You are on page 1of 9

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIT PENDIDIKAN KEDOKTERAN (UPK)

Zona F. Gedung I Kampus Unsri Indralaya OI Sumatera Selatan, Indonesia Telp. 0711 580061 atau / or Jl. dr. Muh. Ali Komplek RSUP Palembang 30126, Indonesia, Telp. 0711 352342, Fax. 0711 373438,

=============================================================== Skenario B Blok 14 Tahun 2013 Tn. A, 67 tahun, dibawa ke ruang gawat darurat RSMH oleh keluarganya karena koma sejak 3 jam yang lalu. Pasien mengidap DM tipe 2 sejak 5 tahun yang lalu dan setiap hari mengonsumsi obat glibenklamid 5 mg. Menurut keluarganya, sebelum koma, pasien merasa dingin, berkeringat, palpitasi, badan lemas dan merasa cemas, setelah minum obat sebelum makan pagi. Pemeriksaan fisik Kesadaran: koma, TD 90/40 mmHg, nadi 120 x/menit, suhu 36OC. Tidak ditemukan kelainan lain pada pemeriksaan fisik. Kadar glukosa darah sewaktu (GDS) dengan alat glukometer: 40 mg/dl. Jelaskan mengenai kasus ini secara rinci!

Key : DM tipe 2 anti diabetes oral penurunan kadar glukosa darah koma hipoglikemik. Tujuan pembelajaran : 1. Mahasiswa dapat memahami tentang patofisiologi dan komplikasi DM tipe 2 2. Mahasiswa dapat memahami tentang penyebab dan manifestasi klinik dari hipoglikemi. 3. Mahasiswa dapat menerangkan tentang penatalaksanaan DM tipe 2 dan koma hipoglikemik. 4. Mahasiswa dapat memahami tentang farmakodinamik dan farmakokinetik serta efek samping obat-obat anti diabetes. 5. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang pencegahan terhadap hipoglikemi pada pasien Diabetes Melitus.

HIPOGLIKEMI PADA PASIEN DIABETES Alwi Shahab


Subbagian Endokrinologi Metabolisme Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr.Mohammad Hoesin Palembang

Pendahuluan Hipoglikemia adalah suatu keadaan klinis yang terjadi akibat penurunan kadar glukosa darah dibawah rentang batas normal. Hipoglikemia dapat disebabkan oleh berbagai kelainan dan berat ringannya ditentukan pula oleh lamanya terjadi penurunan kadar glukosa darah serta berat ringan gejala yang timbul. Pada pasien diabetes melitus, hipoglikemia terutama terjadi akibat pemberian obat-obat golongan sulfonylurea dan pemakaian insulin. Pengaruh buruk hipoglikemia terutama akan menyebabkan gangguan fungsi syaraf otak yang bila berlangsung lama akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Kekawatiran akan terjadinya hipoglikemia dalam penatalaksanaan diabetes melitus, terutama pada pasien usia lanjut menimbulkan permasalahan dalam kendali glukosa darah yang akan meningkatkan risiko komplikasi makro dan mikrovaskular akibat hiperglikemia. Ancaman hipoglikemi akan meningkatkan risiko kerusakan otak yang permanen, karena glukosa merupakan sumber energi utama bagi tubuh terutama otak. Otak tidak dapat mensintesis glukosa dan menyimpannya dalam bentuk glikogen, sehingga memerlukan suplai glukosa dari sirkulasi darah secara kontinyu. Untuk melindungi integritas otak, tubuh mengadakan respons terhadap hipoglikemi dengan supresi sekresi insulin melalui pelepasan hormon-hormon kontra regulasi terutama glukagon dan epinefrin (adrenalin). Penatalaksanaan hipoglikemi meliputi deteksi dini terhadap adanya gejala dan tanda-tanda awal hipoglikemi, mengobatinya secara benar dan mencegah terjadinya episode hipoglikemi berulang melalui edukasi kepada pasien dan keluarganya.

