Professional Documents
Culture Documents
Melalui slogan atau semboyan yang ditampilkan secara impersif, komunikatif dan
persuasif, serta dengan gaya bahasa yang santun dan memikat sebagai cermin kerendahan
hati dari seorang pemimpin, sang incumbent, Susilo Bambang Yudhoyono secara
langsung atau tidak telah membius rakyat untuk kembali menjatuhkan pilihan politiknya
kepada putra Pacitan ini untuk meneruskan kepemimpinan negara lima tahun yang akan
datang. Megawati dan Jusuf Kalla yang dikatakan oleh sebagian pengamat mengalami
peningkatan popularitas menjelang pilpres 8 Juli pun seolah hanya lips service-manis di
bibir, tak ada bukti yang valid.
Di samping itu, dengan penekanan sang incumbent pada perlunya integritas,
moralitas dan kesantunan politik baik dalam kampanye maupun dalam mengembangkan
demokrasi, hakikatnya bukan saja membuat para pesaingnya tak berdaya di hadapannya,
melainkan diyakini akan terus memengaruhi dan mewarnai kehidupan politik demokratik
Indonesia ke depan. Bukan tidak mungkin, kesantunan politik atau politik yang beretika
dan bermoral akan menjadi sebuah budaya politik baru di negeri ini.
Dan kesantunan politik alias politik yang beretika dan bermoral bagi Republik ini,
bukan saja perlu, melainkan telah menjadi sebuah kemestian di sebuah bangsa yang
terkenal dengan budaya timurnya yang santun. Apalagi di era reformasi yang dipengaruhi
oleh budaya global, telah membuat bangsa ini semakin kebablasan dalam berpolitik,
terutama kesantunan dalam berdemokrasi, sehingga demokrasi kita pun kerap berubah
menjadi amokrasi, dan kritik publik terhadap pemimpin pun kerap kehilangan kontrol.
Tuntutan Indonesia
Oleh karena itu, kehadiran Yudhoyono di masa krisis setelah melewati beberapa
pemimpin sebelumnya, dus dengan program utama pemberantasan korupsi pada periode
sebelumnya, dan kini diteruskan pada periode berikutnya dengan slogan magis
”lanjutkan” tidak lain merupakan sebuah tuntutan Indonesia. Oleh sebagian kalangan
yang mengatakan kemenangan Yudhoyono lebih disebabkan oleh sikap melodramatik
masyarakat Indonesia yang menentukan pilihan cenderung berdasarkan emosi daripada
rasio, tidak terlalu benar. Sebab, di samping masyarakat Indonesia semakin cerdas politik,
juga karena Indonesia menuntut sang incumbent untuk melanjutkan program
pemberantasan korupsi dan perbaikan akhlak bangsa.
Karena betapa mustahilnya membangun bangsa menjadi lebih maju dan beradab,
jika moral bangsa tidak dibenahi dan korupsi dibiarkan merajalela. Sebagimana tulis
Edgardo Buscaglia dan Maria Dakolias dalam An Analysis of the Causes of Corruption in
the Judiciary (1999), adalah mustahil memperbaiki negara ketika korupsi masih
merajalela dan akhlak bangsa masih rendah. Maka, perang melawan korupsi dan
perbaikan akhlak bangsa merupakan prioritas utama dan pertama seorang pemimpin
sebelum melanjutkan pembangunan. Dan pemimpin yang sanggup memberantas korupsi,
bukan saja namanya akan tercatat dalam catatan kaki buku sejarah, tetapi akan diukir
dengan tinta emas dalam buku sejarah bangsanya.