You are on page 1of 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.

1 Jelly Jelly merupakan makanan yang dibuat dari karaginan, yaitu senyawa polisakarida rantai panjang yang diekstraksi dari rumput laut jenis-jenis karaginofit, seperti Eucheuma sp., Chondrus sp,. Hypnea sp., dan Gigartina sp. Karaginan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu Iotokaraginan, Kappa-karaginan, dan Lambda-karaginan. Ketiganya berbeda dalam sifat gel yang dihasilkan. Kappa-karaginan dan Lambda-Karaginan menghasilkan gel yang kuat (rigid), sedangkan Ioto-karaginan membentuk gel yang halus (flaccid) dan mudah dibentuk (Anggadiredja, 2009). Komposisi jelly secara umum yakni 45 bagian buah dan 55 bagian gula, serta dibutuhkan sejumlah air (60-62 %) untuk melarutkannya hingga diperoleh produk akhir. Salah satu senyawa yang sangat berpengaruh dalam proses pembuatan jelly adalah pektin, sebab pektin mempengaruhi pembentukan gel dari jelly. Pektin merupakan senyawa yang berasal dari asam polygalakturonat. Kondisi pH optimum untuk pembentukan gel dari pektin adalah 2,8-3,2. Apabila pH diatas 3,5, maka gel tidak akan terbentuk. Sedangkan pH dibawah 2,5 gel yang terbentuk terlalu keras (Jelen, 1985).

Secara umum pembuatan jelly cukup sederhana, yakni buahbuahan yang akan dibuat jelly diperas dan diambil sarinya. Sejumlah gula kemudian ditambahkan, sesuai dengan perbandingan, yakni 45 bagian buah dan 55 bagian gula (Jellen, 1985). Pembuatan jelly yakni, pertama buah dipotong-potong kecil, lalu direbus selama 5-10 menit. Kemudian dihaluskan dengan blender, kemudian disaring. Cairan yang diperoleh didiamkan selama 1 jam sampai semua kotoran mengendap, sehingga diperoleh cairan sari buah yang bening. Lalu masukkan 450 gram sari buah kedalam wajan, lalu ditambahkan 550 gram gula pasir dan dimasak sampai kental dan matang. Tanda kematangannya ialah bila dituangkan jatuhnya terputus-putus dan tercium aroma buah yang khas (Koswara, 2006). 2.2 Bahan Tambahan Pangan Pengertian Bahan Tambahan Pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 772/Menkes/Per/IX/88 No. 1168/menkes/PER/X/1999 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan (Cahyadi, 2008).

Tujuan penggunaan Bahan Tambahan Pangan adalah untuk meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan. Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang diizinkan penggunaannya antara lain antioksidan, antikempal, pengatur keasaman, pemanis buatan, pemutih, pengental, pengawet, pengeras, pewarna, penyedap rasa, dan sekuesteran (Cahyadi, 2008). 2.3 Pewarna Pangan Warna merupakan salah satu aspek yang penting terhadap kualitas suatu produk makanan. Kualitas warna dianggap menunjukkan kualitas rasa dan tekstur dari suatu makanan agar makanan tersebut dapat diterima di masyarakat. Warna juga mengindikasikan bahwa telah terjadi reaksi kimia pada makanan (Deman, 1980). Menurut International Food Information Council Foundation (1994), pewarna pangan adalah zat yang digunakan untuk memberikan atau meningkatkan warna suatu produk pangan, sehingga menciptakan tampilan tertentu dan membuat produk lebih menarik. Definisi yang diberikan oleh Depkes (1999) lebih sederhana, yaitu Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada pangan (Wijaya, 2009). Ada lima sebab yang dapat menyebabkan suatu bahan makanan berwarna, yaitu :

1.

Pigmen yang secara alami terdapat pada tanaman dan hewan. Misalnya klorofil berwarna hijau, karoten berwarna jingga, dan mioglobin menyebabkan warna merah pada daging.

2.

Reaksi karamelisasi yang timbul bila gula dipanasknan membentuk warna cokelat. Misalnya warna cokelat pada kembang gula karamel atau roti yang dibakar.

3.

Warna gelap yang timbul karena adanya reaksi Mailard, yaitu antara gugus amino protein dengan gugus karbonil gula pereduksi. Misalnya susu bubuk yang disimpan lama akan berwarna gelap.

4.

Reaksi antara senyawa organik dengan udara akan menghasilkan warna hitam atau cokelat gelap. Reaksi oksidasi ini dipercepat oleh adanya logam serta enzim, mislanya warna gelap permukaan apel atau kentang yang dipotong.

