Professional Documents
Culture Documents
Kelompok 19
Tutor : dr Stella Tinia Hasiana Anggota : Claudia Immanuel Anggretty Juni Royntan T Jason Alim Sanjaya Charissa Lazarus Stefanie Kristi Felix Hansen Ray Burton
FISIOLOGI NYERI
DEFINISI
Menurut IASP 1979 (International Association for the Study of Pain), nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang potensial terjadi atau telah terjadi.
Nyeri nociceptif : Kerusakan jaringan Berhubungan dengan inflamasi mediator inflamasinocireceptor nyeri spontan Nyeri neuropatik: Kerusakan pada saraf Terbentuk sprouting.
Sewaktu memasuki medula spinalis, sinyal rasa nyeri melewati 2 jaras ke otak melalui:
Tractus neospinothalamicus
Untuk rasa nyeri cepat S S type A delta
Tractus paleospinothalamicus
Untuk rasa nyeri lambat S S type C
Saraf Orde I
Saraf Orde II
SLOW CHRONIC PALEOSPINOTHALAMIC 1/10 1/4 yang akan berakhir di thalamus : Nuc. Intralaminer Nuc. ventrolateral Banyak yang berakhir di batang otak Nuc. Retikularis medula, pons, mesencephalon Area tektal dari mesencephalon dalam sampai kolikulus superior dan inferior Daerah periaqueductus subs gricea mengelilingi aqueductus sylvii
NEUROTRANSMITTER
Diduga glutamat merupakan neurotransmitter yang disekresikan MS pd ujung ujung serabut saraf tipe a delta. Percobaan penelitian menunjukan bahwa ujung serabut nyeri tipe C yang memasuki MS mungkin mengeluarkan transmitter glutamat dan substansi P.
NEUROTRANSMITTER
Bahan transmitter yang berperan dalam sistem analgesia :
Enkefalin Serotonin
Morfin / Morfin like agent reseptor morfin substansi beta endorphin, metenkephalin, leuenkephalin, dynorphin analgesia TENS, akupuntur
Sinaps
Neurotransmitter
Neurotransmitter
Asetilkolin (eksitasi, inhibisi pada beberapa saraf parasimpatis)
(1) Terminal sel piramidal korteks motorik (2) neuron di basal ganglia, (3) motor neurons pada otot skeletal (4) Neuron preganglionik saraf autonom (5) Neuron postganglionik saraf parasimpatis (6) Beberapa neuron postganglionik saraf simpatis
Norepinefrin
Sekresi :
neuron terminal dengan badan sel di batang otak dan hipothalamus, locus ceruleus pada pons, postganglionik neuron sistem saraf simpatis.
Dopamin
Sekresi : neuron substansua nigra (regio striata ganglia basal) Efek : inhibisi
Glysin
Sekresi : sinaps medula spinalis Efek : inhibisi
GABA(gamma-aminobutyric acid)
Sekresi : saraf terminal medula spinalis, cerebellum, ganglia basalis, korteks cerebri Efek : inhibisi
Glutamate
Sekresi : jaras sensorik yang memasuki CNS, korteks cerebri Efek : eksitasi
Serotonin
Sekresi : nukleus yang berasal dari raphe medius pada batang otak proyeksi ke otak (hipothalamus) &medspin (cornu dorsalin) Efek : inhibisi pain pathway (medspin), kontrol mood, menyebabkan tidur
NO
Sekresi : neuron terminal otak (behavior dan memory) tidak disimpan dalam vesikel presinaptik Efek : meningkatkan metabolisme intraseluler yang memodifikasi eksitabilitas neuron
Reseptor Nyeri
Free Nerve Ending
Kulit dan jaringan (periosteum, dinding arteri, permukaan sendi, falx dan tentorium cerebri)
Stimulus :
Mekanis Suhu Kimia : bradikinin, serotonin, histamin, Ca, H+, asetilkolin, proteolitik, PG, substansi P.
