You are on page 1of 25

KARSINOMA NASOFARING Andi Utari Dwi Rahayu, Dian Utami

PENDAHULUAN Secara umum karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang jarang ditemui. Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Meliputi sekitar 2% atau lebih dari seluruh keganasan kepala dan leher. Karsinoma ini dapat tumbuh di daerah manapun pada nasofaring Gejala dan tanda karsinoma nasofaring sangat bervariasi dan sering samar-samar sehingga membingungkan pemeriksa. Karsinoma ini juga sering tidak menimbulkan gejala hingga akhirnya terlambat didiagnosa, terutama yang muncul pada fossa Rossenmuller. Lesi yang lebih lanjut dapat menyebar hingga mengenai beberapa saraf kranial dan menimbulkan gejala-gejala neurologis. Kendala yang dihadapi dalam penanganan karsinoma nasofaring adalah sebagian besar penderita datang pada stadium lanjut, bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek. Hal ini disebabkan terlambatnya diagnosa ditegakkan, maka perlu ditekankan akan pentingnya menemukan dan menegakkan diagnosa sedini mungkin. Sampai saat ini terapi yang memuaskan belum ditemukan. Keberhasilan terapi sangat ditentukan oleh stadium penderita. Keterlambatan penderita untuk mendapatkan penanganan yang adekuat menyebabkan hasil terapi jauh dari memuaskan. Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral. Batas-batas nasofaring yaitu batas atas (atap) adalah os sphenoid dan sebagian prosessus basilaris, batas anterior adalah koana dan palatum molle, batas posterior adalah vertebra servikal dan batas inferior adalah permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring. Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut terus menerus dan

dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial.

TINJAUAN PUSTAKA Definisi Karsinoma nasofaring adalah tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Pertama kali dijabarkan oleh Regand dan Schmincke pada tahun 1921. Karsinoma ini dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi untuk metastase regional maupun jauh. Epidemiologi Secara umum karsinoma nasofaring di dunia jarang dijumpai angka kejadian kurang dari 1/100.000 jumlah penduduk setiap tahun. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, terbanyak pada usia 40-60 tahun. Perbandingan antara laki-laki dan wanita adalah 2 :1 sampai 3 : 1.Di Asia Tenggara, angka kejadiannya kira-kira 5/100.000 jumlah penduduk setiap tahun.

Etiologi Proses karsinogenesis pada karsinoma nasofaring mencakup banyak tahap dan dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Infeksi virus Epstein-Barr Terdapat peningkatan antibodi IgA terhadap viral capsid antigen (VCA) dan early antigen complex (EA) dan ditemukannya genom virus pada sel tumor. Virus Epstein-Barr (VEB) terdeteksi secara konsisten pada pasien

karsinoma nasofaring di daerah dengan insidensi tinggi dan daerah dengan insidensi rendah. Lesi premaligna di nasofaring telah

menunjukkan kandungan VEB, yang menunjukkan infeksi terjadi pada fase awal karsinogenesis. Terdeteksinya bentuk tunggal DNA viral menyarakankan bahwa tumor merupakan proliferasi klonal dari sel tunggal yang pada awalnya terinfeksi VEB. 2. Ikan asin dan nitrosamin Beberapa penelitian epidemiologik dan laboratorium menyokong hipotesa yang menyebutkan bahwa konsumsi dini ikan asin menyebabkan karsinoma nasofaring di Cina Selatan dan Hongkong. Didalam ikan asin tersebut terkandung nitrosamin yang merupakan zat yang dapat meningkatkan resiko terjadinya karsinoma nasofaring. 3. Sosial ekonomi, lingkungan, dan kebiasaan hidup Udara yang penuh asap dan uap di rumah-rumah dengan ventilasi kurang baik di Cina, Indonesia, dan Kenya juga meningkatkan insiden karsinoma nasofaring. Pembakaran dupa di rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan karsinoma nasofaring di Hongkong. Perokok berat meningkatkan resiko karsinoma nasofaring pada daerah endemik. 4. Sering kontak dengan bahan karsinogen, antara lain: benzopyren, gas kimia, asap industri, asap kayu, debu kayu, formaldehid, dan asap rokok. 5. Ras dan keturunan Insiden tertinggi di dunia ternyata terdapat pada ras Cina, baik di daerah asal ataupun di perantauan. Insiden karsinoma nasofaring tetap tinggi pada penduduk Cina yang bermigrasi ke Asia Tenggara atau ke Amerika Utara, tapi lebih rendah pada penduduk Cina yang lahir di Amerika Utara daripada yang lahir di Cina Selatan 6. Radang kronis di nasofaring Dengan adanya peradangan menahun di nasofaring, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab karsinoma nasofaring. Proses peradangan dan kondisi-kondisi benigna di telinga, hidung, dan

tenggorokan merupakan faktor predisposisi terjadinya transformasi pada mukosa nasofaring yang meningkatkan resiko terjadinya keganasan

