You are on page 1of 9

Definisi asma oleh The American Thoracic Society (1962): adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon

trakhea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil suatu pengobatan. Gibbs dkk (1992) mendefinisikan sebagai suatu gangguan inflamasi kronik pada saluran napas yang banyak diperankan oleh terutama sel mast dan eosinofil. Asma bronkiale merupakan penyakit obstruksi saluran nafas yang sering dijumpai pada kehamilan dan persalinan, diperkirakan 1%-4% wanita hamil menderita asma. Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Turner et al dalam suatu penelitian yang melibatkan 1054 wanita hamil yang menderita asma menemukan bahwa 29% kasus membaik dengan terjadinya kehamilan, 49% kasus tetap seperti sebelum terjadinya kehamilan, dan 22% kasus memburuk dengan bertambahnya umur kehamilan. Sekitar 60% wanita hamil yang mendapat serangan asma dapat menyelesaikan kehamilannya dengan baik. Sekitar 10% akan mengalami eksaserbasi pada persalinan. Mabie dkk (1992) melaporkan peningkatan 18 kali lipat resiko eksaserbasi pada persalinan dengan seksio sesarea dibandingkan dengan pervaginam. Asma bronkiale merupakan penyakit yang ditandai dengan meningkatnya kepekaan saluran trakeobronkial terhadap berbagai rangsangan. Pada serangan asma terjadi bronkospasme, pembengkakan mukosa dan peningkatan sekresi saluran nafas, yang dapat hilang secara spontan atau dengan pengobatan. Gejala klinik yang klasik berupa batuk, sesak nafas, dan mengi (wheezing), serta bisa juga disertai nyeri dada. Serangan asma umumnya berlangsung singkat dan akan berakhir dalam beberapa menit sampai jam, dan setelah itu penderita kelihatan sembuh secara klinis. Pada sebagian kecil kasus terjadi keadaan yang berat, yang mana penderita tidak memberikan respon terhadap terapi (obat agonis beta dan teofilin), hal ini disebut status asmatikus. Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap penderita tidaklah sama, bahkan pada seorang penderita asma serangannya tidak sama pada kehamilan pertama dan kehamilan berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai usai kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu, dan akan berkurang pada akhir kehamilan. Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari frekuensi dan beratnya serangan asma, karena ibu dan janin akan mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia jika tidak segera diatasi tentu akan memberikan pengaruh buruk pada janin, berupa abortus, persalinan prematur, dan berat janin yang tidak sesuai dengan umur kehamilan. Angka kesakitan dan kematian perinatal tergantung dari tingkat penanganan asma. Gordon et al menemukan bahwa angka kematian perinatal meningkat 2 kali lipat pada kehamilan dengan asma dibandingkan kontrol, akan tetapi dengan penanganan penderita dengan baik, angka kesakitan dan kematian perinatal dapat ditekan mendekati angka populasi normal. PATOFISIOLOGI Pada asma terdapat penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan oleh spasme otot polos saluran nafas, edema mukosa dan adanya hipersekresi yang kental. Penyempitan ini akan menyebabkan gangguan ventilasi (hipoventilasi), distribusi ventilasi tidak merata dalam sirkulasi darah pulmonal dan gangguan difusi gas di tingkat alveoli. Akhirnya akan berkembang menjadi hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis pada tingkat lanjut. Meskipun asma secara primer dianggap sebagai penyakit saluran pernapasan, sebenarnya semua aspek fungsi pernapasan terpengaruh pada suatu serangan akut, sebagai tambahan pada beberapa penderita juga dijumpai adanya hipertensi pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan pada elektrokardiografi. Timbulnya serangan asma disebabkan terjadinya reaksi antigen antibodi pada permukaan sel mast paru, yang akan diikuti dengan pelepasan berbagai mediator kimia untuk reaksi hipersentifitas cepat. Terlepasnya mediator-mediator ini menimbulkan efek langsung cepat pada otot polos saluran nafas dan permiabilitas kapiler bronkus. Mediator yang dilepaskan meliputi bradikinin, leukotrien C,D,E, prostaglandin PGG2, PGD2a, PGD2, dan tromboksan A2. Mediator-mediator ini menimbulkan reaksi peradangan dengan bronkokonstriksi, kongesti vaskuler dan timbulnya edema, di samping kemampuan mediator-mediator ini untuk menimbulkan bronkokontriksi, leukotrien juga meningkatkan sekresi mukus dan menyebabkan terganggunya mekanisme transpor mukosilia.