Reseptor Opioid
(mu)
1 analgesia supraspinal,pelepasan prolaktin, hipotermia, sedasi 2 analgesia spinal, depresi nafas, kekakuan otot, euforia dan ketergantungan
Heroin ( Putauw)
Farmakokinetik
Absorpsi Heroin diabsorpi dengan baik disubkutaneus, intramuskular dan permukaan mukosa hidung atau mulut. Distribusi Heroin dengan cepat masuk kedalam darah dan menuju ke dalam jaringan. Konsentrasi heroin tinggi di paru-paru, hepar, ginjal dan limpa, sedangkan didalam otot skelet konsentrasinya rendah. Konsentrasi di dalam otak relatif rendah dibandingkan organ lainnya akibat sawar darah otak. Heroin menembus sawar darah otak lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan morfin atau golongan opioid lainnya
Metabolisme Heroin didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin dan akhirnya menjadi morfin, kemudian mengalami konjugasi dengan asam glukuronik menjadi morfin 6-glukoronid yang berefek analgesik lebih kuat dibandingkan morfin sendiri. Akumulasi obat terjadi pada pasien gagal ginjal. Ekskresi Heroin /morfin terutama diekskresi melalui urine (ginjal). 90% diekskresikan dalam 24 jam pertama, meskipun masih dapat ditemukan dalam urine 48 jam heroin didalam tubuh diubah menjadi morfin dan diekskresikan sebagai morfin.
Opoid agonis berikatan dengan reseptor spesifik di otak dan medula spinalis
Analgesia
MEKANISME KERJA
Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan reseptor spesifik yang berlokasi di otak dan medula spinalis, sehingga mempengaruhi transmisi dan modulasi nyeri. Terdapat 3 jenis reseptor yang spesifik, yaitu reseptor (mu), (delta) dan (kappa). Di dalam otak terdapat tiga jenis endogeneus peptide yang aktivitasnya seperti opiat, yitu enkephalin yang berikatan dengan reseptor , endorfin dengan reseptor dandynorpin dengan reseptor . Reseptor merupakan reseptor untuk morfin (heroin). Ketiga jenis reseptor ini berhubungan dengan protein G dan berpasangan dengan adenilsiklase menyebabkan penurunan formasi siklik AMP sehingga aktivitas pelepasan neurotransmitter terhambat.
Pelepasan asetikolin
Inhibisi pelepasan asetikolin terjadi didaerah striatum oleh reseptor deltha, didaerah amigdala dan hipokampus oleh reseptor .
Pelepasan dopamin
Pelepasan dopamin diinhibisi oleh aktifitas reseptor kappa
Khasiat analgetik didasarkan atas 3 faktor: a. meningkatkan ambang rangsang nyeri b. mempengaruhi emosi, dalam arti bahwa morfin dapat mengubah reaksi yang timbul menyertai rasa nyeri pada waktu penderita merasakan rasa nyeri. Setelah pemberian obat penderita masih tetap merasakan (menyadari) adanya nyeri, tetapi reaksi khawatir takut tidaklagi timbul. Efek obat ini relatif lebih besar mempengaruhi komponen efektif (emosional) dibandingkan sensorik c. Memudahkan timbulnya tidur
2. Eforia Pemberian morfin pada penderita yang mengalami nyeri, akan menimbulkan perasaan eforia dimana penderita akan mengalami perasaan nyaman terbebas dari rasa cemas. Sebaliknya pada dosis yang sama besar bila diberikan kepada orang normal yang tidak mengalami nyeri, sering menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir disertai mual, muntah, apati, aktivitas fisik berkurang dan ekstrimitas terasa berat. 3. Sedasi Pemberian morfin dapat menimbulkan efek mengantuk dan lethargi. Kombinasi morfin dengan obat yang berefek depresi sentral seperti hipnotik sedatif akan menyebabkan tidur yang sangat dalam 4. Pernafasan Pemberian morfin dapat menimbulkan depresi pernafasan, yang disebabkan oleh inhibisi langsung pada pusat respirasi di batang otak. Depresi pernafasan biasanya terjadi dalam 7 menit setelah ijeksi intravena atau 30 menit setelah injeksi subkutan atau intramuskular. Respirasi kembali ke normal dalam 2-3 jam
5. Pupil Pemberian morfin secara sistemik dapat menimbulkan miosis. Miosis terjadi akibat stimulasi pada nukleus Edinger Westphal N. III 6. Mual dan muntah Disebabkan oleh stimulasi langsung pada emetic chemoreceptor trigger zone di batang otak.