Histopatologi Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1997, dibagi atas 3 bagian, yaitu :

1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi, dimana terdapat jembatan interseluler dan keratin pada sebagian besar sel tumor. Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk, keratinizing squamous cell carcinoma (KSC) Tipe I. Frekuensinya kira-kira 10%.

2. Karsinoma non-keratinisasi, pada permukaan pemeriksaan dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Seringkali dijumpai susunan pleksiform. Secara individu batas sel cukup jelas dan kadang-kadang terlihat struktur dengan sel yang jernih oleh karena adanya glikogen di dalam sitoplasma, Non Keratinizing Carcinoma (NKC) Tipe II. Frekuensinya kira - kira 20%. 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi, pada tipe sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas. Kadang-kadang dapat dijumpai sel tumor yang berbentuk seperti kumparan dengan inti hiperkromatik. Sel tumor tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur (syncitium) dan kelompok sel tumor tersebut membentuk massa yang berbatas jelas di dalam stroma jaringan lilmfoid, Undifferentiated Carcinoma (UC) Tipe III.

Frekuensinya kira - kira 70%.

Secara makroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu bentuk ulseratif, bentuk nodular dan bentuk eksofitik. Ketiganya mempunyai bentuk dan tempat predileksi yang sangat berbeda, yaitu : 1. Bentuk ulseratif Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah sekitar fossa Fosenmuller. Juga dapat ditemui pada dinding lateral di depan tuba Eustachius dan pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya kecil disertai dengan jaringan yang nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitamya. Gambaran histopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa dengan diferensiasi baik. 2. Bentuk noduler/lobuler/proliferatif Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar muara tuba Eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah anggur atau polipoid jarang dijumpai adanya ulserasi, namun kadang-kadang dapat dijumpai ulserasi kecil. Gambaran histopatologi dari tumor ini

biasanya karsinoma tanpa diferensiasi. 3. Bentuk Eksofitik Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak dijumpai adanya ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan permukaannya licin. Tumor jenis ini biasanya tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor ini dapat mendorong palatum molle ke bawah dan tumbuh ke arah koana dan masuk ke dalam rongga hidung. Gambaran histopatologi biasanya berupa limfosarkoma.

Gejala Klinis Menegakan diagnosis sedini mungkin sangat penting. Untuk itu diperlukan pergetahuan tentang gejala dini dari karsinoma nasofaring dan juga perluasannya, baik regional ataupun metastase jauh. Gejala ditentukan oleh hubungan anatomik nasofaring dengan organ disekitamya, yaitu hidung tuba eustachius, telinga, kelenjar limfe regional dan dasar tengkorak. Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh karsinoma nasofaring ini antara lain: Gejala telinga 1. Kataralis/oklusi tuba eustachius. Pada umumnya tumor bermula di fossa Rosenmuller, pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba, sehingga mengakibatkan keluhan rasa penuh di telinga, berdengung dan kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini dari karsinoma nasofaring. 2. Otitis media serosa dan dapat berlanjut sampai terjadi perforasi dan gangguan pendengaran. Gejala hidung 1. Epistaksis Dinding tumor biasanya rapuh sehingga iritasi ringan saja dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu. 2. Sumbatan hidung Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.

Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas pada penderita karsinoma nasofaring, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lain. Epistaksis juga terjadi pada anak yang sedang menderita radang. Namun jika keluhan ini timbul berulang kali, tanpa penyebab yang jelas, atau menetap walaupun telah diberikan pengobatan, kita harus waspada dan segera melakukan pemeriksaan yang lebih teliti terhadap rongga nasofaring sampai terbukti bahwa bukan karsinoma nasofaring penyebabnya. Gejala Neurologi Karsinoma nasofaring telah diketahui dapat menyebabkan berbagai lesi neurologis, khususnya kelumpuhan saraf kranial. Tumor ini dapat menyebar secara intrakranial maupun ekstrakranial sehingga menyebabkan terjadinya paralisis saraf kranial mutipel. - Perluasan ke atas Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut penjalaran petrosfenoid. Sindroma petrosfenoid terjadi bila seluruh saraf grup anterior yang terkena. Biasanya melalui foramen laserum. Kemudian ke sinus kavernosus dan fossa kranii media mengenai grup anterior saraf otak yaitu n II - n VI yang sering terkena lebih dulu n VI, kemudian n V dan III. Tidak jarang gejala diplopia-lah yang

membawa penderitaan lebih dulu berobat ke dokter mata. Perluasan ke atas lebih sering ditemukan di Indonesia. Tanda-tanda lainnya adalah terjadinya o Neuralgia trigeminal unilateral o Oftalmoplegia unilateral o Gejala nyeri kepala hebat terjadi akibat penekanan tumor pada durameter. - Perluasan ke belakang

Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial sepanjang fossa posterior, disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu n VII - n XII beserta nervus simpatikus servikalis. Tumor dapat mengenai otot dan menyebabkan kekakuan otot-otot rahang sehingga terjadi trismus. Biasanya beberapa saraf otak terkena secara unilateral, tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan bilateral. Sedangkan nervus VII dan VIII, karena letaknya agak tinggi serta terietak dalam kanalis tulang, sangat jarang terjadi kerusakan oleh karena tumor. Gejala Pada Kelenjar Getah Bening Oleh karena tumor pada nasofaring relatif bersifat anaplastik dan banyak terdapat kelenjar limfe, maka karsinoma nasofaring dapat menyebar ke kelenjar limfe leher. Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe leher dan tertahan disana karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama agar sel-sel kanker tidak langsung ke bagian tubuh yang lebih jauh.

Gejala akibat metastase jauh . Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dari paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, yang terbanyak ke paru-paru dan tulang, masingmasing sebanyak 20%, sedangkan ke hati 10%, otak 4%, ginjal 0,4%, tiroid 0,4%. Kira-kira 25% penderita datang berobat ke dokter sudah-mempunyai pertumbuhan ke intrakranial atau pada foto rontgen terlihat destruksi dasar tengkorak dan hampir 70% metastase kelenjar leher.

II.6. Diagnosa Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis clan pemeriksaan penunjang. Diagnosa pasti ditegakkan dengan biopsi nasofaring. Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, protokoi di bawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor 1. Anamnesa 2. Pemeriksaan Fisik 3. Biopsi Nasofaring dan Patologi Anatomi Biopsi ini merupakan diagnosa pasti karsinoma nasofaring. Penting dilakukan untuk mengetahui histopatologi dan menentukan jenis terapinya. 4. Pemeriksaan Radiologi - Foto Schedel : untuk melihat invasi tumor, ditandai dengan adanya tandatanda kerusakan pada dasar tengkorak. -Foto Thoraks : untuk melihat adanya metastase tumor, karena paru merupakan daerah metastase yang cukup sering. -CT Scan nasofaring : berguna untuk melihat tumor primer yang

10

tersembunyi. Dapat juga untuk melihat perluasan tumor, erosi dasar tengkorak.

CT Scan koronal menunjukkan massa di atap nasofaring

CT Scan koronal menunjukkan massa di nasofaring dan sinus kavernosus kanan -MRI : dapat menunjukkan perluasan tumor.

11

MRI potongan sagital (A) dan koronal (B) menunjukkan massa di nasofaring (panah biru) dan adenopati servikal (panah putih) -USG hepar ; melihat metastase pada hepar -Bone Scintigraphy: untuk melihat metastase ke tulang.

Pemeriksaan laboratorium -Pemeriksaan serologi : berupa IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk virus Ebstein - Barre. Stadium Klinis Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (1997). T = tumor primer. T1 = tumor terbatas pada nasofaring T2 = tumor meluas ke jaringan orofaring dan/atau ke fossa nasalis. -T2a = tanpa perluasan ke parafaringeal -T2b = dengan perluasan ke parafaringeal

12

T3 = tumor invasi ke struktur tulang dan/atau sinus paranasal T4 = tumor dengan perluasan ke intrakranial dan/atau melibatkan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring. N = pembesaran kelenjar getah bening regional. N1 = pembesaran unilateral, < 6 cm, di atas fossa supraclavicular. N2 = pembesaran bilateral, < 6 cm di atas fossa supraclavicular. N3 = metastase pada kelenjar getah bening -N3a = 6 cm -N3b = perluasan ke fosca supraclavicular M = metastasis jauh M0 = tidak ada metastasis jauh M1=Terdapat metastasis jauh Pengelompokan stadium (UICC 1997) Stadium I : T1 No Mo Stadium IIA : T2a No Mo Stadium IIB : T1 N1 Mo, T2 N1 Mo, T2a N1 Mo, T2b No, N1 Mo Stadium III : T1 N2 Mo. T2b N2 Mo, T3 NO/N1/N2 Mo Stadium IVA : T4 No/N1/N2 Mo Stadium IVB : T1/T2/T3/T4 N3 Mo Stadium IV C : T1/T2/T3/T4 No/N1/N2/N3 M1 Penatalaksanaan Penentuan penanganan pada karsinoma nasofaring berkaitan dengan stadium kanker itu sendiri. Terapi untuk karsinoma nasofaring terdiri dari : Bedah Terapi radiasi (radioterapi) Kemoterapi Terapi target Immunoterapi