Pada asma dengan kausa non alergenik terjadinya bronkokontriksi tampaknya diperantarai oleh perubahan aktifitas eferen vagal yang mana terjadi ketidak seimbangan antara tonus simpatis dan parasimpatis. Saraf simpatis dengan reseptor beta-2 menimbulkan bronkodilatasi, sedangkan saraf parasimpatis menimbulkan bronkokontriksi. GAMBARAN KLINIS Gejala asma yang klasik terdiri atas batuk, sesak dan mengi (wheezing) dan pada sebagian penderita disertai rasa nyeri di dada. Tetapi ada yang hanya disertai batuk tanpa sesak. Dengan demikian ada derajat asma : 1. Tingkat pertama : secara klinis normal, tetapi asma timbul jika ada faktor pencetus. 2. Tingkat kedua : penderita asma tidak mengeluh dan pada pemeriksaan fisik tanpa kelainan tetapi fungsi parunya menunjukkan obstruksi jalan nafas. Disini banyak ditemukan pada penderita yang baru sembuh dari serangan asma 3. Tingkat ketiga : penderita tidak ada keluhan tetapi pada pemeriksaan fisik maupun maupun fungsi paru menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan nafas. 4. Tingkat keempat : penderita mengeluh sesak nafas, batuk dan nafas berbunyi.Pada pemeriksaan fisik maupun spirometri akan dijumpai tanda-tanda obstruksi jalan napas. 5. Tingkat kelima : adalah status asmatikus, yaitu suatu keadaan darurat medik berupa serangan akut asma yang berat, bersifat refrakter terhadap pengobatan yang biasa dipakai. Scoggin membagi perjalanan klinis asma sebagai berikut : 1. Asma akut intermiten : Diluar serangan, tidak ada gejala sama sekali. Pemeriksaan fungsi paru tanpa provokasi tetap normal. Penderita ini sangat jarang jatuh ke dalam status asmatikus dan dalam pengobatannya sangat jarang memerlukan kortikosteroid. Faktor-faktor yang mencetuskan serangan sering berupa : a. Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh virus. b. Kegiatan jasmani (exercises induced ashtma) c. Lingkungan pekerjaan (occupational asthma) d. Obat-obat (drug induced asthma) e. Tidak jelas 2. Asma akut dan status asmatikus: Serangan asma dapat demikian beratnya sehingga penderita segera mencari pertolongan. Bila serangan asma akut tidak dapat diatasi dengan obat-obat adrenergik beta dan teofilin disebut status asmatikus. 3. Asma kronik persisten (asma kronik): Pada asma kronik selalu ditemukan gejala-gejala obstruksi jalan napas, sehingga diperlukan pengobatan yang terus menerus. Hal tersebut disebabkan oleh karena saluran nafas penderita terlalu sensitif selain adanya faktor pencetus yang terus-menerus. PENGARUH PERUBAHAN HORMONAL SELAMA KEHAMILAN Keadaan hormonal selama kehamilan sangat berbeda dengan keadaan tidak hamil dan mengalami perubahan selama perjalanan kehamilan. Perubahan-perubahan ini akan memberikan pengaruh terhadap fungsi paru. Progesteron tampaknya memberikan pengaruh awal dengan meningkatkan sensitifitas terhadap CO2, yang menyebabkan terjadinya hiperventilasi ringan, yang bisa disebut sebagai dispnea selama kehamilan. Lebih lanjut dapat dilihat adanya efek relaksasi otot polos. Pengaruh total progesteron selama kehamilan karena peningkatannya yang mencapai 50-100 kali dari keadaan tidak hamil, masih diperdebatkan dengan adanya berbagai temuan klinis yang terbuka diperdebatkan. Selama kehamilan kadar estrogen meningkat, dan terdapat data-data yang menunjukkan bahwa peningkatan ini menyebabkan menurunnya kapasitas difusi pada jalinan kapiler karena meningkatnya