Efek Perifer
1. Saluran cerna Pada lambung akan menghambat sekresi asam lambung, mortilitas lambung berkurang, tetapi tonus bagian antrum meninggi. Pada usus besar akan mengurangi gerakan peristaltik, sehingga dapat menimbulkan konstipasi 2. Sistem kardiovaskular Tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap tekanan darah, frekuensi maupun irama jantung. Perubahan yang tampak hanya bersifat sekunder terhadap berkurangnya aktivitas badan dan keadaan tidur, Hipotensi disebabkan dilatasi arteri perifer dan vena akibat mekanisme depresi sentral oleh mekanisme stabilitasi vasomotor dan pelepasan histamin 3. Kulit Mengakibatkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas. Seringkali terjadi pembentukan keringat, kemungkinan disebabkan oleh bertambahnya peredaran darah di kulit akibat efek sentral dan pelepasan histamin
4. Traktus urinarius Tonus ureter dan vesika urinaria meningkat, tonus otot sphincter meningkat,sehingga dapat menimbulkan retensi urine.
NAPZA
NAPZA : singkatan dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika & Zat Adiktif lainnya. Kata lain yang sering dipakai adalah Narkoba (Narkotika, Psikotropika dan Bahan-bahan berbahaya lainnya) NAPZA adalah zat-zat kimiawi yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia, baik secara oral (melalui mulut), dihirup (melalui hidung)
45
NARKOTIKA
(Menurut UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997, TENTANG NARKOTIKA)
Zat atau obat yg berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yg dapat menyebabkan * 1. Penurunan atau perubahan kesadaran * 2. Hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri * 3. Dapat menimbulkan ketergantungan Dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
46
Narkotika golongan II
Yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi menimbulkan ketergantungan. Contoh gol ini : morfin, petidin, dan derivatnya.
48
49
Psikotropika
Adalah zat atau obat, baik alamiah atau sintetik bukan narkotika Berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat Menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku
50
Psikotropika golongan I
Yaitu psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat kuat dalam mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : 3,4-methylenedioxy-N-methylamphetamine (MDMA), Ecstasy (often abbreviated E, X, or XTC) Psilosibina LSD (lysergic acid diethylamide is a hallucinogenic)
51
Psikotropika golongan II
Yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi kuat dalam mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Fensiklidin (PCP), Amfetamin, Metilfenidat (Ritalin).
52
53
Psikotropika golongan IV
Psikotropika yg berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dlm terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan dlm mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Alprazolam (Xanax/ Alganax/ Alviz/ Zypraz/ Feprax) Bromazepam (Lexotan) Diazepam (Valium/ Valisanbe/ Stesolid) Estazolam (Esilgan) Klobazam (Frisium/ Proclosam), Klordiazepoksid (Librium/ Cetabrium) Nitrazepam (Dumolid / Mogadon) Lorazepam (Ativan/ Renaquil) Klonazepam (Rivotril) Triazolam (Halcion) Fenobarbital (Luminal).
54
Minuman Keras
Menurut peraturan Menkes No. 36 Tahun 1977, minuman keras dibagi dalam 3 golongan :
Golongan A, kadar ethanol 1-5% (bir) Golongan B, kadar ethanol 5-20% (anggur) Golongan C, kadar ethanol 20-40% (whiski, vodka, brandy)
55
DEFINISI
PENYALAHGUNAAN NAPZA (drug abuse)
Pemakain obat atau zat berbahaya dengan tujuan bukan untuk pengobatan dan penelitian serta digunakan tanpa mengikuti aturan atau dosis yang benar. Dapat mengakibatkan ketergantungan, depedensi, adiksi atau kecanduan. Penyalahgunaan narkoba juga berpengaruh pada tubuh dan mental-emosional para pemakaianya.