13

Beberapa dari terapi di atas dapat digabungkan sesuai dengan stadium yang telah ditentukan. Untuk karsinoma nasofaring pada umumnya, kombinasi dari radioterapi dan kemoterapi sering digunakan.1 1. Bedah Karena nasofaring adalah bagian yang sulit untuk pelaksanaan operasi dan karena keefektifitasan dari terapi yang lainnya, maka bedah menjadi terapi utama yang jarang digunakan pada karsinoma nasofaring. Pembedahan digunakan untuk mengangkat limfe nodus pada leher yang tidak menrespon terhadap terapi lainnya. 1 Dengan teknik bedah endoskopi terbaru menggunakan scope fiber optik yang fleksibel dan instrument bedah yang panjang dan tipis, sebagian tumor nasofaring dapat diangkat secara sempurna. Pembedahan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan terapi lain seperti radioterapi, sebagai contoh, bagian yang merupakan kanker dan jaringan terdekatnya dapat diamati di laboratorium untuk memastikan pengangkatan semua bagian lesi.1 Kanker nasofaring biasanya menyebar ke kelenjar getah bening pada leher namun biasanya memberikan respon yang baik pada terapi radioterapi atau kemoterapi. Tapi bila sebagian dari kanker ini menetap setelah terapi tersebut, maka operasi yang disebut sebagai diseksi leher perlu dilakukan untuk mengangkat kelenjar getah bening tersebut. Ada beberapa jenis pembedahan diseksi leher tergantung dari seberapa banyak jaringan yang diangkat dari leher :1 Diseksi leher parisal atau selektif hanya menyingkirkan kelenjar getah bening yang terdekat dengan lesi primer tumor dan bagian yang paling mungkin bagi tumor untuk menyebar. Diseksi leher modifikasi radikal menyingkirkan kelenjar getah bening pada satu bagian leher diantara mandibula dan klavikula, dan juga otot dan jaringan saraf. Saraf utama pada otot bahu biasanya disisakan.

14

Diseksi leher radikal menyingkirkan hampir semua kelenjar getah bening pada satu sisi dan juga otot, saraf, dan vena yang lebih banyak.1

Resiko dan efek samping dari pembedahan berkaitan dengan luasnya operasi dan kesehatan umum dari pasien sebelum dilakukan operasi. Semua jenis pembedahan mempunyai resiko, termasuk kemungkinan terjadinya perdarahan, infeksi, komplikasi dari anestesi, dan pneumonia. Efek samping dari operasi pada daerah kepala dan leher dapat termasuk masalah bicara atau menelan. Efek samping tersering pada diseksi leher adalah rasa kebal pada telinga, lemah saat mengangkat lengan melewati kepala, dan kelemahan pada bibir bawah. Efek samping ini diakibatkan oleh efek operasi pada saraf tertentu yang menginervasi area tersebut. Setelah diseksi leher selektif, kelemahan pada bahu dan bibir bawah biasanya hilang setelah beberapa bulan. Tapi kelemahan ini akan menjadi permanen bila saraf yang menginvervasi daerah tersebut disingkirkan sebagai bagian dari diseksi leher radikal atau akibat dari tumor itu sendiri. 1

2. Radioterapi Radioterapi menggunakan x-ray atau partikel bertenaga tinggi untuk menghancurkan sel kanker atau untuk memperlambat laju pertumbuhan mereka. Ini merupakan terapi utama tersering untuk karsinoma nasofaring karena kanker ini sensitif terhadap radiasi.1 Untuk kebanyakan kasus karsinoma nasofaring, kemoterapi diberikan bersama dengan radioterapi untuk meningkatkan kefektifitasan, dimana terapi ini disebut juga kemoradiasi. Kemoradiasi dapat lebih efektif daripada radioterapi saja dalam menghadapi kanker ini tapi efek sampingnya dapat lebih banyak.1 Radioterapi biasanya diberikan pada tumor nasofaring utama itu sendiri bersama dengan kelenjar getah bening di sekitarnya. Meskipun kelenjar getah bening tidak membesar secara abnormal, namun radiasi tetap diberikan untuk mencegah apabila kanker telah menyebar hingga ke sana. Jika