Regulasi kadar glukosa darah (Homeostasis Glukosa) Sistem syaraf pusat sangat tergantung pada oksidasi glukosa sebagai sumber energi utamanya. Gangguan suplai glukosa akan mengakibatkan gangguan fungsi otak

(neuroglikopenia), dan bila berlangsung lama akan menyebabkan kerusakan syaraf otak yang irreversibel dan kematian. Pada orang dewasa sehat dengan BB 70 kg, kebutuhan glukosa otak diperkirakan sebanyak 1 mg/kg/menit atau sebanyak 100 g/hari. Ambilan glukosa otak

difasilitasi oleh 2 transporter glukosa yaitu GLUT 1 dan GLUT3 yang tidak tergantung dengan insulin. Dalam keadaan hipoglikemia, sistem transportasi glukosa ini mengalami gangguan. Sedangkan pada hipoglikemia kronik akan terjadi up regulasi transporter glukosa, suatu fenomena penting yang berperan dalam terjadinya hypoglycemia unawareness. Dalam keadaan puasa, otak dapat menggunakan benda2 keton ( -hydroksi-butirat dan aseto asetat) sebagai sumber energi alternatif. Ambilan benda2 keton oleh otak proporsional dengan kadarnya didalam darah. Oksidasi benda2 keton dapat menjadi sumber energi hanya bila kadarnya didalam sirkulasi mengalami peningkatan, seperti terjadi dalam keadaan puasa yang

lama. Jadi bila kadar glukosa darah rendah, sedangkan kadar keton sangat tinggi, maka otak sebagian terlindung dari efek buruk hipoglikemia. Namun bila kadar glukosa dan keton rendah, seperti terjadi pada hipoglikemi akibat pemberian insulin dan gangguan oksidasi asam lemak, otak akan sangat rentan terhadap gangguan metabolik. Kadar glukosa didalam sirkulasi ditentukan oleh keseimbangan antara asupan glukosa (absorpsi + produksi) dan utilisasi/ penggunaannya oleh berbagai jaringan. Dalam keadaan puasa, produksi glukosa tergantung pada ketersediaan substrat2 yang diperlukan bagi proses glikogenolisis dan glukoneogenesis. Sementara utilisasi glukosa ditentukan oleh ambilan glukosa dan ketersediaan sumber energi alternatif terutama bagi jaringan otot. Mekanisme utama yang berperan dalam pencegahan hipoglikemia ditunjukkan dalam gambar dibawah ini : Dalam keadaan puasa (post absorptive state), kadar insulin menurun, sehingga menurunkan ambilan glukosa oleh hepar, otot dan lemak. Glikogenolisis didalam hati merupakan proses paling penting untuk memenuhi kebutuhan glukosa dalam keadaan puasa sampai 24 jam. selama 12

Gambar 1. Homeostasis glukosa

Bila puasa berlangsung lebih lama, setelah simpanan glikogen hati berkurang, akan terjadi lipolisis dan pemecahan protein untuk mempertahankan kadar asam lemak, gliserol dan asam amino didalam aliran darah. Asam lemak akan digunakan oleh otot sebagai sumber energi dan oleh hati untuk memproduksi benda2 keton yang akan digunakan sebagai sumber energi alternatif bagi jaringan2 tubuh lain. Gliserol dan asam amino akan diambil oleh hati dan ginjal yang akan digunakan sebagai bahan utama bagi proses glukoneogenesis. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa produksi glukosa pada laki-laki sehat sekitar 1,8 mg/kg/menit selama dalam keadaan puasa sampai 40 jam. Kontribusi proses glukoneogenesis terhadap produksi glukosa basal meningkat dari 41% setelah 12 jam sampai 92% setelah 40 jam puasa. Dalam keadaan puasa yang lama, ginjal memproduksi 25% atau lebih dari total kebutuhan akan glukosa, terutama melalui proses glukoneogenesis dari glutamine, laktat dan gliserol. Pada insufisiensi ginjal kronik yang berat akan terjadi gangguan produksi glukosa renal sehingga akan menimbulkan hipoglikemi puasa. Bila kadar glukosa plasma berada dibawah nilai ambang hipoglikemi, akan terjadi pelepasan hormon2 kontra regulasi, sebagai usaha untuk meningkatkan produksi glukosa.

Nilai ambang ini diperkirakan pada kadar 67 mg/dl. Bagian ventromedial hypothalamus merupakan organ utama yang berperan dalam respons kontra regulasi.