5.

Penambahan zat warna, baik zat warna alami maupun zat warna sintetik, yang termasuk dalam golongan bahan aditif makanan (Winarno, 1992).

2.3.1 Tujuan Penggunaan Pewarna Pangan Berdasarkan survey yang telah dilakuakan Walford (1980), ada beberapa tujuan penggunaan pewarna pangan, yaitu : 1. Untuk memberikan penampilan yang menarik dari produk makanan yang telah berubah warna ketika proses pembuatan.

2.

Untuk memeberikan warna kepada produk makanan sesuai dengan sifat makanan tersebut.

3.

Untuk menguatkan warna suatu produk makanan yang memiliki warna yang lemah.

4.

Untuk memastikan keseragaman suatu bets dari sumber yang berbeda (Walford, 1980).

2.3.2 Klasifikasi Pewarna Pangan Pewarna pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan asalnya, yaitu pewarna alami, identik alami, dan sintetik. Pewarna pangan yang berasal dari bahan alam disebut pewarna alami. Pewarna identik alami adalah pewarna yang dibuat melalui sintesis secara kimia, tetapi mempunyai sifat kimia yang identik dengan pewarna alami. Pewarna sintetik adalah pewarna yang dibuat melalui sintesis secara kimia (Wijaya, 2009). 2.3.2.1 Pewarna Alami Banyak warna cemerlang yang dipunyai oleh tanaman dan hewan dapat digunakan sebagai pewarna makanan. Beberapa pewarna alami ikut menyumbangkan nilai nutrisi, memberikan bumbu atau pemberi rasa ke bahan olahannya. Dewasa ini ada beberapa bahan pewarna alami yang digunakan untuk menggantikan pewarna sintetik. Sebagai contohnya serbuk beet menggantikan pewarna merah sintetik FD & C No. 2. Pewarna alami juga dapat memberikan fungsi tambahan sebagai antioksidan, antimikroba, dan fungsi lainnya. Hal ini menyebabakan pertumbuhan

penggunaan pewarna alami cenderung menjadi dua kali lipat bila dibandingkan dengan pewarna sintetis, terutama di negara-negara maju. Meskipun pewarna alami ini jauh lebih aman untuk dikonsumsi, akan tetapi penggunaan pewarna alami belum dapat dilakukan secara menyeluruh, sebab beberapa kendala, seperti rasa yang kurang sedap, penggumpalan pada saat penyimpanan, dan ketidakstabilan dalam penyimpanan (Cahyadi, 2008 ; Wijaya, 2009). Umumnya pewarna alami diperoleh dari ekstrak kasar dari suatu tumbuhan yang pada dasarnya tidak stabil. Jelas terlihat stabilitas warna pada beberapa makanan dari penggunaan pewarna alami ini. Sebagai contoh adalah antosianin. Antosianin dapat digunakan pada beberapa

produk, akan tetapi variasi warna yang ada terlalu sempit penggunaannya. Hal ini disebabkan ketidakstabilan antosianin terhadap pH tertentu, terutama pH asam (Walford, 1984). Pada umumnya pewarna alami rentan terhadap pH, sinar matahari, dan suhu tinggi. Pewarna alami sebaiknya disimpan pada suhu 4-8oC untuk meminimumkan pertumbuhan mikroba dan degradasi pigmen. Pewarna alami berbentuk bubuk pada umumnya higroskopis. Beberapa sifat dari pewarna alami ditunjukkan pada tabel 1 (Wijaya, 2009).

Tabel 1. Sifat-sifat Bahan Pewarna Alami Kelompok Karamel Warna cokelat jingga, merah, biru Sumber gula dipanaskan tanaman Kelarutan air Stabilitas stabil peka terhadap panas dan pH stabil terhadap panas sensitif terhadap panas stabil terhadap panas stabil terhadap panas stabil terhadap panas sensitif terhadap panas sensitif terhadap panas