15

diketahui bahwa kelenjar getah bening telah mengandung sel kanker, maka dosis radioterapi yang diberikan lebih tinggi. 1 Ada beberapa tipe radioterapi yang dapat digunakan sebagai terapi karsinoma nasofaring :1 External Beam Radiation Therapy (EBRT) Terapi ini menggunakan x-ray yang berasal dari mesin di luar dari tubuh pasien untuk membunuh sel kanker. Ini adalah cara terumum dari radioterapi untuk karsinoma nasofaring.1 Terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan untuk menangani karsinoma nasofaring secara lebih akurat dan juga mengurangi paparan radiasi terhadap jaringan sehat lain di sekitarnya :1 Three-dimensional conformal radiation therapy (3D-CRT)

menggunakan hasil dari MRI atau komputer spesial untuk menentukan secara pasti lokasi dari tumor. Sinar radiasi dibentuk sedemikian rupa dan diarahkan pada tumor dari beberapa arah yang menyebabkan kurangnya paparan terhadap jaringan normal yang ada di dekatnya.1 Intensity-modulated radiation therapy (IMRT) adalah bentuk yang lebih baru dari terapi 3D. Terapi ini menggunakan mesin berkomputer yang bergerak disekitar pasien saat sementara sedang mengeluarkan radiasi. Bersama dengan bentuk sinar dan dengan mengarahkan sinar ke tumor dari beberapa sudut, intensitas / kekuatan dari sinar itu dapat diatur untuk membatasi dosis mencapai jaringan normal yang paling sensitif.1 Stereotactic radiosurgery adalah tipe radioterapi dengan dosis yang tinggi dan pasti pada area tumor dalam sekali sesi. Radioterapi ini dapat diberikan melalui 2 cara. Pada cara pertama, sinar radiasi difokuskan pada tumor dari ratusan sudut yang berbeda dalam waktu yang singkat. Mesin yang digunakan pada cara pertama ini disebut Gamma Knife. Melalui cara kedua, digunakan akselerator (mesin yang membuat radiasi) yang dapat bergerak secara linear. Mesin ini

16

bergerak disekitar kepala untuk mengarahkan radiasi ke daerah tumor dari berbagai sudut. Berbagai mesin dengan nama seperti X-Knife, CyberKnife, dan Clinac digunakan pada stereotactic radiosurgery ini.1 Brachytherapy (radiasi internal) Cara lain untuk melakukan radiasi adalah dengan cara memasukkan / implant batangan metal yang tipis atau kabel yang mengandung material radioaktif ke dalam atau dekat dengan kanker itu sendiri. Radiasi ini melalui jarak yang cukup singkat sehingga dapat mengenai kanker tanpa memberikan bahaya yang besar kepada jaringan tubuh sehat di dekatnya. Implan ini biasanya ditinggalkan selama beberapa saat. Brachytherapy dapat digunakan bila kanker kembali setelah EBRT. Terkadang, radiasi internal dan eksternal dapat digunakan bersama.1 Sinar yang dipakai untuk radioterapi adalah : Sinar alfa, merupakan sinar korpuskuler atau partikel dari inti atom. Inti atom terdiri dari proton dan neutron. Sinar ini tidak dapat menembus kulit dan tidak banyak digunakan dalam radioterapi. Radioisotop yang digunakan adalah Radium226. 1,2 Sinar beta, merupakan sinar electron. Sinar ini dipancarkan oleh zat radioaktif yang mempunyai energi rendah. Daya tembusnya pada kulit terbatas, 3-5 mm. Digunakan untuk terapi lesi yang superfisial. Radioisotop yang digunakan adalah Radium 226. 1,2 Sinar gamma, adalah sinar elektromagnetik atau foton. Sinar ini dapat menembus tubuh. Daya tembusnya tergantung dari besar energy yang menimbulkan sinar itu. Makin tinggi energinya atau makin tinggi voltagenya, makin besar daya tembusnya dan makin dalam letak dosis maksimalnya. Radioisotop yang digunakan adalah Caecium137, Cobalt60, dan Radium226. 1,2 Bagian Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per fraksi 200 cGy yang diberikan 5 x dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah dosis mencapai 4000 cGy penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada akhir istirahat dilakukan penilaian respon terhadap tumor