jumlah sekresi asam mukopolisakarida perikapiler. Estrogen memberikan pengaruh terhadap asma selama kehamilan.dengan menurunkan klirens metabolik glukokortikoid sehingga terjadi peningkatan kadar kortisol. Estrogen juga mempotensiasi relaksasi bronkial yang diinduksi oleh isoproterenol. Kadar kortisol bebas plasma meningkat selama kehamilan, demikian pula kadar total kortisol plasma. Peningkatan kadar kortisol ini seharusnya memberikan perbaikan terhadap keadaan penderita asma, akan tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Tampaknya beberapa wanita hamil refrakter terhadap kortisol meskipun terjadi peningkatan kadar dalam serum 2-3 kali lipat. Hal ini mungkin disebabkan terjadinya kompetisi pada reseptor glukoortikoid oleh progesteron, deoksikortikosteron dan aldosteron yang semuanya meningkat selama kehamilan. Semua tipe prostaglandin meningkat dalam serum maternal selama kehamilan, terutama menjelang persalinan aterm. Meskipun dijumpai adanya peningkatan kadar matabolit prostalandin PGF 2x yang merupakan suatu bronkokonstriktor kuat, dalam serum sebesar 10%-30%, hal ini tidak selalu memberikan pengaruh buruk pada penderita asma selama persalinan. Pada jaringan janin ditemukan histamin dalam konsentrasi tinggi. Sebagai respon terhadap stimulus ini maka plasenta menghasilkan histaminase (diaminoksidase) dalam jumlah besar mencapai 1000 kali lipat dibandingkan wanita yang tidak hamil. Penelitian dewasa ini belum membuktikan perubahan biokkimiawi ini dengan pengaruh klinik yang ditimbulkannya. DIAGNOSIS ASMA BRONKIALE Diagnosis asma tidak sulit, terutama bila dijumpai gejala yang klasik seperti sesak nafas, batuk dan mengi. Serangan asma dapat timbul berulang-ulang dengan masa remisi diantaranya. Serangan dapat cepat hilang dengan pengobatan, tetapi kadang-kadang dapat pula menjadi kronik sehingga keluhan berlangsung terus menerus. Adanya riwayat asma sebelumnya, riwayat penyakit alergik seperti rinitis alergik, dan keluarga yang menderita penyakit alergik, dapat memperkuat dugaan penyakit asma. Selain hal-hal di atas, pada anamnesa perlu ditanyakan mengenai faktor pencetus serangan. Penemuan pada pemerikasaan fisik penderita asma tergantung dari derajat obstruksi jalan nafas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, takikardi, pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada penderita asma dalam serangan. Dalam praktek tidak sering ditemukan kesulitan dalam menegakkan diagnosis asma, tetapi banyak pula penderita yang bukan asma menimbulkan mengi sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang penting dalam asma adalah sebagai berikut : 1. Spirometri untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversibel. 2. Cara yang paling cepat dan sederhana untuk diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.Pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak > 20% menunjukkan diagnosis asma. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis, tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. 3. Tes provokasi bronkial untuk menunjukkan adanya hiperreaktifitas bronkus. Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hiperreaktifitas bronkus harus dilakukan tes provokasi histamin, metakolin, alergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan udara dingin bahkan inhalasi dengan aquadestilata. Penurunan FEV1 sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi adalah bermakna. 4. Pemeriksaan tes kulit 5. Tujuan tes kulit yaitu menunjukkan adanya antibodi IgE yang spesifik dalam tubuh. Tes ini hanya menyokong anamnesa, karena alergen yang menunjukkann tes kulit yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma; sebaliknya tes kulit yang negatif tidak selalu berarti tidak ada faktor kerentanan kulit. 6. Pemerikasaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam serum. 7. Kegunaan pemeriksaan IgE total tidak banyak dan hanya untuk menyokong adanya penyakit atopi.

