You are on page 1of 3

Perjuangan Perempuan di Jalan Politik

Oleh Thomas Koten

Ada satu hal yang menarik untuk dicermati saat ini adalah perjuangan kaum perempuan
yang dimotori para pemerhati dan politisi perempuan dalam hal kesetaraan gender di
tataran politik. Perjuangan itu terjadi secara gamblang pasca kemenangan Megawati
Soekarnoputri sebagai presiden. Keberhasilan Megawati dijadikan sebagai simbol
keberhasilan kesetaraan gender dalam perpolitikan nasional.
Dari hari ke hari, perjuangan kaum perempuan tersebut semakin menunjukkan
bentuknya. Mereka terus memobilisasi opini publik dengan memanfaatkan saluran media
massa dan berbagai forum diskusi. Dalam proses perjuangan itu, mereka selalu
menegaskan perempuan sebagai entitas otonom dan mendesakkan agenda politik
perempuan kepada partai politik. Melalui proses itu diharapkan terjadi komunikasi kritis
dan intensif, yang menumbuhkan kesadaran dan pendewasaan perempuan sebagai salah
satu subyek politik yang menentukan bangunan politik masyarakat.
Dalam kaca mata para pejuang hak-hak politik perempuan, bangunan politik
masyarakat saat ini masih terus terjadinya kekuasaan politik-maskulinitas yang
mensubordinasikan perempuan. Bahwasanya, kepincangan dalam politik antara laki-laki
dan perempuan telah mengakibatkan berbagai kepentingan perempuan dalam kehidupan
sosial masyarakat terabaikan dalam setiap ranah kebijakan pengambilan keputusan di
jalur politik, terutama di lingkungan parpol.
Dalam kampanye, perempuan dinilai hanya sebagai penyumbang suara potensial
ketimbang sebagai konstituen politik, sehingga isu-isu perempuan yang dilontarkan oleh
parpol hanya untuk sebatas meraup suara perempuan. Itu terlihat jelas dari materi-materi
kampanye parpol yang sangat jarang berbicara mengenai isu perempuan. Masalah-
masalah seperti kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, kodrat perempuan, peran
ganda perempuan, hak-hak perempuan bekerja, hak-hak reproduksi, dan lain-lain masih
ditanggapi secara normatif saja oleh parpol.
Bukan hanya itu, dari kacamata para pejuang itu, dalam sidang-sidang di
parlemen pun isu-isu krusial tentang perempuan tidak mendapatkan tempat yang cukup
memadai. Untuk itu, mereka terus memperjuangkan agar terjadi peningkatan jumlah
perempuan dalam “forum-forum” politik pengambil keputusan; seperti di parlemen,
jabatan-jabatan penting dalam parpol, bahkan juga dalam jabatan-jabatan eksekutif.
Sejatinya! Partisipasi politik perempuan dilihat sebagai keharusan untuk dapat ambil
bagian penting dalam setiap kepentingan politik.