17

untuk kemungkinan mengecilkan lapangan radiasi dan penilaian ada tidaknya metastasis jauh yang manifes. Setelah itu radiasi dilanjutkan 10-13 x 200 cGy lagi untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-6600 cGy. Bila tidak didapatkan pembesaran kelenjar regional maka radiasi efektif pada kelenjar leher dan supraklavikular cukup sampai 4000 cGy.2 Radiasi eksternal untuk karsinoma nasofaring dapat menyebabkan perubahan kulit pada daerah kepala dan leher seperti terbakar matahari, mual, muntah, dan kelelahan. Gejala ini kadang hilang apabila terapi telah selesai.1 Radiasi pada kepala dan leher dapat juga menyebabkan nyeri leher, nyeri pada mulur, suara parau, kesulitan menelan dan makan, hilang kemampuan mengecap, dan kerusakan pada tulang tengkorak. Apabila nyeri mulut sangatlah parah, maka pasien memiliki kesulitan makan dan dapat turun berat badan. Apabila saraf tertentu terkena radiasi, maka penglihatan atau pendengaran dapat bermasalah.1 Masalah besar dengan penggunaan radioterapi pada karsinoma nasofaring adalah dapat menyebbkan kerusakan pada kelenjar air liur yang menyebabkan mulut kering yang tidak akan hilang. Ini dapat menyebabkan masalah makan dan menelan dan dapat menyebabkan kerusakan gigi. 1 Teknik radioterapi terbaru seperti IMRT dapat mengurangi efek samping ini. Beberapa kerusakan pada kelenjar liur juga dapat dikurangi bila pasien diberikan obat amifostin sebelum radioterapi dijalankan. 1 Bila daerah leher diterapi dengan radiasi eksternal, maka kelenjar tiroid dalam mengalami kerusakan. Dibutuhkan obat untuk menggantikan hormon tiroid apabila terapi telah selesai. 1 Kelenjar hipofisis yang mengatur kebanyakan hormon pada tubuh dapat juga mengalami kerusakan. Apabila kerusakannya terhitung parah, dibutuhkan penggunaan hormon pengganti.1 Arteri carotis, yang merupakan pembuluh darah besar pada leher yang mengantar darah ke otak kadang menjadi sempit setelah radiasi dan dapat meningkatkan resiko seseorang terkena strok setelah beberapa tahun.1

18

3. Kemoterapi Kemoterapi adalah terapi dengan menggunakan obat anti-kanker. Obat ini diberikan melalui intravena (IV) atau melalui mulut. Obat ini memasuki pembuluh darah dan mencapai tubuh, membuat terapi ini berguna untuk kanker yang telah menyebar melalui kepala dan leher. Kemoterapi dapat digunakan pada beberapa situasi yang berbeda untuk menangani karsinoma nasofaring : Kemoterapi sering digunakan bersama dengan radioterapi sebagai penanganan pertama untuk karsinoma nasofaring dengan kasus lanjut karena beberapa obat kemoterapi membuat sel kanker lebih sensitif terhadap radiasi. Terapi ini disebut kemoradiasi.1 Kemoterapi dapat diberikan setelah radioterapi atau kemoradiasi. Terapi ini disebut terapi adjuvant.1 Kemoterapi digunakan pada pasien yang karsinoma nasofaringnya telah menyebar ke organ jauh seperti paru-paru, tulang, atau hati. Dapat digunakan sendiri atau bersama dengan radiasi.1 Cisplatin adalah obat kemoterapi yang paling sering digunakan untuk menangani karsinoma nasofaring. Digunakan sendiri pada saat kemoradiasi, tapi dapat juga dikombinasikan dengan obat lain, 5-fluorouracil (5-FU) jika diberikan setelah radiasi.1 Beberapa obat lain dapat berguna dalam menangani kanker yang telah menyebar, termasuk : Carboplatin Doxorubicin Epirubicin Paclitaxel Docetaxel Gemcitabine Bleomycin Methotrexate1

19

Obat kemoterapi menyerang sel yang membelah secara cepat, sehingga bekerja terhadap sel kanker. Namun sel lain pada tubuh seperti pada sumsum tulang, tepi mulut dan usus, dan folikel rambut juga membelah secara cepat. Sel ini juga berreaksi terhadap kemoterapi sehingga menyebabkan efek samping tertentu, seperti :1 Kerontokan rambut Nyeri mulut Hilang nafsu makan Mual dan muntah Diare Peningkatan resiko infeksi (rendah sel darah putih) Mudah memar atau berdarah (rendah trombosit) Cepat lelah (rendah sel darah merah)1