8. Pemerikasaan radiologi 9. Pada umumnya pemeriksaan foto dada penderita asma adalah normal. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila ada kecurigaan proses patalogik di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis dll. 10. Analisa gas darah 11. Pemeriksaan analisa gas darah hanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma berat. Pada keadaan tersebut dapat terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis respiratorik. 12. Pemeriksaan eosinofi dalam darah 13. Pada penderita asma jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat. Selain dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis kortkosteroid yang diperlukan penderita asma, jumlah eosinofil total dalam darah dapat membantu untuk membedakan asma dari bronkitis kronik. 14. Pemeriksaan sputum: disamping untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot, spiral Churschmann. PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP ASMA Pengaruh kehamilan terhadap perjalanan klinis asma, bervariasi dan tidak dapat disuga. Dispnea simtomatik yang terjadi selama kehamilan, yang mengenai 60%-70% wanita hamil, bisa memberi kesan memperberat keadaan asma. Wanita yang memulai kehamilan dengan asma yang berat, tampaknya akan mengalami asma yang lebih berat selama masa kehamilannya dibandingkan dengan mereka yang dengan asma yang lebih ringan. Sekitar 60% wanita hamil dengan asma akan mengalami perjalanan asma yang sama pada kehamilankehamilan berikutnya. Gluck& Gluck menyimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE diperkirakan akan memperburuk keadaan asma selama kehamilan, sebaliknya penderita dengan kadar IgE yang menurun akan membaik keadaannya selama kehamilan. Eksaserbasi serangan asma tampaknya sering terjadi pada trimester III atau pada saat persalinan, hal ini menimbulkan pendapat adanya pengaruh perubahan faktor hormonal, yaitu penurunan progesteron dan peningkatan prostaglandin, sebagai faktor yang memberikan pengaruh. Pada persalinan dengan seksio sesarea resiko timbulnya eksaserbasi serangan asma mencapai 18 kali lipat dibandingkan jika persalinan berlangsung pervaginam. PENGARUH ASMA TERHADAP KEHAMILAN Pengaruh asma terhadap kehamilan bervariasi tergantung derajat berat ringannya asma tersebut. Asma terutama jika berat bisa secara bermakna mempengaruhi hasil akhir kehamilan, beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan insidensi abortus, elahiran prematur, janin dengan berat badan lahir rendah, dan hipoksia neonatus. Beratnya derajat serangan asma sangat mempengaruhi hal ini, terdapat korelasi bermakna antara fungsi paru ibu dengan berat lahir janin. Angka kematian perinatal meningkat dua kali lipat pada wanita hamil dengan asma dibandingkan kelompok kontrol. Asma berat yang tidak terkontrol juga menimbulkan resiko bagi ibu, kematian ibu biasanya dihubungkan dengan terjadinya status asmatikus, dan komplikasi yang mengancam jiwa seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, kor pulmonale akut, aritmia jantung, serta kelemahan otot dengan gagal nafas. Angka kematian menjadi lebih dari 40% jika penderita memerlukan ventilasi mekanik. Asma dalam kehamilan juga dihubungkan dengan terjadinya sedikit peningkatan insidensi preeklampsia ringan, dan hipoglikemia pada janin, terutama pada ibu yang menderita asma berat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan penanganan penderita secara intensif, akan mengurangi serangan akut dan status asmatikus, sehingga hasil akhir kehamilan dan persalinan dapat lebih baik. PENANGANAN ASMA SELAMA KEHAMILAN DAN PERSALINAN Penanganan penderita asma selama kehamilan bertujuan untuk menjaga ibu hamil sedapat mungkin bebas dari gejala asma, walauoun demikian eksaserbasi akut selalu tak dapat dihindari.