Hormon2 kontra regulasi terbagi dalam 2 kelompok : Hormon2 kerja cepat yaitu katekolamin dan glukagon. Hormon2 kerja lambat yaitu growth hormone dan kortisol.

Katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) bekerja menghambat sekresi insulin dan secara langsung merangsang proses glukoneogenesis di hepar dan ginjal, menghambat utilisasi glukosa di jaringan perifer dan merangsang proses lipolisis. Selanjutnya proses lipolisis akan menghasilkan substrat2 yang diperlukan untuk glukoneogenesis (yaitu gliserol) dan sumber energi alternatif bagi otot (yaitu asam lemak dan benda2 keton). Glukagon terutama bekerja merangsang produksi glukosa hati, namun sangat sedikit atau bahkan tidak mempunyai efek terhadap utilisasi glukosa perifer atau stimulasi produksi glukosa ginjal. Walaupun glukagon merangsang lipolisis dan ketogenesis, namun hanya mempunyai efek minimal terhadap mobilisasi prekursor glukoneogenesis dari lemak. Efek kontra regulasi dari kortisol dan growth hormone terjadi beberapa jam setelah hipoglikemi. Jadi kedua hormon ini hanya berperan minimal dalam pencegahan hipoglikemi akut, namun penting dalam pencegahan hipoglikemi akibat puasa yang lama. Kortisol merangsang glukoneogenesis hati dan lipolisis, sehingga meningkatkan kadar asam lemak bebas dan gliserol. Growth hormone juga mempunyai efek yang sama terhadap lipolisis dan glukoneogenesis, serta secara bersamaan menekan utilisasi glukosa di jaringan perifer. Kedua hormon diatas dapat meningkatkan lipolisis untuk menghasilkan substrat penting bagi proses glukoneogenesis, serta asam lemak bebas dan benda2 keton yang akan digunakan sebagai sumber energi cadangan/ alternatif.

Diagnosis hipoglikemi Diagnosis hipoglikemi ditegakkan berdasarkan trias Whipple, yaitu : Adanya gejala2 dan tanda-tanda hipoglikemi Kadar glukosa plasma yang rendah Terjadi pemulihan gejala setelah kadar glukosa plasma kembali normal melalui pemberian glukosa eksogen. Namun, nilai cutoff dari kadar glukosa plasma untuk menetapkan hipoglikemi masih simpang siur. Berbagai kepustakaan menggunakan rentang nilai antara 45 sampai 75 mg/dl (2,5 4,2 mmol/l). Dalam praktek sehari-hari, definisi hipoglikemi disesuaikan dengan keadaan klinis. Walaupun tidak ada ketentuan pasti tentang seberapa rendah kadar glukosa darah sebagai patokan mendefinisikan hipoglikemi, namun terdapat kesepakatan bahwa kadar glukosa plasma vena antara 45 sampai 60 mg/dl (2,5 3,3 mmol/l) jelas mendukung adanya hipoglikemi, dan bila dibawah 45 mg/dl (2,5 mmol/l) biasanya sudah menimbulkan gejala klinis yang berat. Bila kadar glukosa darah yang rendah disertai dengan gejala2 neurologik, kecurigaan terhadap hipoglikemi lebih tinggi dan perlu segera dicari faktor penyebabnya. Pada pasien diabetes melitus yang diterapi dengan insulin, kadar glukosa darah hendaklah dipertahankan diatas 75 mg/dl (4,2

mmol/l) untuk mencegah kemungkinan terjadinya hipoglikemi simtomatis dan hypoglycemia unawareness.

Tanda-tanda dan gejala-gejala hipoglikemi Tanda-tanda dan gejala-gejala hipoglikemi dibagi dalam 2 kategori, yaitu : otonomik dan neuroglikopenik. Tanda-tanda dan gejala-gejala otonomik terjadi akibat aktivasi sistem syaraf otonom melalui pelepasan epinefrin dari medulla adrenal kedalam sirkulasi dan norepinefrin dari ujung2 syaraf simfatis postganglionic kedalam jaringan2 target. Dalam keadaan normal, ambang glikemik bagi pelepasan katekolamin lebih tinggi daripada ambangnya bagi induksi gejala-gejala neuroglikopenik. neuroglikopenik. Sehingga gejala-gejala otonomik mengawali timbulnya gejala-gejala

Gejala-gejala dan tanda-tanda yang berhubungan dengan pelepasan

katekolamin dapat berupa tremor, muka pucat, palpitasi, takhikardia, tekanan nadi yang melebar dan rasa cemas (ansietas). Berkeringat, rasa lapar dan parestesia juga umum ditemukan, yang biasanya dimediasi oleh adanya pelepasan asetilkholin. Pada orang dewasa, pengeluaran keringat lebih mencolok, hal ini diduga akibat stimulasi oleh syaraf2 simfatis kolinergik post ganglionik.