Efek samping ini biasanya singkat dan hilang apabila terapi telah selesai. Beberapa obat tertentu dapat menyebabkan efek samping yang lain. Seperti cisplatin yang dapat menyebabkan kerusakan saraf yang disebut neuropati. Ini dapat menyebabkan kehilangan pendengaran atau gejala pada tangan dan kaki seperti nyeri, sensasi terbakar atau geli, sensitif terhadap oanas atau dingin, atau kelemahan. 1

4. Terapi Target Peneliti telah mempelajari lebih lanjut mengenai perubahan pada sel yang menyebabkan terjadinya kanker, sehingga terbentuklah obat baru yang secara spesifik terarah kepada perubahan ini. Obat ini bekerja secara berbeda dari obat standar kemoterapi. 1 Cetuximab adalah antibody monoclonal (protein system imun buatan manusia) yang mentarget epidermal growth factor receptor (EGFR). EGFR adalah protein yang ditemukan pada permukaan sel. Normalnya, EGFR ini menerima sinyal bagi sel untuk bertumbuh dan membelah diri. Sel karsinoma nasofaring terkadang memiliki EGFR dengan jumlah yang lebih banyak dari normal, yang membuat mereka tumbuh lebih cepat. Dengancara mem-blok

20

EGFR, cetuximab dapat memperlambat atau menghentikan pertumbuhan ini. Peran pasti dari cetuximab dalam terapi karsinoma nasofaring ini masih diteliti lebih lanjut. Kadang digunakan bersama dengan kemoterapi apabila kanker muncul kembali atau terus bertumbuh setelah kemoterapi. Cetuximab diberikn dalam bentuk infus IV, biasanya sekali seminggu. Efek samping yang langka namun berbahaya dari cetuximab adalah reaksi alergi pada infus pertama, yang dapat menyebabkan masalah pernapasan dan tekanan darah rendah. Banyak orang yang mengalami masalah kulih seperti ruam pada wajah dan dada seperti jerawat selama terapi yang dapat menyebabkan infeksi. Efek samping lainnya adalah sakit kepala, kelelahan, demam, dan diare.1 5. Immunoterapi Karsinoma nasofaring dapat diakibatkan oleh infeksi virus Epstein-Barr (EBV). Meskipun system imun pasien telah menunjukkan perlawanan terhadap EBV, tetap tidak cukup untuk membunuh sel kanker itu sendiri. Peneliti sedang berusaha untuk menggunakan cara lain untuk meningkatkan system imun atau untuk membantu mengarahkan sasaran terhadap sel yang terinfeksi EBV. Salah satu cara ini adalah untuk menyingkiran limfosit T dari darah pada pasien karsinoma nasofaring dan memperbaikinya di lab untuk meningkatkan jumlahnya dan kekuatannya untuk membunuh EBV. Sel ini kemudian akan diinjeksikan kembali pada pasien. 1

Penentuan terapi berdasarkan stadium dari karsinoma nasofaring terdiri dari : 1. Stadium 0 dan 1 Penanganan umum pada stadium awal kanker ini adalah radioterapi yang diarahkan pada tumor nasofaring. Walaupun kanker belum menyebar ke kelenjar getah bening pada stadium ini, kelenjar di sekitar leher juga diberikan radioterapi. Ini dianggap sebagai radiasi profilaksis. Ada pasien yang memiliki sel kanker pada kelenjar getah beningnya namun tidak terdeteksi. Walaupun hanya sedikit sel kanker pada kelenjar limfe yang