Pengobatan yang harus diusahakan adalah : 1. Menghindari terjadinya gangguan pernapasan melalui pendidikan terhadap penderita, menghindari pemaparan terhadap alergen, dan mengobati gejala awal secara tepat. 2. Menghindari terjadinya perawatan di unit gawat darurat karena kesulitan pernapasan atau status asmatikus, dengan melakukan intervensi secara awal dan intensif. 3. Mencapai suatu persalinan aterm dengan bayi yang sehat, di samping melindungi keselamatan ibu. 4. Dalam penanganan penderita asma diperlukan individualisasi penanganan, karena penanganan suatu kasus mungkin berbeda dengan kasus asma yang lain, dalam memulai suatu perawatan obstetri terhadap wanita hamil dengan asma perlu diperhatikan beberapa prinsip tertentu yaitu : 5. Mendeteksi dan mengeliminasi faktor pemicu timbulnya serangan asma pada penderita tertentu. 6. Menghentikan merokok, baik untuk alasan obstetrik maupun pulmonal 7. Mendeteksi dan mengatasi secara awal jika diduga adanya infeksi pada saluran nafas, seperti bronkitis, sinusitis. 8. Pembahasan antara ahli kebidanan dan ahli paru, untuk mengetahui masalah-masalah yang potensial dapat timbul, rencana penanganan umum termasuk penggunaan obat-obatan. 9. Pertimbangan untuk mengurangi dosis pengobatan, tetapi masih dalam kerangka respon pengobatan yang baik. 10. Melakukan penelitian fungsi paru dasar, juga penentuan gas darah khususnya pada penderita asma berat. Obat-obat anti asma yang sering digunakan Obat-obat yang digunakan untuk pengobatan asma secara garis besar dapat dibagi dalam 5 kelompok utama yaitu beta adrenergik, methylxanthine, glukokortikoid, cromolyn sodium dan anti kolinergik, di samping itu terdapat obat-obat lain yang sering digunakan sebagai terapi tambahan pada penderita asma seperti ekspektoran dan antibiotik. a. Beta adrenergik agonis Dalam golongan ini epinefrin merupakan obat yang paling sering digunakan. Epinefrin menstimulasi reseptor beta-2 menyebabkan bronkodilatasi, tetapi juga menstimulasi reseptor alfa dan beta-1 yang menyebabkan terjadinya vasokonstriksi perifer dan takikardia baik pada ibu maupun janin, juga menyebabkan fetal distres, ini merupakan kelemahan teoritis penggunaan epinefrin dalam kehamilan, untungnya epinefrin mempunyai waktu paruh pendek dan belum ada laporan yang menunjukkan adanya efek jangka panjang terhadap janin pada penggunaannya dalam kehamilan. Terbutalin merupakan beta agonis yang sering digunakan untuk terapi tokolitik pada persalinan prematur. Dalam pengobatan asma dosisnya sebaiknya dikurangi pada saat mendekati aterm, meskipun tidak terdapat laporan yang menunjukkan adanya penundaan bermakna dalam onset persalinan normal, bila obat ini digunakan sebagai terapi inti asma standar. 2. Methylxanthine (Teofilin) Teofilin dengan berbagai garamnya termasuk dalam golongan ini. Mekanisme teofilin menimbulkan bronkodilatasi tidak jelas, diduga melalui inhibisi kompetitif terhadap enzim fosfodiesterase, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan kadar siklik AMP karena degradasinya yang menurun. Aminofilin merupakan suatu garam dietileniamin dari teofilin dan merupakan satu-satunya obat golongan xanthin yang dapat diberikan secara parenteral 3. Glukokortikoid Kortikosteroid digunakan sejak lama untuk pengobatan asma. Kortikosteroid bukan merupakan bronkodilator, tetapi bermanfaat dalam mengarungi inflamasi pada saluran napas. Umumnya disepakati memberikan steroid seawal mungkin pada penderita dengan serangan asma akut berat. Pemakaian