3 faktor pemicu
Faktor diri Faktor lingkungan Faktor kesediaan narkoba itu sendiri.
Faktor diri
Keingintahuan yang besar untuk mencoba, tanpa sadar atau brfikir panjang tentang akibatnya di kemudian hari. Keinginan untuk mencoba-coba kerena penasaran. Keinginan untuk bersenang-senang. Keinginan untuk dapat diterima dalam satu kelompok (komunitas) atau lingkungan tertentu. Workaholic agar terus beraktivitas maka menggunakan stimulant (perangsang). Lari dari masalah, kebosanan, atau kegetiran hidup. Mengalami kelelahan dan menurunya semangat belajar. Menderita kecemasan dan kegetiran. Kecanduan merokok dan minuman keras. Dua hal ini merupakan gerbang ke arah penyalahgunaan narkoba.
Karena ingin menghibur diri dan menikmati hidup sepuaspuasnya. Upaya untuk menurunkan berat badan atau kegemukan dengan menggunakan obat penghilang rasa lapar yang berlebihan. Merasa tidak dapat perhatian, tidak diterima atau tidak disayangi, dalam lingkungan keluarga atau lingkungan pergaulan. Ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Ketidaktahuan tentang dampak dan bahaya penyalahgunaan narkoba. Pengertian yang salah bahwa mencoba narkoba sekali-kali tidak akan menimbulkan masalah. Tidak mampu atau tidak berani menghadapi tekanan dari lingkungan atau kelompok pergaulan untuk menggunakan narkoba. Tidak dapat atau tidak mampu berkata TIDAK pada narkoba.
Faktor Lingkungan
Keluarga bermasalah atau broken home. Ayah, ibu atau keduanya atau saudara menjadi pengguna atau penyalahguna atau bahkan pengedar gelap nrkoba. Lingkungan pergaulan atau komunitas yang salah satu atau beberapa atau bahkan semua anggotanya menjadi penyalahguna atau pengedar gelap narkoba. Sering berkunjung ke tempat hiburan (caf, diskotik, karoeke, dll.). Mempunyai banyak waktu luang, putus sekolah atau menganggur. Lingkungan keluarga yang kurang / tidak harmonis. Lingkungan keluarga di mana tidak ada kasih sayang, komunikasi, keterbukaan, perhatian, dan saling menghargai di antara anggotanya.
Orang tua yang otoriter, Orang tua/keluarga yang permisif, tidak acuh, serba boleh, kurang/tanpa pengawasan. Orang tua/keluarga yang super sibuk mencari uang/di luar rumah. Lingkungan sosial yang penuh persaingan dan ketidakpastian. Kehidupan perkotaan yang hiruk pikuk, orang tidak dikenal secara pribadi, tidak ada hubungan primer, ketidakacuan, hilangnya pengawasan sosial dari masyarakat,kemacetan lalu lintas, kekumuhan, pelayanan public yang buruk, dan tingginya tingkat kriminalitas. Kemiskinan, pengangguran, putus sekolah, dan keterlantaran.
Withdrawl Syndrome
Gejala putus obat (gejala abstinensi atau withdrawl syndrome) terjadi bila pecandu obat tersebut menghentikan penggunaanobat secara tiba-tiba. Gejala biasanya timbul dalam 6-10 jam setelah pemberian obat yang terakhir dan puncaknya pada 36-48 jam. Withdrawl dapat terjadi secara spontan akibat penghentian obat secara tiba-tiba atau dapat pula dipresipitasi dengan pemberian antagonis opioid seperti naloxono, naltrexone. Dalam 3 menit setelah injeksi antagonis opioid, timbul gejala withdrawl, mencapai puncaknya dalam 10-20 menit, kemudian menghilang setelah 1 jam.
