihak ibu, dan sekarang ayah wajib untuk menafkahi anaknya yang tinggal dengan ibunya. Tentu saja terdapat banyak kekurangan dalam hukum mereka. Walaupun hak laki-laki dijaga, namun wanita juga diijinkan untuk memiliki hak terhadap hartanya. Pada saat bersamaan, di banyak negara bagian, diatur apabila suami mengalami cacat tetap, maka istri harus menunjang kebutuhan hidup suami. Wanita sekarang memiliki hak untuk memilih, dan jalan telah terbuka dimana mereka dapat memberikan suara terhadap kepentingan nasional. Namun demikian, semua ini terjadi 1300 tahun setelah Rasulullah Saw. menyebarkan ajarannya. Banyak hal yang masih menunggu untuk terjadi. Di beberapa negara, wanita masih tetap tidak memiliki bagian dari warisan orang tua atau suaminya. Demikian juga dalam beberapa masalah lainnya, Islam terus memberikan pedoman kepada seluruh dunia, walaupun dunia belum mengakui hal tersebut. Dalam waktu yang tidak lama lagi, bagaimanapun juga, dunia akan menerima tuntunan dari Rasulullah saw mengenai hal ini, sebagaimana juga mengenai hal lainnya, hal mana Rasulullah telah memulainya atas nama kebebasan bagi wanita akan segera membuahkan hasil.

Penjelasan Hadits Arbain Kedua: Penjelasan tentang Islam, Iman, dan Ihsan (5)
Juni 14, 2009 oleh Admin Ulama Sunnah

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (Lanjutan Faedah dari Bagian Keempat) 24. Beriman kepada hari akhir. Hari akhir adalah hari kiamat, dinamakan hari akhir karena hari itu adalah masa putaran terakhir bagi umat manusia. Karena manusia mengalami empat masa: 1. Masa di perut ibunya. 2. Dunia ini. 3. Alam barzah. 4. Hari kiamat.

Tidak ada masa putaran setelah itu, hanya ada dua kemungkinan; masuk surga atau masuk nereka. Beriman kepada hari akhir, masuk di dalamnya sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Semua yang dikhabarkan oleh Nabi tentang apa-apa yang terjadi setelah kematian, masuk juga ke dalamnya adalah apa-apa yang akan terjadi di alam kubur. Yakni pertanyaanpertanyaan yang akan diajukan kepada orang-orang yang telah mati tentang Rabbnya, agama, dan Nabinya. Dan apa-apa yang akan manusia dapatkan di alam kubur, baik berupa kenikmatan atau siksaan. 25. Wajibnya beriman kepada taqdir, yang baik dan yang buruk. Hal itu dengan mengimani empat perkara, -Mengimani bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu, baik secara global, secara rinci, sejak dahulu hingga selama-lamanya. -Mengimani bahwa Allah telah mencatat taqdir segala sesuatu sampai hari kiamat di lauhul mahfuzh. -Mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini terjadi dengan kehendak Allah, tidak ada sesuatu apapun yang lepas dari kehendak-Nya. -Mengimani bahwa Allah menciptakan segala sesuatu. Oleh karena itu, segala sesuatu adalah makhluk ciptaan Allah, baik itu terjadi dengan perbuatan yang khusus dimiliki oleh-Nya, seperti menurunkan air hujan, mengeluarkan tumbuh-tumbuhan, atau perbuatan hamba dan perbuatan para makhluk, karena kehendak dan kemampuan. Sedangkan kehendak dan kemampuan adalah di antara sifat-sifat hamba. Sedangkan hamba dan sifat-sifatnya adalah makhluk Allah. Oleh karena itu, segala sesuatu yang ada di dalam semesta ini adalah hasil ciptaan Allah. Allah telah menakdirkan segala sesuatu hingga hari kiamat. Lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Apapun yang telah ditakdirkan atas seseorang, tidak mungkin meleset darinya. Dan apapun yang tidak Dia takdirkan, tidak akan menimpanya. Inilah keenam rukun-rukun iman yang telah dijelaskan oleh Rasulullah dan iman seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan mengimani semua rukunrukun tersebut. 26. Di antara faedah yang ada di dalam hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan. Ihsan adalah seseorang beribadah kepada Rabbnya dengan peribadahan raghbah (harapan) dan tholab (memohon), seolah-olah ia melihatnya, lalu ia suka untuk mencapainya. Ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Jika ia tidak sampai pada keadaan seperti ini, ia berada pada tingkatan yang ke dua, yaitu: beribadah kepada Allah dengan peribadahan khauf (takut) dan harab (lari) dari siksanya. Oleh

karena itu, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, Jika engkau tidak melihat -Nya, sesungguhnya Dia melihatmu. Yakni, jika engkau tidak beribadah kepada-Nya seolah-olah engkau melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. 27. Pengetahuan tentang hari kiamat tersembunyi, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Maka barangsiapa mengaku bahwa dia mengetahuinya, maka dia pendusta. Pengetahuan tentang hal itu tidak diketahui oleh rasul yang paling utama dari kalangan malaikat dan manusia, yaitu Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Jibril. 28. Hari kiamat memiliki tanda-tanda, sebagaimana firman Allah subhanahu wataala,

Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan hari kiamat (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya. (Muhammad: 18) Dan ulama telah membagi tanda-tanda kiamat menjadi tiga macam: 1. Yang telah berlalu. 2. Senantiada datang dengan bentuk yang baru. 3. Tidak datang kecuali tepat menjelang hari kiamat. Dan itu adalah tanda-tanda kiamat yang besar, seperti: turunnya Isa bin Maryam, Dajjal, Yajuj dan Majuj, dan terbitnya matahari dari sebelah barat. Nabi telah menyebutkan beberapa tanda hari kiamat, yaitu: (Budak wanita melahirkan tuannya), yakni: Seseorang wanita statusnya hamba sahaya, lalu wanita tersebut melahirkan anak perempuan, sampai anak tadi menjadi orang yang memiliki semisal ibunya. Ini merupakan ungkapan tentang cepat, banyak, dan tersebarnya harta di tengah-tengah manusia. Dan yang memperkuat hal itu adalah perumpamaan yang datang setelahnya, yaitu: Engkau akan melihat orang -orang yang tidak beralas kaki, telanjang lagi miskin, para penggembala kambing saling berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi. 29. Baiknya pengajaran Nabi, yang mana beliau bertanya kepada para shahabatnya, apakah mereka mengetahui orang yang bertanya tadi apa tidak, dalam rangka memberikan pengajaran kepada mereka melalui orang tersebut. Cara ini lebih mengena daripada beliau mengajarkan kepada mereka secara langsung (tanpa diawali dengan pertanyaan), karena jika beliau bertanya kepada mereka kemudian beliau memberitahukan kepada mereka setelah itu, maka yang demikian itu lebih mendorong untuk memahami dan meresapi apa yang beliau katakan.

30. Orang yang bertanya tentang ilmu dapat dianggap sebagai orang yang memberikan pengajaran. Telah lewat isyarat akan hal itu. Akan tetapi, aku ingin menjelaskan bahwa seseorang seyogyanya bertanya apa-apa yang dibutuhkan oleh orang-orang, kendati ia mengetahuinya, dalam rangka mendapatkan pahala pengajaran. Dan Allahlah Dzat Pemberi Taufik. (SELESAI) (Dinukil untuk Blog Ulama Sunnah dari Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy Syaikh Muhammad bin

You might also like