Ta bel 1 . Gej a la- g eja la da n t a nda - ta nda hipo g like mi pa da o ra ng dewasa

O to no mi k

Neuro g liko peni k

Geja la g eja la

Ta nda - t a nda

Geja la - g eja la

Ta nda - ta nda

Rasa lap ar

Muka p ucat

B ad an cap ek

lemas,

rasa

Co rtical b lind ness

B erker ingat

T akhikar d ia

Dizziness

H yp o ther mia

Rasa ce mas

T ekanan meleb ar

nad i

Sakit kep ala

Seizures

P arestesia

B ingu n g

Co ma

P alp itasi

P erub ahan laku

tin gka h

Tremo r

Gang gua n ko gnit if

fu ng si

P englihata n d ip lop ia.

kab ur,

Gejala2 neuroglikopenik terjadi akibat kekurangan glukosa didalam otak. Karena glukosa merupakan sumber energi utama untuk metabolisme jaringan otak, maka penurunan kadar glukosa darah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan energi bagi otak.

Jadi, gejala2 neuroglikopenia tidak dapat dibedakan dengan gejala2 akibat terjadinya hipoksia jaringan otak. Gejala2 tersebut antara lain berupa rasa lemas, kelelahan, pusing, sakit kepala, perubahan perilaku dan bingung. Pasien dapat mengalami letargi, mudah tersinggung dan bahkan dapat bersikap agresif. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kognitif, gangguan berfikir dan berkonsentrasi, aphasia dan bicara kacau. Disamping itu, hipoglikemia dapat menyebabkan pandangan kabur, kebutaan, paresthesia, hemiplegi, hipotermi, dan bahkan koma, kejang dan berakhir dengan kematian.

Faktor risiko hipoglikemi Beberapa faktor risiko untuk terjadinya hipoglikemi pada pasien diabetes melitus antara lain :
Faktor risiko umum : 1. Kesalahan dosis dan jadwal injeksi insulin disertai asupan karbohidrat yang kurang 2. Obat hipoglikemik oral terutama golongan sekretagog tanpa diikuti asupan karbohidrat yg cukup 3. Ada riwayat hipoglikemi berat 4. Anestesi umum 5. Pengurangan asupan oral 6. Sakit berat gangguan faal hati, payah jantung, gagal ginjal, sepsis dan trauma berat Faktor risiko yang jarang : 1. Defisiensi endokrin cortisol, GH, atau keduanya 2. Non - cell tumor 3. Alkohol atau salisilat 4. Penghentian tiba2 kortikosteroid 5. Emesis 6. Penghentian nutrisi parenteral /enteral tiba2

Penatalaksanaan Pendekatan kerjasama tim sangat diperlukan dalam mendeteksi dan mengatasi hipoglikemi dirumah sakit, sementara peranan keluarga sangat penting dalam mengenal gejala-gejala dan tanda-tanda dini hipoglikemi pada pasien DM dirumah, terutama kelompok pasien usia lanjut.

Bila pasien pernah mengalami episode hipoglikemi, perlu dilakukan penilaian keadaan umum pasien meliputi kesadaran dan status kardiorespirasi, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah, waktu penyuntikan dan dosis insulin, dan jumlah asupan kalori yang diberikan. Bila pasien masih sadar dan masih bisa makan / minum, dapat diberikan karbohidrat oral atau air gula atau tablet glukosa. Bila pasien tidak sadar atau tidak bisa makan/minum, berikan infus dextrose atau injeksi glukagon IM. Setelah episode hipoglikemi teratasi, pemantauan kadar glukosa darah yang ketat terus dilakukan sampai kadar glukosa darah benar-benar stabil. Selanjutnya dicari faktor2 penyebab terjadinya hipoglikemi, dan bila memungkinkan ganti insulin dengan obat oral yang tidak memberikan efek samping hipoglikemi. Sebelum dipulangkan, pasien dan keluarganya diberikan edukasi yang jelas dan dalam bentuk tertulis agar dapat dipelajari dengan seksama untuk mencegah terjadinya episode hipoglikemi berulang.