Heroin modifies the action of dopamine in the nucleus accumbens and the ventral tegmental area of the brain these areas form part of the brains reward pathway Once crossing the blood-brain barrier, heroin is converted to morphine acts as a powerful agonist at the mu opioid receptors subtype inhibits the release of GABA from the nerve terminal reducing the inhibitory effect of GABA on dopaminergic neurones. The increased activation of dopaminergic neurones and the release of dopamine into the synaptic activation of the post-synaptic membrane. Continued activation of the dopaminergic reward pathway feelings of euphoria and the high associated with heroin use.
Reseptor (mu) analgesik, relaksasi otot polos (dalam usus), euforia, dan depresi sistem saraf pusat (yang menyebabkan penurunan kecemasan dan hipertensi). Reseptor (delta) ketergantungan dan toleransi, analgesik, depresi ssp Reseptor (kappa) halusinasi, delusi, disosiasi, anestesi.
Mechanisms of tolerance and withdrawal : In response to long-term exposure to relatively high doses of exogenous opioids, cells internalize their mu and delta opioid receptors, increased opioid levels and/or necessary to generate the same effect on fewer receptors (tolerance). Similarly, once the exogenous opioids are removed from the system, the remaining endogenous opioids are unable to sufficiently activate the small number of remaining receptors (withdrawal). Intracellular second-messenger systems mediating the activity of opioid receptors are down-regulated in the presence of high levels of potent exogenous opioids. Therefore, even the few remaining opioid receptors cannot generate the response they were capable of prior to the administration of exogenous opioids. Downregulated second messengers include G-proteins and adenylyl cyclase/cAMP.
Heroine
Merupakan opioid drug abuse yang terbanyak IV, asap, nasal Euphorogenic, analgesic, sedative, depresi respirasi Pemakaian Rush, intense euphoria, miosis, bradikardi, nafas lambat, konstipasi, mengantuk
Heroine
Withdrawal (7 10 hari) Mata berair, rinorrhea, menguap, berkeringat, iritabilitas, tremor, nausea, vomit, restlesness, diare, peningkatan tek darah, peningkatan denyut nadi, menggigil, kram dan nyeri otot, nyeri sendi, midriasis, disphoria yang intens Intoksikasi miosis, penurunan tekanan darah, nafas lambat, nadi cepat, pingsan, meninggal (krn depresi respirasi)
Alkohol
Melambatnya fungsi otak (karena GABA) Pemakaian Tergantung individu, gender, BB. Dosis rendah : gembira, muka merah, peningkatan aktivitas, disinhibisi Dosis tinggi : terganggunya fungsi kognitif, persepsi, motorik Perubahan mood: tergantung individu
Alkohol
Withdrawal (5 7 hari) Tergantung jumlah yang dikonsumsi, frekuensi pemakaian, durasi pemakaian Tanda awal: tremor hebat, berkeringat, lemah, agitasi, nyeri kepala, nausea, vomit, peningkatan denyut nadi, insomnia 24 Jam awal: seizure Severe: delirium tremens, agitasi, hiperaktivitas SSO, halusinasi, delusi Intoksikasi koma, letargi, depresi pernafasanl, kerusakan organ
Amphetamin
Meningkatkan sekresi dopamin Pemakaian high, wakefullnes, supresi nafsu makan dan rasa lapar meningkatkan: kewaspadaan, energi, motoris, percaya diri, konsentrasi, puas diri Dosis rendah: restlesness, insomnia, euphoria, tremor, psikosis Dosis Tinggi: efek di atas di amplifikasi, muncul banyak ide, perasaan kemampuan fisik dan mental meningkat, peningkatan respirasi, mulut kering, halusinasi, paranoid * Untuk mengatasi ansietas, biasanya dikombinasi oleh obat hipnotik sedatif