21

menyebabkan pembengkakan yang jelas, sel ini dapat terus bertumbuh dan menyebar jika tidak dihancurkan dengan radioterapi.1 2. Stadium II, III, IVA, dan IVB Kanker stadium ini telah menyebar diluar dari nasofaring dan terkadang ke kelenjar linfe leher atau supraklavikula. Pasien dengan stadium ini biasanya mendapat kemoradiasi. Obat kemoterapi yang sering digunakan adalah cisplatin, namun terkadang obat lain juga digunakan. Ini biasanya diikuti oleh kemoterapi berikutnya, yang biasanya diberikan cisplatin dengan 5-FU. Banyak penelitian yang menemukan bahwa kemoradiasi membantu pasien untuk hidup lebih lama daripada apabila radiioterapi saja. Namun penggunaan kemoterapi menyebabkan efek samping yang lebih banyak, yang dapat mempengaruhi kualitas hidup. Apabila sel kanker masih terdapat di kelenjar limfa setelah terapi ini, maka pembedahan (diseksi leher) dapat dilakukan untuk mengangkat kelenjar limfe itu.1 3. Stadium IVC Kanker ini telah menyebar ke bagian tubuh yang jauh dan menjadi sulit untuk diterapi. Terapi yang biasanya digunakan adalah kemoterapi, dengan cisplatin dan obat lainnya. Apabila tidak ditemukan tanda adanya sel kanker setelah kemoterapi, radioterapi pada nasofaring dan kelenjar linfe pada leher atau kemoradiasi diberikan untuk membunuh sel kanker lainnya yang tersisa. Pilihan lain pada beberapa kasus adalah untuk memberikan kemoradiasi sebagai penanganan pertama. Apabila masih terdapat tanda sel kanker setelah kemoterapi, maka digunakan obat kemoterapi lainnya. Pilihan lain adalah kemoterapi yang digabungkan dengan cetuximab. 1 4. Karsinoma nasofaring rekuren Kanker dikatakan rekuren apabila kembali muncul setelah terapi. Rekuren dapat bersifat lokal (pada tempat yang berdekatan pada lesi awal) atau jauh (menyebar ke organ seperti paru atau tulang). Bila kanker muncul kembali setelah terapi, maka pilihan terapi bergantung pada lokasi rekuren dan luasnya kanker, terapi pertama yang digunakan saat kanker pertama kali muncul, dan kesehatan pasien secara keseluruhan. Beberapa tumor yang

22

muncul kembali pada nasofaring dapat diangkat melalui pembedahan melalui hidung (endoscopic skull base surgery). Kanker nasofaring rekuren pada kelenjar limfe leher kadang dapat diterapi dengan radioterapi tambahan. Kanker yang rekuren pada lokasi yang jauh biasanya digunakan kemoterapi. Jika kemoterapi telah diberikan, maka obat kemoterapi lainnya dapat dicoba. Kemoterapi dapat digabungkan dengan cetuximab. Apabila kanker tidak dapat diobati, terapi lanjutan dapat ditujukan untuk memperlambat pertumbuhan atau untuk meringankan gejala yang diakibatkan oleh penyebaran kanker yang jauh. Sebagai contoh, bila kanker telah menyebar hingga ke tulang belajar, radioterapi dapat diberikan pada area tersebut untuk meringankan nyeri dan mengurangai resiko terjadinya komplikasi.1

II.8. Prognosa Prognosa karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada

pertumbuhan lokal dan kecenderungan metastasenya. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma pertumbuhan lokal tumornya cenderung lebih agresif daripada Non Keratinizing dan Undifferntiated Carcinoma, walaupun metastase limfatik dan hematogen lebih sering pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir. Prognosa penderita buruk bila dijumpai : 1. Pembesaran kelenjar getah bening 2. Stadium lanjut 3. Tipe histologinya Keratinizing Squamous Cell Carcinoma Dari seluruh penderita 5-year survival rate (5-YSR) : 50%, 10 year survival rate (10-YSR) : 30%. Pada penderita Undifferentiated Carcinoma, 5YSR-nya lebih tinggi 20-30% daripada penderita Keratinizing Squamous Cell Carcinoma. Menurut penelitian terbaru, secara umum penderita yang diterapi dengan radioterapi saja, 10-YSR : 40 - 50%, sedangkan bila kombinasi dengan kemoterapi, 10-YSR : 55 - 70%. Pada tipe Squamous Cell Carcinoma, kematian biasanya disebabkan oleh progresfitas lokal tumor. Pada tipe Undifferentiated, kematian lebih sering disebabkan oleh metastase jauh. Relaps lokal mempunyai faktor resiko yang

23

signifikan dengan perkembangan metastase, khususnya pada 2 tahun pertama setelah terapi.

DAFTAR PUSTAKA

24

th

Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology. 7 ed. New York: Mc Graw-Hill ; 2001. Mulyarjo, Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring. Dalam Mulyarjo, Soedjak S, Wisnubroto, Harmadji SM Hasanusi R, Artono, editor. Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan Tumor Ganas, THT-KL. Surabaya: FK-UNAIR ; 2002, Hal. 38 -47. Roezin A, Syafril A. Karsinoma Nasofaring. Dalam : Efiaty H, Soepardi A, Iskandar NH, editor. Hidung Tenggorok, Edisi ke-4. Jakarta: FKUI ; 2000. Hal. 149 - ` 55.

25

You might also like