Simpulan Ancaman hipoglikemi merupakan hambatan utama dalam mempertahankan kendali glukosa yang optimal pada pasien DM. Pencegahan terhadap hipoglikemi merupakan kunci utama.

Gambar 2. Salah satu contoh algoritma tatalaksana hipoglikemi menurut Lovelace Medical Center Diabetes Episodes of Care, (Diabetes Spectrum 2005;18:1:42.)

Simpulan Ancaman hipoglikemi merupakan hambatan utama dalam mempertahankan kendali glukosa yang optimal pada pasien DM. Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang pengenalan dini gejala dan

tanda-tanda hipoglikemi serta upaya penanggulangannya dirumah merupakan hal yang paling penting dalam mencegah manifestasi kerusakan otak yang irreversibel dan gejala sisanya.

Daftar Pustaka : 1. Tomky D. Detection, Prevention and Treatment of Hypoglycemia in the Hospital. Diabetes Spectrum 2005;18:39-44. 2. Cryer PE, Davis SN, Shamoon H. Hypoglycemia in Diabetes. Diabetes Care, 2003;26:1902-1912. 3. Zammitt NN, Frier BM. Hypoglycemia in type 2 Diabetes. Diabetes Care 2005;28 (12):2948-2961.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIT PENDIDIKAN KEDOKTERAN (UPK)
Zona F. Gedung I Kampus Unsri Indralaya OI Sumatera Selatan, Indonesia Telp. 0711 580061 atau / or Jl. dr. Muh. Ali Komplek RSUP Palembang 30126, Indonesia, Telp. 0711 352342, Fax. 0711 373438,

=============================================================== Skenario B Blok 14 Tahun 2013 Tn. A, 67 tahun, dibawa ke ruang gawat darurat RSMH oleh keluarganya karena koma sejak 3 jam yang lalu. Pasien mengidap DM tipe 2 sejak 5 tahun yang lalu dan setiap hari mengonsumsi obat glibenklamid 5 mg. Menurut keluarganya, sebelum koma, pasien merasa dingin, berkeringat, palpitasi, badan lemas dan merasa cemas, setelah minum obat sebelum makan pagi. Pemeriksaan fisik Kesadaran: koma, TD 90/40 mmHg, nadi 120 x/menit, suhu 36OC. Tidak ditemukan kelainan lain pada pemeriksaan fisik. Kadar glukosa darah sewaktu (GDS) dengan alat glukometer: 40 mg/dl. Jelaskan mengenai kasus ini secara rinci!

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIT PENDIDIKAN KEDOKTERAN (UPK)
Zona F. Gedung I Kampus Unsri Indralaya OI Sumatera Selatan, Indonesia Telp. 0711 580061 atau / or Jl. dr. Muh. Ali Komplek RSUP Palembang 30126, Indonesia, Telp. 0711 352342, Fax. 0711 373438,

=============================================================== Skenario B Blok 14 Tahun 2013 Tn. A, 67 tahun, dibawa ke ruang gawat darurat RSMH oleh keluarganya karena koma sejak 3 jam yang lalu. Pasien mengidap DM tipe 2 sejak 5 tahun yang lalu dan setiap hari mengonsumsi obat glibenklamid 5 mg. Menurut keluarganya, sebelum koma, pasien merasa dingin, berkeringat, palpitasi, badan lemas dan merasa cemas, setelah minum obat sebelum makan pagi. Pemeriksaan fisik Kesadaran: koma, TD 90/40 mmHg, nadi 120 x/menit, suhu 36OC. Tidak ditemukan kelainan lain pada pemeriksaan fisik. Kadar glukosa darah sewaktu (GDS) dengan alat glukometer: 40 mg/dl. Jelaskan mengenai kasus ini secara rinci!

You might also like