Amphetamin
Withdrawal lesu, apatis, tidur berlebih, curiga, depresi Intoksikasi demam tinggi, konvulsi, koma, perdarahan cerebral, kematian
Pemeriksaan Penunjang
Tujuan:
Penapisan (BP: Urin, dengan alat Drug-Strip Immunochromatografic Assay, pemeriksaan ini bersifat kualitatif) Diagnosis pada keadaan emergensi Pemantauan detoksifikasi (EMIT, FPIA, TLC) Kepentingan forensik (Gas Chromatography-Mass Spectroscopy)
Komplikasi
Skizofrenia Psikosis depresi Ggn kepribadian Overdosis HIV dan Hepatitis Gizi Buruk Anemia
Landasan Hukum UU no. 5 Tahun 1997 tetang psikotropika dan UU no. 22 Tahun 1997 tetang narkotika Usaha Promotif dan Preventif Kuratif dan rehabilitasi:
Penerimaan awal Detoksifikasi dan terapi komplikasi medik Stabilisasi Persiapan kembali ke masyarakat Resosialisasi
TUJUAN
Abstinensia / menghentikan sama sekali penggunaan NAPZA Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps, Sasaran utamanya adalah pencegahan relaps Memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial
Terapi putus opioida dengan substitusi non opioda : Clonidine 17 mikrogram/kg BB/hr 3-4 kali pemberian, tapering bertahap dan selesai dalam 10 hari Terapi putus opioida dengan metode Detoksifikasi cepat dalam anestesi (Rapid Opioid Detoxification) : hanya untuk kasus single drug opiat saja, di lakukan di RS dengan fasilitas rawat intensif oleh Tim Anestesiolog dan Psikiater, dilanjutkan dengan terapi menggunakan anatagonist opiat (naltrekson) lebih kurang 1 tahun.
Terapi putus zat sedative/hipnotika dan alcohol : Harus secara bertahap dan dapat diberikan Diazepam, tentukan dahulu test toleransi Terapi putus Kokain atau Amfetamin: pertimbangan rawat inap karena kemungkinan melakukan percobaan bunuh diri. Untuk gejala depresi anti depresi
Terapi putus opioida pada neonates: Berikan infus dan perawatan bayi yang memadai. Selanjutnya berikan Diazepam 1-2 mg tiap 8 jam setiap hari diturunkan bertahap,selesai dalam 10 hari.
Psikoterapi kelompok Terapi keluarga bila dijumpai keluarga yang patologik Terapi marital bila dijumpai masalah marital Terapi relaksasi untuk mengatasi ketegangan Dirujuk atau konsultasi ke RS Umum atau RS Jiwa
Rehabilitasi
Beberapa Bentuk Program/Pendekatan Rehabilitasi yang ada, antara lain: Program Antagonis Opiat (Naltrexon) Program Metadon Program yang berorientasi psikososial Therapeutic Community berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam suatu tempat Program yang berorientasi Sosial Program yang berorientasi kedisiplinan Program dengan Pendekatan Religi atau Spiritual Lain-lain
PENYULUHAN
Sasaran: Anak & remaja, orang tua, guru, tokoh masyarakat, tokoh agama
Metode Penyuluhan
Bagi anak dan remaja Dialog interaktif Pemberian tugas dan peran (termasuk peragaan dan simulasi) Pembinaan kelompok (termasuk karang taruna, OSIS, dinamika kelompok) Pembinaan Keperibadian (termasuk Outbound activity-aktivitas diluar gedung dialam bebas) Poster, leaflet, brosur, buku pedoman, Film, VCD Pesan melalui seni, SMS
Materi Penyuluhan
Bagi anak dan remaja: Pengetahuan mengenai jenis-jenis dan bahaya NAPZA, Pengetahuan tentang prinsip hidup sehat, dll Bagi orang tua,guru,tokoh masyarakat,tokoh agama: Membina hubungan dalam keluarga (harmonis), Sikap jika mengetahui seorang anak menyalahgunakan NAPZA, Membina komonikasi yang baik antara murid, orang tua dan guru