kortikosteroid selama kehamilan tidak menyebabkan meningkatnya resiko komplikasi baik pada janin maupun ibu. 4. Cromolyn Sodium Cromolyn sodium bukan merupakan bronkodilator, efek terapeutik utamanya adalah inhibisi terhadap degranulasi sel mast, sehingga mencegah terjadinya pelepasan mediator kimia untuk reaksi anafilaksis. Cromolyn berguna baik untuk asma alergik maupun non alergik. 5. Anti Kolinergik Obat antikolenergik seperti atropin sulfat dapat memberikan efek bronkodilatasi ada penderita asma, tetapi penggunaannya menjadi terbatas karena efek samping yang tidak diinginkan. Golongan antikolinergik yang lebih sering digunakan adalah ipratropium bromida, terbukti efektif dan kurang menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Efek penggunaan obat anti asma dalam kehamilan terhadap janin Umumnya obat-obat anti asma yang biasanya dipergunakan relatif aman penggunaannya selama kehamilan, jarang dijumpai adanya efek teratogenik pada janin akibat penggunaan obat anti asma. Penanganan asma kronik pada kehamilan Dalam penanganan penderita asma dengan kehamilan, dan tidak dalam serangan akut, diperlukan adanya kerja sama yang baik antara ahli kebidanan dan ahli paru. Usaha-usaha melalui edukasi terhadap penderita dan intervensi melalui pengobatan dilakukan untuk menghindari timbulnya serangan asma yang berat. Adapun usaha penanganan penderita asma kronik meliputi : 1. Bantuan psikologik menenangkan penderita bahwa kehamilannya tidak akan memperburuk perjalanan klinis penyakit, karena keadaan gelisah dan stres dapat memacu timbulnya serangan asma. 2. Menghindari alergen yang telah diketahui dapat menimbulkan serangan asma 3. Desensitisasi atau imunoterapi, aman dilakukan selama kehamilan tanpa adanya peningkatan resiko terjadinya prematuritas, toksemia, abortus, kematian neonatus, dan malformasi kongenital, akan tetapi efek terapinya terhadap penderita asma belum diketahui jelas. 4. Diberikan dosis teofilin per oral sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma antara 10-22 mikrogram/ml, biasa dosis oral berkisar antara 200-600 mg tiap 8-12 jam. 5. Dosis oral teofilin ini sangat bervariasi antara penderita yang satu dengan yang lainnya. 6. Jika diperlukan dapat diberikan terbulatin sulfat 2,5-5 mh per oral 3 kali sehari, atau beta agonis lainnya. 7. Tambahkan kortikosteroid oral, jika pengobatan masih belum adekuat gunakan prednison dengan dosis sekecil mungkin. 8. Pertimbangan antibiotika profilaksis pada kemungkinan adanya infeksi saluran nafas atas. 9. Cromolyn sodium dapat dipergunakan untuk mencegah terjadinya serangan asma, dengan dosis 20-40 mg, 4 kali sehari secara inhalasi. Penanganan serangan asma akut pada kehamilan Dalam menghadapi ibu hamil dengan serangan asma akut, harus secara cepat dinilai beratnya serangan, jika berat perlu dipertimbangkan perawat diruang unit perawatan intensif dengan tetap memonitor keadaan janin dalam kandungan. Penanganan serangan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut: 1. Pemberian oksigen yang telah dilembabkan, 2-4/menit, pertahankan pO2 70-80 mmHg. Janin sangat rentan terhadap keadaan hipoksia. 2. Hindari obat-obat penekan batuk, sedatif dan antihistamin. Tenangkan penderita Berikan cairan intravena, biasanya penderita mengalami kekurangan cairan, cairan yang digunakan biasanya ringer laktat atau normal saline.

3. Berikan aminofilin dengan loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan dosis 0,8-1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma sebesar 10-20 mikrogram/ml. 4. Jika diperlukan pertimbangan penggunaan terbulatin subkutan dengan dosis 0,25 mg 5. Berikan steroid : hidrokortison secara intravena 2 mm/kgBB loading dose, tiap 4 jam atau setelah loading dose dilanjutkan dengan infus 0,5 mg/kgBB/jam 6. Pertimbangan penggunaan antibiotika jika ada kecurigaan infeksi yang menyertai 7. Intubasi dan ventilasi bantuan, jarang dibutuhkan kecuali pada kasus-kasus yang mengancam kehidupan. 