***
Salah satu kejelian dari para pejuang hak-hak politik perempuan ini adalah
dengan memperbandingkan quota representative yang telah dicapai negara lain. Ani
Widyani Soetjipto, pengarang esei Affirmative Action Untuk Perempuan di Parlemen,
yang terbit di buku Panduan Parlemen Indonesia, hasil karya Yayasan API,
menyimpulkan bahwa “Konsep affirmative action terbukti ampuh untuk meningkatkan
representative jumlah perempuan di parlemen dan telah dilakukan oleh banyak negara di
dunia.
Ani menampilkan daftar jumlah anggota perempuan di parlemen di dunia, di
mana Indonesia selama ini peringkatnya rendah sekali, yakni no.74 dengan 8 persen.
Pada umumnya terdapat peringkat rendah pada banyak negara berkembang. India dan
Bangladesh punya anggota DPR perempuan sekitar 9 persen. Yang tertinggal di Swedia,
dengan 42 persen, di Belanda 36 persen. Di Asia Pasifik angka rata-ratanya 14,5 persen
yang lebih tinggi sedikit ketimbang rata-rata di dunia. Tetapi, Indonesia dengan hanya 8
persen menskor lebih rendah dari pada Vietnam, Cina, Malaysia, Filipina, dan Laos yang
jumlahnya di atas Indonesia. Tetapi, angka untuk Indonesia lebih baik daripada Singapura
6,5 persen, dan Jepang 7,5 persen.
Keberadaan perempuan dalam bidang politik di belahan dunia yang lain pun
tinggi. Di Afrika Selatan, misalnya, di zaman Nelson Mandela berkuasa, mereka
menerapkan 30 persen bagi perempuan dalam lembaga eksekutif dan legislatif. Bahkan,
Cina, yang memberi quota 10 persen pada kaum perempuannya, dalam prakteknya malah
bisa mencapai 26 persen. Australia malah tinggi sekali, yaitu memberi quota 50 persen.
Partai Buruh Inggris juga 50 persen, India 35 persen dan Denmark 40 persen.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia kini? Lewat proses perjuangan yang cukup
taktis, hasilnya sudah dapat dilihat, di mana kini DPR mulai meloloskan UU Pemilu
sebagai suatu kesepakatan maksimum dalam fraksi-fraksi DPR yang menetapkan quota
30 persen bagi perempuan untuk calon anggota di DPR, DPRD Propinsi, di DPRD
Kab/Kota. Persoalannya, bagaimana hal ini dalam prakteknya nanti, terutama dalam
kebijakan-kebijakan parpol?
Perlu diketengahkan bahwa sampai sekarang isu perempuan belum menjadi salah
satu platform politik sebagian besar parpol peserta pemilu. Boleh dikatakan, sebagian
besar parpol masih menempatkan perempuan dalam peran domestik atau masih bias
gender dalam memandang permasalahan dan kepentingan perempuan. Hingga saat ini
pun kita belum tahu dengan jelas platform parpol dalam pemilu 2009 nanti. Tampaknya
baik dalam pemilu 1999 maupun 2004, soal quota representatif dan affirmation action,
misalnya, belum semua parpol sanggup menempatkan calegnya yang perempuan sesuai
dengan quota 30 persen.
Dalam hal ini, para parpol, meskipun dalam platformnya menyebut masalah
perempuan, ternyata ketika itu mereka belum memiliki kesepahaman yang komprehensif
mengenai masalah perempuan. Belum ada tindakan konkret dari parpol hingga saat ini
dalam merespon masalah kekerasan terhadap perempuan misalnya. Apakah akar
masalahnya?

***
Belum adanya kesetaraan gender, sesungguhnya bukan hanya terjadi di wilayah
politik, tetapi juga di wilayah ekonomi, pendidikan, hukum, dan sosial. Hingga kini,
tingkat pendidikan, kesejahteraan ekonomi, melek politik dan sebagainya bagi
perempuan, belum banyak mengalami perubahan berarti, masih cukup tertinggal jauh dari
laki-laki. Untuk mengatasi persoalan ini diperlukan banyak hal.
Perlu dicatat bahwa masalah perjuangan dan perolehan quota 30 persen,
sebenarnya hanyalah salah satu langkah saja dalam upaya memperjuangkan keadilan dan
kesetaraan gender. Upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya perempuan
merupakan sebuah faktor yang sangat penting untuk diperhatikan secara serius. Jika
tidak, maka pemberian quota 30 persen hanya akan menjadi retorika, dan tidak tertutup
kemungkinan persoalan posisi politik perempuan yang dimunculkan oleh proses ini tidak
lebih hanya sebagai kepanjangan tangan dari periode sebelum quota diterapkan.
Untuk itu, perempuan harus menunjukkan tingkat kemampuan di setiap wilayah
kehidupan. Pemberian peluang yang sangat luas bagi perempuan untuk menempatkan
posisi-posisi penting dan strategis dalam lembaga-lembaga politik terutama pada tingkat
parlemen, misalnya, baru hanya merupakan persoalan berikut setelah persoalan-persoalan
lain seperti di bidang pendidikan yang mesti ditingkatkan di kalangan perempuan. Ini
tentu kendalanya terletak pada faktor budaya patriakal yang umumnya dianut bangsa ini.
Dalam arti, pendidikan melek politik bagi perempuan kemudian diikuti
pendidikan di bidang-bidang lain merupakan sesuatu yang sangat mutlak untuk
meningkatkan SDM perempuan, sehingga kaum perempuan sendiri lebih mampu
menyelesaikan problem-problem yang dihadapinya sesuai dengan potensinya. Dengan
demikian, perubahan yang diinginkan perempuan dapat saja terwujud, bukan saja di
dunia politik, tetapi juga di bidang-bidang lain.

Penulis, Direktur Social Development Center

You might also like