Antosianin

air

Flavonoid

kuning kuning, merah kuninghitam kuning kuning, merah hijau merah, cokelat

tanaman

air

Batalain

tanaman

air

Quinon

tanaman

air

Xanthon

tanaman

air

Karotenoid

tanaman/hewan

air

Klorofil

tanaman

lipid dan air

Heme

hewan

air

Sumber : Cahyadi (2008) 2.3.2.2 Pewarna Sintetis Pewarna sintetik adalah pewarna yang dibuat melalui sintesis

secara kimia. Berdasarkan kelarutannya, dikenal dua macam pewarna sintetis, yaitu dyes dan lakes. Dyes adalah zat pewarna yang umunya bersifat larut dalam air, sehingga larutannya menjadi berwarna dan dapat

digunakan untuk mewarnai bahan. Pelarut yang dapat digunakan selain air adalah propilen glikol, gliserin, atau alkohol. Sedangkan dalam semua jenis pelarut organik, dyes tidak dapat larut. Dyes terdapat dalam bentuk bubuk, granula, cairan, campuran warna, dan pasta. Lakes adalah zat pewarna yang dibuat melalui proses pengendapan dan absorpsi dyes pada radikal (A atau Ca) yang dilapisi dengan alumina. Lapisan alumina ini tidak larut dalam air, sehingga lakes ini tidak larut dalam air. Pada pH 3,59,5 stabil, dan di luar selang tersebut lapisan alumina pecah, sehingga dyes yang dikandungnya akan terlepas (Cahyadi, 2008). Zat warna yang termasuk golongan dyes telah melalui prosedur sertifikasi yang ditetapkan oleh US-FDA. Sedangkan zat pewarna lakes yang hanya terdiri dari satu warna, tidak merupakan campuran, juga harus mendapat sertifikat. Dalam certified colour terdapat spesifikasi yang mencantumkan keterangan yang penting mengenai zat pewarna tertentu, misalnya bentuk garam, kelarutan, dan residu yang terdapat didalamnya. Pada umumnya pewarna sintetis lebih stabil terhadap pH, cahaya, dan faktor lainnya selama pengolahan dan penyimpanan (Tabel 2). (Cahyadi, 2008 ; Wijaya, 2009).

Tabel 2. Kestabilan Beberapa Pewarna Sintetis Pewarna Eritrosin Merah Allura Kuning FCF Hijau FCF Biru Berlian Indigotin Tartrazin Kestabilan terhadap Oksidasi pH Rendah Sangat rendah Rendah Baik Rendah Baik Sangat rendah Baik Sangat rendah Baik Sangat rendah Baik Rendah Baik

Cahaya Sangat baik Sangat baik Sedang Rendah Rendah Sangat rendah Baik

Sumber : Wijaya (2009) Pewarna sintetik juga dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur kimia yang terdapat pada pewarna tersebut (Tabel 3), yakni Azo dyes, Triarylmethane dyes, Quinophthalon dyes, Xanthene dyes, dan Indigo dyes. Struktur beberapa pewarna sintetik terlihat pada Gambar 1 (Socaciu, 2008). Tabel 3. Golongan Pewarna Sintetik Golongan Contoh Pewarna Allura Red (Merah Allura) Amaranth, Azorubin (Carmoisin), Briliant Black, Brown FK, Brown HT, Litol Rubin BK, Ponceau 4R, Merah 2G, Sunst Yellow, Tartrazine Briliant Blue FCF, Fast Green FCF, Green S, Patent Blue V Quinoline Yellow (Kuning Kuinelin) Erythrosine (Eritrosin) Indigotine (Indigotin)

Azo Dyes

Triarylmethane Dyes Quinophthalon Dyes Xanthene Dyes Indigo Dyes Sumber : Socaciu (2008)

Merah Allura

Briliant Blue (Brilian Biru)

Carmoisin

Tartrazin

Sunset Yellow

Quinoline Yellow (Kuning Kuinelin)

Gambar 1. Beberapa Struktur Kimia Pewarna Sintetik. Sumber : Socaciu (2008) Di Indonesia, peraturan mengenai penggunaan zat pewarna yang diizinkan dan pewarna yang dilarang (Tabel 4) diatur melalui SK Menteri Kesehatan RI No. 722/menkes/Per/IX/88 mengenai Bahan Tambahan pangan (BTP) (Cahyadi, 2008).

Tabel 4. Pewarna Sintetik yang diizinkan dan yang dilarang di Indonesia Pewarna yang Diizinkan Pewarna Nomor Indeks Warna (C.I. No) Amaran 16185 Biru Berlian 42090 Eritrosin 45430 Hijau FCF 42053 Hijau S 44090 Indigotin 73015 Ponceau 4R 16255 Kuning Kuinelin 15980 Sunset Yellow 15985 Tartrazin 19140 Carmoisin 14720 Pewarna yang Dilarang Citrus Red 12156 Ponceau 3R 16155 Ponceau SX 14700 Rhodamin B 45170 Buinea Green B 42085 Magentha 42510 Chrysoidine 11270 Butter Yellow 11020 Sudan I 12055 Methanil Yellow 13065 Auramine 41000 Oil Orange SS 12100 Oil Orange XO 12140 Oil Yellow AB 11380 Oil Yellow OB 11390 Sumber : Cahyadi (2008) 2.4 Identifikasi Pewarna Sintetik Identifikasi pewarna sintetik dapat dilakukan dengan beberapa metode. Umumnya metode identifiksi yang digunakan adalah metode kromatografi maupun metode spektrofotometri, ataupun gabungan kedua