8. Serangan asma berat yang tidak memberikan respons setelah 30-60 menit dengan terapi infeksi (obat agonis beta & teofilin) disebut status asmatikus, pada keadaan ini penderita ini harus ditangani di unit perawatan intensif Selama kehamilan pertimbangan untuk intubasi lebih awal diperlukan jika fungsi pernapasan ibu terus menurun, meskipun dilakukan penanganan yang intensif. Melakukan intubasi dan ventilasi mekanis. Penanganan asma dalam persalinan Pada kehamilan dengan asma yang terkontrol baik, tidak diperlukan suatu intervensi obstetri awal. Pertumbuhan janin harus dimonitor dengan ultrasonografi dan parameter-parameter klinik, khususnya pada penderita-penderita dengan asma berat atau yang steroid dependen, karena mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk mengalami masalah pertumbuhan janin. Onset spontan persalinan harus diperbolehkan, intervensi preterm hanya dibenarkan untuk alasan obstetrik. Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 I/menit, maka persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita memberat gejala asmanya pada waktu persalinan. Selama persalinan kala I pengobatan asma selama masa prenatal harus diteruskan, ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid harus hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8 jam sampai persalinan. Bila mendapat serangan akut selama persalinan, penanganannya sama dengan penanganan serangan akut dalam kehamilan seperti telah diuraikan di atas. Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik untuk penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya bronkospasme yang berat. Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan pervaginam, memperpendek, kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau forceps akan bermanfaat. Bila terjadi pendarahan post partum yang berat, prostaglandin E2 dan uterotonika lainnya harus digunakan sebagai pengganti prostaglandin F2(x) yang dapat menimbulkan terjadinya bronkospapasme yang berat. Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak melepaskan histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada meperidine atau morfin yang melepas histamin. Bila persalinan dengan seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang lain, maka sebaiknya anestesi cara spinal. Penanganan asma post partum Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik diperlukan. Perjalanan dan penanganan klinis asma umumnya tidak berubah secara dramatis setelah post partum. Pada wanita yang menyusui tidak terdapat kontra indikasi yang berkaitan dengan penyakitnya ini. Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya kurang dari 10% dari jumlah yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu tercapai 2 jam setelah pemberian, seperti halnya prednison, keberadaan kedua obat ini dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi yang belum mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pada janin.

Ibu hamil memerlukan makanan lebih banyak daripada biasanya. Selain untuk keperluan dirinya, ibu hamil juga harus makan untuk janin yang dikandungnya. Agar janin dapat berkembang baik, makanan ibu hamil harus memenuhi kebutuhan gizi berikut: Kalori. Asupan kalori harus ditambah 180 kkal per hari selama trimester pertama kehamilan dan 300 kkal selama trimester kedua dan ketiga kehamilan. Tambahan kalori tersebut sebaiknya diperoleh dari sumber yang bervariasi sesuai dengan pola makan yang seimbang. Idealnya, 55% kalori berasal dari umbi-umbian dan nasi sumber karbohidrat, 35% dari lemak nabati dan hewani, 10% dari protein dan sisanya dari sayursayuran dan buah-buahan. Asam Folat. Pada beberapa minggu sebelum dan setelah awal kehamilan, embrio janin membutuhkan asam folat yang banyak untuk pembentukan sistem syaraf dan sel-sel. Tambahan 400 mikrogram asam folat per hari diperlukan selama trimester pertama kehamilan. Kekurangan asam folat dapat mengakibatkan janin tidak berkembang sempurna sehingga terlahir dengan kelainan bawaan seperti anenchephaly (tanpa batok kepala), spina bifida (tulang belakang tidak bersambung) dan bibir sumbing. Asam folat yang juga dikenal sebagai vitamin B9 banyak terdapat pada beras merah, sayuran hijau dan buah-buahan. Protein. Selain sebagai sumber kalori, protein juga diperlukan untuk pembentukan sel dan darah. Ibu hamil membutuhkan protein sebanyak 60 gram per hari (lebih banyak 10 gram dari biasanya), yang dapat diperoleh dari daging, ikan, putih telur, kacang-kacangan, tahu dan tempe. Kalsium. Konsumsi kalsium 1000 mg/hari diperlukan untuk menjaga pertumbuhan tulang dan gigi, kontraksi otot dan sistem syaraf. Vitamin A. Vitamin A bermanfaat untuk pemeliharaan kulit, fungsi mata dan pertumbuhan tulang. Namun begitu, konsumsi vitamin A tidak boleh berlebihan karena dapat mengganggu pertumbuhan embrio. Zat Besi. Zat besi banyak diperlukan untuk pembentukan darah. Kekurangan zat besi akan mengakibatkan anemia yang berbahaya bagi ibu dan bayinya. Suplemen zat besi mungkin diperlukan mulai minggu ke-20 kehamilan, terutama bila ibu hamil memperlihatkan tanda-tanda anemia. Ibu hamil membutuhkan zat besi 30 mg/hari atau dua kali lipat dari biasanya. Vitamin C. Vitamin C bermanfaat memudahkan penyerapan zat besi oleh tubuh, selain untuk menjaga kesehatan gigi dan gusi. Vitamin D. Vitamin D berguna untuk pembentukan tulang karena membantu penyerapan kalsium. Pantangan Beberapa makanan dan zat lain yang harus dihindari selama kehamilan: Kopi dan teh. Kafein pada kopi dapat meningkatkan risiko keguguran dan bayi berberat badan rendah. Bila ibu hamil sudah terbiasa minum kopi, sebaiknya porsinya dikurangi menjadi tidak lebih dari 2 cangkir per hari. Teh yang dikonsumsi berlebihan juga dapat mengganggu penyerapan zat gizi pada usus. Alkohol dan rokok. Konsumsi alkohol dan merokok berbahaya bagi janin karena apa yang dikonsumsi ibu juga dikonsumsi janin, padahal kondisi fisiknya masih sangat rentan. Makanan mentah/setengah matang. Makanan mentah dan setengah matang dapat membawa bibit penyakit penyebab listeriosis dan toksoplasmosisyang berbahaya bagi janin. Makanan tersebut antara lain: keju segar, susu segar (non-pasteurisasi), telur mentah/setengah matang, salad dan sate kambing/ayam yang kurang matang. Ikan tertentu yang kaya merkuri. Beberapa ikan tertentu yang mengandung merkuri tinggi seperti mackerel (biasanya dalam kaleng), kerang dan ikan pari sebaiknya dihindari. Pengecekan Kecukupan Gizi Kecukupan gizi berupa vitamin dan mineral dapat dilihat dari tidak adanya gejala kekurangan vitamin/mineral, seperti anemia, gusi berdarah, dan lainnya. Indikator kecukupan gizi juga terlihat padakenaikan berat badan yang cukup selama kehamilan. Kenaikan berat badan tersebut bervariasi dari bulan ke bulan sesuai dengan fase kehamilan.

Kenaikan Berat Badan Minggu kehamilan Kenaikan berat badan 0 s.d. 12 1-2 kg 12 s.d. 28 0,3 0,4 kg 28 s.d. 40 1-3 kg Calon ibu yang kurus mungkin mengalami kenaikan lebih besar dibandingkan yang gemuk. Demikian halnya dengan calon ibu yang mengandung bayi kembar. Namun, pada umumnya berat badan harus naik sebesar 10-12 kg selama kehamilan. Kenaikan berat badan yang terlalu kecil dapat mengindikasikan kekurangan gizi yang berbahaya bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi. Berikut adalah rincian dari mana kenaikan berat badan 10-12 kg tersebut berasal: 1. Bayi 2. Plasenta, cairan amnion, membran 3. Tambahan darah, lemak, air di jaringan tubuh 4. Uterus (rahim) 5. Payudara 3 3,5 kg 1, 8 kg 4,1 kg 0,9 kg 0,4 kg

Pertambahan BB saat hamil sebaiknya cukup, tidak lebih atau kurang.


Bila BB sebelum hamil normal, pertambahan BB yang dianjurkan 9-12 kg. Bila BB sebelum hamil berlebih, pertambahan BB yang dianjurkan 6-9 kg. Bila BB sebelum hamil kurang, pertambahan BB yang dianjurkan 12-15 kg. Bila mengandung bayi kembar, pertambahan BB biasanya lebih banyak, tergantung jumlah bayi yang dikandung. Pertambahan BB per trimester kehamilan sebagai berikut: Trimester I : 1-2,5 kg / 3 bulan Trimester II : pertambagan berat badan rata-rata 0,35 0,4 kg/minggu. Trimester III: pertambagan BB 1 kg/bulan. Namun pada trimester ini penambahan BB janin rata-rata 200 gram/minggu. Mulai minggu ke-28 hingga akhir kehamilan, BB Anda hanya akan bertambah sebanyak 45 kg.

You might also like