metode ini. Metode yang dapat digunakan anatara lain reaksi warna, kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, spektrofotometri, dan kromatografi cair kinerja tinggi (Cahyadi, 2008 ; Walford, 1984; Socaciu, 2008). 2.4.1 Cara Reaksi Warna Identifikasi pewarna sintetik dengan cara reaksi warna biasanya dilakukan sebagai identifikasi pendahuluan. Penggunaan cara reaksi kimia ini dilakukan dengan penambahan HCl pekat, H2SO4 pekat, NaOH 10%, dan NH4OH 12 %. Kemudian warna yang dihasilkan dengan penambahan pereaksi-pereaksi tersebut disesuaikan dengan tabel. Reaksi warna untuk pewarna sintetik Carmoisin, Tartrazin, Ponceau 4R, Briliant Blue, dan Sunset Yellow terdapat pada Tabel 5 (Apriyantono, 1989). Tabel 5. Perubahan Warna dengan Penambahan Pereaksi Perubahan Warna dengan Penambahan Pereaksi HCl pekat H2SO4 NaOH 10% NH4OH 12% pekat Sedikit Violet Merah Merah berubah Sedikit gelap Sedikit Sedikit Sedikit gelap berubah berubah Kemerahan Kecoklatan Kecoklatan Tidak berubah Kuning Merah pucat Kuning Violet Tidak berubah Cokelat kuning Tidak berubah Merah

Pewarna Carmoisin Tartrazin Sunset Yellow Briliant Blue Ponceau 4R

Sumber : Apriyantono (1989)

2.4.2 Metode Kromatografi Kertas dan Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi Kertas dan Kromatografi Lapis Tipis merupakan metode kromatografi yang sederhana. Kromatografi Kertas merupakan jenis kromatografi partisi, dimana fasa diam adalah air yang disokong oleh molekul-molekul selulosa dari kertas, dan fasa gerak merupakan campuran dari satu atau lebih pelarut-pelarut organik dan air. Kromatografi Kertas sudah sering digunakan untuk mengidentifikasi pewarna sintetik pada makanan. Bahkan metode ini hingga saat ini masih digunakan oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (POM) (Gritter, 1991; Badan POM, 2007). Prosedur penyiapan sampel dari kedua metode kromatografi ini sama yakni, sejumlah cuplikan ditambahkan asam asetat encer kemudian masukkan benang wool bebas lemak secukupnya, lalu dipanaskan diatas nyala api kecil selama 30 menit sambil diaduk. Benang wool dicuci

dengan air hingga bersih. Pewarna dilarutkan dari benang wool dengan penambahan ammonia 10% diatas penangas air hingga sempurna. Totolkan pada kertas kromatografi (pada Kromatografi Kertas) ataupun plat lapis tipis (pada Kromatografi Lapis Tipis), juga totolkan baku pembanding. Elusi dengan eluen yang sesuai pada suhu kamar (Cahyadi, 2008). Penelitian yang telah dilakukan Charles (1990) eluen yang baik digunakan untuk identifikasi pewarna sintetik dengan metode

Kromatografi Kertas adalah etilmetalketon:aseton:air (70:30:30). Menurut penelitian yang telah dilakukan Wadds (1984) eluen yang baik digunakan untuk identifikasi pewarna sintetik dengan metode Kromatografi Lapis Tipis adalah isobutanol:etanol:air (25:50:25). Sedangkan menurut Gritter (1991) eluen yang baik digunakan untuk identifikasi pewarna sintetik dengan metode Kromatografi Lapis tipis adalah Kloroform:Asetat anhidrat (75:2). Amati bercak yang timbul, kemudian hitung harga Rf dari masingmasing bercak (sampel maupun baku). Perhitungan harga Rf dengan cara membagi jarak rambat zat terlarut dengan jarak zat pelarut. Rf = Lalu bandingkan Rf sampel dengan Rf baku (Walford, 1984; Cahyadi, 2008; Gritter, 1991; Sastrohamidjodjo, 1985).

You might also like